Sunday, January 15, 2012

Satu Persatu...

Satu persatu mereka pergi. Tak akan pernah kembali. Tak hirau mata yang basah, sembab dan isak tangis yang tak kunjung reda. Allah sudah menentukan kapan menyudahi perjalanan di dunia.


Tanah makam yang merah, kembang-kembang tabur yang semerbak dalam dekapan angin dan terang matahari di sela-sela kiara raksasa di bukit pemakaman itu, menandai satu lagi kepergian umat Muhammad. Yassin, Al-Fatihah dan semua doa yang kami bisa menemani mendiang dalam istirahat panjangnya.


Sampai sangkakala ditiupkan. Dan kami semua bertemu lagi di Padang Mahsyar. Sampai nanti, orang-orang tercinta. Sampai nanti.

........

Pagi ini, kabar buruk itu datang seperti halilintar di tengah hari. Saya sedang memasak, ketika pengeras suara di masjid Kakek mengumumkan berita duka. Uwak saya, yang memang sudah sebulan ini sakit, meninggal dunia. Padahal, baru saja saya berencana akan menengok ke rumahnya seusai memasak buat para tukang pembersih lahan.

Uwak saya itu adalah isteri sepupu Ibu. Suaminya, yang sepupu Ibu langsung, sudah meninggal lama berselang ketika saya masih kecil. Uwak istri (uwak perempuan, dalam bahasa Sunda) terasa seperti saudara kami sendiri, karena begitu tulus hatinya. Begitu baik. Bahkan ketika berbulan-bulan Ibu sakit, beliau ikut berbulan-bulan tinggal di rumah sakit, tak mau pulang sampai Ibu dinyatakan boleh pulang.

Saya tak bisa menggambarkan betapa sayangnya saya kepada beliau. Terlepas dari hutang budi karena beliau ikut merawat Ibu, beliau memang menjadi uwak favorit saya sejak dulu. Tak pernah sedikit pun saya memiliki kesan buruk terhadapnya. Setelah Ibu meninggal, ia sering datang berkunjung sekedar menengok. Membawakan makanan yang dibuatnya sendiri. Masih hangat, baru matang. Sepiring lemper, atau arem-arem, atau gorengan. Dan tak pernah lupa memeluk saya erat-erat, mencium saya sambil berbisik: sing sabar nya, geulis (yang sabar ya, cantik).

Uwak saya itu cantik, tinggi, sosoknya kokoh, hidungnya bangir dan matanya agak biru. Ayahnya adalah Belanda totok pemilik perkebunan yang menikahi gadis lokal. Setelah Agresi Militer Belanda Kedua dan semua warga negara Belanda dan Eropa dipersilakan pulang ke negerinya, ayah Uwak meninggalkan anak istrinya. Seperti halnya semua perkebunan milik Belanda dan Eropa, perkebunan milik ayahnya diambil alih pemerintah Republik. Uwak dan ibunya kembali menjadi orang desa biasa.

Suaminya, uwak pameget (uwak lelaki), seorang polisi, sedangkan Uwak Istri dikenal sebagai paraji atau dukun beranak yang bersertifikat. Ia bukan dukun beranak tradisional, melainkan mendapatkan ilmunya dari kursus resmi di rumah sakit besar di Bandung. Sebagai paraji senior, para bidan pun bahkan menghormatinya dan banyak belajar darinya.

Dan ia seorang muslimah yang solehah. Religius. Ia pengganti Ibu, mengingatkan saya puasa-puasa sunah, shalat-shalat sunah, dan bermacam doa. Setelah Ibu meninggal, saya menghadiahinya kenang-kenangan gamis Ibu yang paling indah, paling disukai Ibu. Ia tahu, dan menangis ketika menerimanya. Sering saya melihatnya memakai gamis itu ketika pergi mengaji ke masjid Kakek yang tak jauh dari rumah. Pulangnya ia mampir dan pamer.

"Neng, lihat nih Uwak pakai bajunya Ibu. Rasanya seperti ada Ibu ikut mengaji di samping Uwak di mesjid."

Uwak saya itu perempuan paling sabar, paling tawakal dan paling berserah kepada Allah.  Berbagai musibah yang dialaminya tidak pernah membuatnya terlihat down. Suaminya itu bukanlah lelaki yang setia, tetapi ia membalasnya dengan cinta dan kesetiaan. Merawatnya dengan tulus ketika sakit. Cucu-cucunya yang membuat ulah, bukan sekedar ulah kecil, tak pernah membuatnya marah atau memaki. Nasehatnya selalu mengalir, disuarakan dengan lembut, dalam, mengena.

Begitu banyak kebaikannya, begitu panjang jika harus saya ceritakan.

Sungguh ya Allah, Engkau telah membuat saya merasa sangat kehilangan. Seperti dulu, ketika Engkau memanggil Ibu pulang kepada-Mu. Aku tahu Engkau Sang Pemilik Sejati. Terimalah Uwak di tempat terbaik di sisi-Mu. Ampuni dosanya, maafkanlah kesalahannya. Kuatkanlah kami yang Engkau beri cobaan sepahit ini. Amin.

Satu persatu, perempuan-perempuan yang saya cintai pergi. Saya tidak akan pernah bertemu mereka lagi saat rindu menyerbu. Lalu hari ini, sekali lagi, saya merasa sendirian di muka bumi.

“Death ends a life, not a relationship.”
― Mitch Albom, Tuesdays with Morrie


pict from here

Image and video hosting by TinyPic

11 comments:

rabest said...

innalillahi wa inna ilaihi raji'uun..ikut bela sungkawa ya mbak eno..amin, mudah2an doa nya mbak eno didengar, dan mbak eno diberi kesabaran yang cukup..

Suci Mine said...

yang sabar ya mbak...
aku nggak tahu mesti ngomong apaan buat menghibur. kalau aku di posisi mbak enno sekarang, aku jg pasti merasa sangat sepi dan sendiri...

Arman said...

enno... gua ikut berduka cita ya no.... :)

hiks hiks.. moga2 lu bisa tabah dan kuat ya no...

Rona Nauli said...

rasanya, orang yang baik ke kita itu...seringkali pergi terlalu cepat ya :)

sini, No...kupeluk. wiken yang berat untuk kita, eh?

Nurhikmah Nani said...

Sabar ya mba enno..

fika said...

turut berduka cita..be tough ya mba,
*sambilpeluk&ngapusinairmatambaenno*

Triunt said...

Jadi keinget waktu embah saya meninggal dulu
rasanya agak limbung tidak bakal bertemu dengan orang yang berhari-hari berinteraksi.
Sabar ya mbak :)

Gloria Putri said...

mba, aq br beberapa jam menginjak 2012 jg ditinggal uwakku...trus ga lama, seminggu kmudian, uwakku yang lain jg pergi...pdhl beliau sudah kuanggap gantinya papq setelah ga ada.....

sabar ya mba...
aq suka quotenya tuhh..

:)

Hans Febrian said...

turut berduka cita ya enn.
dan jangan ngerasa sendiri di muka bumi dong. ada kita-kita ini :)

Andy said...

sabar ya,you'll never walk alone
karena teman2 blogger selalu ada kok buat kamu saat senang & sedih

Enno said...

@all: makasih ya support-nya... I'm fine now. cuma sedih aja... ga bs ketemu lagi sama mereka kalau pas kangen...

*hugs*

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...