Sunday, November 23, 2014

Get Lost Journey -- Day 2

"Tulung, Neng. Tulung..." Sesosok tubuh seperti jatuh tersungkur ke dekat kaki saya, membentur dinding. "Tulung, bebaskeun abdi..."
Saya tertegun, lalu kembali melanjutkan langkah. Hati saya sedih sekali. Tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakannya.
Lalu sosok berbaju seragam militer tersorot ketika cahaya senter saya menerangi sebuah ceruk. Saya menahan kebencian saya dan berlalu. 
Oh, betapa tempat ini menguras emosi.

...................................


Hari kedua di Bandung dibuka dengan lokasi yang lagi hit bingit di socmed.
Berpose kekinian di Tebing Kraton.

Dan saya kecewa.
Cuma gitu-gitu aja? Nanjak ke sebuah kampung yang lokasinya di atas bukit, lalu ada sebidang tanah di ujung kampung dengan tebing menjorok ke jurang. Bebatuan yang bertonjolan di situ kemudian dipakai sebagai sandaran untuk berfoto dengan latar belakang jurang..
Really? Nggak ada obyek lain?
Bah! Bagusan Garut Selatan kemana-mana. Iya sih, buat orang yang nggak pernah mblusukan ke kampung alias turis koper, tebing ginian dibilang bagus.

Waktu baca-baca pengalaman yang sudah ke sana di internet, banyak yang menggambarkan jalan ke desa Ciburial di mana tebing itu berada seram banget.
Jalanannya rusak paraaaah, katanya. Sempit bangeeet, katanya. Licin, katanya. Hati-hati masuk jurang, katanya. Mending naik motor, katanya. Pokoknya bikin kesannya itu bahaya banget.
Saya sampai sempat wanti-wanti ke sopir mobil rentalan untuk beneran hati-hati.

Nggak taunya, jalanan nggak seseram yang digambarkan orang-orang. Iya rusak, sempit, berbatu-batu, dan ada satu tanjakan tajam mendekati lokasi.
Tapi itu mah biasa aja. Buat saya.
Masih lebih bahaya rute ke Garut Selatan keleus...
Mungkin kebanyakan yang mereview rute ke Tebing Kraton adalah orang kota atau yang tinggal di daerah-daerah dataran rendah. Jadi rute off road tak beraspal, geradakan penuh batu dan menanjak bukit itu dianggap hal yang luar biasa berbahaya. No offense lho...

Justru, tebingnya yang berbahaya.
Kebanyakan menulis bahwa tebingnya menampilkan view yang indah, seolah di dunia lain, romantis dan dramatis.
Well, iya sih.
Tapi berapa banyak yang bilang kalau batu yang menjorok ke jurang ratusan meter di bawah itu berbahaya?
Bebatuan itu hanya menempel di dinding tebing. Sebagian menjorok ke luar, sebagian tertanam di dinding tanah yang mudah longsor atau tercongkel (kalau beban di atasnya terlalu berat). Padahal kalau lihat foto-foto yang beredar di socmed, banyak yang berdiri ramai-ramai di situ untuk berpose groufie.

Mari kita tinggalkan tebing yang biasa-biasa aja itu.
Saya dan Morgan turun dari kawasan tebing dan menuju ke Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ir. H. Djuanda. Hutan lindung ini dan Tebing Kraton sama-sama di bawah pengawasan Perhutani. 
Nah, di Tahura ini banyak pohon pinus. Lumayan buat foto-foto ala adegan Bollywood.

Goa Jepang dan Goa Belanda

Dan inilah yang mau saya ceritakan. Di kawasan Tahura ada dua buah gua peninggalan Jepang dan Belanda. Dulunya digunakan ketika perang, untuk menimbun logistik dan perlindungan dari musuh.
Sudah lama banget saya kepengin ke dua gua ini, karena saya suka gua... dan tentu saja semua teman saya tahu, saya suka sejarah.

Kami jalan kaki menyusuri jalan setapak hutan. Mudah kok, karena ada papan penunjuk arahnya. Yang pertama dijangkau dari arah kami datang adalah Gua Jepang. Seorang pemuda yang bekerja sebagai guide menyambut kami. Saya--yang biasanya sotoy ogah pakai guide--kali itu merasa butuh. Soalnya, saya kan ingin diceritai sejarah gua sambil menyusuri lorongnya.

Guide kami masih muda. Saya dan Morgan (yang ragu-ragu hahaha) mengikutinya masuk ke dalam. Pintu masuk gua itu lebar dan kira-kira setinggi dua meter. Di dalam gelap. Saya menyalakan senter yang harus disewa seharga lima ribu, menyorotkannya ke depan lorong.

Dan si guide mulai menceritakan sejarah gua, sambil menyusuri lorong demi lorong dan menyinari ceruk demi ceruk.

"Guanya dingin ya, A..," komentar saya. 
"Iya, Teh," sahutnya. "Jepang bikin beberapa ventilasi, jadi banyak udara dan angin yang masuk."
"Tapi ini dingin sekali..."

Morgan berjalan di belakang saya. Diam saja sambil menyorotkan senternya lurus ke depan. Saya tahu, sebenarnya dia takut.

"Bade naon kadieu? (mau apa ke sini?)"
"Eh?" Saya menoleh ke Morgan. Tapi ia tampak bungkam. Siapa yang nanya tadi?
"Kade, ulah lami teuing di dieu. Seueur nu jail... (awas jangan terlalu lama di sini. Banyak yang usil)"
Suara itu terdengar dari sebelah saya. Kini lebih jelas, dan terdengar seperti suara seorang kakek.
Sementara itu, si Aa Guide masih berjalan di depan kami. Ia tidak tahu apa yang saya dengar. Kakek tak kasat mata itu lalu terdengar batuk-batuk. Saya ngerti, ia menunggu jawaban saya.
"Muhun (iya)," sahut saya dalam hati. "Moal lami (tidak lama)."

Kemudian, saya berusaha mengalihkan fokus saya dan bertanya-tanya tentang sejarah gua lagi kepada guide. Gua itu, kata guide kami, dulunya dibangun Jepang sebagai tambahan dari Gua Belanda, yang sudah ada sejak tahun 1800-an. Belanda membangun gua pertama sebagai tempat reservoir atau penyimpanan cadangan air dari mata air yang ada di pegunungan sekitar.
Goa Jepang dibangun sekitar tahun 1942, menjelang Perang Dunia Kedua, untuk dijadikan tempat logistik dan perlindungan dari tentara Sekutu.

Saya membayangkan berapa banyak orang yang diangkut ke tempat ini, dipaksa untuk membuat gua. Melubangi dinding batu cadas yang kerasnya minta ampun, membuat lorong dan ceruk-ceruk lebar. Sementara Sekutu sudah mulai mendarat di Indonesia.
Perlu ratusan orang yang bekerja siang malam, ngebut untuk mengejar deadline, agar Sekutu tidak keburu menyerbu.

"Tulungan abdi, Neng...(tolonglah saya, Neng)"
Lamat-lamat, saya mulai mendengar rintihan minta tolong dari segala penjuru. Shit! 

"Aa, ini teh lorongnya masih panjang?"
"Enggak, Teh. Ini belokan ke pintu keluar."
Ketika pintu keluar tampak, Morgan mendahului kami keluar. Hahaha. Meskipun belakangan dia ngakunya malas gelap, saya nggak bisa dibohongi dan tahu dia takut.
Di dalam gua Jepang, meski ventilasinya cukup bagus, namun udara pengap oleh bau amoniak dari guano (kotoran kelelawar). Gua itu memang menjadi sarang koloni kelelawar. Mereka bergantungan di langit-langit gua, di atas kepala kami sepanjang lorong.

Terbebas dari hantu-hantu para romusha di dalam gua dan menyengatnya amoniak dari guano, semangat saya muncul lagi. Saya ingin segera melihat Gua Belanda, yang letaknya satu kilometer dari Gua Jepang.
Ada orang-orang yang menyewakan motor. Namun, kami menolak dengan alasan ingin memotret sepanjang jalan, maka kami wajib jalan kaki.

Mengobrol dengan guide saya (sengaja namanya nggak disebut) menyenangkan. Ia dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan saya, yang nggak bisa lepas dari gaya wartawan lagi ngorek informasi hehehe. Tidak sampai lima belas menit, kami sudah sampai di depan sebuah tebing tinggi, dengan pintu gua terbuka seolah-olah mempersilakan kami masuk, namun kali ini Morgan tidak mau ikut. Ia memilih menunggu di luar.

Keadaan di dalam Gua Belanda tidak segelap di Gua Jepang. Lorongnya lebih lebar, dengan lantai berubin di beberapa bagian lorong depan. Dinding gua ditembok dan dikapur, dan tampak bahwa strukturnya lebih modern. Ceruk-ceruk di sepanjang lorong menyerupai kamar-kamar berdinding lengkung. Tampak beberapa rak semen di dinding dan ada rak-rak besi bekas menaruh mesin dan radio komunikasi.

Gua Belanda tidak terlalu dingin seperti Gua Jepang. Di bawah kaki kami, tertutup ubin tua, adalah saluran air yang dulu dibangun Belanda.

Menurut guide kami, Jepang menjadikan Gua Belanda sebagai markas tentara. Lengkap dengan sel tahanan, ruang interogasi dan kamar-kamar istirahat para perwira. Saya sih bisa ngerti. Soalnya gua Belanda lebih mirip benteng daripada gua. Mungkin karena ditembok dan lebih luas, ya...

Tetapi dulunya, pembangunan gua ini di masa penjajahan Belanda, juga menyisakan kisah pedih para pekerja rodi. 

"Ini dulunya sel tahanan dan tempat penyiksaan." Senter Aa Guide menyorot sebuah lubang yang hanya cukup dimasuki dengan berjongkok. Di baliknya ada sebuah ceruk berlantai tanah yang dindingnya tidak ditembok.
"Oh," sahut saya sedih. Karena berbagai gambaran seram mulai terbentuk di kepala, juga tampak di mata batin saya. Mereka yang disekap di sini, dibiarkan sekarat sampai mati. "Semoga yang meninggal di sini diterima amal ibadahnya," bisik saya.

"Aamiin." Ada sebuah suara menyahut lirih.

Selepas dari ceruk penyiksaan, lalu ceruk sel tahanan yang lebih beradab (besar dan tampak bekas engsel pintu dari besi), kami akhirnya sampai di pintu keluar. Oh iya, ada rel juga di dalam gua ini, bekas lori yang mengangkut logistik berat.

Kalau ditanya, apa yang saya lihat di kedua gua itu, oh banyak sekali. Dan beberapa merupakan bayangan kejadian menyeramkan dan memilukan. Seperti adegan yang biasa saya saksikan di film-film tentang perang kemerdekaan.

Orang-orang pribumi yang dipaksa bekerja, kurus kering dengan tulang iga bertonjolan. Wajah-wajah putus asa dan menahan lapar. Yang mereka kenakan hanya sepotong cawat kumal, tidak lebih.

Ngomong-ngomong, mungkin karena saya jadi terlalu emosional, pertahanan saya lemah. Beberapa mahluk dari gua itu ternyata ada yang mengikuti saya. Pantesan, setelah sampai di rumah, saya masih saja merinding. Tukang urut yang dipanggilkan adik saya ternyata bisa melihat hal-hal yang seperti itu. Ia memastikan bahwa saya 'ketempelan'.

Hadeeeh... 
Sungguh menyebalkan yang nempel bukan cowok keren, malah setan! Hahaha...
Saya lalu 'dibersihkan', dipijit di lipatan-lipatan badan. Karena katanya mereka suka sembunyi di situ. 
Rambut saya dijambak, kepala saya diguncang-guncang sambil dibacain ayat suci. Trus si mamah tukang pijitnya ngomong, "indit siah!" Pergi kamu!

Duh gile, sakit bingit! Itu si mamah, makin saya teriak sakit, makin kenceng mijitnya. Padahal yang teriak sakit kan saya, bukan setannya... zzzzz....

Eh tapi benar saja...badan saya jadi enteng dan tidak merinding lagi sehabis sesi exorcism wakakakak...

Oh iya... Saya masih punya Part 3 dari kisah Get Lost Journey ini.
Beberapa hari lagi, ya. Sekarang saya mau kembali ke draft.

See ya! ^^


Gua Belanda di Tahura Djuanda
Gua Jepang di Tahura Djuanda.


2 comments:

Selfish Jean said...

Mungkin suara teriakkan lu dikira suara teriakkan setan, No.....

*siap2 kena gampar*

dedaunan hijau said...

ditunggu petualangan selanjutnya mb Enno, apalagi spooky storynya hehe , seru seru tempatnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...