Tak ada yang mengangkat tangan. Wajah-wajah mungil berseragam Pramuka kumal itu menatapku. Beberapa orang diantaranya menggelengkan kepala.
"Tidak ada?"
"Tidak Mbaaak."
"Siapa yang tahu gunanya menabung?"
Seorang gadis kecil mengangkat tangannya. "Untuk mengumpulkan uang!"
"Betul, Dewi. Dan untuk apa uangnya? Ada yang tahu?"
"Beli buku."
"Jajan."
"Jalan-jalan."
"Beli sepeda."
"Bayar uang sekolah."
"Beli tas."
Mereka menjawab bersahut-sahutan.
"Banyak ya gunanya menabung. Kalian mau menabung?"
"Mauuuu!!!"
"Sudah punya celengan?"
"Belum Mbaaaak!"
"Kalau begitu minggu depan kita belajar membuat celengan ya?"
"Iya Mbaaak!" Mereka tertawa-tawa senang.
Seorang gadis kecil tampak tercenung sejak tadi.
"Sri, mau ikut membuat celengan kan?"
Ia mengangguk pelan.
........
Sekolah itu berada di tengah sawah yang menguning. Kau harus melewati pematang sempit dan licin jika menuju ke sana. Seminggu lagi, ketika berangkat ke sekolah, kau akan berjalan di antara orang-orang yang sedang memanen padi. Wangi batang padi yang baru ditebas menguar dan serat gabah beterbangan di udara. Beberapa orang yang kau kenal akan menyapamu. Menyuruhmu rajin belajar dan jangan nakal.
Universitas menempatkan kami di desa itu. Lokasinya amat terpencil. Tersembunyi diantara karang-karang di sebuah pantai yang melandai, menghadap langsung ke Samudera Hindia yang berombak ganas.
Tak ada listrik dan sarana apapun yang menghubungkan kami dengan dunia luar. Kecuali sesekali sepeda motor dan truk pengangkut semangka. Sebagian penduduknya memang berkebun semangka, selain menanam padi dan menyadap nira untuk dibuat gula merah.
Sebagian besar penduduknya belum memiliki akta kelahiran. Fakta itu akan kau temukan jika kau mau sedikit bersusah payah membuat sensus kecil. Kau juga akan menemukan hari yang unik, ketika penduduk berbondong-bondong datang ke pasar yang buka hanya seminggu sekali.
Kami hanya berempat. Aku, Indah, Bayu dan Wiji. Kelompok kami menyusun program kerja sesuai dengan fakultas masing-masing. Indah dari Peternakan, Bayu dari Administrasi Negara dan Wiji dari Ekonomi.
Aku dan Indah menyempatkan diri bermain dengan anak-anak SD di desa itu. Mereka manis-manis dan menyenangkan.
...........
Aku tidak melihat Sri diantara anak-anak yang lain, yang sibuk menghias bambu buat celengannya dengan kertas berwarna atau cat yang kusediakan.
"Ada yang lihat Sri tidak?"
"Sri di rumah, Mbak. Ibunya meninggal."
"Kapan meninggalnya?"
"Tadi pagi."
........
Rumah kecil Sri yang sederhana itu berada di sebuah tanjung yang menjorok ke laut. Dusun yang paling terpencil di desa itu. Kami baru satu kali ke sana, dan berencana untuk lebih intens setelah program kami di dua dusun lainnya selesai. Bagaimana lagi, kami cuma berempat dan desa itu lumayan luasnya. Ada tiga dusun yang letaknya berpencar. Dua dusun menjorok lebih ke pedalaman dan dihuni para petani, satu dusun lagi dekat laut dihuni para nelayan.
"Mbak! Mas!" Sri berlari menyongsong kami di halaman rumahnya. Matanya basah habis menangis. Pasti berat buat anak seumurnya harus kehilangan ibu.
"Isteri saya kena muntaber," kata ayah Sri pada kami. "Pak Mantri menyuruh kami membawanya ke rumah sakit di kota. Tapi kami terlambat Mas, Mbak...."
Ibu Sri bukan penderita muntaber yang pertama di desa itu.
Aku menggamit Indah.
"Nyuwun sewu, kami boleh ikut ke belakang, Pak?"
"Silakan Mbak, silakan." Ia memberi isyarat pada Sri untuk mengantar kami.
Kau akan menemukan fenomena yang mengenaskan di desa itu. Sesuatu yang bagimu menjijikkan, tapi sudah biasa bagi penduduk di sana.
Sebuah lubang persegi dengan kedalaman kurang dari satu meter di kebun belakang. Sebatang bambu yang dipasang melintang, untuk tempatmu berpijak sambil berjongkok membuang hajat. Sebuah ember dan sebuah gayung untuk membersihkan diri sekedarnya. Bilik bambu berlubang-lubang besar yang dipasang sekelilingnya agar sedikit terlindung dari tatapan orang lewat.
Kau bisa bayangkan itu? Bahkan seekor kucingpun mengubur kotorannya dalam-dalam di balik pasir.
........
Kami membuat program bersama. Seluruh kelompok yang ada dalam satu wilayah kecamatan. Kami mengumpulkan dana dari berbagai instansi untuk membuat MCK umum di desa-desa binaan kami. Agar tak ada lagi yang bernasib seperti Sri. Agar lubang-lubang kotoran di kebun belakang mereka ditutup untuk selama-lamanya.
......
Anak-anak itu mengerumuni aku setelah turun dari panggung tujuhbelasan, setelah sukses mementaskan drama perjuangan yang kami latih berhari-hari.
"Aduuuh kalian hebat sekali!" Aku dan Indah memeluk mereka. "Nggak ada satupun yang lupa dialognya."
Mereka balas memeluk kami.
"Ayo, ayo! Kita makan es krim. Mbak Retno dan Mbak Indah yang traktir!"
"Horeeee!!!" Mereka berteriak gembira.
Sri menghampiriku. Di bibirnya ada masih tersisa secuil es krim.
"Mbak, ajari Sri menari."
"Menari? Mbak nggak bisa, Sri."
"Mbak, menari itu ada sekolahnya?"
"Ada. Di Jogja. Kamu mau sekolah menari?"
Ia mengangguk.
"Kenapa kepingin menari?"
"Ibu Sri bisa menari. Tapi belum sempat mengajari Sri, Ibu sudah keburu meninggal."
Aku berlutut, menatap matanya yang sedih.
"Mbak doakan supaya Sri bisa sekolah menari."
Ia memelukku. Ada aroma garam laut di rambutnya.
____________
Catatan.
Menurut data Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal per 2008, dari total 72 ribu desa di Indonesia, hanya 38 ribu atau sebesar 54,14 persen yang merupakan desa maju. Sisanya, 32.379 ribu masuk desa tertinggal. Sementara 2.745 desa diantaranya masuk desa sangat tertinggal.
Sejumlah 9.425 desa belum bisa dilalui kendaraan roda empat. Sejumlah 6.204 desa belum ada fasilitas listrik. Sejumlah 29.421 desa belum mempunyai pasar tetap. Sedangkan sejumlah 20.435 lainnya belum mempunyai sarana dan prasarana yang lengkap.
"Tidak ada?"
"Tidak Mbaaak."
"Siapa yang tahu gunanya menabung?"
Seorang gadis kecil mengangkat tangannya. "Untuk mengumpulkan uang!"
"Betul, Dewi. Dan untuk apa uangnya? Ada yang tahu?"
"Beli buku."
"Jajan."
"Jalan-jalan."
"Beli sepeda."
"Bayar uang sekolah."
"Beli tas."
Mereka menjawab bersahut-sahutan.
"Banyak ya gunanya menabung. Kalian mau menabung?"
"Mauuuu!!!"
"Sudah punya celengan?"
"Belum Mbaaaak!"
"Kalau begitu minggu depan kita belajar membuat celengan ya?"
"Iya Mbaaak!" Mereka tertawa-tawa senang.
Seorang gadis kecil tampak tercenung sejak tadi.
"Sri, mau ikut membuat celengan kan?"
Ia mengangguk pelan.
........
Sekolah itu berada di tengah sawah yang menguning. Kau harus melewati pematang sempit dan licin jika menuju ke sana. Seminggu lagi, ketika berangkat ke sekolah, kau akan berjalan di antara orang-orang yang sedang memanen padi. Wangi batang padi yang baru ditebas menguar dan serat gabah beterbangan di udara. Beberapa orang yang kau kenal akan menyapamu. Menyuruhmu rajin belajar dan jangan nakal.
Universitas menempatkan kami di desa itu. Lokasinya amat terpencil. Tersembunyi diantara karang-karang di sebuah pantai yang melandai, menghadap langsung ke Samudera Hindia yang berombak ganas.
Tak ada listrik dan sarana apapun yang menghubungkan kami dengan dunia luar. Kecuali sesekali sepeda motor dan truk pengangkut semangka. Sebagian penduduknya memang berkebun semangka, selain menanam padi dan menyadap nira untuk dibuat gula merah.
Sebagian besar penduduknya belum memiliki akta kelahiran. Fakta itu akan kau temukan jika kau mau sedikit bersusah payah membuat sensus kecil. Kau juga akan menemukan hari yang unik, ketika penduduk berbondong-bondong datang ke pasar yang buka hanya seminggu sekali.
Kami hanya berempat. Aku, Indah, Bayu dan Wiji. Kelompok kami menyusun program kerja sesuai dengan fakultas masing-masing. Indah dari Peternakan, Bayu dari Administrasi Negara dan Wiji dari Ekonomi.
Aku dan Indah menyempatkan diri bermain dengan anak-anak SD di desa itu. Mereka manis-manis dan menyenangkan.
...........
Aku tidak melihat Sri diantara anak-anak yang lain, yang sibuk menghias bambu buat celengannya dengan kertas berwarna atau cat yang kusediakan.
"Ada yang lihat Sri tidak?"
"Sri di rumah, Mbak. Ibunya meninggal."
"Kapan meninggalnya?"
"Tadi pagi."
........
Rumah kecil Sri yang sederhana itu berada di sebuah tanjung yang menjorok ke laut. Dusun yang paling terpencil di desa itu. Kami baru satu kali ke sana, dan berencana untuk lebih intens setelah program kami di dua dusun lainnya selesai. Bagaimana lagi, kami cuma berempat dan desa itu lumayan luasnya. Ada tiga dusun yang letaknya berpencar. Dua dusun menjorok lebih ke pedalaman dan dihuni para petani, satu dusun lagi dekat laut dihuni para nelayan.
"Mbak! Mas!" Sri berlari menyongsong kami di halaman rumahnya. Matanya basah habis menangis. Pasti berat buat anak seumurnya harus kehilangan ibu.
"Isteri saya kena muntaber," kata ayah Sri pada kami. "Pak Mantri menyuruh kami membawanya ke rumah sakit di kota. Tapi kami terlambat Mas, Mbak...."
Ibu Sri bukan penderita muntaber yang pertama di desa itu.
Aku menggamit Indah.
"Nyuwun sewu, kami boleh ikut ke belakang, Pak?"
"Silakan Mbak, silakan." Ia memberi isyarat pada Sri untuk mengantar kami.
Kau akan menemukan fenomena yang mengenaskan di desa itu. Sesuatu yang bagimu menjijikkan, tapi sudah biasa bagi penduduk di sana.
Sebuah lubang persegi dengan kedalaman kurang dari satu meter di kebun belakang. Sebatang bambu yang dipasang melintang, untuk tempatmu berpijak sambil berjongkok membuang hajat. Sebuah ember dan sebuah gayung untuk membersihkan diri sekedarnya. Bilik bambu berlubang-lubang besar yang dipasang sekelilingnya agar sedikit terlindung dari tatapan orang lewat.
Kau bisa bayangkan itu? Bahkan seekor kucingpun mengubur kotorannya dalam-dalam di balik pasir.
........
Kami membuat program bersama. Seluruh kelompok yang ada dalam satu wilayah kecamatan. Kami mengumpulkan dana dari berbagai instansi untuk membuat MCK umum di desa-desa binaan kami. Agar tak ada lagi yang bernasib seperti Sri. Agar lubang-lubang kotoran di kebun belakang mereka ditutup untuk selama-lamanya.
......
Anak-anak itu mengerumuni aku setelah turun dari panggung tujuhbelasan, setelah sukses mementaskan drama perjuangan yang kami latih berhari-hari.
"Aduuuh kalian hebat sekali!" Aku dan Indah memeluk mereka. "Nggak ada satupun yang lupa dialognya."
Mereka balas memeluk kami.
"Ayo, ayo! Kita makan es krim. Mbak Retno dan Mbak Indah yang traktir!"
"Horeeee!!!" Mereka berteriak gembira.
Sri menghampiriku. Di bibirnya ada masih tersisa secuil es krim.
"Mbak, ajari Sri menari."
"Menari? Mbak nggak bisa, Sri."
"Mbak, menari itu ada sekolahnya?"
"Ada. Di Jogja. Kamu mau sekolah menari?"
Ia mengangguk.
"Kenapa kepingin menari?"
"Ibu Sri bisa menari. Tapi belum sempat mengajari Sri, Ibu sudah keburu meninggal."
Aku berlutut, menatap matanya yang sedih.
"Mbak doakan supaya Sri bisa sekolah menari."
Ia memelukku. Ada aroma garam laut di rambutnya.
____________
Catatan.
Menurut data Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal per 2008, dari total 72 ribu desa di Indonesia, hanya 38 ribu atau sebesar 54,14 persen yang merupakan desa maju. Sisanya, 32.379 ribu masuk desa tertinggal. Sementara 2.745 desa diantaranya masuk desa sangat tertinggal.
Sejumlah 9.425 desa belum bisa dilalui kendaraan roda empat. Sejumlah 6.204 desa belum ada fasilitas listrik. Sejumlah 29.421 desa belum mempunyai pasar tetap. Sedangkan sejumlah 20.435 lainnya belum mempunyai sarana dan prasarana yang lengkap.
26 comments:
love your post ...
*kau keren bah!!
keren....memang di tangan mba enno cerita apa aja, jatohnya enak dibaca. Salut!!!
awwww
semoga one day kita bisa kesana rame2 yah mba *amin*
trus sri bisa sekolah nari *amin lagi*
@denny: akhirnya dari lubuk hati yg paling dalam kau bilang jg kalo kakakmu ini keren ya... :P
@apis: ehehe udah ah, tar aku melayang kejedot langit2 :P
@gogo: ini kejadiannya udah lama... waktu aku kuliah kerja nyata/KKN, go :)
aih... tulisanmu benar2 bercerita mbak..
2 jempol, eh bkn, 4 jempol kalo bisa tak kasih buat postingan ini :)
@lilli-ucok: tapi udah cuci kaki kan? kan td katanya males mandi tuh! :D
mba ennooo.. tulisannya selalu kereeen..
btw, fakta ttg desa2 yg masih tertinggal itu tnyata mengerikan yah mba..
sama2 di indonesia, tp kita dsini udah bsa menikmati teknologi, mrk yg tinggal didesa tertinggal belon mengenal apa2.. *sigh*
@phanie: iya... kita beruntung ya.
faktanya msh banyaaaak banget desa yang bener2 tertinggal.... :)
keren buangeettt kak..
ceritamu mengalir enak untuk saya baca..
dan saya dibuat miris oleh keadaan ituh bhw desa tertinggal msh sangat buanyak dinegeri inih..
pdhl kt Pak Presiden Negara kita diprediksi *oh iya baru sekedar pediksi yah??* berkembang dan menempati peringkat 3 sedunia..
*mudah2an saya ndak salah tangkep ceramah Pak Presiden smlm
tp koq msh byk banget yg tertinggal.. listrik ajah blom merata..
mengenaskan!!!
yup, setuju ma apis.. tangan mbak enno mang kereenn, eh di tangan mbak enno semua cerita pasti jadi keren ding.. hehe..
sedih ma takdir yg hrs dijalani si sri, sekarang gimana ya mbak kabarnya?
setuju ama yang lain.. gile keren banget!!!!
trus akhirnya berhasil mendirikan MCK kan no di desa2 itu?
yah moga2 nanti sri bisa sekolah menari ya...
..hikz..kok aku malah sedih degn apa yg terjadi pd sri, yah..hikz..
ini kkn di gunung kidul ya, No?..
Aku jadi pengen nulis tentang KKN-ku dulu hehehe
Eh, itu di daerah mana? Masih di Purwokerto-kah?
gw ga pernah KKN
waaaa..
saya gak punya celengan,en..
cuma punya rekening bca.. hehe
sekali lagi post yang sangat bagus dan menyentuh .. I really love it
Ingatan lu tajam ya No...
btw update lah, sis Sri itu gimana skr?
ceritanya keren mbak. sedikit sedih ya. tapi dalam hati henny berharap semoga anak-anak yang keadaannya seperti sri bisa bersemangat meraih mimpi mereka
i love yuuu mbak enno...hhueebbaatt tennaann!!
aku sampe mikir kaya apa sih baunya padi bis ditebas...
ajenk like this...!!
hayhay....mantaaaaab.... ^^
iya ya kalo udah kkn pasti miris liatnya...pewwh....
mantab!!dan benar2 menyentuh mbak!!
kagum saya!!
dan mata q terasa panas untuk sri..terutama di paragraf terakhir2 itu..
Ah, Sri Sayang....
Betapa kehidupan memang sinonim ketakberdayaan....
makin depresi baca ini...
menyadari ngga bisa berbuat apa-apa..
Ini KKN ya mb? duuuuhhh jd ingat jaman KKN dulu yg kondisinya kurang lbh sama.. Kita jd tau sisi lain dr khdpan sehari-hari kita ya No..
really great post
@lisa: prediksi aja sih gak laku :P
@pohonku: makasih... aku gak tau lagi kbr sri... semoga aja cita2nya tercapai
@arman: alhamdulillah kita bikin banyak, man. mudah2an dirawat dgn baik dan bs bermanfaat sampe hari ini...
@tisti: ini KKN di cilacap mbak :)
@sari: di tanah airmu, sar... di cilacap he :P
@azhar: iya, gue tau... takut ditangkep KPK ya :D
@boodee: boleh dong transfer lima juta ke sini hihihi :P
@mare: makasih :)
@eka: pengalaman paling berkesan soalnya ka... sri entah gimana nasibnya...semoga mendpt yg terbaik, amin.
@henny: amin...
@brencia: emang blm pernah main ke sawah ya? :)
@ajenk: sudah KKN belum? :)
@adhi: makasih dhi... :)
@bahauddin: ada benarnya, meski tidak selalu begitu :)
@alil: waduh jgn smp depresi... :P
@meidy: betul banget... tapi asik kan :)
@elsa: thx elsa :)
Post a Comment