Punten...
Akhir-akhir ini saya capek dan sebal dengan media sosial.
Ada apa sih dengan orang-orang?
Bisa nggak hidup dengan santai aja, gitu?
Terutama jika berkaitan dengan diri saya.
Nggak usah mikirin saya, nggak usah menyoroti perbuatan saya, nggak usah terpengaruh oleh saya, dan nggak usah pula menganalisa hidup saya.
Bisa? Masa enggak.
SATU
Nggak usah pedulikan saya dengan nyuruh kawin, tanya kapan kawin, cerita tentang kawin, kepada saya. Saya aja kalem, kenapa situ yang frustasi? Saya di sini ketawa aja, sambil asyik makan pisang goreng.
Sejak kapan urusan rencana kawin seseorang jadi urusan umum?
Sepanjang saya menulis di blog ini, pernahkah saya menulis tentang topik itu? Tidak kan?
Itu artinya, ada hal-hal yang tidak ingin, tidak perlu, dan tidak mau saya share dengan orang banyak.
Itu artinya, ada batasan privasi yang tidak boleh dilanggar. Paham ya? Oke sip.
DUA
Nggak usah jadi depresi juga kalau saya posting sesuatu di salah satu akun sosmed. Nggak usah membahasnya rame-rame di belakang maupun di depan saya.
Nggak usah merasa tersindir, terhina, terzalimi, menuduh saya menulis untuk menyakiti.
Well, darlings... saya orang yang to the point.
Sejauh masih bisa saya hubungi, masih bisa saya ajak omong baik-baik, masih bisa saya temui entah di pojok planet bumi sebelah mana, nggak sengaja sembunyi dan menghindari saya, ya saya lebih suka bicara langsung.
Nggak lupa dong kalau saya ini penulis?
Pernah nggak terpikir bahwa apa yang saya publish itu hanyalah penggalan dari draft novel saya? Semacam lintasan ide untuk dialog. Semacam mood booster untuk salah satu bab. Atau hanya buah lamunan nggak jelas sambil menatap jendela di kala hujan. Pernah?
Karena itulah yang sebenarnya terjadi.
Saya nggak merasa perlu menyindir orang, sejauh saya bisa ngomong langsung, atau bahkan memakinya kalau perlu.
Kalau pun saya 'tergoda' untuk main sindiran sedikit, biasanya di ujung kalimat saya tambahkan: #iyaininyindir. Buat saya itu cukup adil. Toh saya juga tidak anti disindir. Sindirlah aku jadi pacarmu. #eh
Simple. Hidup itu dibikin simple, darlings.
Di sana kalian kebakaran jenggot, di sini saya cuma ketawa aja.
TIGA
Sementara itu, ketika saya sedang berbahasa asing yang bukan Inggris, tak usah repot memikirkan kausalitas. Sebab-akibat. Menduga-duga dan menyimpulkan sendiri apa gerangan tujuan saya bermulti bahasa.
Tak usah jidat sampai berkerut, berlipat, lalu bertanya kenapa saya tiba-tiba jadi berbahasa Perancis atau Belanda. Tak usah menghubung-hubungkannya dengan seseorang atau sesuatu yang membuat saya terkesan kampungan kalau melakukannya.
Yah... saya sih ketawa aja.
Saya nggak tiba-tiba berbahasa Perancis. Nggak tiba-tiba berbahasa Belanda.
Di SMA, pelajaran bahasa asing kedua kami setelah Inggris adalah Perancis. Saya juga pernah kursus bahasa Perancis di Pusat Kebudayaan Perancis (CCF).
Bahasa Belanda? Setiap mahasiswa Fakultas Hukum wajib ikut mata kuliah Bahasa Belanda. Tanya aja mahasiswa FH seluruh Indonesia.
Siapa sih saya?
Nggak usah segitunya perikehidupan kalian merasa terganggu oleh eksistensi saya.
Tulisan random saya aja sampai dipikirin dan bikin galau.
Saya ketawa aja, tapi saya juga muak.
Ada apa sih dengan orang-orang?
Keep calm and get a life.
Saya ini cuma seorang manusia yang sedang mengurusi hidupnya sendiri. Nggak sempat mengurusi orang lain.