
Did you ever know a mother
Who could change a rainy
By letting you invite your friends
For hours and hours of play?
Did you ever know a mother
Who'd pretend she was a nurse
When someone got a sliver
Or a nasty scrape or worse?
A mother who'd jump rope with you to alligator purse?
Did you ever know a mother
Not one bit afraid of mice?
A mom who thinks that puppy dogs
And polliwogs are nice?
Did you ever know a mother
Who could sort of understand
That a person sometimes has to be
A drummer in a band?
A motiff with a lot of
Noisy, nice, old pots on hand?
Did you ever know a mother
Who was all that grand?
If you know of such a mother,
And I'm pretty sure you do,
Tell her how much you love her
The whole year through.
.....
Belakangan saya dan Ussy sedikit bertentangan. Saya mengkritik caranya mendidik anak yang menurut saya menyebalkan. Terlalu memanjakan, terlalu melindungi dan terlalu mendikte.
Ia berniat membelikan anaknya yang masih kelas satu SMA sebuah blackberry.
"Buat apa?" Tanya saya. "Memangnya anak sebesar itu mendapat ratusan email setiap hari? Kalau cuma untuk main fesbuk, masih bisa pakai ponselnya yang sekarang."
Ussy masih bersikeras, meskipun saya menyarankan menyimpan saja uangnya untuk menambah tabungan kuliah anaknya.
"Baiklah," ujar saya. "Terserahmu saja Kak. Rupanya kau sudah kebanyakan uang."
Setiap hari ia mendiktekan buku-buku pelajaran yang harus dibawa anaknya ke sekolah. Suatu malam saya melihatnya mengerjakan pekerjaan rumah anaknya satu buku penuh.
"Apa-apaan ini!" Saya masuk ke kamar anaknya dan memelototinya. "Kenapa ibumu yang mengerjakan PR-mu? Kamu bukan anak idiot. Kerjakan sendiri!"
Setiap pagi, Ussy sangat bawel mewanti-wanti anaknya yang berangkat naik motor. "Hati-hati ya sayang. Jangan ngebut. Buku-bukumu sudah lengkap? Alat-alat tulismu? Buku PR-mu? Dompetmu? Ponselmu?" Lalu ia akan terbirit-birit mengambilkan barang apa saja yang terlupa. Ketika anaknya berangkat, ia masih saja berteriak. "Sayang! Jangan ngebut ya!" Halah!
"Sampai kapan anakmu kau perlakukan seperti bayi, Kak?" Tanya saya. "Biarkan ia bertanggung jawab sendiri atas keperluannya. Ia harus belajar menerima konsekuensi kelalaiannya."
Kemarin saya mendengar anaknya mengumpat. "Rio, bahasa apa itu?" Tegur saya. "Kamu kok seperti preman terminal. Jaga mulut kamu itu." Dan harus selalu saya yang menegurnya, karena ibunya diam saja. Beralasan anaknya bandel tidak mau mendengar nasehatnya.
Masih hari yang sama, Ussy bertengkar dengan anaknya. Ia memaksa anaknya ikut bimbingan belajar menghadapi UMPTN dua tahun lagi. Anaknya ingin menunggu sampai kelas tiga.
"Jangan dipaksa," ujar saya. "Rio tidak akan mengikuti bimbel dengan benar nanti. Pasti banyak bolosnya. Uang jutaan yang kau bayarkan untuk bimbel itu akan sia-sia."
"Biar dia pintar," sergah Ussy.
"Astaga Kak, Rio selama ini selalu peringkat pertama di sekolahnya! Ikut bimbel di kelas tiga lebih efektif. Sekarang biarkan ia menikmati masa pubernya. Jangan kau paksa-paksa. Nanti dia malah berontak."
Rio ingin kuliah di Institut Teknologi Bandung. Saya menyarankannya ikut kursus bahasa Jerman selain Inggris, karena banyak literatur teknik yang berbahasa Jerman. Ussy bahkan tidak tahu manfaatnya. Untung saja akhirnya ia setuju.
.......
Denny: kalau kau punya rumah, kau mau yang seperti apa Mok?
Enno: yang biasa saja. dengan meja-meja yang tidak bersudut runcing. dan dapur yang lapang.
Denny: memang kenapa?
Enno: supaya anak-anakku tidak terbentur.
Denny: wah ternyata kau keibuan juga, Mok. aku takjub!
Enno: ah itu kan cuma sekedar praktis. nanti moodku memasak terganggu anak yang menangis.
Denny: hahaha... kau Mok! dibalik keibuanmu ada kegalakan.
.......
Saya memang bukan seorang ibu. Belum. Dan barangkali nanti bukan ibu yang sempurna. Tapi sejak sekarang saya janji tidak akan menjadi seorang ibu seperti Ussy. Ia terlalu melindungi dan memanjakan anaknya, tak sadar hal itu akan merusaknya.
