Monday, June 23, 2008
Daun-daun Gugur
Senja ini adalah senja terburukku. Kamu tahu, aku ingin sekali bertemu muka denganmu dan bertanya, hanya dengan satu kata: "Mengapa?"
Ya, mengapa. Kamu tak akan pernah tahu jawabannya bukan? Meskipun kamu tahu apa sebabnya aku bertanya demikian.
Aku ingin melontarkan seribu makian. Bukan. Bukan padamu tentu saja. Bukankah kamu mengenalku sebagai perempuan lembut hati yang bahkan tidak berani menyakiti seekor nyamuk? Aku hanya ingin memaki hujan yang lupa datang, awan yang tak lagi mau berteman, dan matahari yang merebusku dalam kuali kekecewaan.
Aku kecewa padamu. Kamu mesti tahu. Karena kamu memakai topeng yang berganti-ganti rupa setiap kali, setiap momen, setiap detik percakapan kita yang terekam dalam benakku yang naif. Mengapa aku bisa begitu percaya padamu? Padahal sudah kamu siapkan belati untuk menusukku tepat di tulang rusuk.
Jadi, tak ada artinya setiap perbincangan panjang kita. Tentang hidup. Tentang perasaan. Tentang persahabatan. Bukankah demikian? Setidaknya bagimu. Bagi egomu. Bagi si jahat dalam dirimu. Dan aku si keledai bodoh hanya mengangguk-angguk kamu suapi dedak dusta dari tanganmu.
Oh ya, kamu tulis saja sesukamu apapun itu. Dan anggap saja aku si bodoh yang tak pahami apa-apa. Kamu mengira aku akan tersenyum senang dan memuji betapa puitisnya dirimu kini. Kamu mengira, aku akan diam saja, seperti patung kecil berwajah bodoh di tengah kolam.
Kamu lihat itu, sobat? Daun-daun berguguran. Kering kerontang. Melayang, meronta, terhempas dari pohon yang merana tanpa hujan. Daun-daun yang terbunuh sunyi, merindukan belaian air dan kecupan embun. Daun-daun itu terinjak-injak di bawah kakiku kini. Retak, remuk. Seperti persahabatan kita.
_______________________________
PS: for a betrayal friend
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
4 comments:
Benak hati seseorang siapa yang tahu, kita tidak dapat mengetahuinya sampai takdir itu datang…
Masih ada ya orang seperti itu, “go to hell with the people such this” *british katroks mode on* :)
ya gitu deh... kadang2 emang ada temen yang kayak gini... :(
Memaki tak selamanya dengan kata-kata yang menyembur muka.
Mendamprat tak melulu dengan tampang dimonyong-monyongkan seperti sinetron.
Mengapa tak mengadopsi monolog "Rekaman Terakhir Krapp" besutan Pak Putu Wijaya yang memisualisasikan amarah melalui gerak tubuh teaterikal itu?
Amarah, cercaan, makian, tampak seperti gempa bumi lantaran dituang dalam kalimat yang menggebu-gebu seperti peluru ...
gerak tubuh teatrikal? yaaah mas... masa aku disuruh pantomim! ih si mas arief nih kdg2 suka aneh :D
Post a Comment