Saturday, December 3, 2011

Ironi

Hari AIDS Sedunia hari itu.

Saya sedang menulis beberapa tweet tentang HIV/AIDS di akun twitter saya, sambil teringat Pung sahabat saya yang meninggal karena HIV/AIDS.

Hari AIDS Sedunia katanya. Tiba-tiba di timeline terbaca ironi.

Sebuah sekolah dasar dari yayasan pendidikan terkenal, punya nama dan reputasi baik, tiba-tiba membatalkan penerimaan seorang gadis kecil karena ayahnya adalah ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Padahal gadis kecil itu baik-baik saja. Sehat walafiat.

Hebatnya, pembatalan itu hanya melalui SMS. Lebih hebat lagi, menurut ibunda si gadis kecil, dokter dari yayasan pendidikan yang bersangkutan juga menghakimi puterinya. Seorang dokter perempuan, berpendidikan, tentunya cerdas, dan seharusnya lebih punya empati dibandingkan orang-orang awam di luar sana. Mau tahu apa yang dia katakan pada ibu si gadis kecil? HIV/AIDS itu keturunan!

Masih belum cukup rupanya ironi di Hari AIDS Sedunia itu, seorang perempuan yang juga seorang ibu memberi komentar yang tidak sepantasnya. Ia menganggap hal itu bukan diskriminasi. Alih-alih berempati (ia juga punya seorang anak perempuan kecil yang fotonya dipajang di akunnya), dengan enteng ia malah menyuruh orangtua si gadis kecil bersikap realistis dan mendidik anaknya dengan sistem home schooling saja. WTF?

Anda kuliah di sekolah kedokteran mana, Bu Dokter? Saya punya beberapa sepupu dan banyak teman yang menjadi dokter. Tak ada satupun yang memberitahu saya bahwa HIV/AIDS dapat diturunkan secara genetik. Itu penyakit akibat virus. Kemungkinan penularan kepada seorang anak terjadi jika ia dilahirkan oleh ibu yang positif HIV dan itu pun harus dipastikan dengan berbagai tes sejak ia masih bayi. Tetapi gadis kecil itu dilahirkan dari seorang ibu yang sehat, ayahnya lah yang ODHA. HIV/AIDS bukan penyakit genetik yang diturunkan, tidak sama dengan diabetes atau skizofrenia yang bisa diturunkan secara genetik dan akan muncul sewaktu-waktu atau beberapa tahun kemudian. Teman-teman dokter, tolong koreksi kalau saya salah.

Tetapi, DISKRIMINASI-lah yang harus digaris bawahi di sini.

Saya tidak suka membayangkan gadis sekecil itu harus menghadapi kekejian yang belum dipahaminya. Ini bukan hanya tentang gadis kecil itu. Ini tentang semua anak yang orangtuanya adalah ODHA. Tentang para penderita HIV/AIDS dan keluarganya yang tidak hanya harus berjuang menghadapi penderitaan fisik, juga harus bertahan dari pandangan buruk orang-orang yang tidak paham.

Orang-orang yang picik menganggap AIDS adalah kutukan. Penyakit kotor. Memperlakukan penderitanya sebagai sampah masyarakat.
Tetapi siapakah kalian wahai kaum picik bodoh, termasuk kau perempuan yang berkomentar buruk kemarin, yang berhak mencela dan memaki-maki? Tuhan saja tidak pernah mencela umatNya. Tangan-Nya selalu terbuka memberi ampunan jika kita bersalah. Lagipula tidak semua penderita AIDS adalah orang-orang yang bersalah.

AIDS bisa menimpa siapa saja, bahkan bayi tidak berdosa dan orang yang paling religius. Ia bukan hanya menyerang kaum gay, pekerja seks komersil atau para pecandu narkoba. Buka wawasan kalian, please. Jangan cuma bisa menghujat.

Hari itu Hari AIDS Sedunia. Dan saya menangis sampai jatuh tertidur. Teringat betapa beratnya hari-hari ketika saya ikut merawat Pung.
Pung yang kecanduan narkoba, Pung yang HIV positif. Pung yang dijauhi keluarganya karena mereka jenis orang-orang yang picik itu.

Kami, teman-temannya, bergantian menjaganya. Orangtuanya masih mengiriminya uang untuk segala macam biaya, meski tak pernah sekalipun menengoknya. Uang itu hanya sekedar rasa kemanusiaan yang masih tersisa, selebihnya Pung sudah terbuang. Mereka pikir toh pada akhirnya Pung akan pergi. Tetapi mereka tak mengerti, Pung tetap manusia yang punya perasaan meski fisiknya tak lagi sama.

Ketika ia terbaring seperti tengkorak hidup di atas ranjangnya. Ia masih Pung, sahabat yang saya sayangi. Yang acapkali menanyakan ayah ibunya, adik-adiknya, abangnya. Ia menyimpan kerinduan itu sampai detik terakhir.

"Mereka tidak datang?" Ia bertanya lirih.
Saya menggeleng sedih.
"Mereka udah ngebuang gue ya, No?"
"Mungkin banyak hal yang kita nggak tau, Pung. Tapi jangan berpikir mereka ngebuang lu. Mereka masih peduli, masih kirim uang."
"Gue nggak butuh uang. Nggak apa-apa gue nggak diobatin terus mati sekarang, asal mereka ada di sini sekali aja untuk gue ucapin maaf."

Tanyakan pada saya hari-hari yang menyakitkan ketika seorang arsitek cemerlang, cerdas dan bermasa depan cerah tiba-tiba menjadi ODHA. Tanyakan pada saya perjuangan kami mendampinginya, menepis semua stigma buruk dari orang-orang yang tidak mengerti bahwa ini bukan kutukan, bukan wabah yang menular dengan mudah. Tanyakan bagaimana kami akhirnya membuktikan kepada dunia, bahwa kami bersih. Tidak tertular olehnya.

Googling. Cari tahu tentang HIV/AIDS sebanyak mungkin. Ikut seminar, berdiskusi dengan para relawan, ODHA dan dokter-dokter yang kompeten!

Informasi tersedia begitu banyak,
kenapa kalian masih seperti katak dalam tempurung saja?

pict from here

Image and video hosting by TinyPic

10 comments:

Arman said...

HIV/AIDS itu penyakit turunan?
si ibu dokter itu pasti gelarnya nembak... :P

Ajeng Sari Rahayu said...

Enno, sampe merinding aku ngebacanya. Apa pandangan org ke HIV/AIDS sampe semengerikan itu? Hatinya tertutup T_T


Semoga Pung, mendapat tempat terbaik di sisi-Nya, amin.

Unknown said...

kak aku belum baca semua, cuman mau koment, themes blognya manis :DD

Anonymous said...

Yang gue heran, bagaimana orang-2 tahu status kesehatan orang tua si gadis? Bukankah status penyandang HIV atau Aids itu privacy?

Atau dia sendiri yang menyatakan bahwa di adalah OHDA?

Salut buat simpati, Enno tentang penderita AIDS. Semoga kita semua terhindar dari virus yang hingga kini tak ada obatnya itu.

Windi Siregar said...

Iya, aku liat beritanya di tv atau di koran ya aku lupa.
Tapi jujur, miriiis banget. Di jaman se canggih ini, informasi bertebaran dimana-mana, masa mereka tetap saja menganggap ODHA adalah orang yang harus di diisolasi, yang gak punya kesempatan untuk sembuh dan bebas mendapatkan fasilitas yang sama dengan orang sehat lainnya.

Ada kok anak yang tidak tertular HIV padahal pada saat hamil ibunya sudah positif HIV.

Lagipula, si anak itu gak berdosa loo. Dia gak tau apa2.

Aku juga punya anak, jadinya bener2 miris ngebayangin perasaan orangtuanya dan anak itu :(

Semoga semakin banyak orang2 pintar atau cerdas tepatnya yaaa.

orang-orang yang otaknya dipake untuk mikir sedikit lebih panjang dan gak jalan di tempat

*kok aku jadi ngomel*

hahahahahah!!

Makasih ennooo udah bahas soal inii *peluk*

Dari kmaren2 udah baca2 tulisan ttg Pung. Semoga Pung di ampuni semua dosa2nya dan mendapat tempat yang terbaik di sisiNya ya. Amin

Enno said...

@arman: iyaaaa gw juga mikirnya gitu man... dia sebenernya sekolah dokter kagak sih!

@sadako: masih byk yg kyk gitu di indonesia, bhkn di seluruh dunia. diskriminasi thd ODHA dan keluarganya itu nyata. prihatin ya? :| amin,thx doanya buat pung :)

@adhel: makasih ya, templetnya manis semanis orgnya kan? hehe... baca dong adek, jd nanti bs ikut nerangin ke temen2nya spy gak mendiskriminasi penderita HIV/AIDS dan keluarganya.. yah? yah? ;)

@mas arik: ayahnya memutuskan membuka status penyakitnya ke pihak sekolah, dgn mksd mengantisipasi jika suatu hari org2 tau dan anaknya dibullying di sekolah gara2 itu. kepseknya sih ga mempermasalahkan, tp pihak yayasan yg keberatan dgn alasan permintaan ortu murid2 yg lain (pdhl mrk tau dr mana coba? sekolah aja blm dimulai), plus dokter antek yayasan itu memperkuat justifikasi tsb. amin ya mas, smoga kita dilindungi Tuhan dan sll diberi kesehatan :)

@cimot: yg udah paham spt kita wajib memberi pemahaman kpd yg lain, yg blm paham win... amin, makasih doanya buat pung ya :) *peluk lagi*

Ratna 'Nana' Mulyanaputri said...

semoga Pung mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya.. Amiin..
Wah tuh dokter ngaco ! Terlalu sibuk mungkin kali ya jadi ga bisa mencari tau informasi yg bener tentang HIV/AIDS. Sejak kapan HIV/AIDS jadi penyakit yang diturunkan secara genetik? Padahal Ibu ODHA pun masih bisa mendapatkan anak negatif HIV kalau melakukan pemeriksaan secara rutin (lebih lanjut baca di majalah Kartini)

Salam kenal,

Wuri SweetY said...

Semalaman aku ngikutin twit mereka, Ayah I*M*, Mamanya I*M*. Ga habis pikir dgn ibu yg bikin twit seenak udelnya, bener2 ngehang otak ibu itu. Dia bilang "mau ga munafik aja koq susah"
Gusti ALLAH ibu macam apa dia ini, punya anak perempuan juga, koq bgtu aja bikin twit menyakiti hati orang. Ampe skrg masih nyisa mangkelnya.
Moga aja yg diperjuangkan Ayah I*M* segera mendapat titik terang demi ODHA dan kelurga ODHA seluruh Indonesia.

bulkis said...

Mata sya agak basah mmbaca tulisan ini hee, jadi ingat pasien2 Paru +AIDS yg sya tunggui d rumah sakit..mlihat bgaimana mreka mnanggung beban di vonis AIDS + tatapan aneh dri org2 yg mngetahuinya, seolah mnyentuh kulitnya sja bsa trtular..itu mnyedihkan..
Sejauh ini, sya sih msih sehat2 sja..walaupn tidak skali mnyentuh mreka...minimal,jangan menatap mreka dgn pandangan aneh deh..toh, blum tentu qta lbih baik dri mreka yg mnderita kan...
Tinggal mmpelajari penularannya lewat mana..jdi bsa mnghindarinya, bukan malah tdak mmanusiakn mreka..
"Selamat Hari AIDS"..

Enno said...

@nana: dokter itu sepatutnya sdh tau sejak dia msh kuliah malah. thx ya doanya buat pung, salam kenal jg nana :)

@wuri: iya ya pdhl dia jg pny anak... yg ngeselin, suaminya jg sptnya membela bininya (klo baca bbrp twit di akunnya)... mbokya pny bini kyk gitu tuh dinasehatin, kok malah sepaham ckckck prihatin :(

@bulqiss: ah kmu benar dear, mrk bkn benda yg bs dibuang klo rusak...hey salam buat pasien2nya ya,, semoga mrk tetap kuat dan sehat lagi. titip mrk ya... and keep your spirit too ;)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...