Tuesday, November 9, 2010

Ibu Pergi...

Saya masih ingat senyum Ibu di balik kaca jendela kamar tidur saya yang lebar setiap Senin dan Kamis pagi. Ibu mengetuk-ngetuk kaca sambil pamitan, "Ret, Ibu pergi dulu ya!" Biasanya saya cuma mengangguk malas karena masih mengantuk. Ibu selalu berangkat jam setengah enam pagi ke pesantren tempatnya mengaji. Berjalan kaki ke sana bersama temannya, Wak Hana.

Saya masih ingat senyumnya ketika pulang jam 10 pagi. Ia akan berseru sejak dari halaman. "Retnooo! Assalamu'alaikum!" Sejak jam 9 saya sudah menatap jam terus menghitung waktu. Sejak kecil saya tak suka ditinggal pergi Ibu. Rumah jadi sepi tanpa suaranya yang lantang dan ceria.

Ibu akan menjinjing sayuran dan bahan masakan untuk hari itu dan kami akan mulai memasak bersama. Ibu bercerita tentang Wak Hana yang makan melulu di pengajian sambil tertawa-tawa.

Saya masih ingat malam-malam ketika Ibu membuka pintu kamar saya. Wajahnya muncul di sela pintu, tersenyum kocak dan bertanya, "Ibu tidur sama kamu ya?"
"Enggaaaak!" Sahut saya. Ibu terkekeh dan menutup pintu lagi.

Saya masih ingat beberapa jam terakhir sebelum serangan stroke-nya. Saya menyenggolnya terlalu keras di ambang pintu ruang tamu sehabis menyuguhkan minum untuk sepupu-sepupunya. Ibu menoleh, melihat saya nyengir, dan tak jadi menggerutu.

Hari Lebaran pertama, Ibu memeluk saya erat saat saya sungkem padanya. Masih sempat-sempatnya ia cerewet menegur saya. "Bersimpuh, jangan nungging kalau salaman," katanya. Lalu ia menciumi saya sambil terisak. "Maafkan Ibu lahir batin ya... Ibu juga sudah maafkan kamu. Ibu selalu doakan kamu."

Sore yang kelabu itu, Ibu pergi begitu saja tanpa pamit. Padahal saya ada di depannya, menggenggam tangannya, mengusapi keringat di wajahnya. Ia menatap saya sambil tersengal-sengal, yang kami kira hanya sesak napas biasa.

"Ibu ingin melihat Retno..." katanya. Lalu Om Boy, adiknya, menggeser bantalnya agar wajahnya berpaling ke arah saya.
Saya memintanya bernapas pelan-pelan dan tidak panik. Membimbingnya membaca istigfar.
"Ibu capek," katanya di sela-sela istigfar.,
"Bernapas pelan-pelan, Bu..." ujar saya. "Kalau Ibu panik, napasnya tambah sesak."
Tapi napas Ibu malah semakin pendek-pendek. Sehabis mengucapkan takbir dan syahadat, Ibu terdiam, dan saya cuma bisa terpaku.

Usi sudah berlari keluar kamar sejak tadi. Terdengar raungannya di balik dinding.
"Diam!" Teriak saya marah. "Ada apa sih nangis segala! Ibu pingsan! Panggilkan dokter sana!"

Tapi semua orang sibuk menangis.
Semua tante saya, pembantu Ibu, dan Usi.

"Ibu sudah pergi ke surga, Retno," bisik Om Boy.
"Ibu masih ada!" Teriak saya. "Masih ada denyut nadinya. Masih, Om! Ini! Ini dengar! Ibu pingsan." Saya menggoyang-goyang tubuh Ibu. "Bu, Ibu dengar Retno, kan? Ibu bangun, Bu. Bangun..."
Tapi Ibu bergeming dan Om Boy mulai melipat tangan Ibu di dadanya.

Saya memeluk Ibu.
"Bu, bangun Bu. Katanya Ibu nggak akan kemana-mana. Ibu jangan gitu dong, Bu. Ibu sudah janji sama Retno..."
Ibu bergeming.
"Bu, Ibu... Kalau masih bisa bangun, bangun ya Bu. Tolong Bu, Ibu bilang ingin sembuh. Bu...."
Lalu adik saya datang dan langsung meraung melihat Ibu.
"Jangan meratap!" Tegur saya marah. "Ibu cuma pingsan."
Lalu dokter akhirnya datang dan memastikan Ibu memang meninggal.

Saat itu tak ada setetes pun air mata di wajah saya. Bahkan ketika saya ikut mengantar jenasah Ibu dengan ambulans yang membawanya dari rumah Usi ke rumah Ibu dan Ayah. Saya masih bisa menasehati Usi dan menyuruhnya berhenti menangis.

Ternyata kehampaan itu baru terasa ketika tiba di rumah, tempat biasa saya melihat Ibu duduk di teras bersama Ayah setiap sore, cerewet mengomeli kami, dan berseru-seru memanggil anak tetangga sebelah.

Entah siapa yang membantu saya turun dari ambulans itu dan membaringkan saya di kamar. Entah siapa yang menghapus air mata saya dan membisikkan kata-kata yang menguatkan ketika saya menangis memanggil-manggil Ibu.
Entah siapa yang memapah saya dalam iringan pengantar keranda Ibu ke kompleks pemakaman keluarga tempat Ibu beristirahat selamanya.
Saya terlalu tenggelam dalam duka.

Gerimis turun perlahan saat kami memakamkan Ibu. Usi pingsan, Ayah terlalu sedih dan seorang kerabat mengantarnya meninggalkan upacara pemakaman, adik saya bersimpuh tersedu-sedu. Saya berdiri di sana, di pinggir liang lahat, menguatkan diri mengantar Ibu sampai tak lagi terlihat di balik gundukan tanah merah.

Maafkan Retno, Bu. Retno tidak bisa menemani Ibu di sana. Padahal Ibu tak pernah bisa tidur sendirian. Ibu biasanya harus selalu ditemani.

Saya masih ingat senyum Ibu di balik kaca jendela setiap hendak berangkat mengaji. "Retno, Ibu pergi dulu, ya..."
Tapi kali ini Ibu pergi dan tak akan pernah kembali.

Blessed is He in Whose Hand is the dominion, and He is Able to do all things.
Who has created death and life, that He may test you which of you is best in deed. And He is the All-Mighty, the Oft-Forgiving;
Who has created the seven heavens one above another, you can see no fault in the creations of the Most Beneficent. Then look again: "Can you see any rifts?"


-Holly Quran, Al Mulk, verse 1-3-
_________________

Tanggal 10 November tepat 7 hari meninggalnya Ibu.
Buat teman-teman semua, terima kasih atas doa dan dukungannya baik melalui e-mail, sms, telpon, YM, maupun blog ini, sejak Ibu sakit sampai Ibu wafat, juga doa dan dukungan agar saya kuat dan tabah karena kepergian Ibu yang tak terduga.

Terima kasih membuat saya merasa tidak sendirian. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian semua. Amin.



gambar dari sini



Image and video hosting by TinyPic

14 comments:

Fhareezha said...

Inalillahi wainailaihi rojiun, yang sabar ya Enno yang tabah. Semoga ibu diterima disisiNya diampuni segala dosa-dosa, diterima segala amal kebaikannya. Dan ditempatkan bersama orang-orang beriman disurga. Aku ngerti perasaan kamu kok enno, aku juga sudah ditinggal ibu.

De said...

Yang kuat ya, mbak.
Akan ada bidadari yang akan menemani tidurnya disana. Insyaallah...

-Gek- said...

Yang tabah dan sabar Mbak.
Ikut berbela sungkawa, sedalam-dalamnya..

-'moRis- said...

Turut Berduka 'y Mba..
Ibu sudah bahagia di Surga

LadyDay's Life said...

Yang tabah ya mbak retno...Ibu pasti bahagia disana...

Life In Mono said...

innalillahi wa inna ilaihi roji'un...my deepest condolences and compassion to you and your family , enno...may her soul rest in peace

chiekebvo said...

mba enno yang tabah ya..
mudah2an Ibu tenang dsana..
*pukpuk*

Anonymous said...

Inalillahi wainailaihi rojiun...
yang kuat ya kak enno...
ini yang terbaik dari Allah, semoga ibu kakak diampuni segala dosanya dan diberi tempat yang paling mulia disisi-Nya... Amin

Fei said...

yang tabah yah, semoga ibu mendapatkan tempat yang layak disisi tuhan, amin

mampir2 ketempatku yah, ada hadiah akhir tahun disana.

Ila Schaffer said...

enno yang sabar yaaa.. semoga ibu diampuni segala dosanya dan diberi tempat yang paling mulia disisi Nya! Amin!!

Anonymous said...

innalilahi wa innalilahi rojiun..

maaf mba enno, baru sempet mampir blog sekarang.

turut berduka cita ya mba, semogaamal ibadah beliau diterima Allah swt.

semoga mba enno dan keluarga diberikan kekuatan dan ketabahan luar biasa untuk menghadapi ini semua.
amin.

himynameismerry said...

Ka enooooo... aku nangis bacanya.. :'( :'(

ka eno yang sabar dan kuat yaaa..

ijal said...

baru sempet mampir mb..

turut berduka cita ya mb enno.. semoga amal ibadah almarhum diterima di sisi-Nya.. Amien..

Gloria Putri said...

eh mba, aq baca kisah2 ibu uda lama banget, bulan maret gitu kayaknya waktu pertama kenal km, skrng aq baca ulang lagi, koq ceritaku dan ceritamu mirip ya mba?
ibu ngga ada setelah ngucapin takbir dan syahadat, papaku juga ga ada persis saat Pendeta selesai berdoa dan bilang AMIN..saat itu juga papa sesak gak karu2an, sampe kita elus2 dadanya supaya enak...

mereka meninggalnyabagus ya mba :) seharusnya kita bersyukur, PASTI mereka sudah sama Tuhan sekarang....belum tentu kan kita besok meninggalnya seperti itu, sempet doa dan takbir?

:')

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...