Sunday, February 16, 2014

Sepulchre Journey: Jejak Kompeni di Makam Peneleh

"Mbak, ini bukan ya, Mbak?" Sopir taksi burung biru yang sejak tadi berputar-putar mencari jalan menuju kawasan yang saya tuju memelankan laju mobil. Ia menunjuk sederet pagar separuh tembok separuh teralis yang berkarat dan terhalang tumpukan barang bekas dan gerobak-gerobak pemulung di tepi jalan.
"Iya bener ini, Mas! Stop Mas, stop!" Saya berseru senang.

Sopir taksi itu ikut tertawa. Selama hampir satu jam perjalanan berputar-putar dipandu GPS di ponsel saya, kami menjadi akrab. Dia sebaya dengan saya, dan baik. Kelihatan sekali niatnya untuk benar-benar mengantar saya sampai tujuan.
"Betul, Mbak. Ini kayaknya memang makamnya. Tapi saya nggak tau pintu masuknya."
"Ya udah, tunggu dulu ya, saya mau tanya bapak yang di sana itu."
Saya turun dan menanyai seorang lelaki tua di dekat pagar.
"Maaf Pak, numpang tanya. Ini betul Makam Peneleh?"
"Oh iya betul, Mbak."
"Pintu masuknya lewat mana ya, Pak?"
"Oh sudah terlewat, Mbak. Sampeyan harus mundur lagi. Nggak jauh, di ujung belokan sana."
"Oh gitu. Makasih ya, Pak."
Saya lalu kembali ke taksi dan membayar ongkos plus tips. Mas sopir tadinya mau memundurkan lagi mobilnya supaya saya tidak usah jalan kaki ke gerbang. Tetapi saya menolak. Jalan kaki saja, kata saya. Saya sudah biasa.

Seperti biasanya kaum cowok yang nggak tahu gimana saya, dia pun menatap saya dengan takjub. Di jalan, dia sudah menyatakan keheranannya karena saya yang berasal dari kota pedalaman yang jauh (saya lagi nggak bilang dari Jakarta), traveling sendirian di kota orang. Kok berani sih mbak?
Kedua, saya minta diantar ke kuburan. Ketiga, kuburannya kuno alias peninggalan zaman Belanda. Keempat, saya menolak diantar dan memilih jalan kaki memasuki gerbang kuburan yang dari luar saja sudah tampak spooky. Mungkin dia menganggap saya sudah nggak waras. Hahaha.

Setelah balik kanan dan berjalan ke arah belokan yang ditunjuk si bapak tua, sampailah saya di depan pintu gerbang teralis tua beroda yang sudah berkarat. Pintu itu tertutup dan terkunci. Ada sebuah plang papan tak jauh dari sana dengan tulisan Dinas Pertamanan. Makam Belanda Peneleh.

Yup. Saya berada di depan sebuah pemakaman dari masa kolonial di kawasan Peneleh, Surabaya.
Pagi itu, salah satu hari di bulan Juni, 2012.

Makam Peneleh dibangun tahun 1918 dengan nama asli De Begraafplaats Peneleh Surabaya.
Buat kebanyakan arek Suroboyo, pemakaman ini mungkin nggak menarik sama sekali. Dari luar pagarnya yang sudah berkarat, yang terlihat hanya puing-puing tembok nisan yang gompal, patung tanpa kepala, dan sesemakan tak terawat.
Sekilas memang menakutkan sih, dan konon memang angker. Saya nggak akan nyalahin kalau sebagian orang malas ke sini. Buat apa juga liat kuburan orang Belanda, yang nyaris hancur dan nggak terawat. Apa lagi kalau orangnya penakut.

Tapi kan bukan saya kalau tidak menantang diri sendiri. Maka, saya mengetuk-ngetuk jeruji gerbang dengan gembok besar berkarat yang tergantung di situ, sampai muncullah seorang kakek-kakek berwajah masam. Ih seram.

"Ada apa?" Semprotnya.
"Saya mau masuk. Boleh, Pak?"
Dia berdecak sebal. Belakangan, saya tahu, ternyata saya datang terlalu pagi. Makam dibuka jam 9 pagi sampai jam 3 siang. Saat saya datang baru jam 8. Hehe.
"Kamu dari mana?"
"Dari Jakarta, Pak. Jauh lho kalau saya disuruh pulang lagi," sahut saya dengan sangat defensif. Kakek-kakek ini bahkan lebih menyeramkan dari hantu yang dari kejauhan melambaikan tangannya ke saya, di antara nisan-nisan di kejauhan itu.
Si kakek masih berdiri saja sambil merengut. "Kamu mau foto?" Ia melirik Oly di tangan saya.
Ya iyalah, masa mau semedi minta nomor togel jam segini. Ealah Pak'e...
"Buat tugas?" Dia tanya lagi.
"Buat tugas kuliah," jawab saya kalem. Saya yakin. Sangat yakin dia percaya saya anak kuliahan. Tampang saya kan muda belia mempesona gini... *ditoyor sejagat blogger*
"Oh." Si kakek langsung membukakan pintu gerbang. Tuh kan! Apa gue bilang kan! Kan! Hihihi.

Begitu saya masuk melewati dia, saya mendengar dumelannya. "Anak purbakala kok seneng banget motret kuburan."
Ohohoho. Dia mengira saya anak arkeologi.. (atau jangan-jangan dia ngira saya orang zaman purba?) Mungkin memang ada beberapa anak jurusan arkeologi yang datang ke Makam Peneleh untuk riset. Duh, arkeologi itu keilmuan obsesi saya bangeeeeds! *ngusap air mata haru*

Nah, begitu saya melangkah memasuki kompleks pemakaman, yang tampak di depan mata adalah jajaran nisan-nisan besar dengan bentuk dan jenis bermacam-macam, yang semuanya kuno dan berkesan gotik. Beberapa bayangan 'sesuatu' mulai berseliweran juga di sudut pandang saya. Padahal masih pagi menjelang siang. Tetapi dengan kalem, saya mulai menyiapkan Oly tercinta.

Pasti ada yang tanya, takut nggak?
Nggak. Saya nggak takut. Nggak ada aura jahat di tempat ini. Saya merasa tenang dan damai berada di tengah-tengah deretan makam itu. Melangkah hati-hati di antara satu makam dengan makam lainnya, karena banyak sekali lubang yang mengarah ke dalam liang makam. Kalau kejeblos lumayan tuh. Huhu.
Tadinya saya pikir, lubang-lubang itu bekas pemindahan kerangka jenasah yang dibawa anak keturunannya ke Belanda. Belakangan, saya tahu itu ternyata lubang bekas para penjarah makam masuk ke liang lahat untuk merampok perhiasan yang dipakai si mati. Yang artinya, masih ada kerangka di dalam sana itu, Hiiiy!

Sebagai penggemar bangunan kuno, saya takjub dengan berbagai bentuk nisan di pemakaman ini. Nisan-nisan itu ada yang terbuat dari marmer, dari semen, ada juga yang terbuat dari besi tempa. Bermacam-macam ornamen juga menjadi hiasan setiap makam. Beberapa ornamen merupakan simbol yang menunjukkan profesi atau jati diri si mati.
Salib biasanya ditemukan pada makam pastor atau pemuka agama kristen dan orang-orang yang semasa hidup dianggap religius. Senjata (biasanya senapan laras panjang) pada makam prajurit. Malaikat perempuan atau anak kecil biasanya pada makam kaum perempuan dan anak-anak.

Beberapa ornamen khas di Makam Peneleh yang kerap dipakai di pemakaman abad 18 sampai 19 adalah pahatan atau patung cherub (berbentuk malaikat perempuan atau anak kecil bersayap), simbol urn (berupa pot atau jambangan) dan simbol death's head (tengkorak dan tulang yang bersilang seperti simbol di bendera bajak laut).
Cherub adalah simbol perasaan sedih karena ditinggalkan oleh si mati. Death's head adalah simbol peristirahatan abadi. Urn adalah simbol kehidupan setelah kematian. Biasanya ada satu simbol lagi, yaitu Willow tree, yang daunnya mirip daun petai cina. Willow simbol keabadian. Tapi saya belum lihat simbol ini di Peneleh kemarin.
Eh, saya juga menemukan simbol ular yang menggigit ekornya sendiri. Yang itu lambang anggota persaudaraan Freemasonry.

Saya teruuus saja berjalan semakin memasuki kompleks pemakaman itu.
Hantu yang saya lihat dari kejauhan tadi sepertinya melayang-layang mengikuti saya di belakang. Karena kena sinar matahari, wujudnya transparan. Saya berusaha tidak terlalu memperhatikan (karena malas diajak komunikasi). Sepertinya dia laki-laki, dan saya biarkan saja asal tidak mengganggu.

Saya prihatin banget dengan kondisi pemakaman yang sebenarnya termasuk cagar budaya ini. Kondisinya sangat tidak terawat dan nyaris berupa puing-puing. Banyak patung yang hilang, cuma terlihat bekasnya saja. Konon dicuri dan dijual sebagai barang kuno kepada kolektor. Selain lubang-lubang bekas penjarah makam yang menganga di sana-sini, banyak kambing berkeliaran di pemakaman itu. Ada kambing yang berbaring di atas nisan marmer seorang mevrouw yang meninggal karena sakit (ada inskripsi atau penjelasannya di nisan). Ada kambing lain yang tanpa tedeng aling-aling menaburkan beraknya di atas makam seorang anak kecil tujuh tahun yang meninggal karena wabah kolera.
Sementara itu, jemuran baju melambai-lambai santai di atap cungkup atau kubah nisan. Penduduk setempat menjadikan pemakaman itu tempat menjemur baju. Hebat!

Kenapa sih pemerintah kota sebesar Surabaya tidak bisa mengikuti contoh Jakarta sebagai sesama kota besar, yang menata dan merehab peninggalan cagar budayanya dengan baik?

Saya mengerti bahasa Belanda sedikit-sedikit. Jadi inskripsi di setiap makam kuno itu bisa dipahami garis besarnya. Saya terdiam lama di depan makam seorang perempuan yang saya lupa namanya. Di nisannya ada ukiran bunga mawar dan tertulis, bahwa ia orang yang sangat baik dan meninggalkan suaminya yang sangat mencintainya, yang merasakan kesedihan mendalam karena kehilangannya.
Saya terharu. Terlepas apakah betul suaminya merasa begitu atau tidak, tapi saya memilih percaya. Orang-orang zaman dulu lebih tulus kan, ya? Udaaah, iyain aja deh.

Saya juga menemukan makam para biarawati dari Ordo St. Ursulin, termasuk suster kepala biaranya. Makamnya masih utuh dan bebas dari penjarahan. Begitu juga makam seorang pastor di sudut kiri kompleks. Nisannya tinggi dengan pahatan Yesus Kristus memegang salib.

Waktu saya sibuk motret, beberapa anak kampung yang sedang bermain di antara makam-makam itu memanggil-manggil saya minta difoto. Mereka tertawa cekikikan dan senggol-senggolan setengah malu, tetapi wajah-wajah bandel mereka bikin saya ikut tertawa.

"Sini!" Saya melambai. Mereka berlarian datang, masih sambil cekikikan dan dorong-dorongan. Lalu saya suruh berdiri berjejer dan difoto. Mereka berebut melihat hasilnya di layar kamera saya dan tertawa-tawa saling meledek pose temannya.
Tanpa saya sadari, hantu yang mengikuti saya nimbrung mendekat, lalu berbisik. "De kinderen zijn schattig."  Dia bilang, anak-anak itu lucu.

Kok dia ngajak gue ngomong bahasa Belande? Mungkin dia lihat gue manggut-manggut paham saat membaca inskripsi makam satu persatu kali ye..
Ini nih yang paling bikin malas. Diajak ngobrol. Sigh!

Sosok transparan itu berwujud laki-laki, setengah baya. Pakaiannya rapi, semacam jas safari berkantong depan, rambutnya disisir ke pinggir, dan dia punya kumis dan jenggot kelabu dengan model khas orang Belanda di foto-foto zaman dulu gitu pokoknya. Saya nggak tau warna matanya, tapi sepertinya kalau nggak biru, abu-abu. Dia nggak tersenyum, wajahnya datar. Tetapi auranya damai.

Setelah anak-anak itu pergi, mau tidak mau saya bertanya sama si penguntit. Baiklah, Meneer. Wat wil je? Anda mau apa?
"Nee. Ik zie dat je het nemen foto's hier."  Tidak. Saya sedang melihat kamu memotret di sini.
Doe je hier begraven? Apakah kamu dimakamkan di sini?
Dia menunjuk ke sebuah makam dan mengajak saya mengikutinya. Seperti kerbau dicocok hidung, saya mengikuti dirinya yang transparan itu menuju ke salah satu sudut kompleks pemakaman yang kondisinya kotor dan penuh rerimbunan belukar. Ia menunjuk sebuah makam yang sudah awut-awutan.

Saya tidak akan menyebut nama aslinya ya. Karena ini berkaitan dengan perasaan ahli warisnya. Siapa tahu baca, terus tersinggung leluhurnya diceritain jadi hantu. Maka kita sebut saja dia Om Willem.
Nah, si Om Willem ini bilang, dia dulu kerja di kantor dagang dan meninggal karena sakit. Kira-kira itu yang bisa saya tangkap dengan kemampuan bahasa Belanda saya yang semakin jarang dipakai semakin hancur. Hiks.

Saya pikir, si om mau curhat, seperti biasanya hantu-hantu itu kalau ngajak ngomong saya. Berasa Jennifer Love Hewitt di film Ghost Whisperer gitu deh akyu... wakakak *ditoyor kembali*
Ternyata dia cuma mau nonton saya motret ajah. Okelah Om. Secara zaman Belanda kan kagak ada ya cewek pegang kamera? Hehe.

Setelah dari makam Om Willem, saya melanjutkan penyusuran nisan-nisan bisu yang kondisinya mengenaskan itu. Di kejauhan, tampaklah sebuah bangunan tembok persegi empat yang tinggal menyisakan sepetak teras dan empat pilar, yang tampak sangat lusuh. Itulah Omah Balung (rumah tulang). Sebuah bangunan yang di zaman Belanda difungsikan sebagai krematorium dan tempat menyimpan tulang belulang jenasah lama, yang akan dipindahkan ke tempat lain atau dibawa ke Belanda.
Tak jauh dari Omah Balung, ada sekumpulan anak muda duduk-duduk di atas cungkup makam yang mirip pondok kecil. Mereka melihat saya dan berseru-seru mengajak saya mendekat.

"Ga er niet!" Jangan pergi ke sana! Om Willem berseru ketika saya mulai melangkah menuju Omah Balung. "Ze zijn niet goed." Mereka bukan orang baik.
Saya mengurungkan langkah. Yang bener ah.
Benar, katanya dalam bahasa Indonesia. Yeee... si om bisa bahasa Indonesia! Kenapa nggak dari tadiii... Pusing kan translate dengan kemampuan bahasa londo yang pas-pasan dan ancur-ancuran. Hih!

Akhirnya, saya memilih memotret di sebelah kiri pemakaman yang teduh karena dinaungi pepohonan besar. Di bagian itu, ada beberapa 'something' ikut ngerecokin. Untungnya sih, semua yang saya lihat nggak ada yang seram.

Setelah capek motret, saya jongkok dekat makam pastor sambil melihat-lihat hasil foto. Eh, ada dua anak kecil lari-lari melewati saya. Bukan anak kampung yang tadi, karena mereka langsung ting! Menghilang.
Lalu nggak jauh di depan saya ada makam seorang cewek. Meninggalnya masih muda. Nah dia ada tuh duduk di atas nisannya, lalu nyanyi. Nggak tahu lagu apa, tapi bahasa Belanda tentunya. Dia pakai baju putih berenda-renda, dan rambutnya pirang ikal. Cantik, sekilas mirip Taylor Swift.  Ejiaaah... saya dinyanyiin sama noni Belanda! Hahaha. Sudah mati tapi orangnya... *sigh*

Tadinya mau ikut nyanyi satu-satunya lagu Belanda yang saya tahu. Dosen matkul Bahasa Belanda saya dulu suka ngajak kami nyanyi lagu ini soalnya... wakakak.
Judulnya Als de Orchiden Bloeien (Bunga Anggrek Mulai Tumbuh). Ini bukan ciptaan orang Belanda, tapi ciptaan Ismail Marzuki.

Als de orchideen bloeien
kom dan toch terug bij mij.
Nogmaals wil ik met je wezen
zoveel leed is dan voorbij...

Bunga anggrek mulai tumbuh
Aku teringat kepadamu
Saat kita masih bersama
Kau duduk di sampingku...

Lho, lho! Pas gue terjemahin naga-naganya sih ini lagu patah hati ya?
Hih! Skip! Skip aja!
Lagian kenapa jadi nyanyi sih? Hiks. *menatap sendu langit kelabu*

Lama kelamaan saya merasa ada yang aneh dengan perut saya. Meronta-ronta gitu. Oh iyah, saya lapar, sodara-sodara! Ternyata sudah jam 12 siang. Lama juga saya berkeliaran di antara makam-makam dan orang mati. Saya lantas berkemas, memasukkan Oly kembali ke tas dan beranjak.

Om Willem muncul lagi, ketika saya mulai beranjak dari deretan makam-makam itu. Saya pamit dan bilang harus pulang. Dia mengangguk-angguk saja. Ya sudah, saya berjalan menuju gerbang yang sekarang terbuka lebar. Ngomong-ngomong selama saya berkeliaran di dalam, pengunjung makam (yang manusia) bertambah. Beberapa anak SMA yang berfoto narsis dan orang-orang yang hunting foto seperti saya.

Anak-anak kampung yang tadi masih bermain di dalam kompleks, namun di ujung yang lain. Sementara, anak-anak muda di atas atap juga masih ada. Tertawa-tawa entah mengobrolkan apa. Kambing-kambing masih berkeliaran di antara nisan gompal. Menaburi marmernya dengan kotoran mereka. Jemuran baju juga masih melambai-lambai.

Saya menatap semua itu dengan perasaan sedih. Sangat menyayangkan tempat bersejarah ini dibiarkan hancur pelan-pelan. Masa sih nggak ada satu pun pemerhati sejarah di kota sebesar Surabaya yang peduli?

Buat yang masih belum paham, kenapa saya gemes, kesel dan merasa situs sejarah ini penting, saya kasih tahu ya.

Situs ini berkaitan dengan sejarah perkembangan kota Surabaya. Nggak bisa terlepas dari itu. Dulunya, lokasi ini terpencil di tengah persawahan Kampung Peneleh dan Lawang Seketeng, dibatasi Hutan Undaan. Diapit dua sungai besar, Kalimas dan Pegirikan (entah masih ada nggak sih sungainya, wahai orang Surabaya?). Orang-orang Belanda itu, kalau mau memakamkan jenasah harus naik perahu menyusuri sungai dari Jembatan Merah, karena tidak ada akses jalan darat.

Di ujung jalan Makam Peneleh yang sekarang menjadi pasar buah, tadinya adalah dermaga untuk menurunkan jenasah, yang lalu dibawa ke pemakaman dengan kereta kuda. Ada lonceng perunggu pada tiang besi di dermaga Peneleh, yang dibunyikan jika jenasah sudah datang.
Tahun 1900-an, Belanda membangun jembatan dan jalan tembus. Dermaga itu berubah jadi pasar buah.

"Sudah mau pulang, Mbak?" Penjaga makam yang tadi bertanya ketika saya melewatinya hendak menuju gerbang. Mukanya nggak seram lagi sekarang. Badai sudah berlalu. Hahaha.
"Iya, Pak. Makasih ya. Saya sudah selesai. Ini buat beli rokok." Saya menyodorkan selembar uang kepadanya.
"Sama-sama, Mbak." Langsung sumringah mukanya melihat dia bisa beli setidaknya dua bungkus rokok filter dengan uang itu.
Ya nggak apa-apa juga sih dia dapat uang. Setidaknya dia menjaga pemakaman itu. Si kakek tinggal di sebuah rumah kecil dekat pintu gerbang. Dan saya lihat, ia juga menyapu makam-makam itu sebisa-bisa. Meskipun mestinya Dinas Pertamanan mengirim pekerja untuk membersihkan belukar di sana sini.

Saat menunggu angkot di pinggir jalan dekat makam, ada suara perempuan yang berbisik di telinga saya.
"Dag." Bye.
Hm. Ini pasti si Taylor Swift tadi.

Tapi nggak tahu kenapa, saya kepengin ke sana lagi kapan-kapan, kalau ke Surabaya lagi. Siapa tahu kan ternyata saya punya darah londo, terus leluhur saya dimakamkan di sana. Hahaha mimpi!

*brb sembunyiin hidung pesek* :))

..............................

PS: Saat mau edit foto untuk dipasang di sini, saya baru menyadari bahwa beberapa foto tentang Makam Peneleh di foldernya hilang. Foto anak-anak kampung itu pun tidak ada. Foto kambing di atas makam juga ada yang hilang. Sekitar 15-20 foto mendadak raib dari folder, entah kemana. Padahal saya ingat betul foto-foto itu seharusnya ada di foldernya. Aneh kan?

Sebel! Beneran harus balik ke sana untuk hunting lagi. Saya butuh foto-foto itu soalnya.

Salah satu makam yang sepertinya terawat dan sudah direhab ahli warisnya.


Makam para biarawati St. Ursulin

Simbol Urn atau jambangan, lambang kehidupan setelah kematian.
Simbol death's head di sebuah makam
Lempeng nisan yang terlepas


Image and video hosting by TinyPic

13 comments:

SoleildeLamer said...

aku malah belum pernah ke sana. yang aku tahu soal peneleh adalah... penyetan peneleh... #kemudianMlipir

Selfish Jean said...

Si Om bilang punya turunan ganteng yang single nggak No? #salahfokus

tantri cute said...

Aku ga takut sama hantunya kalo kesana. Takutnya sama mbah mbah yg malak pengunjung. Hahaha

TS Frima said...

seru sekali ya berburu foto di makam peninggalan Belanda seperti itu. Ke sana lagi dong, foto yang banyak :D

Unknown said...

kok ya seru tapi bikin merinding disko bacanya.... klu disamperin om wilem trus lg sorangan wae kek mbak enno gitu, mungkin saya udah pipis di clana hahhaha
btw,,, kalau terawat pasti pemakaman ini bs jadi objek yg keren

Samuel Yudhistira said...

sayang yah makam-nya banyak yang tak terawat, sampe ada yang dijarah gitu. hadeeh surem dah.

Enno said...

@annes makanan mulu ye :))

@mon: yg hantu jg mksdnya? :))

@tantri: dia gak malak. Tapi galak huhuhu

@rian: gantian, kamu aja :)

@rhey: haha ga serem kok... kan siang. Iya klo direhab keren kyk museum taman prasasti di jkt :)

@samuel: kondisinya mengenaskan bgt :(

Enno said...

@annes makanan mulu ye :))

@mon: yg hantu jg mksdnya? :))

@tantri: dia gak malak. Tapi galak huhuhu

@rian: gantian, kamu aja :)

@rhey: haha ga serem kok... kan siang. Iya klo direhab keren kyk museum taman prasasti di jkt :)

@samuel: kondisinya mengenaskan bgt :(

fika said...

mba enno haaiii, mampir niy aku ke blog setelah sekian lama..hehehe,itu bener ya abis baca langsung merinding.yang penasaran tu foto pada kemana ya mbaa..hiii

Sofiani Putri said...

Jadi penasaran kak kayak apa tempatnya :3

Enno said...

@fika: ah paling kehapus gak sengaja hihi...

@sofiani: kunjungi aja. Klo siang gak seram kok :p

Anonymous said...

Wah...hantunya bisa buat guru les bahasa Belanda nih. Ntar kalo pulang ke Surabaya mau les ke om Willem. Hehe
Btw, Kali Mas masih ada. Kalo kali Pegirikan, sekarang lebih terkenal sbg nama jalan (ngga tau kalinya di sebelah mana).

Salam kenal

Enno said...

@mamedium: silakan berkunjung ke sana haha.. oh kali mas msh ada ya? Mgkn kali pegirikan sdh surut? However, thanks infonyah ^^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...