Tuesday, January 31, 2012

Abang #2

Malam itu, kita sedang deadline. Kau mengetik dengan serius di depan komputermu ketika aku menghampirimu dengan berurai air mata.

“Heh? Kau kenapa?” Kau menoleh mendengar sedu sedanku. “Kau sakit gigi lagi? Migren? Sakit perut?” Kau hapal semua penyakit yang sering menyerangku saat deadline tiba. “Kau pulang saja sana. Besok pagi masih sempat dilanjutkan sebelum layout.”

Kubilang padamu sambil menangis, pacarku menelepon. Laki-laki yang dengannya sudah berbulan-bulan aku hilang kontak. Tidak. Bukan kehilangan kontak sebenarnya, melainkan saling menjauh karena sesuatu hal.

“Lalu kenapa menangis? Kau masih suka sama dia?”
“Gue nggak tau.”
“Masih suka nggak?”
“Nggak ngerti. Gue bingung.”

Kau menoleh sebentar padaku, geleng-geleng, lalu kembali mengetik. Dan tangisku semakin keras. Aku menyembunyikan wajahku di punggungmu, menangis di situ sampai kemejamu basah. Kau diam saja, menghentikan pekerjaanmu. Membiarkan aku meminjam punggungmu. Lalu ketika tangisku reda dan punggungmu terbebas dariku, kau menoleh lagi.

“Enno, Enno… untung aja aku punya adik kayak kau cuma satu. Bisa capek badanku mengurusi anak cengeng. Kalau kau masih suka sama dia, kenapa bingung? Kenapa nangis? Ah, dasar perempuan!”

Kau pasang wajah prihatin, tetapi aku tahu kau sedang menahan tawa. Terlihat jelas di matamu yang bersinar-sinar jahil. Maka kulayangkan tinjuku ke lenganmu. “Jangan ketawa! Jangan ketawa!”

“Siapa yang ketawa? Siapa? Aku sedang prihatin kok.” Kau berkelit dari seranganku.

Entah kenapa, Bang. Peristiwa itu yang paling membekas dalam benakku tentang kau sebagai temanku. Aku masih ingat hangatnya punggungmu, sikap pasrahmu yang pengertian sampai aku puas menangis, dan kemejamu yang basah yang tak kau hiraukan. Kau menemaniku sampai tertidur di sofa ruang tamu redaksi, menyelimutiku dengan mukena yang kau ambil dari laci mejaku. Duduk di sofa satunya lagi, membaca koran sampai aku terpejam.

Kau tahu, Bang. Malam itu aku berterima kasih padamu tak terhingga. Malam itu aku tahu rasanya dipedulikan dan disayangi. Pantaslah aku selalu nyaman di dekatmu, spontan menggandengmu, karena naluriku bahwa kau orang baik memang benar.

Suatu hari ketika kita sudah tak lagi sekantor, dan redaksi pindah ke gedung baru, kau datang berkunjung. Sudah berapa lama ketika itu kita tak bertemu? Berbulan-bulan sejak kau kerja di kapal? Kau berdiri di tempat parkir, masih kurus, kribo, tengil dan berpakaian ala 80-an. Aku berlari menghampirimu, langsung melingkarkan lenganku di lenganmu dengan gembira.

“Apa ini? Kau gandeng-gandeng aku saking kangennya ya?”
“Iya, gue kangeeeen!”

Teman-teman yang lain menghampirimu, menyapamu dengan kegembiraan yang sama. Lalu tertawa melihat lenganku melingkar di lenganmu.

“Si Enno udah kayak kucing kalau di deket elu ya? Langsung gelendotan.”
“Emang dia kucing gue!”
“Sial! Elu tuh boneka si Komo gue!"

Aku menulis lagi tentang kau, Bang. Karena masih kangen. Banyak cerita yang ingin kubagi dengan kau, terutama tentang beberapa teman kita yang meninggal mendahului kita. Seorang ibu yang selalu kita panggil ‘Mam’ pergi menghadap Tuhan. Juga seorang teman baik yang coretan pensilnya selalu kita kagumi, yang suka iseng menggambar karikatur semua orang saat kita sedang rapat dan membuat kita terbahak-bahak setelahnya…

Betapa singkatnya hidup itu ternyata. Aku berharap kau baik-baik saja. Menyanyi dan main gitar untuk orang-orang kaya di kapal pesiar. Sementara aku masih menulis. Perkara yang tidak aneh bagimu.

“Eh tau gak,si Enno itu kalau nggak nulis, badannya gatel-gatel. Makanya biarin aja Pemred ngasih dia rubrik paling banyak. Dia suka kok.”
“Heh kata siapa gue suka? Enak aja! Gue capek tau!” Kau kusambit sepatu.

Sungguh, aku berharap kita akan bertemu lagi. Cengiranmu yang lebar, lenganmu yang hangat. Aku kangen.

"Lu angeeeet! Hihihi..."
"Iyalah. Dasar kucing!"

“It's the friends you can call up at 4 a.m. that matter.”
― Marlene Dietrich


pict from here

Image and video hosting by TinyPic

16 comments:

Anonymous said...

manis ya :)

Ariyanti said...

semoga abang-nya cepet merapat lagi ke daratan yaaa :)

Arman said...

no, mungkin gak, kalo ternyata sebenernya jodoh lu adalah orang2 yang ada di sekitar lu dulu? orang2 yang sebenernya lu kira adalah sahabat2 terbaik lu? :D

Unknown said...

berkunjung.....

Wuri SweetY said...

Pantesan tisu dirumah boros bener, cengengnya minta ampun sich...

Untung yg basah cm punggung coba kl tuch kantor mendadak banjir. *lebay*

Enno said...

@futuredoctor: aku yg manis, dia mah enggak hihihi :P

@ariyanti: hehe masih lama... tp sapa tau ya :)

@arman: semuanya mungkin, man. kan jodoh mah yg ngatur yg di Atas. sama mgknnya dgn misalnya aja Dude Herlino, gitu... *gw msh suka aja lho sama dia* wkwkwk

@urang Kampoeng: hatur nuhun... :)

@wuri: aku gak ngelap pake tisu, tapi pake anduk wkwkwk...

Dannesya said...

abang...
abang tukang bakso... mari mari sini... aku mau beli...
*pagi2udagila* <<< maafkan

ila said...

sweet banget, mba enno.. :)
Dan agak'a jarang ada 'abang' kaya 'abangmu' ini..

fika said...

ah mba enno semoga mba enno selalu dikelilingi orang2 yg baik seperti *abangnya* itu

Anonymous said...

mbak...aku penasaran,si abang dulu kerjanya di kantor majalah trus kok skrn bs berlayar....???
-ika_

Gloria Putri said...

baca bagian percakapan si abang ini bikin aq ngebayangin preman pasar tukang palak yg badannya gede setengah mati..tp untung km deskripsiin bentuknya sebelum aq benar2 mengira dia org batak berbadan besar

Gloria Putri said...

baca bagian percakapan si abang ini bikin aq ngebayangin preman pasar tukang palak yg badannya gede setengah mati..tp untung km deskripsiin bentuknya sebelum aq benar2 mengira dia org batak berbadan besar

Honey said...

enak ya punya abang -___-

Enno said...

@annesya: belajar sana! *timpuk pake sandal*

@ila: masa sih? org sebaik ini byk kok, tergantung keberuntungan kita menemukannya :)

@fika: aamiin...smua temenku memang sebaik ini.. kamu juga kan? :)

@ika: bokapnya wartawan, trus dia dipaksa jd wartawan pdhl pgn jd pemusik hehe... kaburlah dia main band di kapal :P

@glo: emang tinggi sih, tapi kurus hehe... di ktrku dulu yg 50 persen org bataknya, percakapan kami kebawa logat medan semua :)

@honey: abangku banyak pula ;)

L. Nadira Rambe said...

:) sampai senyum-senyum saya baca postingannya :) maniis bangeet :)

salam kenal ya mbak :)

Enno said...

makasih deedee salam kenal :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...