Kunjungan rutin sang Komisaris selalu ditandai dengan gebrakan tongkatnya di meja rapat yang membuat jantung semua karyawan nyaris copot.
Brak!
Lalu teriakan lantang berlogat Melayu Medan.
"Cemana kantor ini hah! Tak satupun yang tengok aku datang!"
Setelah itu ia akan menghambur ke ruang wartawan, ke ruang produksi, ke ruang pemimpin redaksi. Tak berapa lama kemudian tawanya menggema dari sana.
Entah kenapa ia tampaknya memperhatikanku. Ketika itu aku masih sangat baru. Reporter muda yang masih canggung di lapangan. Masih harus meliput bersama senior dan suka mencatat dulu pertanyaan untuk narasumber. Ia selalu mencariku di ruang reporter.
"Sedang menulis apa kau, Enno?"
"Hasil wawancara tadi siang, Pak Rus."
"Kau tulis yang bagus ya."
"Beres, Pak Rus."
Pak Rus tidak semengerikan yang orang kira. Ia menggebrak meja hanya bercanda. Katanya ia suka melihat orang-orang terkejut. Ia memang eksentrik.
"Aneh banget ya dia," bisik orang-orang di kantor.
Tapi aku menghormati Pak Rus. Bukan karena setiap Jumat ia sengaja datang ke kantor untuk menjemputku pulang bareng.
Menjemputku. Yeah. Aku tahu itu bisa membuat bisik-bisik bertambah santer, bahwa aku si reporter bau kencur begitu diperhatikan oleh pak komisaris. Tapi di mobilnya tidak hanya ada aku. Selain Bang Hedi, sopirnya, ada Mbak Lila, sekretarisnya. Kebetulan rumahku dan rumah Mbak Lila dalam rute yang sama. Kami sama-sama diturunkan di terminal Blok M dan menyambung lagi dengan bajaj.
Aku menghormati Pak Rus. Bukan karena suka mengajakku mampir makan di resto-resto keren favoritnya. Kalau ia tahu aku menyukai makanannya, ia akan mengajakku ke resto itu lagi lain waktu.
Menghormati Pak Rus juga bukan karena suatu hari ia datang ke kantor membawakan aku pulpen bertali yang lucu. Sehari sebelumnya aku melihat pulpen miliknya yang seperti itu.
"Ih pulpennya bagus! Bapak gaul nih! Kayak anak muda."
"Ini beli di pinggir jalan kok. Di pedagang asongan. Nanti kau kubelikan ya."
Ia membelikan yang lebih bagus lagi. Berkepala Mickey Mouse. Masih kusimpan baik-baik sampai sekarang.
Menghormati Pak Rus bukan karena ia membelikanku dua pasang sepatu setelah mengantarnya mencari kado buat isterinya.
"Ibu kan orangnya feminin. Yang warna pastel aja. Yang ini nih, Pak."
Besoknya ada pesan dari isterinya. Ucapan terima kasih karena sudah membantu suaminya memilihkan warna yang ia sukai.
Pak Rus kuhormati karena selama aku bekerja di kantor itu, selama ia menjadi komisarisnya, selama perjalanan-perjalanan pulang kami setiap Jumat itu, ia mengajariku banyak hal tentang hidup. Tentang menulis, tentang dunia jurnalistik yang berpuluh-puluh tahun telah ia geluti.
Ia mentorku. Darinya aku mendapat kuliah jurnalistik yang tidak kudapatkan di bangku fakultas hukumku tentang bagaimana menulis berita yang efektif, mewawancarai narasumber, memancing opini publik, menginvestigasi kasus, dan semua yang ia tahu ditumpahkannya kepadaku.
Pak Rus merintis karirnya sejak periode Orde Lama. Ketika Soekarno mulai ditinggalkan sebagian besar rakyat, ketika pemberontakan PKI meletus, lalu periode setelah Surat Perintah 11 Maret yang menandai awal Orde Baru. Ia sering menyuruhku mampir di kantornya di Rasuna Said di sela-sela liputan, hanya untuk memperkenalkanku pada kolega-koleganya.
Dengan bangga ia akan bilang, "Ini si Enno. Anak didik saya."
Kadang-kadang ia meneleponku hanya untuk menggodaku.
"Enno, tebak, Bapak ada dimana?"
"Dimana? Di villa sama Ibu ya, Pak?"
"Salah. Bapak lagi breakfast di Singapura. Sama Pak Menteri X. Hahaha..."
"Bapaaaak! Ngiri nih! Kok nggak ngajak-ngajak Enno!"
........
Sebuah telepon masuk kuterima, tepat setelah aku selesai mewawancarai seorang narasumber. Dari sekretaris redaksi.
"Enno, kalau sempat mampir ke Rumah Sakit Pertamina. Kami sudah meluncur kesana. Pak Rus kena stroke semalam. Dirawat disana. Cepat ya!"
Pak Rus terbujur di balik kaca yang membatasi kami. Dengan mesin dan bermacam selang yang bersambungan di tubuhnya.
"Bapak sering nggak enak badan akhir-akhir ini, No."
"Kalau sedang nggak enak badan, Bapak jangan merokok terus. Sudah ke dokter?"
"Sudah. Diantar Ibu kemarin sore."
"Sakit apa?"
"Dokter suruh Bapak check up menyeluruh."
"Ya sudah, Bapak check up dong."
"Belum sempat, No. Masih banyak rapat."
"Ah, kata Ibu, Bapak memang paling malas ke rumah sakit kan. Jangan gitu dong, Pak. Kalau nanti sakit beneran malah lebih repot."
Itu percakapan terakhirku dengannya. Seminggu sebelumnya.
......
Rasa pedihnya sama seperti kehilangan orangtua sendiri, ketika aku harus mengantarnya ke peristirahatannya yang terakhir. Ia tak sempat bangun lagi sejak stroke itu. Dan aku tak sempat bicara dengannya, dengan gayaku yang sok galak, supaya ia segera bangun dari ranjang rumah sakit sialan itu dan kembali menggebrak meja rapat kami setiap hari deadline tiba.
Sampai hari ini terbayang wajah tuanya yang tersenyum lebar. Merangkul pundakku di depan seorang menteri yang dikenalnya dengan baik.
"Ini anak didik saya. Saya bangga sama dia."
Ah Pak Rus, hari ini tiba-tiba ingat Bapak....
26 comments:
Setiap orang pernah merasa kelilangan. Kita, mereka. Kehilangan akan terasa berat, apalagi orang yang pernah mengajari kita banyak hal. Salam hormat kpdnya, semoga mendapat tempat yg layak di sisi Nya.
sedih aku mbacanya, Enno..
sosok yang hebat. saya terhanyut mbak....
semoga beliau mendapatkan kebahagiaan di sana
I believe Enno learned much from him..
And I hope Enno will be a great mentor for her mentee...
selamet jalan pak Rus
semoga anak didikmu itu bisa jadi penerusmu
aih, bacanya terharu dan memberi semangat!!!
Kedekatan yang luar biasa indah kayaknya. yang sabar yah Mba, tapi gw yakin mba enno sudah belajar banya dari beliau.
semoga mba Enno, bisa memberikan yang terbaik dan membuktikan bahwa Almarhum tidak pernah sia-sia mendidik anak didiknya
sama kayak bos saya mbak. Tampak angker dan judes emang, tapi hatinya lembut ternyata....
Semoga almarhum diterima di sisi-NYA, dihapuskan dosa2nya, dan di diterima amal kebaikannya. Amiin
mataku berkaca-kaca...
ditinggal orang yang berarti memang sangat menyedihkan...
(sibuk ngerjap2 mata biar ga ketahuan rekan sebelah)
pasti marga barus bah ya??
mudah2an pak rus diterima tuhan,
dijadikan malaikat
dan terus ada di sampingmu.
oke mok..
dah bawa kemari tisunya..
pake lap ini aja.
:P
Enno, aku sedih bacanya. Smoga Pak Rus dibuatkan rumah di surga...
jadi sedih... :(
selamat jalan pak rus....
yang damai yah disana ...
wuah, menyedihkan.. :(
semoga diberi kekuatan utk semua yg telah ditinggalkan, amien..
huhuhu..
aku ikutan sedih jadinya..
begitu bangganya beliau pada dirimu kak, berasa banget kedekatan kalian.. dengan hadiah2 kecilnya.. dan terutama perhatiannya yahh..
uhh.. jangan sedih2 yah.. bawa dalam doa ajah..
mdh2an Pak Rus mendapatkan tempat yang layak "disana"
Wah ikutan sedih bacanya.
Semoga almarhum diterima di sisi-Nya.
really sorry to hear that...
ikut berduka cita ya...
makan2!!!!!
*dilempar batu..di bakar massa*
-----
I am really sorry to hear that mbak..
semoga beliau tenang disana ya...
^^
salam buat pak rus ya no, moga cepet sembuhhh
sudahlah enn...
jangan sedih terus..
cheer up..!
What a great story..
Ngeliat tulisan mbak enno memang selalu mampu memberikan saya insprasi..
Thanks ya.. :)
mengharukan... Kerja Keras Adalah Energi Kita. Mari Mengembalikan Jati Diri Bangsa
mbak enno, pak rus nya disana bener2 bangga sama dirimu mbak. aku terharuuuuu
Hiks.. saya sedih banget bacanya...
teruslah menjadi kebanggannya...
Ohya, salam kenal...^^
@all: makasih atas doa kalian semua ya... semoga Pak Rus diberi tempat yang indah di sisi Tuhan. Amin...
Semoga Mbak!
saya jadi tersentuh baca postingan Mbak..
@gek: amin... :)
Post a Comment