Friday, June 6, 2008

Terbang


Adakah yang mau meminjamiku sayap, permadani terbang atau sapu sihir? Aku ingin segera terbang ke tempat hujan bermula. Pria Hujan-ku membutuhkan aku!

Aku baru saja hendak beranjak pulang ketika kabar itu muncul di kotak mengobrol yang hendak kututup. Kabar yang menjawab tanda tanyaku selama dua hari ini karena tak melihat ikonnya menyala di komputerku.

Seorang yuniornya menulis. "Dapat kabar dari milis. Dia sakit!"

Aku langsung mematikan komputer dan meraih ponsel. Telpon rumahnya terus berdering tanpa ada yang mengangkat. Apakah ia di rumah sakit? Dimana peri-periku berada? Lalu aku teringat peri kecilku yang sulung, ia selalu membawa ponsel.

Lega rasanya mendengar suara manisnya di seberang sana. Ya Tante, Bapak sakit, sahutnya. Semua ada di rumah. Telpon rumah rusak sudah dua hari ini. Bapak sudah bangun, sekarang sedang menonton tivi.

Aku memintanya memberikan telepon kepada ayahnya. Tak lama suaranya yang berat menyapaku dari seberang sana.

"Kamu sakit apa? Nggak kukira, seorang pendekar bisa jatuh sakit juga."

"Aku kena tipus. Maklum, sudah tua..."

Oh, berhentilah menakut-nakuti aku dengan istilah 'tua' itu! Kamu pikir aku akan berhenti mencintaimu sekalipun besok kamu berubah menjadi kakek-kakek jompo? Aku ingin sekali menukasnya begitu. Seperti biasa, seandainya ia tidak dalam kondisi sakit.

"Kupikir kamu di rumah sakit waktu telpon rumah tidak ada yang mengangkat."

"Aku sudah ke dokter kok. Kalau aku di rumah sakit, kasihan anak-anak tidak ada yang mengurus. Lagipula ini baru gejala, seperti yang sudah-sudah."

"Memangnya sudah berapa kali kamu kena gejala tipus?"

"Baru juga tiga kali..."

"Tiga kali kamu bilang baru!"

"Belum lima kali kan? Sudahlah, aku nggak apa-apa kok." Ia tertawa lemah.

"Kupikir kamu di rumah sakit. Kalau iya, aku sudah pesan tiket pesawat pagi buat besok."

Ia tidak menjawab. Aku tahu apa yang sebenarnya ingin ia katakan. Jangan repot-repot demi aku. Kamu punya hidup sendiri. Aku ini siapa sih? Cuma 'bapak tua' yang memang sudah pantas sakit-sakitan. Dan aku akan menangis jika ia benar-benar menyuarakan pikirannya itu. Sungguh.

"Aku ingin sekali menengokmu, Mas... Tapi tidak bisa sekarang. Maaf ya..."

"Tidak apa-apa."

"Kamu harus banyak istirahat, oke. Jangan banyak pikiran juga. Jangan pergi kemana-mana sampai benar-benar sembuh."

"Ya."

"Aku akan menengokmu begitu bisa."

"Terima kasih ya."

Waktu percakapan itu selesai, di luar gerimis turun. Pria Hujan-ku mengirimkan hujannya untuk menemaniku. Malam terasa senyap dan dingin. Aku bermimpi sepasang sayap tumbuh di punggungku.

2 comments:

Anonymous said...

Waduh mpok... sedih juga ya...

saya sih mau bantu.. tapi nganter mpok pake bemo ke t4 Om itu kayaknya kejauhan deh.. hihihi..

udeh.. jangan sedih ya mpok... cup cup cup...

Enno said...

hehehe dianter bemo kapan nyampenya bang? bemonya ada sayapnya gak ? :D

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...