Sunday, December 4, 2011

Teror

"Kamu ngapain lagi ke sana?"
"Nengok Pung."
"Ngapain sih kamu ngurusin dia? Dia kena HIV itu kan salahnya sendiri. Kenapa juga dia pakai narkoba! Udah biarin aja!"
"Apa maksud kamu? Aku harus ngebiarin sahabatku mati? Itu kan yang kamu mau bilang? Kamu nyuruh aku menelantarkan dia sementara keluarganya pun udah nggak ada yang mau ngurus? Ngomong aja langsung! Iya kan?"
"Kena HIV itu kan salahnya!"
"Berani-beraninya kamu ngomong gitu! Tuhan aja nggak nyalahin dia!"
"Darimana kamu tau Tuhan nggak nyalahin dia?"
"Kelihatan dengan nyata kok. Tuhan mengirim semua orang baik untuk merawat dia. Teman-teman yang solid, dokter-dokter dan perawat yang berdedikasi, uang untuk membiayai pengobatan dari keluarganya meskipun mereka nggak sudi menengoknya. Itu bukti Tuhan sayang sama dia."
"Tapi dia bisa nularin kamu!"
"Astaga! HIV nggak menular dengan mudah! Memangnya kamu nggak pernah membaca informasi tentang HIV/AIDS?"
"Pokoknya aku nggak suka kamu terlalu sibuk sama sahabat pecandumu itu!"
"You know what? I prefer to spend my time for him than for the narrow-minded people like you! Kita putus!"

................

Saya putus dengan pacar-tiga-tahun saya ketika ia menentang saya merawat Pung. Orang-orang bilang saya terlalu berani. Terlalu gegabah. Menyia-nyiakan waktu yang begitu lama terjalin untuk saling memahami. Mereka menganggap saya egois, bahkan mengira saya tak sedih karena hal itu.

Sesungguhnya saya sedih. Saya menangis semalaman sampai mata saya bengkak. Tetapi bukan karena cinta yang terpenggal saya berduka. Saya menangisi kegagalan saya memahami dia. Selama tiga tahun, saya berpikir telah mengenalnya. Ternyata saya baru mengetahui orang seperti apa dia hari itu, ketika kami bertengkar.

Hanya seorang lelaki picik. Yang hanya bisa memaki dan menyalahkan orang lain. Tidak punya empati dan berhati batu.

Bukan cuma dia yang seperti itu. Beberapa orang yang sama piciknya juga mengatakan hal-hal buruk kepada saya dan teman-teman yang merawat Pung. Saya bahkan tidak bercerita pada satu pun keluarga dan saudara-saudara saya karena saya tahu mereka seperti apa. Seandainya pernah terpikir oleh saya kapan saya merasa sendirian di dunia, saat itulah waktunya.

Seperti seseorang yang terdampar di pulau yang mengapung-apung di samudera lepas. Dengan sebatang pohon kelapa untuk berpegangan. Seperti itulah perasaan saya, dan mungkin juga teman-teman kami.

Tidak semua teman Pung dan saya-teman kami- adalah orang-orang berpendidikan tinggi. Beberapa memang teman kuliahnya, menjadi arsitek dan punya pekerjaan bagus. Beberapa teman SMA-nya, dengan bermacam-macam pekerjaan. Beberapa teman yang kami kenal entah dimana. Salah satunya adalah seorang pengamen, namanya Wido. Dia hanya lulusan SMP, orang yang berasal dari kaki gunung di Jawa Tengah sana. Tetapi dialah yang paling hebat di antara kami. Selalu menyemangati Pung dan kami, dengan logat Jawa-nya yang medok. Kadang-kadang menyanyikan lagu-lagu Bon Jovi dengan gitarnya untuk Pung.

"Ini masih lagu kesukaan lu kan?" Tanyanya sambil tersenyum lebar, menampakkan gigi-giginya yang menghitam karena nikotin. Lalu mulai memetik gitarnya, menyanyikan lagu demi lagu dengan suara pelan karena takut mengganggu pasien di kamar lain.

Wido-lah yang paling sering menanggapi kenyinyiran orang-orang atas kondisi Pung dan kerelaan kami membantunya.
"Kalian itu mbokya diam saja kalau tidak mau membantu. Kalau kami tertular yang sakit, yang mati, ya kami, bukan kalian. Jadi kenapa ribut?" Ujarnya santai.

Kalau saya mulai panas dan ingin membalas komentar pedas, dia akan menepuk-nepuk bahu saya dan menyuruh saya mengambil air wudhu lalu sholat. "Sholat nduk, setan jangan dilawan lagi sama setan."

Hari ini, ketika saya melihat beberapa orang mulai menyerang secara verbal seorang ayah yang ODHA dan istri yang mendukungnya, saya sedih. Sedih sekaligus kagum, karena mereka menghadapinya dengan sangat bijak. Tak ada marah, tak ada murka, meski hati mereka tentu pedih. Saya tahu, karena saya pernah merasakannya.

Berbeda pendapat itu wajar. Tapi bukan untuk meneror orang lain. kan? Kalian boleh memelihara ketakutan kalian yang tak beralasan itu jika memang kalian begitu malasnya belajar memahami dan mencari informasi. Toh kalian yang rugi terpenjara dalam pikiran yang sempit.

Kalian boleh tetap bodoh, tetapi tidak berhak menjegal hak orang lain untuk hidup normal seperti kalian hanya karena ia berbeda. Dan adakah yang berbeda dari ODHA? Tidak. Mereka hanya sakit.

Dear all of you, narrow-minded people, 
when you point a finger at someone else, 
you should remember that four of your fingers are pointing at yourself!

pict from here

Image and video hosting by TinyPic

14 comments:

Dannesya said...

I don't have AIDS, I do want to be hugged! Let's hugging each other... :)
since we'll be much better after that.

Wuri SweetY said...

Setuju banget mbak, Kalopun mereka berbeda pendapat setidaknya sedikitlah berempati, jika empati mereka ga bisa, diamlah. Jgn malah menyakiti dan berusaha menyingkirkan. Itu benar2 ga adil..
Aku blm pernah bertemu ataupun kenal dgn ODHA tp kepedihan mereka yang terdiskriminasi membuat hatiku tersayat jg.

JejakShally said...

sebelum ini, mba Enn juga pernah nulis tentang "Pung" yaa, soalnya aku pernah ikutan komen kayaknya. dan gak sangka "Pung" ditulis lagi sama mba Enn.
aku emang kurang paham tentang AIDS, dan aku juga gak punya ceerita seperti mba Enn ke Pung, tapi aku beneran salut sama mba Enn.
waktu itu aku sempet ijin keluarga buat ngelakuin semacem aksi sosial, dan itu bener-bener dilarang (yaaa banyak alesannya mba, aku juga bingung mau ngebantah gimana). walau pun aku cuma bisa ngebayangin rasanya jadi mba Enn pas disamping "Pung", aku pasti seneng banget punya Pung yang disayang Tuhan, karena pasti Pung ngasih aku pelajaran ajaib.

hehehheee... maaf mba jadi nyerocos panjang ini :P
salam untuk mas Wido :)

avrilblue said...

sedih baca tentang pasangan suami-istri itu...
semoga mereka tetap kuat...

Enno said...

@annesya: pelukan itu memang termasuk terapi utk kesembuhan lhoo.. mengandung sugesti positif... jd mari berpelukaaaan! *posisi teletubbies* :))

@wuri: ah kesimpulan yg pas! bener banget! setuju :)

@shally: memang kdg2 mau berbuat baik itu susah, dan seringnya hambatan justru dtg dr keluarga atau org2 terdekat, spt mantanku itu. pacar sih bisa diputusin, klo keluarga mana bisa ya? aku jg dulu ga prnh crita apa2 kok sm keluarga. untungnya emang ga serumah dan ga sekota.. tp klo kamu memang pny niat baik membantu sesama, sll byk cara dan pasti ketemu jalannya. percaya deh... semangkaaaa! oh btw soal wido ntar aku critain tersendiri ya :D

@avrilblue: mereka hebat. amin doanya :)

@

Arman said...

salut sama semangat lu dan wido, no!!

Enno said...

@arman: ah itu kan gunanya teman ya man... pertemanan itu diuji ketika salah satu dr kita diuji kesusahan. teman sejati nggak akan lari :)

@hamster: udah beres :)

JejakShally said...

ok cerita Widonya ditunggu klo begitu :)
setuju juga mba, pasti ada kesempatan untuk memberi heheheheeee.

Enno said...

tapi kesempatan hrs dicari lho bkn ditunggu... :P

Hikmah said...

semoga postingan ini bisa menyadarkan mereka yang tidak tahu soal AIDS itu :)

JejakShally said...

hehehheeee deket2 ini ada sih mba. dan kesempatan itu sesuatu yang dicari yang nantinya jadi pilihan :p
semoga kali ini sukses heheheee :)

Enno said...

@hikmah: amiiin.. seenggaknya bikin org2 yg ga setuju berpikir dua kali klo mau komen ga enak ke ODHA dan keluarganya... sedikit empati, itu aja lah :)

@shally: yay! klo gitu ganbatte! :D

Hans Febrian said...

semua orang perlu ngerasain kyknya gimana rasanya berbeda dari general population. biar dunia ini aman damai tentram dan sejahtera ya enn.
coba semua orang ngerasain gimana gak enaknya didiskriminasi..

Enno said...

bener hans... apalagi cuma krn sakit.. dan sakitnya jg gak menular semudah flu...

:(

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...