Monday, February 9, 2009

Dan Ia Pun Tertawa

: my spring

Dan akhirnya saya berhasil membuatnya mengangkat telepon. Gila betul! Tiga hari, dia mengabaikan semua pesan pendek dan telepon saya. Berani-beraninya! Bukankah saya ini kakaknya? Kakak perempuan pula, yang seharusnya dihormati dan diperlakukan lemah lembut agar tak sakit hati.

Bayangkan. Ulahnya yang menarik diri dari dunia luar itu membuat saya ikut sakit kepala, tidak enak makan, tidak enak tidur.

Dan saya tak bisa menghubungi kamu, meminta kamu ikut membujuknya agar keluar dari tempurungnya

Akhirnya si kura-kura yang patah hati mau mengangkat telepon saya kemarin sore. Itu pun sesungguhnya ia ingkar janji. Berjanji akan menelepon saya sepulangnya dari gereja. Berangkat misa jam sembilan pagi, jam empat sore baru saya bisa menghubunginya.

Tidak. Saya tidak langsung menyemprotnya. Belum. Belum saatnya saya marah-marah. Suaranya terdengar lemah waktu mengucap 'halo.'

Sungguh, saya berharap kamu ada di sana dan memberinya nasehat sepuluh menit tentang dampak buruk membuat kesal seorang kakak.

"Jadi bagaimana masalahmu?" Tanya saya.
"Ya gitulah." Jawaban asal-asalan yang sungguh khas dia. Membuat saya ingin beranjak, memesan tiket pesawat ke kotanya agar bisa menjewer kupingnya sampai ia bilang ampun.
"Cerita dong..."
"Lady first," sahutnya menyebalkan.

Barangkali sudah takdir seorang kakak untuk mengalah pada adiknya. Jadi berceritalah saya tentang kabar terbaru saya, karena ia begitu lama menghilang dari jangkauan saya.

"Kalau ada apa-apa cerita dong. Bukannya diam saja."
Ia terkekeh.
"Bikin orang nggak bisa makan, nggak bisa tidur. Memikirkan kamu memandangi truk-truk yang lewat di depan jalan itu sambil berpikiran aneh-aneh."
Nah, dia tergelak.
"Aku belum makan siang, asal tahu saja."
Sekarang ia terlonjak. "Eh! Makan! Makan dulu, Mbak! Cepat! Kok begitu? Nanti dimarahin pacarmu!" Serunya panik.
"Hah, biar kamu saja yang disalahkan."
"Alamak. Sudahlah, makan sana Mbak. Nanti sakit..."
"Iya, nanti aku makan setelah kita selesai bertelepon."

Lalu, seperti saya duga, ia mulai bercerita sendiri. Tanpa ditanya, tanpa diminta. Berceloteh tentang segala hal. Meski bukan tentang masalahnya. Ia bercerita tentang pekerjaannya, tentang pacar saya, tentang tujuan wisata yang ia ingin datangi jika mereka ke Jakarta. Ups!

Saya tersenyum sambil berbaring di lantai bertelekan tangan, mendengarkan suaranya yang tak lagi lemah.
Lantas mulai mengalirlah nasehat panjang lebar saya untuknya. Untuk memecahkan masalah yang membuatnya bersembunyi dalam tempurung melankolis yang menyebalkan, karena menjauhkannya dari saya.

Kamu tahu, kami mengobrol berjam-jam. Bicara tentang banyak hal yang tidak penting. Setidaknya, itulah pendapatnya sambil tertawa.

"Jadi kamu sudah tahu kan kesimpulan dari omonganku tadi?"
"Ah nggak penting," tukasnya, lalu terbahak-bahak. Dasar kepiting!

Saya nikmati suara tawanya. Saya tahu, saya berhasil menyingkirkan awan mendung yang menudungi hatinya.

"Masalahku lebih berat akhir-akhir ini. Tetapi aku tetap bertahan. Masa kamu begitu saja sudah patah semangat."
"Ah iya!" Tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Jadi gimana laki-laki itu? Yang dikenalkan padamu itu?" Ada nada menyelidiki. Nada Khawatir. Nada ingin tahu yang sangat besar. "Gimana?"
"Heh, bawel amat. Ya begitu saja. Nggak ada yang bisa diceritakan."
"Kalian ketemu dimana? Melakukan apa?"
Ia mendadak berubah menjadi jaksa pemeriksa tersangka tindak pidana korupsi. Pertanyaannya diselingi kata-kata 'hm' dan 'lalu' di sela-sela jawaban saya.

Saya tahu, ia bertanya mewakili dirimu. Ia akan memberondongmu dengan cerita tentang itu kalau kamu kembali dari bepergianmu yang jauh itu. Lihat saja.

Tetapi kemudian ia tetap saja tertawa. Tertawa karena lega. Barangkali ia menyimpulkan saya masih setia pada pacar saya. Orang yang ia hormati. Panutannya. Teladannya. Ia dan pacar saya, ah kadang-kadang saya menganggap mereka itu kloning. Sama-sama protektif, sensitif, bawel, detail dan pencemburu.

Tidak, tidak. Jangan cemberut. Itu pujian. Saya sayang padamu karena semua itu, tentu saja.

Tiba-tiba sambungan telepon kami putus. Entah kenapa. Mungkin pulsanya tak cukup lagi.
Ia mengirim pesan pendek.

"Mbak, terima kasih suntikan semangatnya. Tadi banyak truk lewat depan mess kami, tapi aku sudah nggak berminat lagi. Hehe. Makan sana biar gendut!"
"Haha it's work. Aku tahu kalau sudah kuajak mengobrol, tengilmu keluar. Makanya, kalau ada masalah cerita. Sharing. Buat apa punya kakak kalau cuma untuk diisengin. Take care. Aku mau makan dulu. Lega. Adikku sudah bisa tertawa."

Tak ada balasan. Ia pasti sedang mandi.

Menjelang tidur, ada pesan pendek lagi.
".... setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Aku harus pergi ke..." Pesan terputus. Kugulirkan tombol navigasi ke bawah. "... Jepang. Untuk membantu Ultraman melawan belalang raksasa."
Saya terbahak, tak jadi mengantuk.
"Untuk apa kamu ke Jepang? Ultramannya kan lagi di Australia. Melawan Gajah Mada. Haha."
____________

Gajah Mada. Itu kode kami. Tanyalah padanya, K. Kamu sibuk mengurusi pekerjaanmu di sana. Aku sibuk mengurusi adikku yang merajuk di sini. Fyuh!

6 comments:

Anonymous said...

Duh terharu, ternyata dirimu adalah kakak yang perhatian dan sayang adek ya. Jadi inget alm. adik laki2x saya satu2xnya yang meinggal dunia karena sakit saat mau masuk SMA. Kalau ia masih hidup, saya pasti akan melakukan hal yang sama sebagai kakak perempuan.

Beruntunglah dirimu jeung, masih ada waktu dan kesempatan bersama orang tercinta, jangan disia2xkan... (doh, kok jadi melow yak, mau PMS neh kayaknya)

Enno said...

ikut berduka ya, gak kebayang betapa sedihnya kehilangan adik... mudah2an adik2 saya (semuanya laki2) ikut baca komenmu dan merasa beruntung punya kakak kayak saya :)

hmm lagi PMS? bisa jadi... saya juga suka gitu hihihi

mr.snugglemars said...

bah!
udah dikatain kura-kura, dalam tempurung, melankolis... masih pulak dibilang sedang mandi, ngirim sms ultraman....
benar-benar tipikal kakak yg sangaaaaat perhatian untuk mematikan harga adeknya di depan para wanita sejagad raya....

bah!...

Enno said...

sengaja, biar gak tebar pesona melulu... hahaha

diNa said...

sabar mb, sabaaaarrr... jadi kakak emang harus sabar. jgn2 kakak kita juga harus sabar ya ngadepin kita, hehehe..

Enno said...

@meidy: heheh betul, kakak saya harus sangaaaaaat sabar ngadepin saya ;)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...