Showing posts with label Hujan. Show all posts
Showing posts with label Hujan. Show all posts

Monday, May 21, 2012

No More Dreams

Seperti apa rasanya, bertemu dengan laki-laki yang kepadanya kau katakan perasaanmu, lalu dia berkata sudah memilih yang lain, membuatmu pergi dari hidupnya seketika.

Barangkali, ia akan menatapmu dengan tatapan sedalam lautan, tempatmu menyelam dahulu kala. Barangkali, ia akan memberimu seulas senyum kecil yang biasa kau buat lebar dengan candamu. Atau, ia akan memberimu sepenggal pertanyaan standarnya yang biasa: 'kamu sehat?' Dan kau, seperti yang sudah-sudah, akan menjawabnya dengan cebikan bibir bawah sambil mendengus: 'nggak ada pertanyaan lain?'

Tidak. Kurasa kali ini kau akan berdiri canggung di depannya, sambil mengalihkan tatapanmu dari tatapannya yang serupa magnet. Karena kau tak ingin kembali tersesat di jalan setapaknya yang teduh dan menjanjikan kehangatan. Kau serupa ikan, yang menggelepar, melepaskan diri dari jaring pukat untuk kembali ke lautmu yang bebas.

No more dreams
No more tears
No more broken hearts

Sesungguhnya yang dulu itu belum benar-benar pergi. Kau menyimpannya sebagai biji kecambah di relung paling gelap, agar cahaya tak menyentuhnya bertumbuh.

But enough is enough.

Wednesday, May 9, 2012

When The Love Has Gone

Kau masih seperti langit malam
Tak terbaca
Dengan sebuah bintang yang berkelip samar.
..............

Mereka duduk bersebelahan. Di bibir sumur, di depan rumah. Canggung. Percakapan yang terjadi semula hanya basa-basi.
"Kapan sampai?"
"Kemarin."
"Naik kereta?"
"Iya. Seperti biasa."
Lalu hening.

Perempuan itu menunduk, menatap kakinya yang bersepatu keds. Sudah berapa abad mereka tak lagi saling berkirim kabar? Sudah berapa ratus adegan yang terjadi dalam kehidupan mereka sejauh ini, yang tak lagi saling terhubung? Ia bahkan tak mengerti, kenapa ia harus jauh-jauh datang hanya untuk berbasa-basi dengan lelaki ini.

"Kamu baik-baik saja, kan?" Lelaki di sebelahnya bertanya.
Apakah kau masih peduli? Ia bertanya dalam hati. Setengah geli, setengah sedih. Atau itu cuma kalimat yang biasa kau lontarkan pada seorang kenalan lama?
"Aku baik-baik saja. Selalu."
Bahkan kau tak tahu betapa pedihnya harus mengucapkan selamat tinggal padamu kala itu.

Semilir angin menerbangkan helai-helai rambut perempuan itu. Ia merutuki situasi yang begitu canggung. Dulu  tidak begini. Dulu kami tertawa dan saling menggoda. Dulu aku melingkarkan lenganku di pinggangnya saat kami naik motor keliling kota. Dan ia menatapku sambil tersenyum dengan kedua mata elangnya yang dalam. Dulu.

Bunga pagi sore itu masih ada di halaman. Bunga yang selalu turut dalam kisah-kisah yang ditulisnya tentang mereka. Warna merahnya seperti darah dalam tangisnya ketika kisah mereka diusaikan.

Kini giliran perempuan itu menoleh pada si lelaki yang tengah termenung. "Dan kamu, baik-baik juga kah?"
"Tidak." Lelaki itu menatapnya sekilas. Mengalihkan tatapannya ke rumpun bunga pagi sore sambil tersenyum samar. "Apakah aku kelihatan baik-baik saja?"
Perempuan itu mengedikkan bahu. "Aku tak tahu. Sejujurnya, aku tak lagi mengenalmu seperti dulu."
Lelaki itu menghela napas. Perempuan itu juga.

Kau sudah memilih dia, kan? Kau menyuruhku pergi dari hidupmu, agar kau bisa tenang bersama perempuan itu. Lalu kalau sekarang kau kecewa padanya, apakah itu urusanku?
Kau hiduplah baik-baik dengan pilihanmu. Terimalah konsekuensinya dengan lapang dada. Hari ini aku datang hanya sebagai teman. Tak peduli perasaanku padamu masih seperti dulu. Aku tak lagi ingin mengganggumu. 


“This is a good sign, having a broken heart. It means we have tried for something.” 
 ― Elizabeth Gilbert, Eat, Pray, Love



pict from here

  Image and video hosting by TinyPic

Thursday, April 12, 2012

Mengenang Hujan

Hai,

Aku rindu padamu. Tiba-tiba saja mengalir seperti sungai yang banjir. Ini rindu yang tak sama seperti dulu. Hanya ingin mengobrol denganmu. Tertawa, bergurau. Menggoda dan mengerjaimu. Kau terlalu ketinggalan zaman dengan keusilanku. Maka aku ingin melihatmu lagi, tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Berkata, "Ah, aku ini sudah terlalu tua." Yang mana itu tidak benar.

Aku teringat malam-malam yang kita lewati hingga pagi di sambungan fiber optik. Atau ketika kita duduk berdekatan, bersisian, dengan lutut saling bersentuhan. Kau dan matamu yang menyimpan kisah duka. Membuatku selalu ingin membuatmu tertawa.

Jatuh cinta padamu membangkitkan segala puisi indah dalam jiwa. Aku menulis beribu kata untukmu dan kau sesungguhnya tahu. Bukankah sudah kukumpulkan semuanya dalam serangkum kertas, menjilidnya dan mengirimkannya padamu sebagai tanda perpisahan? Aku lupa apa yang kutulis di selembar kertas sebagai pengantar jilid itu. Yang kuingat adalah, aku menulisnya sambil menangis. Perpisahan itu menoreh luka.

Ada kebohongan, ketidakjujuran, pengkhianatan persahabatan dalam cerita kita. Ada tokoh-tokoh lain yang terlibat di dalamnya. Aku memutuskan menjauh. Sejauh-jauhnya darimu. Menghilangkan seluruh jejakmu dari hatiku. Dan kau benar-benar menghilang bagaikan sejarah yang terlupa. Ada namun tiada.

Malam ini, aku rindu padamu. Jangan kau salah paham dulu. Aku merindukanmu sebagai teman dan pelindungku. Anggaplah bahwa jatuh cinta padamu hanya sebuah insiden yang tak sepantasnya terjadi. Anggaplah bahwa aku hanya seorang gadis tak tahu diri, yang seperti pungguk merindukan bulan.

Aku rindu padamu. Hanya itu. Hanya itu.

..................

Empat tahun yang lalu. Di stasiun Yogyakarta.

"Kamu hati-hati ya!"
"Oke, Mas."
"Kabari kalau sudah sampai."
"Yup."
"Aku turun, ya. Nanti ikut kebawa ke Jakarta."
"Hahaha. Iya sana, gih! Makasih ya, Mas!"

Laki-laki itu masih berdiri di peron ketika kereta api mulai bergerak menuju Jakarta. Bunga Rumput menatap Pria Hujan-nya dari balik jendela.

Au revoir. Je t'aime.

pict from here


Image and video hosting by TinyPic

Monday, July 28, 2008

The Last Dance

Kupersembahkan tarian itu untukmu. Untuk hujan yang menunggang awan di atas bukit-bukit kerontang. Yang kristalnya menyelinap menjadi sungai, menderas di perut bumi. Yang embunnya membungkus pagi di ladang-ladang ketela dan ubi.

Kamulah yang lelah menghela segala kehidupan yang menanti dalam dahaga tak henti. Karena air lari sembunyi dalam kesunyian abadi. Kamu tak lagi membasahi kotaku yang lelah berharap. Tanah merekah lara dalam pot-pot mawar merah di beranda. Para pemanggil hujan bahkan lupa pada mantera.

Aku menari untukmu. Untuk hujan yang sembunyi di awan-awan dan mulai terlupakan. Mendung mendadak sirna terusir matahari. Langit menjadi saksi segala yang tumbuh dan tidak ditumbuhkan.
Hujan berangsur menjadi lagu yang asing. Lalu tarian kuusaikan.

Thursday, July 17, 2008

Simply Irresistable

Malam itu ada yang memprotes aku.

"Terlalu heroik!" Ujarnya dengan nada kesal.
"Enggak ah, itu memang gambaran dirimu bagiku."
"Coba dikoreksi. Aku tidak sehebat itu."
Aku tertawa. Biasalah, orang yang satu ini memang anti dipuja-puji. "Nggak mau. Hak asasiku untuk menulis apa yang kumau."
"Wah, begini nih susahnya mengoreksi seorang editor. Biasanya dia yang mengoreksi orang sih."
"Huehehe... sumpah, aku ngakak beneran nih!"
"Ayo, tulis yang betul. Nanti yang membaca malah berbondong-bondong masuk gua dan mendorong mereka jadi caver gadungan, yang ujung-ujungnya malah merusak."
"Lho, pembaca blogku itu orang-orang yang well-educated. Nggak mungkinlah mendadak jadi caver gadungan!"
"Tuh kan. Ah, dasar ngeyel. Susah."
Aku tertawa semakin kencang.
"Nah, malah ketawa."
"Biar."
"Memang tukang ngeyel tho?"
"Habis, terlalu kuatir gitu sih. Ya sudah, aku terima koreksinya. Nanti kuposting tentang ratapan pegunungan karst yang dirusak oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab ya..."
"Ah sudah terlanjur. Diterima pun dengan terpaksa."
"Hahaha..."
"Ketawa lagi kan."

Malam itu, sesuatu yang kusukai terjadi. Protesnya yang sering membuatku tertawa tergelak-gelak. Teman yang lucu. Simply irresistable. Sungguh.

Hmm... soal ratapan pegunungan karst itu, nanti ya... Aku sedang deadline ;)

Monday, July 14, 2008

Do Nothing But Caving

Bertanyalah padanya tentang pegunungan kapur yang gersang dan meranggas. Tentang perjalanan menanjak dan menurun. Menyibak semak, onak dan duri. Bertanyalah tentang lubang-lubang tersembunyi, yang darinya mengalir kebeningan maha dingin. Dari rahim ibu bumi yang senyap dan hening.

Jika kamu meminta, ia akan menunjukkan kepadamu segala keajaiban tentang batu-batu yang tumbuh bagai geligi naga yang tengah menganga. Membawamu memasuki kerajaan mahluk-mahluk malam bersayap hitam. Menembus riam dan jeram di mana ikan-ikan transparan dan tembus pandang berenang. Dan belut yang isi tubuhnya jelas berdenyut bersarang.

Tidakkah kamu merasakan keberaniannya menular. Dihembuskan dari napasnya yang memburu karena adrenalin yang terpacu. Jangan kamu lepas pelindung kepala itu, nanti terbentur batu. Jangan kamu torehkan pisaumu pada dinding rahim ibu, karena lukanya baru sembuh setelah seribu tahun menunggu.

Kadang kala kamu harus punya keberanian ekstra. Melompat dari batu ke batu, mengapung dengan sebuah pelampung. Memanjat dan menuruni dinding-dinding terjal, yang terkadang jaraknya tak masuk akal.

Kamu harus sanggup mengikuti langkah-langkahnya yang panjang. Dan terima saja uluran tangannya jika kamu tak sanggup melompat ke depan. Ia akan tersenyum dan bersiaplah menerima gurauannya di permukaan.
Sekali kamu pergi dengannya, ia akan selalu mengajakmu serta. Dalam petualangan-petualangannya. Dalam ekspedisi-ekspedisinya. Falsafahnya do nothing but caving. Kamu sanggup? Ayo!
_______________
Terinspirasi oleh percakapan dengannya.
"Do nothing but caving itu falsafahku," katanya sore ini.

Wednesday, July 9, 2008

See You on August!

Kamu tidak pernah terlihat seperti kamu yang sesungguhnya.

Selalu. Setiap kali kamu nyaris membuatku tersedu, setiap kali kamu bersikap seolah tak mempedulikan aku, kutemukan rahasia-rahasia kecil yang membuatku tahu: kamu memperhatikanku.

Selalu. Setiap kali aku mulai berpikir kamu mengabaikanku, setiap kali aku merasa kamu ingin menghindariku, kamu mengirimiku pesan-pesan riang dan lucu. Tertawa seolah tak pernah ada persoalan.

Ternyata kamu ceritakan rencana kedatanganku ke Jogja pada temanmu, agar mereka bisa menemaniku selagi kegiatanmu yang padat minggu itu tak bisa diganggu.

"Sungguh, dia bilang begitu?" Tanyaku pada temanmu. Dan temanmu itu mengangguk.

Terima kasih. Mereka memang menemaniku. Menjadi tuan rumah yang baik selagi kamu sibuk dengan segala peresmian itu. Dan terima kasih sudah membiarkan aku bermain dengan peri-periku.

Kamu mengirim pesan pendek malam itu. Malam terakhirku berada di kotamu. Tengah kubujuk Astri agar menyingkirkan sleeping bag-nya dan tidur bersamaku di tempat tidur.

"Sedang maem di jalan nih. Aku kedinginan je. Jauh banget dari kota. Lewat sawah-sawah..."

Ah, kamu mengadu. Membuatku menahan senyum. Malam itu kita janjian bertemu di hotel tempat aku menginap sebelumnya. Tetapi kamu harus pergi dulu ke suatu tempat. Aku tahu kamu tak pernah pergi sebentar. Selalu saja ada yang menghalanginya untuk bergegas. Dan aku sudah berjanji pada Astri untuk menginap di kamar kostnya. Kuputuskan meninggalkan hotel menjelang sore.

Kukatakan padamu, sudah tak mungkin lagi mengobrol sampai pagi jika kamu pulang nanti. Aku sudah tak lagi di hotel, sudah teramat mengantuk dan tak enak merepotkan Astri untuk mengantarku menemuimu.

"Lha piye?"
"Hehehe... abis gimana?"

Dengan sangat menyesal, kita tak bisa mengobrol sebelum aku pulang ke Jakarta. Tetapi dengan sangat manis kamu berkata padaku, "Sampai ketemu bulan Agustus!"

Ah, kamu ingin aku ada di hari yang penting itu? Pameran yang sudah lama kamu rencanakan dengan antusiasme yang menggebu.

Of course, dear. See you on August!

Thursday, July 3, 2008

Menjelma Burung

Aku akan menjelma burung. Mengikuti petunjuk angin, terbang ke kotamu yang syahdu. Bertengger di atap rumahmu yang kelabu oleh debu dan pahat waktu.

Sudah kukatakan padamu, aku hanya punya waktu sebentar. Sekedar mencari hujan yang lari sembunyi dari awan-awan di atas kotaku. Dan jika tak kutemukan juga hujan itu, akan kucari lelehan embun di atas rumpun bunga pagi sore berwarna jingga di depan pintu.

Sesungguhnya aku juga rindu padamu. Ingin bercakap-cakap denganmu seperti dulu. Tapi kamu bilang ada acara maha penting yang harus dihadiri. Cuma setengah hari, katamu. Kita bisa bertemu setelah itu

Baiklah. Toh kita tidak akan kembali seperti dulu. Sudah pernah kita bangun surga dalam berjam-jam pertemuan dan percakapan, bermeter-meter pesan pendek, dari ratus mil jarak yang merentang Jakarta-Jogja. Dan semua itu sudah berlalu terkubur waktu.

Aku dan kamu kini hanya bayang-bayang yang tertinggal di dimensi waktu. Dan pesan-pesan tentang sepi, rindu dan airmata seperti goresan purba di gua-gua batu dan hutan-hutan purba yang kamu jelajahi itu.

Jadi, sampai ketemu nanti.

foto dari sini

Wednesday, June 11, 2008

Pertanyaan Yang Sama


Ia seperti apa? Mengapa kamu memujanya begitu rupa? Tampankah ia? Pandai? Penuh cinta kasih? Pertanyaan-pertanyaan yang sama, selalu datang bertubi-tubi kepadaku.

Baiklah, kugambarkan ia untuk kalian. Laki-laki yang setiap hari kuabadikan dalam prasasti kata-kata.

Ia seperti hujan. Sudahkah itu kukatakan kepada kalian? Hujan gerimis yang menyejukkan, menguarkan wangi tanah yang rekah, rumput yang bungah dan pepohonan yang pasrah. Kadang-kadang ia adalah hujan yang menjelma badai. Berpusar gusar di malam-malam yang nanar.

Suatu ketika, ia mirip pohon besar yang berdiri sendirian. Menghadang sunyi, menjadi pusat dari segala. Ia menantang angin topan yang berusaha meruntuhkannya. Ia teguh berdiri, meski tergores di sana-sini. Aku bisa mencium kesepian mengasap dari pori-pori kulitnya yang selalu hangat. Ingin memeluknya. Menghiburnya.

Lalu tiba-tiba ia akan berubah sepanas matahari. Menerangi gelap semesta. Memberi kehidupan bagi semua mahluk yang bergantung kepadanya. Ia memberi cerah, memberi terang. Memberi semua yang ia punya, tanpa pamrih.

Adalah seekor kuda liar yang berlari bebas di savana. Itulah ia. Tak terikat apapun dan siapapun. Tak menghamba. Bersahabat dengan rumput dan angin yang berdesir di sela bulu surainya. Ia akan melaju terus tak terhalang. Mengalahkan waktu, mengalahkan ragu. Aku ingin berada di atas punggungnya. Bersama menuju asa di depan sana.

Ia adalah sungai. Mengalir jernih ke laut lepas, setelah letih mengembara. Mengalahkan jeram dan batu karang. Memberi kegembiraan bagi setiap mahluk yang berdiam di tepiannya. Anak-anak kecil yang berenang gembira, ikan-ikan yang berpesta lumut dan ganggang...

Ia adalah semesta. Dan keindahan. Bagiku.

Monday, June 9, 2008

Semadi Kelelawar

Dalam kegelapan total itu kamu ada. Pada mulanya aku datang dengan meraba-raba. Mengikuti aliran sungai yang mengaliri gua, dimana kamu berdiam dan sembunyi. Aku terbang dari jauh. Seekor kelelawar betina yang terluka, mengirimkan pesan padamu lewat gelombang ultrasonik yang bisa kamu tangkap dengan telingamu yang tajam.

"Selamat datang," ujarmu. "Jangan sungkan di guaku yang gelap dan sederhana. Hanya ada pilar-pilar batu dan sungai yang berair deras di sini. Tapi jangan khawatir, makanan berlimpah di luar sana."

Aku adalah kelelawar kota, yang berumah di puncak-puncak gedung pencakar langit, atau puncak tertinggi pepohonan peneduh jalan. Aku makan serangga-serangga kecil yang menari di lampu-lampu jalan, atau berburu di antara rerumputan taman kota. Tak ada istilah berlimpah, apalagi pesta pora.

Tetapi kamu membawaku ke jalan-jalan desa lengang berlampu sentir, dimana serangga-serangga besar mampir. Aku berpesta. Meski sesungguhnya eforiaku adalah karena kamu bersamaku. Kamu, yang dengan gagah merentangkan sayap-sayapmu yang lebar, menukik dan menyambar. Mengajarkan lagi kepadaku petualangan sejati.

Pada mulanya adalah kehangatan ketika bersamamu. Dan kita kembali ke gua gelap itu untuk tidur sepanjang siang dan berburu lagi ketika malam. Pada mulanya adalah kesunyian yang berubah menjadi gempita sorak dalam jiwaku, manakala matamu menjanjikan lebih dari sekedar pesta serangga dalam muhibahku yang singkat itu.

Lantas semuanya berubah, ketika kamu ubah gua itu menjadi tempat semadi yang hanya dalih belaka. Kamu undang kelelawar-kelelawar lain dari kota-kota yang jauh, tapi bukan itu sebenarnya yang tujuanmu.

Kamu tak pernah mengundangku lagi. Meski aku tak mesti kamu undang jika ingin pergi ke sana lagi.

"Datanglah kapan saja. Kita bisa berpesta serangga lagi." Apakah kalimat itu cuma basa-basi?

Di dalam kegelapan yang total itu kamu ada. Selalu ada. Menggelantung di langit-langit gua. Menunggu pengunjung lain, bukan aku. Kamu mengira aku baik-baik saja. Nyatanya, aku masih saja kelelawar betina yang terluka. Berburu sunyi di taman kota.

Friday, June 6, 2008

Terbang


Adakah yang mau meminjamiku sayap, permadani terbang atau sapu sihir? Aku ingin segera terbang ke tempat hujan bermula. Pria Hujan-ku membutuhkan aku!

Aku baru saja hendak beranjak pulang ketika kabar itu muncul di kotak mengobrol yang hendak kututup. Kabar yang menjawab tanda tanyaku selama dua hari ini karena tak melihat ikonnya menyala di komputerku.

Seorang yuniornya menulis. "Dapat kabar dari milis. Dia sakit!"

Aku langsung mematikan komputer dan meraih ponsel. Telpon rumahnya terus berdering tanpa ada yang mengangkat. Apakah ia di rumah sakit? Dimana peri-periku berada? Lalu aku teringat peri kecilku yang sulung, ia selalu membawa ponsel.

Lega rasanya mendengar suara manisnya di seberang sana. Ya Tante, Bapak sakit, sahutnya. Semua ada di rumah. Telpon rumah rusak sudah dua hari ini. Bapak sudah bangun, sekarang sedang menonton tivi.

Aku memintanya memberikan telepon kepada ayahnya. Tak lama suaranya yang berat menyapaku dari seberang sana.

"Kamu sakit apa? Nggak kukira, seorang pendekar bisa jatuh sakit juga."

"Aku kena tipus. Maklum, sudah tua..."

Oh, berhentilah menakut-nakuti aku dengan istilah 'tua' itu! Kamu pikir aku akan berhenti mencintaimu sekalipun besok kamu berubah menjadi kakek-kakek jompo? Aku ingin sekali menukasnya begitu. Seperti biasa, seandainya ia tidak dalam kondisi sakit.

"Kupikir kamu di rumah sakit waktu telpon rumah tidak ada yang mengangkat."

"Aku sudah ke dokter kok. Kalau aku di rumah sakit, kasihan anak-anak tidak ada yang mengurus. Lagipula ini baru gejala, seperti yang sudah-sudah."

"Memangnya sudah berapa kali kamu kena gejala tipus?"

"Baru juga tiga kali..."

"Tiga kali kamu bilang baru!"

"Belum lima kali kan? Sudahlah, aku nggak apa-apa kok." Ia tertawa lemah.

"Kupikir kamu di rumah sakit. Kalau iya, aku sudah pesan tiket pesawat pagi buat besok."

Ia tidak menjawab. Aku tahu apa yang sebenarnya ingin ia katakan. Jangan repot-repot demi aku. Kamu punya hidup sendiri. Aku ini siapa sih? Cuma 'bapak tua' yang memang sudah pantas sakit-sakitan. Dan aku akan menangis jika ia benar-benar menyuarakan pikirannya itu. Sungguh.

"Aku ingin sekali menengokmu, Mas... Tapi tidak bisa sekarang. Maaf ya..."

"Tidak apa-apa."

"Kamu harus banyak istirahat, oke. Jangan banyak pikiran juga. Jangan pergi kemana-mana sampai benar-benar sembuh."

"Ya."

"Aku akan menengokmu begitu bisa."

"Terima kasih ya."

Waktu percakapan itu selesai, di luar gerimis turun. Pria Hujan-ku mengirimkan hujannya untuk menemaniku. Malam terasa senyap dan dingin. Aku bermimpi sepasang sayap tumbuh di punggungku.

Thursday, June 5, 2008

Fragmen Dandelion


Apa yang lebih hangat
dari pelukan matahari?


1.

Ia tak tahu aku selalu memimpikan sulur-sulur hijau tumbuh dari tubuhku. Menjalar, menggapai genangan air hujannya yang turun di tempat lain. Tetapi aku cuma punya mahkota bulu dan daun-daun kecil kurus, yang melambai lemah dalam balutan mantel angin.



2.

Aku merindukan hujan yang pernah turun di petak ini. Tetes terakhir airnya mengering di balik sehelai daun. Akarku masih menyimpan kenangan rinai-rinainya yang basah. Melembab. Menghangat. Lalu mengering. Matahari membuat mahkotaku pecah, menyebarkan bulu-bulunya ke angkasa. Untuk mendarat di petak lain, menjelmakan aku yang lain. Aku yang bukan aku.



3.

Harus kuaduk-aduk masa untuk menemukan rute pelarian segala cerita yang pernah ada.



4.

"Aku mencintaimu. Hanya ingin kukatakan, bukan meminta jawaban."



5.

Jadi apa yang lebih hangat dari pelukan matahari? Hujan, yang airnya menumbuhkan sulur-sulur ajaib di tubuhku. Untuk meraih dirinya, meski akarku tertahan tanah di sini.

Wednesday, May 21, 2008

Masih Tentang Cemburu


Kita berdua dihubungkan oleh rasa cemburu.
Masih ingat tidak, waktu aku meneleponmu sembari menangis. Aku dan kecemasan itu. Dan rasa takut kehilangan seseorang yang kamu kenal dengan sangat baik. Aku yang cemburu karena merasa ditinggalkan. Kamu mengulurkan tanganmu untuk menenangkan.

Aku masih cemburu. Kini kepadamu. Setelah hari-hari yang lewat itu kamu mengisinya dengan rindu. Bercakap tentang asa dan harapan setinggi langit yang ingin kita jelang. Malam-malam yang kita lalui sambil terbang menggapai bintang. Jam satu pagi baru kita tutup telepon jarak jauh itu, setelah saling mengucapkan selamat tidur yang terlambat.

Jelas aku akan selalu cemburu kepadamu. Sayangnya kamu tak mengerti kenapa aku harus merasa begitu. “Kenapa?” Tanyamu bodoh ketika itu. Dan aku tak bisa menjawabnya lebih dari sekedar membanting teleponku ke atas ranjang. Dan kamu simpan kebodohan itu sampai sekarang.

Aku tak mungkin selalu merongrongmu dengan kalimat “aku cemburu”, bukan? Kamu akan kesal dan menganggap aku cuma perempuan yang tidak punya rasa percaya diri. Perempuan yang cuma bisa merengek dan banyak mimpi. Hidupku tak akan henti meski kamu selalu membuatku cemburu. Hidupku tak henti hanya padamu.

Aku cemburu. Hari ini, menjadi-jadi. Berkali-kali ingin kuputar nomormu untuk sekedar mendengar suaramu, memastikan kamu masih peduli aku.
Kalau saja tak ada setumpuk pekerjaan di meja kerjaku sendiri, ingin rasanya aku langsung terbang padamu dengan pesawat pagi. “Naik pesawat? Bukannya kamu takut terbang sendirian?”
Ah, cemburuku mengalahkan ketakutanku, kamu tahu.

Monday, May 19, 2008

Mencintai Hujan


Ada kalanya ia menjalani hari-hari tanpa mengingat Pria Hujan-nya. Tiba-tiba seseorang bertanya, "Kamu masih berharap padanya?"
Dan ia ingin sekali menertawakan si penanya. Tidakkah dibacanya semua tulisan itu? Semuanya selalu tentang Pria Hujan-nya.
"Baca blogku," sahutnya. "Lalu kamu akan tahu jawabannya."
Kemudian, gara-gara pertanyaan itu, ia kembali terlempar pada segala kenangan yang belum pudar. Belum menjadi sejarah yang tertulis baku. Ia masih akan mencantumkan banyak hari. Menambah dan mengurangi.
"Sampai kapan kamu akan terus berharap?" Tanya seseorang lagi.
Dan ia hanya menggeleng sambil tersenyum. Ia sungguh tak tahu jawabannya. Yang ia tahu, Pria Hujan selalu berkibar di langit hatinya. Seperti bendera dalam upacara.
Lalu hari-hari dimana Pria Hujan melintas dan menjelma menjadi upacara rutin yang harus ada. "Memangnya kalian tahu apa tentang cinta?" Teriaknya pada orang-orang yang mencerca.
Ada kalanya datang hari dimana ia merasa begitu tak berdaya.
"Kenapa kamu mencintai dia?"
"Karena hatiku adalah bumi yang kerontang dan ia adalah hujan."
"Hmm.... dia cukup tampan," kata sepupunya.
"Ya, tetapi bukan itu yang membuatku suka padanya. Ia stabil. Ia dewasa. Ia tenang dan menyejukkan. Semua itu kebalikan dariku."
"Berapa kali kudengar kata-kata pujian itu..."
"Hey, kamu yang bertanya!"
"Pujian itu, katakan langsung padanya."
"Ia orang yang tidak suka dipuji."
"Jadi bagaimana ia tahu bahwa dirinya sangat berarti bagimu?"
"Nanti juga tahu."
"Katakan saja sekarang. Ambil ponselmu, tulis sms dan kirim. Mudah kan?"
"Tidak semudah itu, Sepupu."
"Nanti keburu diambil orang lain."
"Itu sudah resiko."
"Apa sih yang kamu pikirkan?" Sepupunya mulai jengkel.
"Bagaimana kalau ternyata ia menyukai orang lain? Semua perasaanku yang kuutarakan itu tak akan berpengaruh apa-apa padanya."
"Oh Tuhan! Setidaknya kamu sudah mengatakannya dan tak akan ada penyesalan seumur hidup."
"Ia sudah tahu aku mencintainya, tetapi ia tidak tahu sebanyak apa."
"Beritahu dia!"
Ia menatap sepupunya yang uring-uringan. Menggeleng dan tersenyum.
Adakalanya datang hari dimana ia merasa sangat cemburu ketika Pria Hujan bersama seseorang. Ia ingin sekali memutar nomor ponselnya dan mengatakan betapa hatinya pedih, betapa takutnya ia kehilangan.
Tetapi ia sudah berjanji untuk tidak bersikap egois. Ia hanya ingin Pria Hujan-nya memperoleh yang terbaik dalam hidupnya.
Ia mencintai hujan yang menebarkan wangi tanah ketika basah. Ia mencintai pria itu, yang serupa hujan dalam hatinya....

Tuesday, May 6, 2008

Aku Melihat Dari Sudut Itu

Beberapa hari belakangan ini aku melihatnya duduk di dekatku, di depan televisi itu. Laki-laki berwajah serius yang gemar memakai jaket hitam, seakan menyembunyikan tubuhnya yang tegap dan atletis. Setengah jam kemudian, seorang perempuan akan datang menghampirinya. Mereka berbasa-basi sejenak, lalu langsung pergi. Tak pernah sempat berlama-lama di ruang duduk hotel ini. Padahal aku ingin sekali tahu siapa perempuan yang suka bercelana pendek itu.

Sudah sewajarnya aku ingin tahu. Akhir tahun lalu, di ruang duduk hotel ini, laki-laki itu menunggu perempuan yang lain. Seorang perempuan berwajah ceria dan selalu tertawa. Gema suaranya yang riang membangkitkan perasaan gembira di hati tamu-tamu hotel ini. Bahkan sanggup membuat para maniak acara sepakbola yang berkerumun di depan televisi menoleh sejenak memperhatikannya.

Laki-laki itu bahkan tidak tampak begitu serius. Matanya berbinar, bibirnya mengulum senyum. Malam hari, mereka akan duduk mengobrol di sofa rotan, di sudut ruangan yang lampunya lebih temaram. Lupa waktu sampai larut.
Dari tempatku, bisa kulihat mereka saling bertukar senyum. Lutut mereka bersentuhan. Ada aura keintiman yang sangat kentara. Aku tahu. Karena aku selalu ada di dekat mereka.

Aku masih ingat malam terakhir sebelum perempuan itu kembali ke kotanya yang jauh. Suara perempuan itu tercekat ketika bilang ia harus pulang. Dan laki-laki itu menatapnya seolah-olah tak ingin ditinggalkan.

“Kamu harus berangkat jam tujuh pagi ke stasiun supaya tidak ketinggalan kereta,” ujar si laki-laki.
“Sepagi itu sudah ada becak yang bisa mengantarku ke stasiun.”
”Becak sudah ada sejak subuh.”
Perempuan itu menunduk. “Syukurlah, aku bisa mencegatnya dari depan hotel kan?”
Laki-laki itu terdiam sejenak. Ayo, katakan saja! Batinku gemas. Katakan bahwa kamu akan mengantarnya. Ia ingin kamu temani sampai keretanya berangkat.
“Uhm… mau kuantar dengan motorku?”
Perempuan itu mendongak. “Tidak merepotkan?”
“Tentu saja tidak.”
“Baiklah kalau begitu.”
”Jam tujuh?”
“Oke.” Perempuan itu menatapnya dengan sorot mata sedih. “Terima kasih sudah menemaniku liburan di sini ya.”
“Datanglah lagi kapan-kapan. Aku menunggu.”
”Sungguh? Aku boleh minta ditemani lagi?”
“Anytime.” Laki-laki itu tersenyum.
Ah, adegan paling manis sepanjang sejarah hotel ini.

Sejak itu, aku menunggu perempuan itu kembali. Tetapi ia tak kunjung datang. Laki-laki itu masih sering kulihat jika ia mengunjungi temannya, si pemilik hotel. Dan kini sudah beberapa hari kulihat perempuan bercelana pendek itu bersama laki-laki itu. Perempuan yang hanya tersenyum seadanya, dan tak membuat laki-laki itu ikut tersenyum. Wajah laki-laki itu semakin serius agaknya. Tak seperti saat ia bersama si periang dulu.

Aku ingin sekali mengatakan kepada laki-laki itu, bahwa ia lebih cocok dengan si periang. Seharusnya ia pergi mencarinya dan membawanya kembali ke kota ini.
Ah, tapi apa dayaku… Peranku cuma sebagai saksi bisu. Aku ini cuma kursi tua yang nyaris terlupakan. Di sudut paling gelap ruang duduk hotel ini.


Image and video hosting by TinyPic

Sunday, May 4, 2008

Calling Down An Angel

Malam sudah begitu larut. Ia melihat laki-laki itu masih duduk di teras rumahnya yang temaram. Bersandar di kursi kayu yang catnya mengelupas karena cuaca. Sesekali laki-laki itu menghela napas. Matanya menerawang, menatap bintang-bintang. Wajahnya penuh gurat letih. Tak ada apapun atau siapapun menemaninya melamun. Arak balinya sudah habis berminggu-minggu yang lalu. Tak ada rokok, karena ia sudah menghentikan kebiasaan buruk itu lama sekali.

Ia tahu. Laki-laki itu lelah dan kesepian. Setiap hari harus bangun pagi. Menyiapkan sarapan, memandikan anak-anaknya dan memakaikan mereka baju seragam. Ketika mereka sudah berangkat sekolah, laki-laki itu mulai membereskan rumah. Dan selalu saja tak pernah bisa serapi yang diharapkan.

Laki-laki itu tak akan pernah cocok dengan pekerjaan domestik. Kendati ia harus melakukannya sebagai orangtua tunggal. Sesungguhnya laki-laki itu lebih cocok berada di luar sana. Diantara pepohonan, gemericik sungai dan deru angin di perbukitan.

Ketika laki-laki itu mendesah keras, ia ingin sekali datang padanya. Menawarkan tangannya untuk digenggam, bahunya untuk bersandar, senyumnya untuk menghibur dan pelukannya untuk menghangatkan. Tetapi yang bisa dilakukannya hanya mengawasi. Tanpa mampu berbuat apa-apa.

Wajah laki-laki itu tampak begitu sedih. Matanya yang lembut berkabut. Bibirnya bergetar. Hembusan napasnya semakin berat.

Kumohon, jangan sedih! Ia berseru dalam bahasa telepati. Berharap laki-laki itu bisa mendengarnya. Kamu tak sendiri. Ada aku di sini. Panggilah aku, dan aku akan segera datang kepadamu. Aku selalu mengawasimu dari balik awan-awan, bintang gemintang yang kamu pandang dan butir-butir debu yang kamu sapu. Aku ada di setiap arah mata angin. Meski kamu tak pernah sadari, aku selalu bersamamu setiap waktu.

Tidakkah kamu sadari keberadaanku saat kamu rasakan belaian angin, hangat matahari dan gemercik air di sungai yang kamu susuri? Aku membaca bebanmu kala tengah mengukir batu, karena aku adalah waktu yang mengikisnya. Aku menanggung sedihmu kala tengah menggambar peta karena aku sembunyi di balik sayap-sayap kelelawar penghuni gua. Aku mendengar keluhmu kala mengukur debit sungai karena aku adalah arusnya. Aku ada di balik sayap kupu-kupu kuning yang mampir di rumpun kembang pagi sore yang kamu tanam di halaman.

Tak ada yang bisa mencegahku memperhatikanmu. Tak ada yang bisa menghentikanku berharap kamu akan menyadari keberadaanku.
Kamu harus tahu, kamu tak sendiri. Panggilah seorang bidadari turun. Dan aku akan datang padamu. Berbagi beban itu.

Laki-laki itu masih saja duduk di teras. Tak menyadari kedip sebuah bintang yang maha terang. Di langit malam yang semakin pekat.

Wednesday, April 30, 2008

Aku Akan Datang

Aku akan datang. Ke Jogja menemuimu.
Tunggu tiga bulan lagi. Setelah evaluasi kulalui dan aku dapat jatah cuti.
Akan kubawa segenap rindu yang kukantongi dari bulan-bulan kemarin.
Menyusuri jalan-jalan yang pernah kita lewati
Parade angin itu, masihkah kamu mengingatnya?
Dan jangan dulu kamu museumkan motor tuamu meski jalannya telah tersendat.
Aku akan bertengger manis di boncengannya. Membawa tustel dan seransel penuh kegembiraan.

Aku akan datang. Ke kotamu yang permai itu.
Kumohon, tunggulah aku...

Monday, April 21, 2008

Di Pluit, Suatu Pagi

Hari ini aku terdampar di Pluit. Kawasan pesisir utara Jakarta yang berangin kering. Aroma asin laut bercampur asap polusi. Apa kabar Pantai Mutiara? Hanya beberapa menit untuk sampai di sana, tetapi aku malah duduk tak beranjak di taman mal bercat kusam. Berteman semangkuk bubur kacang hijau panas. Aku rindu percakapan riang kita tentang kerja dan keluarga. Aku kehilangan detail-detail yang selalu kamu sisipkan tentang kehidupan di kota tuamu, tentang rahasia-rahasia bumi yang kamu kenal sangat baik. Dalam aroma laut aku malah mencium bau pepohonan di hutan yang biasa kamu datangi.

Pagi hari di Pluit, seperti pagi-pagi yang lain di sudut-sudut Jakarta. Kota yang tak pernah berhasil menahanmu sehari saja. Bahkan akupun membenci kota ini seperti membenci kebodohanku yang naif.

Siang menjelang, kuputuskan untuk beranjak. Mungkin sebaiknya kuteruskan pengembaraanku ke pantai itu. Barangkali laut sudi menghanyutkan berkarung mimpi yang kukumpulkan setiap malam. Meski aku sendiri tak yakin akan itu.

Seseorang menunjukkan arah laut padaku. Aku melaju di atas motor yang kusewa. Lalu kulihat langit bercermin dalam bentangan air yang membatas di cakrawala.
Laut, aku datang!

Saturday, April 19, 2008

Sangkar Angin

Adakah malam-malam panjang
ketika melamun tak berkesudahan
kau hadirkan aku meski selintas?
Meski angin membisikkan salamku
di telingamu yang kau tulikan?

Barangkali aku adalah perempuan paling bodoh sedunia.
Sudah kuputuskan untuk tidak mencintaimu lagi.
Pada suatu titik.
Hati dan otakku malah saling berperang.
Perang yang melelahkan
hanya menghasilkan sepi dan dingin di dalam sini.
Satu hal yang paling kuinginkan
Hanyalah memilikimu
___________________________

Angin menderu. Merebahkan ia ke tanah. Badai masih belum henti, meski tak lagi sesering kemarin. Langit akan menjadi sangat biru setelahnya. Wangi rumput basah akan menguar ceria ke udara. Dan sahabatnya yang selalu bersinar hangat di antara awan-awan berarak akan memeluknya dengan jari-jari cahaya yang tembus pandang. Meski saat badai menyakitkan dan melelahkan. Terlipur sudah semuanya.

Ia akan kembali tegak dalam belaian angin yang kini bersikap lembut. Mendendangkan nada-nada gembira yang menandakan hatinya suka cita. Mahkotanya mekar menatap langit. Menantang siapa saja untuk memuji keindahannya.

"Aku masih mencintaimu. Kamu tahu. Kamu selalu tahu. Jadi tolong berilah sedikit tempat dalam benakmu yang pepat untukku."

Lelaki itu mungkin hanya akan mempertimbangkannya sesaat saja. Dan memberikan tempat itu untuknya. Meski mungkin hanya karena kebaikannya ia melakukan itu. Tetapi itu sudah cukup untuk saat ini. Lebih dari cukup.
Cukup baginya tetap menjadi bagian dari hidup dan hidup menjadi bagian dari dirinya. Ia akan terus memupuk harap. Sampai akarnya mengering karena lelah, ujung mahkotanya jatuh satu per satu ke tanah. Sampai matahari mengingatkannya bahwa ia tak bisa selalu menunggu di tengah padang. Sampai angin menderu-deru lagi di sekelilingnya.

"Aku masih mencintaimu. Kamu tahu. Kamu selalu tahu. Aku akan terus menunggu di sini. Dalam sangkar angin yang melindungiku dari sepi. Datanglah sebelum aku mengering dan mati."

Lelaki itu akan datang suatu hari. Membawa jawabannya. Ia akan menyiapkan hati untuk yang paling sedih. Tetapi setidaknya lelaki itu mengerti putihnya hati.

Friday, April 11, 2008

Titik Nol

Kupikir musim hujan sudah berhenti.
Dan mulai kini pagi hanya akan terisi cahaya mentari.
Tapi tadi hujan baru saja berkunjung lagi.
Dini hari. Menyelak mimpi.
Membuatku termangu, tak bisa tidur lagi.
_________________________

Bunga Rumput sudah meninggalkan pekarangan sepinya. Ia kini tumbuh di tengah padang bersama ilalang. Berharap peri-peri akan kembali datang mengunjungi.
Tidak bisa secepat itu tentu, karena badai baru saja reda. Udara masih dingin dan basah.

Dan sore itu, sehabis badai Pria Hujan kembali menyapa. Semua kembali seperti awalnya.
Mereka ada di titik nol, seperti hari-hari yang baru terjalin seabad yang lalu.
Dan masih ada yang mengganjal. Badai bisa datang lagi tak tentu waktu. Bahkan ketika gundah telah punah dan sedih sirna.
Bunga Rumput masih harus membuat Pria Hujan percaya. Bahwa ia adalah ia. Yang sebagaimana adanya dulu, ketika mereka baru bertemu.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...