Hai hai!
Sori baru nongol lagi dimari untuk melanjutkan ocehan saya tentang perjalanan ke Lumajang.
Sampai mana ya kemarin?
Olrait. Jadi pagi itu, saya dijemput Mas Ari, teman Rona, untuk diantar ke tempat menungggu bus jurusan Ambulu Jember. Ambulu itu nama kecamatan di Jember, di mana pantai Tanjung Papuma berada. Tetapi kenyataannya sih nanti dari Ambulu, masih lumayan jauh lagi ke pantainya yang berada di pedalaman.
Bus yang langsung ke Ambulu itu jarang, sodara-sodara. Nunggunya lama banget. Kata Mas Ari, bisa aja naik bus yang ke terminal Tawang Alun Jember, nanti minta diturunkan di pertigaan Balung. Dari sana cari angkot yang ke Ambulu.
Benar saja. Bus ke Ambulu lamaaa banget. Jadi saya putuskan naik bus jurusan Tawang Alun. Perjalanan ke Jember menyenangkan. Jalan antar kotanya melewati pedesaan. Sepanjang jalan, pemandangannya adalah perkampungan, persawahan, kebun, sungai, pasar tradisional. Ada beberapa rumah kuno yang bentuknya masih asli. Udaranya oke, nggak panas, tapi juga nggak sejuk. Jalanannya juga lurus, nggak berkelok-kelok kayak jalanan di daerah pegunungan Selatan. Jadi, saya bebas mabuk. Hehehe.
Dua jam kemudian, saya diturunkan di pertigaan Balung, sesuai pesan saya pada kondektur saat baru naik.
Pukul 11 siang, saya berdiri di tengah kota yang asing. Jember lumayan panas karena ini kota pesisir, saya rasa. Tapi tetap nggak sepanas Surabaya.
"Mau ke Ambulu, Mbak? Ayo, Mbak!" Seorang sopir angkot menggiring saya ke angkotnya. Saya naik dengan sok yakin, padahal masih gamang. Saya nggak ngerti ke Ambulu dari Balung ini naik apa. Mas Ari tidak memberi gambaran jelas, karena dia kalau ke Papuma selalu naik motor katanya. Ya sudahlah, saya naik.
Saya duduk di samping sopir. Angkot itu masih ngetem, lalu tak lama naiklah beberapa anak SMA. Si sopir tiba-tiba berkata begini, "Mbak, mau ke mana? Ke Papuma ya?"
Apakah terlihat jelas ya di muka saya, kalau saya mau ke Papuma? Atau mungkin saya kelihatan sedang traveling dan setiap traveler yang turun di Balung pasti tujuannya ke Papuma?
"Iya," sahut saya.
"Mbak, saya antar deh langsung ke Papuma. Ongkosnya 150 ribu."
Saya sontak nengok ke dia. Nggak salah denger saya? "Berapa Pak?"
"150 ribu, Mbak. Sampai sana. Bener."
Saya ketawa. "Yang bener aja, Pak. Memangnya saya ini nggak tahu apa-apa? Saya cuma mau ke Ambulu. Nanti dari Ambulu saya cari kendaraan lagi."
"Tapi nggak ada angkot ke Papuma, Mbak."
"Saya tahu. Tapi ada ojek."
"Ojek bisa kena seratus ribu lho, Mbak. Sama aja jadinya. Lebih cepat saya antar langsung dari sini."
"Memangnya dari sini ke Ambulu, berapa?"
"Mbak nawarnya berapa?"
"Kenapa jadi saya yang nawar? Ongkosnya biasanya berapa?"
"Gini deh, Mbak. Sampai Papuma saya antar. Mbak bisanya berapa?"
Saya menghela napas. Mulai kesal. "Pak, ini sebenarnya angkot jurusan kemana sih? Saya cuma mau ke Ambulu. Ke Papumanya gimana saya aja."
"Sembilan puluh ribu deh Mbak sampai Papuma. Bensinnya aja udah mahal. Jauh, Mbak."
Saya mulai naik darah. Serius. Saya nggak suka dianggap bodoh dan dipermainkan.
Saya sudah cek google map dan jarak dari Balung ke Pantai Papuma nggak sejauh itu sampai harus dihargai ongkos 150 ribu. Saya juga pernah baca di sebuah blog traveler. Naik ojek dari Terminal Tawang Alun ke Papuma ongkosnya sekitar 30-40 ribu. Entah kalau dari Balung. Tapi saya tetap pegang patokan yang sama, karena saya belum tahu jaraknya.
Si sopir di sebelah masih menggumamkan bujukannya. Menakut-nakuti pula. Katanya daerah rawanlah. Susah kendaraan lah. Saya yang sudah jengkel dan kegerahan karena udara panas pun menjawab sewot.
"Percuma aja nakut-nakutin saya, Pak. Saya ini wartawan. Udah biasa pergi sendirian kemana-mana meskipun perempuan. Memangnya saya nggak tahu kalau Bapak lagi nyoba bohongin saya? Udah deh Pak, saya cari kendaraan lain aja." Saya langsung turun dari angkot itu dan berjalan ke pos polisi beberapa meter di belakang angkot.
Tadinya mau tanya polisi, tapi posnya kosong. Saya numpang duduk di sebuah warung samping pos itu.
Ibu warungnya bertanya dengan ramah. "Dari mana, Mbak?"
"Dari Lumajang, Bu. Saya mau ke Papuma. Naik apa ya dari sini?"
Suaminya muncul. "Naik ojek aja Mbak."
"Berapa ya Pak ongkosnya?"
"Biasanya 40 ribu."
Cocok dengan patokan saya.
Saya celingukan tapi nggak ada satupun saya lihat ojek mangkal. Tiba-tiba, sebuah sepeda motor berhenti di samping warung.
"Mbak, ini ojek. Aman kok." Si Bapak menunjuk.
Singkat cerita (lagi flu, jadi keliyengan nulisnya. Pengen cepet beres hehehe), saya diantar si mas ojek ini ke Papuma. Berhubung di Papuma nggak ada angkutan buat pulang ke terminal or ke Balung, saya bikin perjanjian sama mas ojeknya untuk sewa pulang pergi. Dia bilang, dia nggak keberatan nungguin saya sampai selesai di pantai. Jadi nggak perlu sistem jemput.
Maka perjalanan naik motor ini pun dimulai. Si Mas Ojek ini penampilannya serem lho. Tampang kayak preman tukang malak gitu dengan bodi lebar berotot. Saya seratus persen yakin dia punya tato di balik jaket kumalnya. Biar begitu, dia sopan dan wajahnya tenang. Iya sih, psikopat juga biasanya ramah dan berwajah polos. Tetapi, saya mengandalkan indera keenam, dan auranya tenang.
Bismillah aja deh.
Sepanjang jalan, si Mas Ojek cerita macam-macam. Tentang pengalamannya jadi tukang ojek, nangkap maling sampai tawaran jadi kepala satpam pabrik yang ditolaknya. Dari beberapa ceritanya, ada bagian-bagian yang sengaja dia skip, yang menghasilkan kesimpulan bahwa dia pernah masuk penjara. Anehnya, tetap saja saya nggak takut. Saya sudah nggak waras mungkin, atau saya terlalu logis. Atau ini efek dari saya juga sering keluar masuk penjara? Hehehe.
Maksud saya, dari zaman masih kuliah sampai kerja, penjara bukan tempat yang aneh, kan saya kuliah di Fakultas Hukum.
"Mbak'e mau langsung ke Papuma atau ke Watu Ulo dulu?"
Pantai Watu Ulo itu letaknya bersebelahan dengan Papuma. Pantai ini punya legenda tentang naga besar yang sedang bertapa. Kepala naga ini ada di Banyuwangi, tubuhnya di Jember dan ekornya menjalar sampai Jawa Tengah. Di pantai Watu Ulo ada gugusan batu karang yang teksturnya seperti sisik ular. Konon itulah tubuh naga yang sedang bertapa. Begitcuuu.
Nah tentu saja saya kepengin liat 'tubuh' si naga. Maka saya memilih kami melewati pantai Watu Ulo.
Tiba-tiba si Mas Ojek membelokkan motornya dari jalan beraspal ke jalanan setapak menuju rerimbunan hutan jati (milik Perhutani).
Wow! Pemandangannya keren banget. Beberapa kapling pepohonan tampak gundul tak berdaun. Saya pikir itu karena kemarau, daun-daunnya meranggas dan gugur. Tapi si Mas Ojek memberitahu saya, pepohonan jati itu sengaja digunduli dan dibiarkan beberapa lama untuk ditebang.
"Kalau mau nebang jati, memang harus digunduli dulu, Mbak. Biar kayunya kering dan lebih padat. Kayu-kayu dari daerah sini biasanya buat bikin meubel," jelasnya.
Asal tahu saja, jalanan lewat hutan jati itu rusak. Untung saya naik motor. Kalau naik mobil, pasti udah terpental-pental di tempat duduk karena ban menggilas jalanan berlubang. Sesekali si Mas Ojek berhenti dan membiarkan saya memotret. Lalu sekeluarnya dari hutan jati, kami harus melewati jalanan yang menanjak dan berkelok-kelok. Lalu, sampailah kami di Watu Ulo.
Saya cuma sebentar di sini. Pantainya tidak istimewa. Sepi karena bukan hari libur. Kata si Mas Ojek, Watu Ulo baru ramai kalau malam Minggu. Banyak orang pacaran di sini.
Iya. Saya menemukan karang yang bersisik-sisik itu. Yang sebenarnya bukan sisik. Namanya juga legenda.
Kami meneruskan perjalanan ke Tanjung Papuma, melewati jalanan menanjak berkelok-kelok di atas tebing, yang di sebelahnya tampak laut dari kejauhan.
Suatu kali, saya melihat view yang keren dari balik gerumbul semak, dan minta berhenti untuk memotret. Si mas ojek menurunkan saya di sebuah jalan setapak kecil dengan undakan tangga, yang nyaris tidak terlihat dari jalan, di bawah sebuah makam dan sesemakan.
"Tau aja si mas ada jalan ini."
"Saya biasa mancing sama temen-temen di sini, mbak."
Saya meninggalkan motor dan menuruni undakan yang menuju pantai. Tangganya curam, tertutup semak. Di belakang saya si mas ojek tergopoh-gopoh menyusul.
"Mbak, mbak, hati-hati, Mbak!" Serunya.
Langkah saya terhenti ketika undakan sesemakan semakin rapat. Harusnya bawa golok untuk menebas, melonggarkan jalan. Saya takut ada ular soalnya.
"Sini saya duluan, Mbak. Masih jauh ke bawahnya."
Saya menggeleng, teringat tujuan utama. "Kita ke atas lagi deh. Ke pantai yang sebenarnya."
Akhirnya kami di lokasi wisatanya. Oh iya tiket ke pantai ini 7 ribu rupiah per orang dan 4 ribu untuk sepeda motor.
Di Papuma banyak pondok milik Perhutani yang bisa disewa untuk bermalam. Ada sebuah mushola yang cukup besar dan bagus, dan banyak warung makan. Jauh berbeda dengan pantai-pantai perawan di Garut Selatan yang belum dikelola Pemkab.
Papuma singkatan dari Pasir Putih Malikan. Pantainya cukup bersih, dengan view khas tiga atol/pulau karang kecil berbentuk vertikal.
Salah satu atol itu bernama Narada, karena bentuknya mirip topi tokoh pewayangan Batara Narada.
Saya naik ke bukit tertinggi di pantai itu, namanya Siti Hinggil. Tadinya mau naik undakan, si mas ojek dengan sigap bilang ada jalan yang bisa dilalui motor. Wah asik! Tinggi bingit soalnya hihi...
Dari Siti Hinggil, pemandangan ke seluruh pantai tampak jelas. Dari sini bisa memotret deretan atol itu dengan angle yang bagus. Selain itu, bisa mendengar musik alami dari bunyi batu-batu malikan yang saling berbenturan ketika ombak berdebur ke pantai. Srek tik srek tik srek.
By the way, si mas ojek ikut naik lho ke gardu pandang yang agak lebih tinggi lagi melewati undakan. Saya jadi berasa punya bodyguard! Hihihi.
Kalau saya berdiri terlalu ke pinggir tebing dia akan mengingatkan. Mbak, hati-hati jatuh!
Dari bukit Siti Hinggil, dia punya ide mengajak saya ke sudut pantai yang dikenalnya. Katanya itu tempat dia melamun cari inspirasi. Haha busyet! Penampakan preman, hatinya melankolis!
Kata dia gini, "Kalau jalan-jalan jangan tanggung-tanggung, Mbak. Pokoknya jelajahin sampai ujung-ujungnya."
Haha satu aliran dia sama saya!
Bagian pantai yang dia tunjukkan sepertinya adalah cikal bakal nama Tanjung Papuma. Pantainya mentok di dinding tebing tinggi yang menjorok ke laut, berbatasan dengan perkebunan jati milik Perhutani.
Batu-batu pecahan karangnya lebih besar, disusun seperti tanggul. Sepi dan rindang. Memang cocok untuk melamun. Ada dua motor tak jauh dari tempat saya berdiri, dua pasang sejoli sedang mengobrol.
Si mas ojek langsung pasang posisi melamun di bawah pohon, huahaha! Sedangkan saya jalan mendekati tepi air dan mulai memotret. Ombak di sini lebih tenang. Dari kejauhan saya bisa melihat pulau-pulau kecil tempat favorit para pemancing arus deras (bukan atol). Lain kali, saya kepengin menyewa perahu dan mendatangi pulau-pulau yang itu.
"Ngadu nyawa sebenarnya kalau ke sana, Mbak," ujar si mas ojek. "Harus sama nelayan senior. Arusnya deras dan nggak bisa diduga. Banyak perahu terbalik kalau nelayannya nggak pengalaman ke pulau itu."
"Wah seru tuh, Mas! Kapan-kapan saya harus ke sana deh!"
"Ya memang asyik sih biarpun bahaya. Mbak e bisa berenang kan?"
"Enggak."
Dan si mas ojek menatap saya dengan tatapan cewek-ini-pasti-udah-gila.
Hahaha. Dia belum tahu saya.
Saya cuma menghabiskan dua jam di sana... tiga jam dengan perjalanan pulang pergi plus mampir di Watu Ulo sebelumnya. Ini pantai yang asyik untuk didatangi ramai-ramai dan berfoto ria, lalu makan seafood sepuasnya. Menginap di sini oke banget. Harga per malam murah. Kita bisa melihat pemandangan sunrise dan sunset. Pantai yang lengkap kan? :)
Si mas ojek mengantar saya kembali ke Balung. Lihat saya cuma foto-foto view dan mengamati sekitar, dia pikir saya lagi bikin skripsi tentang pariwisata! Hahaha.
Again? Tahun 2014 guweh masih dikira mahasiswa? Duh... wakakak..
*Bentar, ngaca dulu*
Nah, sampai di Balung, si mas ojek ini langsung mengantar saya ke tempat ngetem bus jurusan Lumajang yang siap berangkat (kalau naik dari terminal, ngetemnya lama).
Saya sodorin dia uang seratus ribu. Dia terperangah. Mungkin dia pikir cuma 80 ribu untuk pulang pergi sesuai kesepakatan.
"Ini saya tambahin, Mas. Ambil aja. Ikhlas kok. Kan udah nganterin saya bolak-balik dengan selamat. Makasih lho, Mas."
"Nuwun Mbak." Dia terima uang itu dengan khidmat. "Semoga selamat sampai tujuan, Mbak."
Lalu saya naik ke bus, yang tak lama kemudian melaju meninggalkan Jember.
Saya dapat satu pelajaran moral. Bahwa 'don't judge a book by its cover' itu memang benar. Si mas ojek yang mantan narapidana dan berpenampilan seram itu ternyata baik dan sopan. Dia bisa aja kan jahat ke saya, secara kami melewati tempat-tempat sepi.
Dan benar kata dosen mata kuliah Penologi saya dulu.. (penologi adalah ilmu tentang pemidanaan/pemberian hukuman). Tujuan pemidanaan adalah memberi efek jera. Efek itu pasti berdampak, sedikit atau banyak.
Tugas masyarakat adalah memberi kesempatan mantan napi untuk memperbaiki diri, bukannya menjauhi.
Aduh jadi kangen almamater! ^^
Perjalanan pulang ke Lumajang sama mengasyikkannya seperti berangkat. Belum terlalu sore waktu saya tiba di hotel. Malamnya, dijemput Rona untuk ngopi seperti yang sudah saya ceritakan duluan.
Lalu saya packing. Mas Ari akan mengantar saya pagi-pagi ke terminal untuk pulang ke Surabaya. Tapi sebelumnya, dia akan menunjukkan situs benteng kuno kerajaan Lumajang kuno.
Stay tune! ^^
- E -
Ps: foto menyusul ya, ini posting dari hape. Modem saya harus install ulang.
5 comments:
Bener lho ya fotonya diposting. Fansnya pada nungguin
-ika-
bolak-balik saya dengar kata Papuma, dan juga melihat orang memajang foto-foto tentang pantai itu, tapi baru sekarang saya membaca cerita orang yang bepergian ke sana, dan asyik
sayang nama busnya tidak disebut :-)
seneng baca tulisan mbak enno ini, ceritanya seru banget.
di tunggu lanjutannya hehe
@ika: itu fotonya udah di tulisan berikutnya yaaa :D
@mas faizi: aduuuh maap mas hehe... lupa nama busnya. pokoknya yang ke jember aja deh. ga ada lagi :P
@dedaunan hijau: makasih ya udah baca... :P
mba duh jalannya kesitu sendirian aja siyy.. ajak2 kita dong hehe.. tapi kalau mau jalan sendirian gitu emang harus observasi dan mental yg kuat ya mba?
Post a Comment