"Siapa perempuan itu, Wak?" Sela saya, masih dengan nada biasa. "Siapa yang kata Uwak ingin menjadi isteri Ayah yang berikutnya?"
Wak Hana agak sedikit gugup. Pasti ia tahu saya menahan marah.
"Memangnya ada perempuan di kampung ini yang selevel dengan Ayah, Wak? Yang berpendidikan? Yang cantik dan baik seperti ibu saya? Adakah Wak?" Nada suara saya mulai meninggi. "Atau jangan-jangan yang Uwak sodorkan itu cuma janda kampung yang mengincar pensiun Ayah? Yang sehari-hari kerja di sawah orang lain dan tergiur tinggal di rumah besar yang nyaman ini?
Usi menyenggol saya.
"Jangan senggol-senggol aku, Kak." Sergah saya. Kali ini nadanya sudah tinggi. "Uwak tahu tidak, ibu saya yang katanya teman Uwak itu, baru saja meninggal dua minggu yang lalu. Uwak sama sekali nggak punya kesetiaan pada teman ya. Menawar-nawarkan ayah saya pada orang di kampung Uwak. Memangnya Uwak yakin ayah saya mau menikah lagi? Saya, anaknya, yang lebih tahu Wak!"
Usi mencubit saya.
"Ini sudah nggak lucu lagi, Kak," sergah saya. "Perempuan tolol mana yang sok pede menawarkan diri pada Ayah? Sok pede bakal diterima di rumah ini. Sok pede bahwa aku akan bersikap baik padanya. Memangnya Kakak mau punya ibu tiri? Orang lain di rumah ini, yang sok tahu mengurus semuanya, dan sebenarnya cuma mau menumpang hidup enak sama kita?"
Kali ini giliran adik saya mengedip-ngedip dari jauh.
"Kamu juga!" Seru saya. "Mau punya ibu tiri, yang belum tentu becus mengurus Ayah? Kenapa aku dilarang marah. Boleh kan aku menegur Wak Hana ini supaya tidak sok tahu. Wak, saya tersinggung. Dan saya merasa sedih karena ternyata Wak Hana nggak setia kawan sama Ibu."
"Maafkan Uwak, Neng. Tadinya Uwak cuma mau membantu."
"Bukan begitu caranya membantu, Wak. Kalau begini caranya Uwak justru merobek luka yang sudah berdarah. Kami masih berdukacita, Wak. Ayah saja masih meneteskan airmata kalau ingat mendiang Ibu. Uwak malah menawar-nawarkan perempuan. Mungkin kalau lelaki di kampung ini begitu isterinya meninggal langsung mencari isteri baru. Tapi kalau Ayah tidak, Wak. Ayah sudah bilang pada kami, nggak ada perempuan lain baginya selain Ibu. Lagian Ayah punya kami untuk menemani hari-harinya. Ada saya dan Kak Usi yang mengurusnya. Kami nggak butuh orang lain!"
Wak Hana yang menyebalkan itu menunduk.
"Bilang sama perempuan yang kepedean itu. Saya tahu dia mengincar uang pensiun Ayah dan kehidupan nyaman di rumah ini. Bilang sama dia, kalau dia mau pensiun Ayah, dia juga harus mau saya gebukin mukanya sampai bonyok. Bilang kata anak Ayah yang nomor dua, gitu! Biar dia tahu harus berhadapan dengan siapa kalau mau masuk ke rumah ini!"
Saya berbalik masuk ke dalam. Air mata saya menetes deras. Tubuh saya gemetaran, hati saya sakit tak terkira.
Bu, maaf ya. Retno tidak bisa menahan marah pada teman Ibu yang tidak tahu diri itu. Tapi wajar kan Retno marah? Karena tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan Ibu. Selamanya tidak akan ada.
Awas saja Wak Hana itu!
foto dari sini
8 comments:
sabar sabaaaaaar
yang sabar ya mbak... *hugs
giloooo..
si wak itu menyebalkan skali mba...
apa dy salah masuk rumah tuh???
*mulai nyinyir*
sabar ya mba...
hiks..menyebalkan sekali dia...
sabar ya mbak...
*hug*
sabar mbak...
tapi kalo emang empet banget, banting aja pintu depan si wak hana tuh...pasti lega hihi *sekali-sekali kan gapapa yah*
kenapa si uwak itu ga punya otak ya,, bahkan tanah di makam ibu pun rasanya masih basah,, dia berani ambil tindakan spt itu,,
*ikutan emosi*
sabar ya mba,,
tau rasanya mbak,
di malam ibu saya meninggal keponakan jauh bapak juga bilang hal yang sama ...
:(
yang kuat ya mbak ...
*kirim samurai buat mbak enno*
@azhar & chici: *ngurut dada* :)
@chie: emang bikin nyinyir ya, dan bikin pengen mentung :)
@desfirawita: nyaris sampe limit :)
@tha: ide bagus tuh tha, boleh dicoba hehe
@shinta: jgn emosi, tar darah tinggi lho shin :P
@anonim: wah lebih parah ya.. ckck... thx ya samurainya! ;)
Post a Comment