Aku menoleh, dan ia ada di sana. Berjalan pelan ke arahku. Orang yang pernah kucintai dan kubenci. Apa yang ada dalam benaknya saat melihatku berdiri di tengah keriuhan itu? Masihkah aku gadis yang sama baginya, yang pernah menggandengnya di stasiun jam enam pagi?
Bagiku, ternyata ia tak banyak berubah. Laki-laki yang heningnya penuh rahasia. Senyumnya melemparkan aku pada suatu siang yang sedih, ketika aku menangisi cinta yang pergi di Bandara Soekarno Hatta.
Sebuah flash back tercipta. Seolah aku tengah berada di sebuah film yang menayangkan kenangan. Ia mengulurkan tangannya, aku menggenggamnya. Kami melangkah bersisian sambil bertukar canda.
Namun tak ada lagi debaran jantung yang berpacu cepat dan aliran darah yang menderas. Semuanya sudah lama selesai. Benar-benar usai.
Jam tiga sore, di halte busway Pasar Baru itu, kami berpisah. Seperti delapan bulan yang lalu, ia menatapku lekat. Sebuah jendela flash back yang lain terbuka.
"Apakah kamu masih mencintaiku?" Aku ingin bertanya, meskipun itu tak lagi penting sekarang. Tetapi, "Jaga kesehatan. Nggak boleh banyak merokok." Itu yang kuucapkan.
"Hati-hati." Ia menekan lembut tanganku dalam genggamannya. "Semoga kamu suka hadiah ulangtahunnya..."
"Apapun darimu, aku pasti suka. Jangan kuatir."
Kulepaskan tanganku. Berbalik cepat meninggalkan ia yang berdiri saja. Sudahkah kuberitahu kalian, aku benci perpisahan? Entah kapan aku bisa bertemu lagi dengannya. Barangkali berbulan-bulan kemudian. Meski tak lagi sama seperti dulu, aku tetap akan rindu padanya sebagai teman.
Di rumah, kotak kecil itu kubuka. Sebuah gelang perak bermotif sisik ular khas Papua. Ia masih ingat kesukaanku pada aksesoris perak.
"Terima kasih." Kukirim pesan pendek padanya. "Untuk selalu ingat kesukaanku."
1 comment:
Ah, so sweet saya mau deh, gelang nya mbak.. :)
Post a Comment