Aku tidak pernah merasa serindu ini pada seseorang. Rindu yang melenyapkan sebagian kekuatan. Meluruhkan kegembiraan pelan-pelan. Begitu dalam. Begitu tak berpengharapan. Tak teraih dan pedih.
Aku belum pernah merasa sekosong ini. Terasa seperti ada yang melubangi diriku dan isinya berceceran sedikit demi sedikit kemudian menjadi hampa.
Lihatlah di dalam cermin itu. Ada seorang perempuan matanya merah karena airmata dan insomnia. Yang tubuhnya sedikit menekuk menahan beratnya pedih yang membebani.
Aku tak bisa lagi menatap wajahnya, kecuali dalam bingkai-bingkai kenangan di kepala. Aku kehilangan aroma tubuhnya yang menenangkan, tangan-tangan besarnya yang kasar dan hangat, juga matanya yang kecoklatan. Itulah masalahnya. Aku tak bisa membaringkan kepala di bahunya, tidur bersebelahan sambil saling mengolok. Hatiku dipenuhi rasa menyesal yang hebat karena begitu banyak menyia-nyiakan sisa waktu sebelum kepergiannya.
Terlalu sering marah, terlalu sering bepergian, terlalu sering membantah, terlalu sering mengabaikan harapannya.
Sudah terlambat untuk minta maaf, kata seorang bibi, yang membuatku sangat terpukul. Kamu sekarang hanya bisa mendoakannya saja supaya tenang di tempatnya yang baru.
Aku tahu ia sudah memaafkanku. Selalu. Bahkan satu detik setelah aku melakukan kesalahan padanya, ia langsung memaafkan. Tapi tetap saja betapa tidak tahu dirinya aku begitu sering menyakiti hatinya dengan kekeras kepalaanku ini. Betapa sering aku membuatnya cemas dan khawatir karena keegoisanku. Aku tak bisa lagi menebusnya. Hilang sudah harapanku untuk membahagiakannya.
Aku rindu sekali padanya. Rindu yang membawaku berlari ke makamnya hanya untuk terisak memeluk nisan.
Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan tanpamu, Bu? Banyak hal yang belum sepenuhnya aku tahu. Bagaimana kalau aku melahirkan nanti? Siapa yang akan menenangkanku? Lalu mengajariku memandikan bayiku? Mengajariku membuat bubur saring? Dan aku belum menguasai semua resep masakanmu yang lezat itu. Kemana aku harus bertanya? Aku begitu bodoh dan tak tahu apa-apa. Jadi seharusnya jangan dulu tinggalkan aku, Bu.
Aku tak pernah mengira begini sakitnya kehilangan ibu. Lebih sakit dari hal terburuk apapun yang pernah menimpaku.
Ketika semua orang menyuruhku untuk mengikhlaskan kepergiannya, maka aku pun ikhlas. Bahkan sebelum mereka mengatakannya. Aku tak mau kepergiannya menghadap Tuhan tersendat karena kecengenganku. Aku hanya minta waktu untuk bersedih sebentar. Sebentar lagi saja ya, Bu. Karena hatiku tak bisa diajak kompromi, karena airmataku terus saja bersikeras mengalir. Karena wajahmu masih saja begitu jelas tergambar dalam benakku dan membuatku pedih.
Semalam aku tertidur di kursi. Sambil memeluk helai-helai pakaian yang paling sering dipakai Ibu.
--------
Only the most ancient love on earth
will wash and comb the statue of the children,
straighten the feet and knees.
The water rises, the soap slithers,
and the pure body comes up to breathe
the air of flowers and motherhood.
Oh, the sharp watchfulness,
the sweet deception,
the lukewarm struggle!
Now the hair is a tangled
pelt criscrossed by charcoal,
by sawdust and oil,
soot, wiring, crabs,
until love, in its patience,
sets up buckets and sponges,
combs and towels,
and, out of scrubbing and combing, amber,
primal scrupulousness, jasmines,
has emerged the child, newer still,
running from the mother's arms
to clamber again on its cyclone,
go looking for mud, oil, urine and ink,
hurt itself, roll about on the stones.
Thurs, newly washed, the child springs into life,
for later, it will have time for nothing more
than keeping clean, but with the life lacking.
-To Wash A Child, Pablo Neruda-
15 comments:
ah Enno
:(
menangislah sampai puas....
mungkin bisa melegakan.
ga tau harus ngomong apa
Tante Enno...
kalo Dija bilang bahwa Ibunya Tante Enno lagi seneng-seneng di surga soalnya punya teman baru, yaitu Ibunya Dija,
bisa buat Tante Enno tersenyum gak yaa???
Aku kehilangan Ayahku yang sangat kucintai, Aku tahu bagaimana rasanya. Walau sudah nyaris dua tahun aku masih rindu dan merasa hampa tanpanya.
ah Enno..
aku sampai menangis membacanya...
aku baru buka2 blog lagi,
turut berduka cita, no
maaf terlambat...
mbak enno....
Aku penggemar tulisanmu
aku tau rasanya kehilangan ibu...
Bulan ini tepat empat tahun aku ditinggal ibu...
Sedih tak terperi
bahkan waktupun sampai saat ini blm bs menyembuhkan...
ah,aku tau betul rasanya ditinggal orang kesayangan.
mbak enno kalau sedang gak sibuk,coba cek ini:
http://notice4me.blogspot.com/2010/11/kue-spesial-yang-ingin-kubagikan.html
semoga dapat memberimu semangat,meskipun hanya sedikit.
anyway. its for universal,apapun keyakinanmu.
:)
turut berduka cita :(
aduh enno... gua jadi ikutan sedih... :(
gua maklum sih no, pasti sedih banget yaaaa...
gua gak bisa kasih saran apa2. gua rasa ya cuma waktu yang bisa menyembuhkan rasa sedih lu ya...
tapi yang penting lu harus mikir gini, nyokap lu sekarang udah berbahagia di Surga... moga2 dengan pemikiran kalo nyokap lu bahagia, kesedihan lu bisa sedikit berkurang...
yang kuat dan tabah ya no!!!
menangislah kalo itu melegakan
take your time mbak :)
*HUG*
turut berduka cita
tetap sehat yaaa, mbak enno
:*
i feel what do you feel.
be strong enno.
-hans
@all: makasih, makasih semuanya. I promise I will be strong.
*hugs*
hugs! :D
enn, sebenernya temen satu kamarku juga lagi ngerasain kesedihan yang sama. ibunya dipanggil tuhan tadi pagi.
Post a Comment