Aku sering melihatnya di antara pagar tanaman bluntas di pekarangan rumahnya. Dulu, ketika kenangan masih berwarna hitam putih. Ia sedang duduk mencangkung di undakan pintu belakang rumah. Menatapku, menggodaku dan tertawa keras. Sorenya, tanpa rasa bersalah di wajahnya, ia sudah nongkrong di atas sepedanya di depan rumahku. Mengajakku menghabiskan petang dengan mengelilingi kampung sebelah. Kebut-kebutan di jalanan semen yang menurun tajam. Memanjat pohon mangga yang menjulang amat tinggi di belakang kompleks, ketika aku masih tinggal di Depok. Ah, masa kecil yang sungguh menyenangkan.
Kemarin kuterima telepon yang mengejutkan.
"Pink! Lo masih mau gue ajarin matematika nggak?"
Aku tertegun. Ingatanku sontak kembali ke tahun-tahun teramat silam... ke masa kecil dan masa remaja. Hanya satu orang yang selalu memanggilku Pink.
"Raja?"
"Ya." Kudengar tawanya yang masih sama. Keras. Bebas. Ceria. "Apa kabar, Pink?"
Ah, sesungguhnya nama panggilan itu berkaitan dengan sejarah yang cukup memalukan, setidaknya bagi seorang anak berumur 12 tahun. Aku sesungguhnya sebal ia memanggilku begitu.
"Lo kemana aja? Dari Bandung ngilang nggak tau kemana. Rese lo!"
Ia tertawa lagi. "Mana gue tau kalo lo kangen!"
"Sori ye! Gue udah gila kalo kangen sama orang nggak jelas kayak lo."
Ia tertawa semakin keras.
Ah, sesungguhnya ia bukan orang tak jelas. Ia seorang dokter sekarang. Spesialis penyakit dalam. Cita-cita yang sudah digenggamnya sejak kami masih kecil dulu. Otak encernya itu yang selalu menolongku jika ada PR matematika yang sulit.
Namanya Raja. Tetapi dulu waktu kami masih kecil, ia punya banyak nama panggilan konyol seperti juga yang lainnya. Aku cukup beruntung hanya dipanggil Pink. Meskipun itu sesungguhnya olok-olok Raja yang paling menyebalkan.
"Lo udah berhasil jadi penulis?"
"Wartawan juga penulis kan?"
"Hmm... bukan penulis novel?"
"Ah, baru cerpen," sahutku. Senang bahwa ia masih ingat cita-citaku dulu.
"Lo belum merid?"
"Memang kenapa?"
"Hmm... cuma nanya."
Raja sudah menikah. Menikah muda, ketika ia masih kuliah. Anaknya sudah dua. Demikian yang kudengar dari teman masa kecilku lainnya.
"Anak-anak lo udah gede-gede ya? Kirimin fotonya dong..."
"Yang pertama udah kelas dua SD," sahutnya. "Yang bungsu masih TK besar. Nanti gue kirim fotonya."
"Bini lo gimana kabar? Masih galak?"
"Hehehe... lebih galak dari lo tuh!"
Kini aku yang tergelak.
Raja dan aku pernah menjalin cinta monyet waktu SMP. Hanya sebentar. Kami putus setelah SMA. Ia memilih sekolah di Bogor, aku di Jakarta. Tetapi kami memang tidak pernah berniat satu sekolah sejak SD, meskipun bertetangga dan berteman akrab. Di SMA, aku sekelas dengan bekas teman sekelasnya di SMP. Temannya itu yang bercerita kepadaku betapa bangganya Raja saat berpacaran denganku. Di sekolah, ia sering menceritakan pacarnya yang satu kompleks itu dengan semangat 45. Mendengar itu, membuatku tersanjung. Aku tidak mengira, dulu Raja memujaku sebesar itu.
"Pohon mangga di kompleks sudah nggak ada," lapornya. Keluargaku sudah lama meninggalkan Depok setelah Ayah pensiun dan memutuskan tinggal di luar kota. "Kadang-kadang masih kangen memanjat sampai puncaknya. Suka ketawa sendiri kalo inget lo nangis nggak bisa turun."
"Hehehe... malu-maluin ya."
Waktu itu Raja turun duluan dan berlari ke rumahnya untuk mengambil tangga agar aku bisa turun dengan selamat. Itu saat kami masih kelas enam SD.
"Pink," tiba-tiba nada suaranya terdengar serius.
"Ya?"
"Boleh tanya tentang kejadian itu?"
"Kejadian yang mana ya Dok?"
"Dua bulan sebelum gue merid."
"Oh, kenapa?"
"Kenapa jawaban lo tidak?"
Aku terdiam.
Waktu itu, di halaman belakang rumahnya. Di antara pagar bluntas itu, ia bilang padaku akan menikah dengan seseorang. Tetapi dengan sangat mengejutkan ia mengatakan bahwa ia masih mencintai aku.
"Lo mau nikah sama gue, Pink?"
"Lho, terus gimana pacar lo? Bukannya kalian mau nikah dua bulan lagi?"
"Gue cuma mikirin lo. Gue masih sayang sama lo."
"Raja! Lo nggak boleh mainin cewek lo kayak gitu!" Sentakku.
"Pink, tapi gue nggak bisa bohongin diri gue sendiri!" Ia balas teriak. "Waktu SMA sebenernya gue pengen balik lagi sama lo. Tapi lo cuek banget. Gue jadi ragu."
Aku terpana. Sesungguhnya, waktu itu aku juga punya keinginan yang sama.
"Itu dulu, Ja. Lo udah punya calon sekarang."
"Pink..." Wajahnya tampak memelas. Aku menghela napas.
"Jawabannya nggak, Ja."
Ia menunduk. Aku meraih tangannya. Menggenggamnya erat. Aku sayang padanya. Pada teman masa kecilku yang badung ini. Tapi semuanya sudah terlambat. Aku tidak bisa meruntuhkan harapan seorang perempuan yang mencintai Raja.
"Pink?"
"Hm?"
"Kenapa?"
"Karena mungkin kita memang bukan jodoh, Ja."
Di seberang sana, kudengar helaan napasnya yang berat. Ah, Raja.... aku selalu mengenang tatapan dan tawa nakalmu di antara pagar tanaman bluntas itu.
6 comments:
Pink, eh Enno.. I like this story!
wow, sepertinya aku juga ada di sana..
sebagai bluntas :p
hehe..
happy birthday ya!
hayah, pantesan kayak ada yg nyolek-nyolek dan cekikikan ;p
Keren. Terpeleset dikit-dikit dalam menjaga pemborosan kata, tetapi Enno pintar menggiring kita memasuki ceritanya.
Teruskan perjuanganmu, nak.
pemborosan kata yg terjadi secara sangat sadar, mas... mungkin karena kenangan yg membanjir deras :)
btw, mentang2 udah aki2 jadi manggil aku 'nak' ya? hahaha *LOL*
Kalo ngomongin jodoh..
no comment deh.. :(
Ceritanya bagus Mbak,
ah, emang luar biasa sekali, saya ga pernah bosan membaca cerita Mbak, jadi terinspirasi..
halo gek... hehe makasih ya :D
Post a Comment