Pukul lima sore, tiba-tiba saja saya sudah ada di seberang Taman Apsari, di Jalan Gubernur Suryo. Saya jalan kaki. Tapi lupa habis dari mana. Yah, namanya juga lagi galau.
Yang saya ingat, saya berdiri mematung di depan lampu lintas yang tak kunjung merah. Bingung, kenapa selalu hijau. Lalu ada seorang bapak yang bertanya, apakah saya mau menyeberang. Saya mengangguk. Ia bilang, lampu lalu lintasnya sedang rusak. Hah?
Akhirnya, saya ditolong menyeberang oleh seorang tukang nasi goreng sambil mendorong gerobaknya yang besar.
Hell yeah!
Bahwa pahlawan itu bukan cuma Superman, Batman, Satria Baja Hitam atau Pahlawan Bertopeng.
Tukang nasi goreng pun bisa, sodara-sodari!
Saya pun berjalan terus ke arah taman. Langit mulai menggelap. Saya ingat, ada situs purbakala di taman itu. Sebuah arca yang dinamai Joko Dolog. Kepalang tanggung sudah di sana, saya buka Google Map. Ternyata letaknya cuma 200 meter dari tengah taman tempat saya berdiri. Dari kejauhan tampak area berpagar diteduhi sebuah pohon beringin sangat besar.
Di depan pagar itu ada gapura masuk berbentuk candi bentar, sementara di sampingnya ada plang putih bertuliskan Arca Joko Dolog - Perwujudan Raja Kertanegara, Senja semakin temaram. Dan bukan salah bunda mengandung, kalau pintu gerbangnya tertutup dan digembok. Hahaha. Damn shit!
Saya celingukan di depan gerbang yang terkunci itu. Sementara, beberapa bapak-bapak tampak sedang duduk-duduk di dalam. Salah satunya melihat saya, lalu menghampiri. Seorang bapak berkumis dan berwajah preman. Suwer deh. Tapi dia tersenyum ramah dan bertanya, "Mbak, mau masuk?"
"Iya, Pak. Saya kesorean ya? Sudah tutup?"
"Lho iya, Mbak. Juru kuncinya sudah pulang."
Hooo... saya pikir, dia juru kuncinya.
"Mbaknya dari mana?'
"Saya dari Jakarta." Seperti biasa, selalu begitu jawaban saya kalau ada yang tanya.
"Wah, jauh ya. Kasihan juga. Hmm, gini deh. Mbak lompatin pagar aja kalau mau. Nanti saya pegangin."
What the...?
Tunggu. Tunggu sebentar, Paklik...
Saya melongo dulu menatap si bapak. Ciyus nih dia nyuruh lompat?
Tapi si bapak kelihatan ciyus bangeuds (alay detected hehe).
Lagipula, meski berkumis dan mukanya garang, auranya ramah. Dia lalu menunjuk bagian-bagian candi bentar yang bisa saya jadikan pijakan.
"Mbak naik dulu ke sini. Terus nanti nginjak ke sini. Gampang kok. Nanti saya pegangin."
Saya mengamati rute pijakannya. Secara logika sih oke. Saya bisalah merambat naik ke gapura itu. Nggak seberapa tinggi. Apa susahnya sih cuma lompatin gerbang pagar? Saya pengalaman banget dulu zaman suka kabur dari sekolah buat ngelayap.
Saya pun mengangguk. Mari, kalau begitu. Saya cantolkan ransel saya ke punggung, menyingsingkan lengan kaos, mengibas-ngibaskan pipa celana supaya lentur, lalu hap! Saya naik ke atas gapura.
Mudah-mudahan kalau sampai ada yang motret atau merekam, gerakan saya terlihat gesit bagai ninja.
Hihihi ngarep.
Si bapak memberi petunjuk kemana saya harus berpijak. Padahal, di atas candi bentar itu banyak tahi burung. Ya bodo amat lah ya. Sudah ada di puncak gerbang kok. Boro-boro kepikiran megang tahi burung. Saya cuma takut satu: nyantol di tonggak pagar, kaki saya nyelip di sela-sela jeruji, dan saya terjebak di situ, nggak bisa naik atau turun.
"Sini Mbak, lompat. Saya pegangin!" Di bawah saya, si bapak mengulurkan tangan.
Sementara hari sudah gelap aja, sodara-sodara. Azan magrib berkumandang. Sedangkan saya malah nangkring di atas candi bentar, pintu gerbang tempat bersemayam arca Baginda Prabu Kertanegara.
Sungguh epik, bukan?
Duh, maafkan hamba, Paduka Kertanegara. Jangan penggal kepala saya ya. Meskipun isinya galau to the max, tapi saya masih perlu kepala ini buat ngecengin Nicholas Saputra...
Dan saya melompat.
Dengan mantap.
Tanpa perlu dipegangi si bapak.
Ih, kerennya saya!
Sisa-sisa kejayaan sebagai anak tomboy nan badung ternyata tak hilang ditelan usia!
*nyengir*
Setelah berada di dalam kompleks situs, saya melihat ada tiga lelaki lain sedang bermain kartu di lantai, di teras tempat arca Joko Dolog berada. Mereka menyapa dengan ramah. Lalu membiarkan saya berkeliaran dan memotret. Masalahnya, hari benar-benar sudah gelap. Tak banyak yang bisa terekam kamera saya dengan jelas. Meskipun menggunakan blitz. Tetap saja buram dan tak indah. Justru, karena di bawah bayangan beringin raksasa itu, suasana mistis dan spooky yang terasa. Banyak mahluk-mahluk mulai menampakkan diri, membuat saya jadi hilang mood.
Tapi mari, saya ceritakan dulu tentang arca Joko Dolog ini yang nama aslinya adalah Arca Budha Maha Aksobya dan terbuat dari batu andesit.
Arca ini dibuat seniman Majapahit, Mpu Barada, atas perintah pendiri Majapahit, Raden Wijaya. Arca ini perwujudan leluhurnya, Prabu Kertanegara, raja Singosari terakhir yang beragama Budha Tantra.
Nggak heran kalau wujud arcanya mirip Budha, dengan sikap tangan membentuk bhumisparsa mudra. Alas sandarnya diukir prasasti yang isinya tentang penyatuan wilayah kerajaannya (di Jawa Timur).
Tadinya, arca ini berada di wilayah kraton Majapahit (Trowulan), yaitu di Candi Jawi. Lalu dicolong Belanda (Godverdomme, Meneer!), diangkut untuk dipajang di Museum Leiden. Tapi entah kenapa tidak jadi (konon kapal Belandanya mendadak mogok), dan akhirnya ditinggalkan di Surabaya. Disebut Joko Dolog, karena waktu ditemukan, arca ini terlantar berada di bawah tumpukan gelondongan kayu-kayu (dolog).
Nah kira-kira gitu deh. Kurang jelas? Silakan browsing ya kakak-kakak.
Kembali ke Petualangan Sherino (kan nama saya Enno).
Hari semakin gelap. Semakin gelap. Semakin gelap.
Saya keasyikan mengobrol dengan bapak-bapak itu, yang ternyata ramah, meski mukanya garang semua. Benar juga kata pepatah: don't judge a book by its cover.
Malah ada yang usul supaya saya bikin novel silat dengan latar belakang sejarah Majapahit. Alamaaak! Dasar bapak-bapak! Huehehe...
Tiba-tiba, begitu lihat jam, sudah lewat jam delapan malam! Duh, saya keasyikan kongkow dengan bapak-bapak! Saya pamit pulang, dan bertanya apakah masih ada taksi lewat depan Taman Apsari jam segitu. Ternyata, satu orang bapak menawarkan tumpangan motor ke saya. Karena dia juga mau pulang, dan arah rumahnya sama dengan arah apartemen sepupu saya, tempat saya menginap.
"Ndak ngrepoti tah, Pak?"
"Ndak, ndak, Mbak. Daripada mbaknya pulang sendiri. Nanti ada apa-apa di jalan. Satu arah kok."
Bapak-bapak yang lain menyuruh saya menerima tawaran itu. Bapak yang nolong saya bahkan meminjamkan helmnya, karena temannya itu tidak bawa helm cadangan.
"Pakai helm saya saja, Mbak. Saya ndak kemana-mana. Mau nginap sini kok."
Ih, jangan-jangan si bapak mau cari wangsit!
Akhirnya, saya setuju nebeng motor. Lalu kembali melompati candi bentar untuk keluar dari lingkungan situs. Singkat cerita, malam itu saya diantar dengan selamat sampai apartemen sepupu saya.
"Dari mana, Dek? Keluyurannya sampe malem banget. Gile.."
"Dari situs Joko Dolog. Dikunci tapi. Trus gue lompatin gerbangnya deh."
Sepupu saya terpesona begitu saya cerita lengkap soal lompat masuk gerbang situs purbakala.
Selagi dia masih melongo, saya tinggal tidur. Hahaha.
Itu adalah pengalaman yang tidak terlupakan.
Hal-hal seru kayak gini yang membuat saya suka traveling sendirian (atau maksimal berdua). Saya bisa pergi kemana saja, nyangkut di mana saja, membiarkan apa pun terjadi. Nggak perlu diskusi dulu, apalagi ngotot-ngototan dengan teman seperjalanan.
Paling malas itu, kalau dapat teman traveling yang 'nggak bisa diajak prihatin'. Yang milih-milih moda transportasi, tempat nginap, tempat makan. Waktu jadi terbuang percuma. No offense ya, ini saya nggak nyindir siapa-siapa lho. Hehehe.
Btw, dua hari kemudian, saya balik lagi ke sana siang-siang. Untuk memotret Prabu Kertanegara dan arca-arca kecil di sekeliling situs itu.
Kali itu, pintunya terbuka dong. Dan penjaganya ada. Bukan juru kunci lah dia itu. Karena dia PNS dari Dinas Purbakala. Haha.
Eh, kayaknya kalau ada audisi Maling Idol, saya dapat golden tiket ke final. Mantap banget soalnya, waktu saya manjat candi bentar. Memang nggak seberapa tinggi. Tapi tetap aja seru.
PS: Kalau kalian kesorean datang ke situs ini dan gerbang sudah dikunci, please jangan ikut lompat gerbang kayak maling. Saya pas lagi beruntung waktu itu. Siapa tau giliran orang lain, apes nyangkut di jeruji atau kepeleset tahi burung. Hihihi.
Arca Joko Dolog. Perwujudan Raja Kertanegara. Itu yang jadi alas duduknya adalah Prasasti Wurare tahun 1211 Saka. Ada tulisan memutar dalam huruf Jawa kuno dan bahasa Sansekerta. |
That's the candi bentar! Hahaha Ini pas sudah terbuka, siang-siang. |
Dwarapala. Arca penjaga sang prabu |
Foto-foto diambil dengan ponsel dan sudah diedit di Instagram.
Masih malas ngedit dari folder jepretan Oly the mirrorless.
2 comments:
Kasian, arcanya diambil dari tempat aslinya :( Gak ada niatan dikembalikan ke sana lagi ya, mbak?
Btw, liat makhluk astral apa lagi di sana? Jadi penasaran. hehe...
Hehehe Mirna, kayak berani aja klo diceritain :))
Post a Comment