Sunday, October 30, 2011

Dunia Iman

"Pakai kacamata, jangan softlense. Udaranya berdebu banget. Nanti malah bikin mata lu iritasi."
"Kacamata? Oke."
"Sepatu vantofel nggak apa-apa. Tapi sebaiknya keds aja. Kalau pas hujan, kaki tetep bersih."
"Yes. Dicatat."
"Bawa bekal minum. Kualitas air di sana buruk, meskipun sudah dimasak. Kecuali perut lu punya kekebalan terhadap bakteri e-coli dan disentri."
"Sumpah, nggak kebal. Gue bawa deh!"
"Good. Selebihnya kita akan bersenang-senang."
"Hahaha. Sure!"

Dan Zizi benar.

Itu adalah tempat paling tak terbayangkan dalam benak saya. Perkampungan darurat di tengah-tengah tumpukan sampah. Begitu memasuki wilayah itu, udara busuk langsung menyerbu pernapasan. Kami harus berjalan menyelusup di antara rumah-rumah terbuat dari papan dan kardus yang atapnya terbuat dari terpal. Udara pengap, lalat-lalat berpesta. Mahluk-mahluk menjijikkan itu bermanuver di udara menyambut kami.

Untuk sampai ke kampung itu, kami terpaksa harus menyeberangi lautan sampah. Mobil Zizi dititipkan di sebuah bengkel yang lumayan jauh, karena tak ada yang menjamin keamanannya jika kami parkir di dekat lokasi tempat pembuangan sampah yang sebenarnya liar itu.

Kami berempat. Selain saya dan Zizi, ada Aisah dan Tobi. Aisah menjinjing kantong plastik besar berisi buku-buku, Tobi membawa satu kardus berisi alat tulis. Saya dan Zizi menjinjing termos berisi susu dan keranjang berisi roti.

Sekelompok ibu-ibu tersenyum ragu kepada kami ketika kami melintas menuju bangunan darurat yang didirikan di jantung perkampungan kumuh itu. Sebuah bangunan kecil, 4x5 meter, yang biasanya dipakai warga sebagai mushola atau tempat pertemuan.

"Bu Guruuu!" Beberapa anak kecil berlari menyambut kami. Mereka berebutan menghampiri Zizi yang sudah mereka kenal, meraih tangannya untuk disentuhkan ke kening.

Zizi tertawa. Matanya berbinar-binar. "Halo kalian! Ibu Guru bawa teman-teman nih. Ayo salaman dulu."

Mereka menyalami kami. Anak-anak kecil berumur 4-10 tahun dengan tubuh kurus, dekil, dan bau. Sesuatu yang berat seolah menohok dada saya dengan telak. Masih ada anak-anak seperti ini di negara yang setiap tahun merilis laporan Badan Statistik Nasional tentang keberhasilan pemerintah menaikkan taraf hidup rakyat?

Zizi sudah lama menjadi pengajar sukarela di sana. Hari itu ia mengajak kami bertiga untuk bergabung. Bukan idenya sebenarnya, tapi ide Tobias, ketika kami berempat nongkrong di warung Roti Bakar Edy suatu malam. Zizi tentu saja senang. Kami lantas mempersiapkan beberapa hal, pembagian tugas, alat-alat tulis dan makanan bergizi untuk anak-anak itu.

"Ada yang mau roti dan susu?" di depan kelas darurat kami, Zizi langsung bertindak menguasai keadaan yang ribut, riuh rendah.
"Mauuuuu!" Anak-anak itu berteriak gembira.
"Kalau begitu, ayo duduk yang manis dan jangan ribut. Nanti dipanggil satu-satu ke depan. Semuanya pasti kebagian," ujar saya.

Anak-anak itu menurut. Mereka duduk dengan sikap manis yang lucu di lantai semen. Meski kumal, mereka tetap kanak-kanak yang polos. Wajah-wajah sumringah penuh harap itu menatap kami menunggu giliran maju ke depan mengambil jatah susu dan roti. Mereka yang sudah mendapatkan jatahnya kembali ke tempat duduknya di lantai dengan gembira, lalu mulai mencuili roti dan meneguk susunya.

Hari itu kami mengajari mereka menggambar. Itu ide saya karena saya tahu Tobi pandai menggambar. Ia dulu ingin sekali kuliah di Seni Rupa ITB, tapi gagal saat ujian masuk. Akhirnya dia mengambil Teknik Arsitektur di sebuah kampus swasta dan meneruskan hobi menggambarnya dalam bentuk rancangan-rancangan gedung atau jembatan.

Tobi menggiring semua anak-anak itu keluar dari kelas darurat yang pengap. Mengajak mereka duduk di lahan kosong yang menghadap ke perkampungan mereka dan gunungan sampah yang setiap hari mereka jelajahi.

"Nah bayangkan yang di depan kalian itu sawah, atau sungai, atau istana," kata Tobi. "Menggambar yang bagus di buku gambar barunya ya. Nanti kalau minggu depan kakak kesini lagi, kakak bawain pensil warna. Nanti kita warnai sama-sama ya..."

Saya tertawa. Tobi pernah bilang di Roti Bakar Edy waktu itu, ia tidak mau dipanggil 'pak guru.' "Berasa bapak-bapak," katanya sambil nyengir. "Nah kalian bertiga awas ya kalau manggil gue pak guru."

Hari itu, ada satu anak yang menarik perhatian saya. Seorang anak lelaki berumur kira-kira enam tahun bernama Iman. Anak itu lebih pendiam dibanding yang lain. Wajahnya lucu, imut, meskipun sama kumalnya dengan yang lain. Ia menerima roti dan susunya dengan tangan terulur sopan dan mengucapkan terima kasih dengan suara lirih.

Saya langsung terpesona dengan anak itu. Ia berbeda. Saya yakin itu. Dikemudian hari saya terlarut dalam dunia kecilnya yang tak sesederhana perkampungan kumuh tempat ia tinggal.

Tentang Iman, nanti saya akan bercerita. Tunggu ya.

Wish you were fine...
pict from here

Image and video hosting by TinyPic

15 comments:

rabest said...

ayo mbak..ditunggu cerita tentang iman... :)

JejakShally said...

cerita mba Enno ngingetin sama salah satu temen (teman ketemu di kereta, jadi bisa dibilang teman ngobrol)
waktu itu dia perjalanan mau ke yogya mba, ternyata dari obrolannya ternyata dia salah satu sukarelawan, dan ingin ngebantu anak-anak disana.

pasti seneng banget ya mba bisa nolong sesama..
ditunggu cerita si ajaib Iman :)

fika said...

hehe baca cerita mba enno serasa kita ikut serta di dlmnya..seru abis

Anonymous said...

yah mi iri mbak enno :(
pengen banget ada di situasi kaya' gini dari dulu..

Gloria Putri said...

well...walau pekerjaanku guru, sebenarnya aq juga ga mau dipanggil "bu" guru....mendingan miss aja klo gag kak glo...jd awet muda, xixixixix

bedewe, itu perkampungan dimana mba?
klo pas aq libur2+ada rejeki lebih, boleh dong aq di ajak begituan....

aq pengen bgt sbenernya punya sekolah gratis di perkampungan gt yg orgnya terbelakang juga :( semoga ada jalannya :)

Enno said...

@rabest: yuk mari :P

@shally: aku jg bbrp kali ke luar kota buat ngajar setelah ga ngantor tetap lg.. tp skrg dah ga mgkn, hrs nungguin bokap di rmh :)

@fika: smoga bisa menginspirasi ya fika :)

@mimi: jgn cuma pingin... kumpulin temen2 kampus, trus mulai deh... begitu dulu caranya aku ;)

@glo: bisa sih klo mau, ngajar di hari liburmu aja, ajak temen2 guru yg lain... di semarang juga byk anak jalanan kan?

JejakShally said...

wah... jangan jangan yang aku temuin itu salah satu rombongannya mba Enno hehehheeee...

titip salam ya mba, klo ketemu Iman lagi atau sahabat lainnya si Iman :)

Arman said...

ditunggu ceritanya ya no!!!
pengen tau lebih banyak tentang iman dan teman2nya... :)

*bakal jadi serial iman ya no? kayak dulu serial abe? :D*

Lia said...

asik ceritanya udah mulai ga sedih lagi, duduk ah di pojokan sambil minum susu dan biskuit. ayo mbak, cerita yang banyak :D

Enno said...

@shally: wah, mungkin juga shal hihi...

@arman: hehe kita liat dulu stok ceritanya ya man... hrs menggali dr buku diary soalnya :P

@lia: kumat2an sih... minggu ini sebenernya sedih krn pas setaun ibu meninggal... tp sengaja aku ceria2in. sakit kehilangan ibu nangisnya bisa lbh gawat dr kehilangan pcr soalnya hehe ;)

Dannesya said...

mbak enno... bleblebleble... *efekStresSkripsi*

Ninda Rahadi said...

ditunggu lanjutannya ini mbak :)

Gloria Putri said...

haha, temenku mana ada yg mau mbaaaaa.......
aq malah tb2 jd kepengen bgt jd guru SLB nihhh skrng :D
gara2 sering lewat YPAC deket rmh sakit t4 mama oprasi dl...
sampe skrng kpikir terus...tp bnyk yg nentang :(

Zippy said...

Gak bisa dibayangkan kalo saya ada disana.
Mungkin udah nyerah duluan minta pulang x_x
Btw, kok gak ada fotonya ya? :D
Padahal lebih keren lho klo ada fotonya :D

Enno said...

@annesya: bocah edan :P

@ninda: iya tunggu ya :)

@zippy: saya juga pny pikiran yg sama knp ga ambil foto.. :) mgkn ada bbrp di teman2 saya, tp udah lama bgt, agak susah menghubnya. lagian sy ga biasa pasang foto asli di blog ini, meskipun hal itu bikin saya dianggap identitas palsu. but i don't care :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...