Friday, August 7, 2009

Seekor Merak Pergi

Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang
Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang
Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal

Gelap dan bergoyang ia
dan ia pun berbunga dosa
Engkau tetap yang punya
tapi alang-alang tumbuh di dada

......

Waktu itu kami bertemu tanpa rencana. Aku, hanya seorang gadis remaja yang baru mekar, sedang belajar puisi dan sastra. Sementara ia seorang laki-laki setengah baya, bahkan lebih tua dari ayahku. Rambutnya gondrong, pakaiannya jins dan kaos yang ditutupi jaket lusuh. Matanya garang, namun saat ia tersenyum begitu kebapakan.

Ia duduk di atas tikar itu. Tak henti-henti merokok. Sebentar-bentar mengangguk-angguk ketika bicara. Lalu tiba-tiba ia menoleh padaku yang sedang menggumamkan puisi di ujung ruangan.

"Coba baca yang keras," ujarnya padaku. "Saya ingin dengar."

Aku mengerut malu. Membaca puisi untuknya? Untuk orang yang sekian lama kupuja diam-diam? Yang semua puisinya kucatat dan kuhapalkan? Tidak. Aku tidak akan bisa melakukannya. Dan ia rupanya tahu. Ia bisa membaca pikiranku.

"Kesini," katanya melambaikan tangannya yang besar padaku. "Jadi penyair tidak boleh malu. Kamu tahu, puisi itu alat perjuangan yang tak lekang waktu. Ayo, baca." Kali ini nada suaranya lebih tegas.

Maka kubacakan puisi di atas itu. Rumpun Alang-alang judulnya. Puisinya yang paling kusukai, karena begitu lembut. Karena sebelumnya tak pernah kukira ia bisa menulis selembut itu. Karena semua puisinya selalu mencerminkan dirinya yang penuh semangat dan pantang mundur.

Aku membacakannya, dan sesudahnya ia bertepuk tangan. Mengelus rambutku sambil tersenyum. "Kamu pandai membacanya," pujinya.

Waktu itu, aku hanya seorang gadis remaja. Dan ia lelaki yang bahkan lebih tua dari ayahku. Lelaki yang dikemudian hari menjadi salah satu teladanku dalam berkarya.

Bertahun-tahun kemudian.

Kami bertemu, lagi-lagi tanpa rencana. Aku sudah menjadi editor di majalah tempatku bekerja dan ia masih seperti yang dulu. Penyair yang kukagumi, membacakan puisinya di Balai Kesenian Jakarta dalam sebuah acara.

Seperti gadis remaja yang dulu, aku berlari menghampirinya di belakang pentas.

"Om! Om apa kabar? Masih ingat saya?"
Tentu saja ia tidak ingat aku. Tetapi ia ingat kunjungan klub teaterku dulu ke Bengkel Teater-nya. Ia tersenyum ketika tahu aku menjadi wartawan.
"Kenapa tidak jadi penyair saja?" Tanyanya. "Masih suka membaca puisi kan?" Lalu ia menepuk bahuku dengan kebapakan sebelum kembali ke pentas untuk membacakan lagi puisinya. "Jadi wartawan yang baik ya," katanya.

Hari ini.

Aku cuma bisa menulis ini untuknya. Menangis mengenang dirinya yang pernah menyentuh masa remajaku. Menjadi inspirasi bagiku sampai detik ini.
Aku yang pernah membacakan puisi karyanya di depan dirinya. Siapa yang pernah seberuntung aku?

Seekor merak telah terbang ke surga. Selamat jalan Om Willy. Sihirmu abadi dalam diriku.

.....................

Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru.
Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.
Hatinya damai,
di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
karena ia telah lunas
menjalani kewajiban dan kewajarannya.

(Sajak Peperangan Abimanyu, WS Rendra)


Image and video hosting by TinyPic

14 comments:

lilliperry said...

salah satu orang terbaik bangsa ini..

BrenciA KerenS said...

minggu berduka sepertinya yaa... 2 seniman meninggal cuma beda hari saja...

Semoga Sang Burung Merak mendapatkan tempat terbaik disisiNya. Amin

Azhar said...

selamat jalan sayapmu sudah sempurna mengepaklah dalam keabadian wahai burung merak

Elsa said...

jujur saja...
aku jauh lebih sedih dan merasa kehilangan atas kepergian Sang Burung Merak, dibandingkan Mbah Surip beberapa hari yang lalu.

Sari said...

En, kamu beruntung bisa kontak langsung dengan Beliau. Dirimu suka deklamasi juga yak? Kapan2 baca puisi didepanku yak hwahahah *siapa elu?!!, kata Enno*

:P

Galuh Riyadi said...

Saya pernah beberapa kali ketemu Om Willy...
Saya ingat pertama kali kerumahnya ketika saya masih kanak-kanak.. Saya bahkan tidak peduli siapa pemilik rumah itu, saya jatuh cinta pada rumahnya yang bernuansa kayu dan berbentuk rumah panggung....
Terakhir kali saya bertemu dengan beliau, beberapa hari sebelum ia dirawat di rumah sakit... Saya tak lagi memikirkan rumahnya, tapi sang pemiliknya yang telah mengajarkan banyak pada saya lewat kata-katanya...
So long Oom Willy... Menulislah diatas sana dan bacakanlah untukNya...

Kabasaran Soultan said...

Selamat jalan Sang Burung Merak..
Istirahatlah yang tenang...

edylaw said...

setelah mbah surip sekarang giliran WS Rendra

lagi usil said...

hmm, beruntung sekali dirimu, pernah ketemu bahkan sempat membaca puisi di hadapan empunya syair dan drama negeri ini. hmmm.... si burung merak, pulanglah ke sarangmu dengan damai :( :)

Rachel said...

Tak ada kata yang cukup ntuk gambarkan rasa kehilangan kita pada beliau.
Selamat jalan .....

Enno said...

@all: thx for your comments... Indonesia memang telah kehilangan penyair besar.

semoga kini beliau beristirahat dengan tenang di alam sana...
amin.

nie said...

salah satu manusia berkualitas dan bertalenta kembali pulang kerumahNya ya..semua pasti akan merasa rindu.

Rezky Pratama said...

eman banget dah,,indonesia berduka

Iklan Gratis said...

kini sang merak telah terbang bebas dari belenggu sangkar dunia fana ini...
berbahagialah disana wahai merak...
disana telah menanti sangkar indah yang membuat engkau lebih bebas untuk menbegapkkan sayap indahmu...

selamat jalan budayawan sejati...
Iklan Gratis

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...