Friday, June 13, 2008

Kisah Yang (Tak) Semestinya

Wajah yang pasi itu telah mengatakan semua yang perlu dikatakan. Bibirnya yang biru gemetar, menahan perasaan yang ingin melontar keluar. Namun tak ada sedu sedan. Tak ada isak tangis. Hanya wajah yang menunduk, menatap permukaan meja yang divernis mengkilap.

"Jadi besok aku pergi, Rose," kata seseorang yang duduk di depannya. Wajah itu tak kalah sedih dari wajahnya.
"Secepat itu?"
"Visaku sudah keluar. Paspor dan tiket sudah di tangan. Menunggu apa lagi?"
"Untuk apa sih pergi ke Eropa segala?" Kali ini Rose tengadah, menatap temannya yang akan pergi itu. "Brynne, tidak ada yang menyuruhmu pergi sejauh itu."
Brynne tertawa pelan. Tawa yang sebentar lagi mungkin tak akan pernah terdengar lagi. "Aku harus, Rose."
"Aku tak punya teman lagi..."
"Oh Rose, kamu akan baik-baik saja. Lihat sekelilingmu, banyak orang mencintai dan menyayangimu. Dan satu lagi yang harus kamu ingat, ada dia. Dia akan menjagamu. Dia mencintaimu."
Rose menatap Brynne yang tersenyum manis. Menggeleng dengan gaya keras kepalanya yang dikenal Brynne dengan baik. "Tidak. Pokoknya jangan pergi. Jangan pergi, oke?"

Tapi Brynne pergi. Rose tidak mengantarnya ke airport karena Brynne pergi diam-diam. Jika ia pamit pada Rose sebelum berangkat, maka sahabatnya itu akan memegangi tangannya dan menangis mengibakan, membuatnya benar-benar berat untuk pergi.

Hari-hari Rose menjadi mendung setelah keberangkatan Brynne. Sahabatnya tinggal di sebuah kota bernama Bern, di Swiss. Kota yang diselimuti salju tebal di musim dingin yang membekukan. Brynne punya penyakit asma. Apakah ia bisa bertahan di sana?

Tak ada yang bisa menghiburnya. Bahkan juga ia. Laki-laki itu, yang kata Brynne mencintainya. Mereka tinggal di kota yang berjauhan. Dibatasi selat yang perairannya berombak besar. Komunikasi mereka hanya melalui telepon dan internet. Bagaimana mungkin ia bisa sungguh-sungguh memahami kesedihan Rose dari jarak yang begitu jauh, dari komunikasi yang begitu tersendat. Lagipula Rose tak yakin pada perasaan laki-laki itu. Adakah ia benar-benar mencintai Rose?

Rose ingin Brynne pulang. Kembali ke Tanah Air. Ke kota mereka yang riuh dan sesak ini. Sesungguhnya ia tahu kenapa Brynne pergi. Brynne mengalah. Sahabatnya itu tak ingin menjadi batu sandungan. Tetapi apakah keputusannya untuk pergi jauh itu tepat? Mengapa ada kekosongan yang tertinggal dalam hatinya kini?

"Di sini indah sekali," kata Brynne dalam salah satu e-mailnya. "Gunung-gunung dengan gleisernya yang menakjubkan, lereng-lereng putih yang asyik diluncuri ski, dan coklat yang enak sekali. Jangan suruh aku pulang. Aku baru saja menemukan keindahan paling mengagumkan di belahan dunia sini. Ada salju, ada pria-pria tampan, ada banyak hal yang bisa kutulis untuk artikel-artikelku. Rose, baik-baiklah bersama dia ya."
"Kota ini sepi tanpa kamu." Rose menulis. "Dan aku tidak yakin pada perasaan laki-laki di seberang pulau itu. Apakah ia benar-benar mencintaiku, atau hanya menaruh iba padaku. Aku kesepian, Brynne. Aku mati rasa. Semuanya serba gelap. Serba mencekam. Seolah-olah ada tangan-tangan drakula yang siap menarikku ke belakang, ke dalam jubah hitamnya untuk mengisap darahku. Dan aku merasa bersalah, Brynne. Entah pada siapa."
"Rose, aku akan menyuruh dia datang menengokmu. Tunggulah di sana dengan sabar, ya. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku memperhatikanmu dari sini. Berdoa untukmu setiap hari. Semuanya akan beres."

Demikianlah. Brynne menjalani hari-hari sunyinya di Bern, dan Rose menjalani hari-hari sunyinya di kota mereka. Kesibukan Brynne bertualang kesana kemari membuatnya mulai jarang mengontak Rose. Dan entah kenapa Rose pun mulai jarang menulis e-mail atau pesan pendek untuknya. Brynne berharap Rose kini sudah menikmati hari-hari yang cerah bersama laki-laki yang dicintainya. Sementara ia, Brynne, biarlah mencari kebahagiaannya sendiri di antara gleiser dan salju abadi.

Namun sebuah e-mail di pagi hari menghancurkan gleiser itu. Meruntuhkan dinding-dinding es maha besar, menimbun hatinya untuk selamanya.

E-mail dari laki-laki itu.
"Brynne, pulanglah. Secepat mungkin. Rose meninggal. Kamu sahabatnya, harus mengantarnya ke pemakaman."

Di pesawat yang membawanya pulang, Brynne menangis mengingat Rose. Rose yang merasa bersalah, entah pada siapa. Rose sahabatnya yang dia sayangi setengah mati. Yang membuatnya memutuskan pergi. Rose bunuh diri. Kenapa harus Rose?

4 comments:

Teuku Zulfikar Amin said...

no yang ini juga cerita beneran???

Serem bener...

Enno said...

ini terinspirasi kisah nyata :)

hari Lazuardi said...

kekosongan di hati, itulah yang semestinya diisi untuk segala kegundahan yang mendera…

Enno said...

hari, makasih ya komentarnya :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...