Showing posts with label Sad. Show all posts
Showing posts with label Sad. Show all posts

Friday, March 13, 2015

Mengenangmu Sebentar


Sore ini hujan. Listrik padam. Aku duduk di sini, dalam temaram kamar yang hampa cahaya.
Apa kabar, Sayang?

Akhir-akhir ini, hidupku seperti roda. Menggelinding tanpa henti. Sepanjang waktu, selama jalan membentang sampai ke kejauhan.
Aku pergi ke mana saja aku bisa. Aku bahkan naik gunung lagi. Kau percaya itu? Aku sudah berhenti melakukannya sejak lulus kuliah, lama berselang. Fisikku tidak sekuat tekadku sejak aku masih kecil. Aku mungkin senang main bola dan memanjat pohon seperti anak lelaki, tetapi bukan berarti aku tidak pernah jatuh. Sering.

Aku sedang mencoba menguatkan diriku, Sayang. Mengembalikan diriku lagi seperti dulu, sebelum kau ada.
Kepergianmu mengoyak diriku menjadi jutaan serpihan, yang kukira tak bisa lagi direkat menjadi utuh.
Serpihan-serpihan itu akan menjadi bubuk yang berhamburan terbang tertiup angin, jika aku tak segera memungutinya satu per satu, meskipun itu mustahil.

Maka, kuputuskan untuk berjalan, menyusuri tepian dunia. Mencari setiap serpihan yang tercecer itu, memungutnya, memeluknya dalam dekapan agar terlindung dari badai kenangan, yang selalu mengincar berputar-putar di sekelilingku. Tentu saja kau tahu aku. Aku tidak mudah menyerah hanya karena badai picisan. Dan di sinilah aku sekarang, Sayang. Masih di tengah perjalanan, tetapi kuputuskan untuk berhenti sejenak.

Aku ingin mengenangmu sebentar. Merindukanmu sungguh menyakitkan.
Seluruh diriku yang telah hampa terisi lagi penuh oleh emosi. Datang begitu deras, seolah hendak menghanyutkan diriku dalam sungai berair gelap.

Apakah kau senang bermain di sana? Aku membayangkan kau sedang duduk memandangiku dari tepi awan-awan senja di luar jendela. Lihat, aku melambaikan tanganku. Kau lihat? Apakah saat ini kau tengah tersenyum lebar dengan mata berbinar?
Maafkan aku tak bisa memelukmu saat ini. Aku ingin sekali, tetapi belum saatnya bagi kita untuk itu. Aku memelukmu dengan doa, Sayang. Dan doakanlah juga aku.

Aku akan melanjutkan perjalananku lagi. Di jalan yang membentang sampai entah di mana.
Di ujungnya kita akan bertemu.
Ambillah rumah yang bagus di sana. Dan berikan satu kamar saja untukku. Kecil pun tak mengapa, tetapi letakkan di sebelah kamarmu. Agar aku bisa masuk diam-diam, dan memandangimu saat terlelap.
Sesuatu yang sangat ingin kulakukan sekarang, tetapi tak bisa.

Langit sudah gelap. Aku harus berjalan lagi, Sayang. Masih banyak serpihan yang harus kucari di luar sana.
Bermainlah dengan gembira. Dan jangan nakal, ya.


A thousand words won't bring you back
I know because I've tried
Neither will a thousand tears
I know because I've cried

-Kily Dunbar


pic from here


Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, May 22, 2013

Kepada Ibu

Dear Ibu,

Sedang tidur ya? Pasti di sana lapang dan terang. Dan ditemani malaikat-malaikat yang mengaji untuk Ibu. Setiap kali bertemu Ibu di dalam mimpi, orang-orang yang kenal Ibu selalu bilang, Ibu datang dengan senyum cantik, wajah bersinar dan pakaian putih yang bagus.

Ibu kangen aku, nggak? Kangen Bapak?
Aku merawat Bapak sebaik-baiknya, meskipun nggak sehebat Ibu. Aku masih kurang sabar dan kadang marah-marah kalau sudah lelah. Aku kerja seharian membereskan rumah dan memasak. Berusaha agar Bapak selalu nyaman, meski Ibu sudah nggak bersama kami lagi. Sendirian mengatasi semua hal. Dari mengatur keuangan, menyusun menu, menjaga kesehatan jantung Bapak dan asam uratnya yang kerap kumat, memeriksa atap-atap bocor dan mengupah orang mengganti langit-langit. Menjaga kebersihan rumah sebesar ini, yang seringkali nyaris mematahkan pinggang...

Nggak ada yang membantuku, selain diriku sendiri. Dan otak yang selalu berputar, berinisiatif.

Aku menahan diri sekuat tenaga. Membentengi diri dari orang-orang labil yang punya hobi ikut campur yang bukan urusannya. Mereka pikir, tanpa Ibu, aku tidak lagi terlindung. Terbuka untuk diserang.

Waktu itu, ada yang marah-marah. Katanya halaman rumah kotor tidak disapu. Dia sampai menepis tanganku yang terulur untuk menyalami. Lalu membentak: Apa saja kerjamu?

Ibu,
Dia tanya apa saja kerjaku. Dia pikir, aku cuma pengangguran yang berleha-leha tak ada kerja. Dia tidak pernah melihat sejak pagi aku seperti babu. Kadang tidak sempat sarapan. Kadang belum mandi. Kadang baru bisa beristirahat saat beduk Zuhur.
Aku harus mengatur jadwalku di rumah ini. Kalau semua kukerjakan, dengan rumah dan halaman seluas kita punya, aku bisa pingsan.
Maka, kalau aku memasak, maka aku tidak mencuci pakaian. Kalau aku mencuci pakaian, maka aku bisa sambil menyapu. Tetapi halaman luar bukan tugasku, Ibu. Sejak kecil, Ibu nggak pernah menyuruhku menyapu halaman. Itu tugas anak lelakimu. Adikku. Dan saat itu seminggu hujan selalu turun, membuat tanah menjadi lengket. Ia tidak menyapu.

Orang itu, mungkin ia menganggap dirinya peduli, sehingga sempat-sempatnya mengurusi rumah orang lain. Ia masih merasa ini rumah ayahnya--yang juga kakekku. Kakek yang menyebalkan itu. Kakek yang menganggapku cucu miskin tidak penting, yang tidak perlu dipandang sebelah mata.
Maka, begitulah, orang itu memandangku. Sama seperti dulu ayahnya memandangku.
Mungkin, ketika ia membentakku 'apa saja kerjamu', ia menganggap 'kebabuanku' masih belum cukup kalau belum ditambah tugas menyapu halaman rumah.
Aku memang anak miskin, tidak seperti anak-anaknya yang dibesarkan berkecukupan. Tetapi, kalau anak perempuannya tidak pernah menyapu halaman, kenapa aku juga tidak boleh tak pernah? Apa yang membedakan kami?
Mentang-mentang anak miskin, apakah aku wajib mengerjakan semua pekerjaan seperti babu?

Lagipula, Ibu, kenapa dia mengatur? Ini bukan rumahnya. Bukan pula rumah ayahnya seperti dulu. Ini tempat tinggalku.

Dan bukan begitu cara orang mengkritik. Minta penjelasan, dengarkan, lalu beri saran. Bukan membentak dan mengomel seperti orang kesurupan siluman.

Ibu, hatiku sakit waktu ia membentakku. Seolah-olah, semua susah payahku, pengorbanan, waktuku yang kuhabiskan untuk merawat Bapak dan rumah ini tidak pernah ada. Ia masih bertanya 'lalu apa saja kerjamu.' Ia menganggapku hanya senang bermain di depan komputer. Tak mau mendengar penjelasan bahwa aku sedang bekerja.

Memangnya ia yang memberiku makan? Yang memberiku pendidikan? Yang mencukupi kebutuhanku sampai sekarang? Kalau aku tidak menulis, aku bahkan tak akan bisa membeli sebungkus pembalut. Memangnya ia mau belikan?

Dear Ibu,
Sejak Ibu nggak ada, beberapa menganggapku kumang tanpa rumah. Berkeliaran dengan kulit lunak di pasir pantai dan mudah diinjak-injak.

Tetapi mereka nggak pernah tahu, bahwa aku bisa berubah menjadi bulu babi. Suatu waktu, akan kukeluarkan duri beracun untuk melawan kesewenang-wenangan.

Aku tahu, kalau Ibu ada, aku akan disuruh bersabar.
Sabarku sudah tinggi melebihi Galaksi Bimasakti, Bu. Terkadang, harus ada seseorang yang melawan,agar si tiran tahu ia bukannya tak terbantahkan.
Bahwa keadilan masih ada, meski di rumah tua yang genteng-gentengnya sering bocor dan tiang-tiangnya melapuk ini.

Dear Ibu,

Tidur yang nyenyak ya. Jangan khawatir, semuanya bisa kuatasi. Aku selalu anakmu yang paling kuat. Ibu kan sudah tahu.


pict from here


Kangen,

Image and video hosting by TinyPic

Tuesday, April 30, 2013

Surat Angin

Rona,
Seharusnya waktu itu, angin tidak usah berbelok mampir ke padang sabana, ya...
Ketika ia terusir dari hutan, seharusnya berhembus saja ke gurun.
Seharusnya ia tak hiraukan lambaian ilalang menghijau di dekat danau. Seharusnya ia terus menatap lurus. Gurun menunggu.

Di gurun, kesunyian meraja dan ia bisa menjelma petapa. Kau tahu kan, di sekeliling hanya ada pasir yang berdesir. Gurun mungkin saja berbatasan dengan laut. Angin bisa tamasya ke sana. Menyapa ombak, menenggelamkan diri mengejar buih, dan bermain di sela karang bersama ikan-ikan. Sendiri tak berarti sunyi.

Oh, ya. Tentu.
Kau sudah memperingatkan angin untuk teguh, ketika angin memutar arah ke sabana. Hati-hatilah, katamu. Sayapmu sudah tak utuh lagi. Tercabik setiap kali kau tersakiti kebodohanmu. Bisakah kali ini kau lebih berpikir panjang?
Namun angin terlalu keras kepala rupanya. Ia bilang padamu, ini akan mirip kisah Putri Salju, kau tahu. Pangeran mencium putri yang mati suri, dan mereka bahagia di akhir cerita.

Rona,
Padang sabana di dekat danau itu indah sekali. Selalu begitu, kau tak usah sangsi. Angin masih menari-nari di sana bersama ilalang dan kupu-kupu di atas mahkota dandelion. Tetapi matahari mencuri air danau dan mengubahnya menjadi mendung. Mengejarnya, memerangkap tawa dan bahagia.

Tentu saja angin tak sudi terjebak bersamanya, meniupnya jauh-jauh ke seberang samudera. Agar hujan hanya lewat sekejap, dan tak memaksanya melengkapi badai.

Tetapi Rona,
Seperti pernah kau bilang, seharusnya angin tidak pernah mengubah arah ke sabana, iya kan? Seharusnya ia di gurun, berhembus tenang membelai pasir.
Tetapi tentu saja sekarang sudah terlambat. Ia terikat pada ilalang dan danau yang memantulkan kilau perak di wajahnya. Ia akan tetap di sana. Meski gelap. Meski hujan. Meski harus menjadi badai.
Angin merangkum sayapnya yang compang-camping dalam kelindan duka. Kalau ia tak lagi bisa terbang, tak mengapa.

Rona,
Seharusnya, ini kisah cinta yang abadi dan tak habis-habis. Seharusnya.


A wind has blown the rain away and blown the sky away and all the leaves away, and the trees stand. 
I think, I too, have known autumn too long. 
 - E.E. Cummings


pict from here

Image and video hosting by TinyPic

Thursday, May 24, 2012

Perempuan dan Lelaki Itu

Ia bahkan sudah tahu, ini adalah perpisahan, ketika melihat lelaki itu berjalan hampir melewati dirinya yang berdiri di sisi pintu keluar. Lelaki yang berwajah lelah dan tersenyum ragu itu berdiri dengan canggung di depannya.
"Baru keluar dari gua, langsung naik kereta api ke sini."
"Aku tau."
"Tau dari mana?"
Perempuan itu tertawa pelan, menunjuk si lelaki dari bawah ke atas sambil mengerucutkan bibirnya. "Kamu masih pakai fesyen outdoor-mu, dan masih agak bau guano."
"Masa? Perasaan aku sempat mandi kok."
"Di sungai bawah tanah? Nggak pake sabun karena memang nggak boleh? Ya sama aja bohong."
Lelaki itu terkekeh.

Mereka naik bus menuju tempat tinggal perempuan itu. Sepanjang jalan si lelaki memandanginya sambil tersenyum.
"Kenapa ngeliatin terus?"
"Aku kangen."
"Aku enggak tuh."
"Masa?" Wajah lelaki itu agak berubah. Kecewa.
"Kamu masih percaya aja ya kalo kubohongin?" Perempuan itu tergelak.
"Kesinikan tangannya."
"Mau ngapain?"
"Ayo kesinikan!" Dengan heran perempuan itu mengulurkan telapak tangannya, yang langsung digenggam erat oleh lelaki di sebelahnya.
"Terus?"
"Nggak apa-apa. Aku mau tidur sambil pegang tanganmu." Lelaki itu bersandar di kursinya dan mulai memejamkan mata. Tangan perempuan itu dibawanya ke dadanya. Didekap erat, dan ia mulai terlelap.
Perempuan itu tersenyum. Bahagia dan pedih bercampur jadi satu.

"Aku tau kamu kesini mau apa..."
"Kamu memang selalu tau. Selalu ngerti."
"Sudah kupikirkan baik-baik. Kalau kita putus, mungkin itu yang terbaik."
"Kamu benar-benar sudah tau."
"I'm your girl friend. Setidaknya sampai hari ini."
"I'm sorry."
"Nggak. Yang salah itu aku."
"Bukan. Kamu nggak salah sediikit pun."

Lalu perempuan itu mulai sibuk menghapus air matanya yang tiba-tiba mendesak berjatuhan.

"Don't cry, baby.. please... I'm so sorry."
Lelaki itu memeluk si perempuan yang isaknya semakin keras. Air matanya membasahi kemeja flanelnya. Terasa pedih meresap ke hatinya.

Di tepi jalan.
Perempuan itu berdiri di sebelahnya sampai sebuah bus datang dan berhenti untuk membawanya pergi.
"Aku pulang."
"Ya. Hati-hati."
Perempuan itu tiba-tiba meraih lengannya, menariknya mendekat, dan mencium pipinya, disaksikan seluruh penumpang di dalam bus dan seluruh calon penumpang di tepi jalan itu.
Ia tertegun ketika perempuan itu berbisik. "You gotta be happy..."

“One of the keys to happiness is a bad memory.” 
― Rita Mae Brown 

pict from here




Image and video hosting by TinyPic

Tuesday, March 6, 2012

Kepada Mama

23.28 WIB

Saya menulis ini di ruang duduk sendirian, Ma. Menjelang tengah malam dan tak seorang pun di rumah. Mata saya banjir, merah dan sembab. Menulis ini sambil menunggu subuh tiba.

Teganya Mama meninggalkan kami. Mendadak sekali. Tadi sore, saat saya menengokmu, saya berharap Mama segera sembuh, meskipun firasat buruk meraja dalam hati. Mata yang teus berkedut selama seminggu, dua gelas pecah tanpa sebab. Saya, memang paling pandai menepis firasat. Dasar bodoh.

Tadi saya berpikir, ini harinya tiba. Auramu sudah tak sama, Ma. Lalu saya pura-pura tidak peduli semua itu dan menggenggam tanganmu yang tetap hangat seperti selalu. "Ma, ini Retno." Dan engkau mengangguk seraya tersengal dalam sesak napasmu.

Oksigen, penguapan, dan segala suntikan itu, menimbulkan lintasan pikiran 'itu akan sia-sia.' Tetapi seperti di hari kepergian Ibu, saya menepisnya. Saya bilang pada semua orang, "Mama akan baik-baik saja."
Dasar sok tahu.

Mama tidak pernah tahu saya menyayangimu, iya kan? Mama yang selalu mengulurkan tangan untuk membelai saya setiap kali saya terluka.
"Kasihan sekali kamu, Nak. Mama sudah tua, sudah tak bisa berbuat banyak. Yang sabar ya. Mama doakan hidupmu kelak bahagia."

Setelah tak ada Ibu, Mama adalah tempat mengadu. Tempat meminta nasehat dan kasih sayang yang biasanya diberikan Ibu. Sekarang, pada siapa saya harus bersandar, Ma? Bukankah saya pernah bilang, "Mama, yang sehat ya. Retno cuma punya Mama pengganti Ibu." Lalu Mama tersenyum. Senyum yang lembut, yang sesungguhnya tidak mirip dengan senyum adikmu, ibuku. Senyum Mama lembut, senyum Ibu riang. Tetapi sama-sama menimbulkan rasa tentram.

Dua jam yang lalu ketika saya mendengar kabar Mama pergi, rasanya seperti didorong ke jurang yang dalam. Sakit. Remuk. Berongga. Terulang lagi segala kekosongan itu.

Kalau saya ingin menangis, harus ke pangkuan siapa membenamkan kepala ini, Ma?

Jangan pergi. Seandainya tadi saya sempat mengatakannya padamu, meski Tuhan telah mentakdirkan itu. Jangan pergi. Dan saya tahu engkau hanya akan tersenyum dan membelai kepala saya.

Malam ini sungguh sepi, Ma. Saya sendirian di rumah, menangisimu. Menangisi perpisahan yang tak terelakkan. Inalillahi wa inailaihi rojiun.

...................

Mama adalah panggilan untuk kakak Ibu yang tertua. Beliau meninggal jam 21.00 WIB. Setelah saya sempat mengantarnya ke rumah sakit dalam keadaan kritis, lalu saya pulang dulu karena maag saya mendadak kambuh.


Sepupu saya menelepon kemudian, memberitahu kepergian Mama. Saya tak bisa segera meninggalkan rumah menuju rumah duka karena benar-benar tak bisa bangun gara-gara maag kambuh.


Maka saya menulis ini, kata perpisahan untuknya. Untuk mengenangnya.


Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, February 15, 2012

Whitney

Pagi ini aku menulis untukmu, meski kamu tak kenal aku dan aku tak kenal kamu. Tapi aku menulis karena mengenangmu dan masa kecilku yang terpengaruh olehmu.

Aku ingat hari itu. Ketika aku mendengar suaramu dari kaset milik sepupuku. Aku masih anak perempuan tomboy bercelana pendek dan suka memanjat pohon waktu itu. Hampir terjatuh dari dahan yang tinggi ketika dari kamarnya kudengar suaramu yang merdu.

"Yang nyanyi itu siapa, Mbak?"
"Itu Whitney."
"Bagus ya suaranya?"
"Mau pinjam?"
"Mau."

Satu album. Lupa yang mana. Lalu aku menyukaimu. Jatuh sayang padamu. Membawamu dekat di hatiku, menghapal semua lirikmu, meresapi maknanya, menjadikannya inspirasi untuk menjadi penyanyi meski suaraku sangat jauh dari merdunya suaramu. Suaraku sangat buruk jika dibandingkan dengan pencapaian oktafmu.

Lima oktaf! Bisa putus pita suaraku kalau memaksa nada setinggi itu.

Kamu satu-satunya penyanyi pop, di antara grup-grup rock, heavy metal, punk dan grunge yang sering aku suka. Di antara penyanyi-penyanyi  muram seperti The Fray dan Andrew Belle. Kamu menemaniku belajar, menulis dan menari. Suka sekali dengan beat "Wanna Dance With Somebody", dan selalu menari di kamar dengan lagu itu.

Sedang apa di sana? Di sini kami mulai rindu, meski baru beberapa hari kamu pergi.
Kepergianmu yang begitu saja, tanpa kata perpisahan, ciuman selamat tinggal dan tawamu yang riang, sungguh tak berperasaan.

Aku tak pernah menangisi penyanyi yang mati selain kamu. Karena sudah kuanggap kamu teman, yang menemaniku sejak aku masih kecil.

"Ngapain suka sama penyanyi jadul?" Mereka mengejekku waktu tahu aku suka mendengarkan lagu-lagumu, ketika mereka lebih suka mendengarkan Avril dan Christina. Tentu saja mereka tak satu selera denganku. Seleraku yang random, tetapi tak pernah bisa digoyahkan oleh komentar apa pun.

Aku tak pernah merasa begini kehilangan atas kematian seorang biduan. Tak pernah begini gundah karena tak akan bisa lagi mendengarkan lagu-lagu baru, membaca cerita kehidupan yang berlanjut, membayangkan pertunjukan-pertunjukan yang selalu digelar.
Whitney, kupikir kamu akan sembuh dari luka dan kecanduanmu. Kau malah pergi dan tak akan kembali. Menyisakan kisah tragis seorang bintang yang kehilangan sinarnya.


Selamat jalan, Whitney. Semoga Tuhan mengampunimu.


I always love you. I will miss your starry eyes, bright smile and angelic voice.




Image and video hosting by TinyPic

Sunday, January 15, 2012

Satu Persatu...

Satu persatu mereka pergi. Tak akan pernah kembali. Tak hirau mata yang basah, sembab dan isak tangis yang tak kunjung reda. Allah sudah menentukan kapan menyudahi perjalanan di dunia.


Tanah makam yang merah, kembang-kembang tabur yang semerbak dalam dekapan angin dan terang matahari di sela-sela kiara raksasa di bukit pemakaman itu, menandai satu lagi kepergian umat Muhammad. Yassin, Al-Fatihah dan semua doa yang kami bisa menemani mendiang dalam istirahat panjangnya.


Sampai sangkakala ditiupkan. Dan kami semua bertemu lagi di Padang Mahsyar. Sampai nanti, orang-orang tercinta. Sampai nanti.

........

Pagi ini, kabar buruk itu datang seperti halilintar di tengah hari. Saya sedang memasak, ketika pengeras suara di masjid Kakek mengumumkan berita duka. Uwak saya, yang memang sudah sebulan ini sakit, meninggal dunia. Padahal, baru saja saya berencana akan menengok ke rumahnya seusai memasak buat para tukang pembersih lahan.

Uwak saya itu adalah isteri sepupu Ibu. Suaminya, yang sepupu Ibu langsung, sudah meninggal lama berselang ketika saya masih kecil. Uwak istri (uwak perempuan, dalam bahasa Sunda) terasa seperti saudara kami sendiri, karena begitu tulus hatinya. Begitu baik. Bahkan ketika berbulan-bulan Ibu sakit, beliau ikut berbulan-bulan tinggal di rumah sakit, tak mau pulang sampai Ibu dinyatakan boleh pulang.

Saya tak bisa menggambarkan betapa sayangnya saya kepada beliau. Terlepas dari hutang budi karena beliau ikut merawat Ibu, beliau memang menjadi uwak favorit saya sejak dulu. Tak pernah sedikit pun saya memiliki kesan buruk terhadapnya. Setelah Ibu meninggal, ia sering datang berkunjung sekedar menengok. Membawakan makanan yang dibuatnya sendiri. Masih hangat, baru matang. Sepiring lemper, atau arem-arem, atau gorengan. Dan tak pernah lupa memeluk saya erat-erat, mencium saya sambil berbisik: sing sabar nya, geulis (yang sabar ya, cantik).

Uwak saya itu cantik, tinggi, sosoknya kokoh, hidungnya bangir dan matanya agak biru. Ayahnya adalah Belanda totok pemilik perkebunan yang menikahi gadis lokal. Setelah Agresi Militer Belanda Kedua dan semua warga negara Belanda dan Eropa dipersilakan pulang ke negerinya, ayah Uwak meninggalkan anak istrinya. Seperti halnya semua perkebunan milik Belanda dan Eropa, perkebunan milik ayahnya diambil alih pemerintah Republik. Uwak dan ibunya kembali menjadi orang desa biasa.

Suaminya, uwak pameget (uwak lelaki), seorang polisi, sedangkan Uwak Istri dikenal sebagai paraji atau dukun beranak yang bersertifikat. Ia bukan dukun beranak tradisional, melainkan mendapatkan ilmunya dari kursus resmi di rumah sakit besar di Bandung. Sebagai paraji senior, para bidan pun bahkan menghormatinya dan banyak belajar darinya.

Dan ia seorang muslimah yang solehah. Religius. Ia pengganti Ibu, mengingatkan saya puasa-puasa sunah, shalat-shalat sunah, dan bermacam doa. Setelah Ibu meninggal, saya menghadiahinya kenang-kenangan gamis Ibu yang paling indah, paling disukai Ibu. Ia tahu, dan menangis ketika menerimanya. Sering saya melihatnya memakai gamis itu ketika pergi mengaji ke masjid Kakek yang tak jauh dari rumah. Pulangnya ia mampir dan pamer.

"Neng, lihat nih Uwak pakai bajunya Ibu. Rasanya seperti ada Ibu ikut mengaji di samping Uwak di mesjid."

Uwak saya itu perempuan paling sabar, paling tawakal dan paling berserah kepada Allah.  Berbagai musibah yang dialaminya tidak pernah membuatnya terlihat down. Suaminya itu bukanlah lelaki yang setia, tetapi ia membalasnya dengan cinta dan kesetiaan. Merawatnya dengan tulus ketika sakit. Cucu-cucunya yang membuat ulah, bukan sekedar ulah kecil, tak pernah membuatnya marah atau memaki. Nasehatnya selalu mengalir, disuarakan dengan lembut, dalam, mengena.

Begitu banyak kebaikannya, begitu panjang jika harus saya ceritakan.

Sungguh ya Allah, Engkau telah membuat saya merasa sangat kehilangan. Seperti dulu, ketika Engkau memanggil Ibu pulang kepada-Mu. Aku tahu Engkau Sang Pemilik Sejati. Terimalah Uwak di tempat terbaik di sisi-Mu. Ampuni dosanya, maafkanlah kesalahannya. Kuatkanlah kami yang Engkau beri cobaan sepahit ini. Amin.

Satu persatu, perempuan-perempuan yang saya cintai pergi. Saya tidak akan pernah bertemu mereka lagi saat rindu menyerbu. Lalu hari ini, sekali lagi, saya merasa sendirian di muka bumi.

“Death ends a life, not a relationship.”
― Mitch Albom, Tuesdays with Morrie


pict from here

Image and video hosting by TinyPic

Sunday, December 4, 2011

Teror

"Kamu ngapain lagi ke sana?"
"Nengok Pung."
"Ngapain sih kamu ngurusin dia? Dia kena HIV itu kan salahnya sendiri. Kenapa juga dia pakai narkoba! Udah biarin aja!"
"Apa maksud kamu? Aku harus ngebiarin sahabatku mati? Itu kan yang kamu mau bilang? Kamu nyuruh aku menelantarkan dia sementara keluarganya pun udah nggak ada yang mau ngurus? Ngomong aja langsung! Iya kan?"
"Kena HIV itu kan salahnya!"
"Berani-beraninya kamu ngomong gitu! Tuhan aja nggak nyalahin dia!"
"Darimana kamu tau Tuhan nggak nyalahin dia?"
"Kelihatan dengan nyata kok. Tuhan mengirim semua orang baik untuk merawat dia. Teman-teman yang solid, dokter-dokter dan perawat yang berdedikasi, uang untuk membiayai pengobatan dari keluarganya meskipun mereka nggak sudi menengoknya. Itu bukti Tuhan sayang sama dia."
"Tapi dia bisa nularin kamu!"
"Astaga! HIV nggak menular dengan mudah! Memangnya kamu nggak pernah membaca informasi tentang HIV/AIDS?"
"Pokoknya aku nggak suka kamu terlalu sibuk sama sahabat pecandumu itu!"
"You know what? I prefer to spend my time for him than for the narrow-minded people like you! Kita putus!"

................

Saya putus dengan pacar-tiga-tahun saya ketika ia menentang saya merawat Pung. Orang-orang bilang saya terlalu berani. Terlalu gegabah. Menyia-nyiakan waktu yang begitu lama terjalin untuk saling memahami. Mereka menganggap saya egois, bahkan mengira saya tak sedih karena hal itu.

Sesungguhnya saya sedih. Saya menangis semalaman sampai mata saya bengkak. Tetapi bukan karena cinta yang terpenggal saya berduka. Saya menangisi kegagalan saya memahami dia. Selama tiga tahun, saya berpikir telah mengenalnya. Ternyata saya baru mengetahui orang seperti apa dia hari itu, ketika kami bertengkar.

Hanya seorang lelaki picik. Yang hanya bisa memaki dan menyalahkan orang lain. Tidak punya empati dan berhati batu.

Bukan cuma dia yang seperti itu. Beberapa orang yang sama piciknya juga mengatakan hal-hal buruk kepada saya dan teman-teman yang merawat Pung. Saya bahkan tidak bercerita pada satu pun keluarga dan saudara-saudara saya karena saya tahu mereka seperti apa. Seandainya pernah terpikir oleh saya kapan saya merasa sendirian di dunia, saat itulah waktunya.

Seperti seseorang yang terdampar di pulau yang mengapung-apung di samudera lepas. Dengan sebatang pohon kelapa untuk berpegangan. Seperti itulah perasaan saya, dan mungkin juga teman-teman kami.

Tidak semua teman Pung dan saya-teman kami- adalah orang-orang berpendidikan tinggi. Beberapa memang teman kuliahnya, menjadi arsitek dan punya pekerjaan bagus. Beberapa teman SMA-nya, dengan bermacam-macam pekerjaan. Beberapa teman yang kami kenal entah dimana. Salah satunya adalah seorang pengamen, namanya Wido. Dia hanya lulusan SMP, orang yang berasal dari kaki gunung di Jawa Tengah sana. Tetapi dialah yang paling hebat di antara kami. Selalu menyemangati Pung dan kami, dengan logat Jawa-nya yang medok. Kadang-kadang menyanyikan lagu-lagu Bon Jovi dengan gitarnya untuk Pung.

"Ini masih lagu kesukaan lu kan?" Tanyanya sambil tersenyum lebar, menampakkan gigi-giginya yang menghitam karena nikotin. Lalu mulai memetik gitarnya, menyanyikan lagu demi lagu dengan suara pelan karena takut mengganggu pasien di kamar lain.

Wido-lah yang paling sering menanggapi kenyinyiran orang-orang atas kondisi Pung dan kerelaan kami membantunya.
"Kalian itu mbokya diam saja kalau tidak mau membantu. Kalau kami tertular yang sakit, yang mati, ya kami, bukan kalian. Jadi kenapa ribut?" Ujarnya santai.

Kalau saya mulai panas dan ingin membalas komentar pedas, dia akan menepuk-nepuk bahu saya dan menyuruh saya mengambil air wudhu lalu sholat. "Sholat nduk, setan jangan dilawan lagi sama setan."

Hari ini, ketika saya melihat beberapa orang mulai menyerang secara verbal seorang ayah yang ODHA dan istri yang mendukungnya, saya sedih. Sedih sekaligus kagum, karena mereka menghadapinya dengan sangat bijak. Tak ada marah, tak ada murka, meski hati mereka tentu pedih. Saya tahu, karena saya pernah merasakannya.

Berbeda pendapat itu wajar. Tapi bukan untuk meneror orang lain. kan? Kalian boleh memelihara ketakutan kalian yang tak beralasan itu jika memang kalian begitu malasnya belajar memahami dan mencari informasi. Toh kalian yang rugi terpenjara dalam pikiran yang sempit.

Kalian boleh tetap bodoh, tetapi tidak berhak menjegal hak orang lain untuk hidup normal seperti kalian hanya karena ia berbeda. Dan adakah yang berbeda dari ODHA? Tidak. Mereka hanya sakit.

Dear all of you, narrow-minded people, 
when you point a finger at someone else, 
you should remember that four of your fingers are pointing at yourself!

pict from here

Image and video hosting by TinyPic

Saturday, December 3, 2011

Ironi

Hari AIDS Sedunia hari itu.

Saya sedang menulis beberapa tweet tentang HIV/AIDS di akun twitter saya, sambil teringat Pung sahabat saya yang meninggal karena HIV/AIDS.

Hari AIDS Sedunia katanya. Tiba-tiba di timeline terbaca ironi.

Sebuah sekolah dasar dari yayasan pendidikan terkenal, punya nama dan reputasi baik, tiba-tiba membatalkan penerimaan seorang gadis kecil karena ayahnya adalah ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Padahal gadis kecil itu baik-baik saja. Sehat walafiat.

Hebatnya, pembatalan itu hanya melalui SMS. Lebih hebat lagi, menurut ibunda si gadis kecil, dokter dari yayasan pendidikan yang bersangkutan juga menghakimi puterinya. Seorang dokter perempuan, berpendidikan, tentunya cerdas, dan seharusnya lebih punya empati dibandingkan orang-orang awam di luar sana. Mau tahu apa yang dia katakan pada ibu si gadis kecil? HIV/AIDS itu keturunan!

Masih belum cukup rupanya ironi di Hari AIDS Sedunia itu, seorang perempuan yang juga seorang ibu memberi komentar yang tidak sepantasnya. Ia menganggap hal itu bukan diskriminasi. Alih-alih berempati (ia juga punya seorang anak perempuan kecil yang fotonya dipajang di akunnya), dengan enteng ia malah menyuruh orangtua si gadis kecil bersikap realistis dan mendidik anaknya dengan sistem home schooling saja. WTF?

Anda kuliah di sekolah kedokteran mana, Bu Dokter? Saya punya beberapa sepupu dan banyak teman yang menjadi dokter. Tak ada satupun yang memberitahu saya bahwa HIV/AIDS dapat diturunkan secara genetik. Itu penyakit akibat virus. Kemungkinan penularan kepada seorang anak terjadi jika ia dilahirkan oleh ibu yang positif HIV dan itu pun harus dipastikan dengan berbagai tes sejak ia masih bayi. Tetapi gadis kecil itu dilahirkan dari seorang ibu yang sehat, ayahnya lah yang ODHA. HIV/AIDS bukan penyakit genetik yang diturunkan, tidak sama dengan diabetes atau skizofrenia yang bisa diturunkan secara genetik dan akan muncul sewaktu-waktu atau beberapa tahun kemudian. Teman-teman dokter, tolong koreksi kalau saya salah.

Tetapi, DISKRIMINASI-lah yang harus digaris bawahi di sini.

Saya tidak suka membayangkan gadis sekecil itu harus menghadapi kekejian yang belum dipahaminya. Ini bukan hanya tentang gadis kecil itu. Ini tentang semua anak yang orangtuanya adalah ODHA. Tentang para penderita HIV/AIDS dan keluarganya yang tidak hanya harus berjuang menghadapi penderitaan fisik, juga harus bertahan dari pandangan buruk orang-orang yang tidak paham.

Orang-orang yang picik menganggap AIDS adalah kutukan. Penyakit kotor. Memperlakukan penderitanya sebagai sampah masyarakat.
Tetapi siapakah kalian wahai kaum picik bodoh, termasuk kau perempuan yang berkomentar buruk kemarin, yang berhak mencela dan memaki-maki? Tuhan saja tidak pernah mencela umatNya. Tangan-Nya selalu terbuka memberi ampunan jika kita bersalah. Lagipula tidak semua penderita AIDS adalah orang-orang yang bersalah.

AIDS bisa menimpa siapa saja, bahkan bayi tidak berdosa dan orang yang paling religius. Ia bukan hanya menyerang kaum gay, pekerja seks komersil atau para pecandu narkoba. Buka wawasan kalian, please. Jangan cuma bisa menghujat.

Hari itu Hari AIDS Sedunia. Dan saya menangis sampai jatuh tertidur. Teringat betapa beratnya hari-hari ketika saya ikut merawat Pung.
Pung yang kecanduan narkoba, Pung yang HIV positif. Pung yang dijauhi keluarganya karena mereka jenis orang-orang yang picik itu.

Kami, teman-temannya, bergantian menjaganya. Orangtuanya masih mengiriminya uang untuk segala macam biaya, meski tak pernah sekalipun menengoknya. Uang itu hanya sekedar rasa kemanusiaan yang masih tersisa, selebihnya Pung sudah terbuang. Mereka pikir toh pada akhirnya Pung akan pergi. Tetapi mereka tak mengerti, Pung tetap manusia yang punya perasaan meski fisiknya tak lagi sama.

Ketika ia terbaring seperti tengkorak hidup di atas ranjangnya. Ia masih Pung, sahabat yang saya sayangi. Yang acapkali menanyakan ayah ibunya, adik-adiknya, abangnya. Ia menyimpan kerinduan itu sampai detik terakhir.

"Mereka tidak datang?" Ia bertanya lirih.
Saya menggeleng sedih.
"Mereka udah ngebuang gue ya, No?"
"Mungkin banyak hal yang kita nggak tau, Pung. Tapi jangan berpikir mereka ngebuang lu. Mereka masih peduli, masih kirim uang."
"Gue nggak butuh uang. Nggak apa-apa gue nggak diobatin terus mati sekarang, asal mereka ada di sini sekali aja untuk gue ucapin maaf."

Tanyakan pada saya hari-hari yang menyakitkan ketika seorang arsitek cemerlang, cerdas dan bermasa depan cerah tiba-tiba menjadi ODHA. Tanyakan pada saya perjuangan kami mendampinginya, menepis semua stigma buruk dari orang-orang yang tidak mengerti bahwa ini bukan kutukan, bukan wabah yang menular dengan mudah. Tanyakan bagaimana kami akhirnya membuktikan kepada dunia, bahwa kami bersih. Tidak tertular olehnya.

Googling. Cari tahu tentang HIV/AIDS sebanyak mungkin. Ikut seminar, berdiskusi dengan para relawan, ODHA dan dokter-dokter yang kompeten!

Informasi tersedia begitu banyak,
kenapa kalian masih seperti katak dalam tempurung saja?

pict from here

Image and video hosting by TinyPic

Sunday, November 13, 2011

Patroli Obelix: Rest in Peace

Anjing itu selalu menatap saya dengan mata coklatnya yang lembut. Menjulurkan lidahnya, menggoyang-goyangkan ekornya, mendengking-dengking ketika saya tepuk-tepuk kepalanya. Roldo, meskipun dilatih sebagai pemburu, tetaplah anjing yang manis. Wajahnya adalah wajah anjing paling ramah yang pernah saya tahu.

Ia selalu terikat pada rantainya, yang dipegang erat-erat majikannya. Tetapi jika saat berburu tiba, ia dibebaskan. Lari menyerbu sesemakan terus masuk ke dalam hutan bersama teman-temannya, anjing-anjing pemburu lain, mengendus jejak babi hutan yang sudah dikenalnya.

Kadang-kadang ia menghampiri saya dan Chris, mengendus-endus. Dan saya selalu mengomelinya. "Jangan endus-endus gue, Roldo. Males bersihinnya!" Tapi ia akan segera pergi setelah kepalanya ditepuk-tepuk dan dipuji. "Good boy, Roldo. Good boy." Barangkali itu yang sebenarnya dia minta.

Saya baru melihat Roldo di perburuan beberapa hari yang lalu. Tetapi sekejap ia bagaikan teman lama. Anjing itu mengingatkan saya pada Doggy, anjing keluarga kami sewaktu saya masih kecil. Doggy selalu mengikuti saya kemana-mana dan menunggu saya pulang sekolah di depan jalan.

Sejak Doggy mati ditabrak mobil, saya agak menjauhi anjing. Saya sedih. Trauma. Dan tidak berminat lagi memiliki anjing.

..............

Ketika ajakan berburu itu datang lagi kemarin siang, saya langsung mengiyakan. Saya berniat untuk mencoba menembak, meskipun kemungkinan tidak akan kena sasaran karena saya baru satu kali berlatih. Anehnya, ketika sore itu Chris menjemput saya, firasat saya sudah tak enak.

Saya terbiasa memperhatikan intuisi, karena kadang-kadang sesuatu memang terjadi. Saya agak ragu ketika melemparkan ransel saya ke jok belakang jip Chris. Ia memperhatikan wajah saya yang muram lalu bertanya.

"Nggak enak badan? Nggak usah ikut aja daripada tambah parah."
"I'm fine kok," sahut saya. "Ayo jalan!"
"Lu yakin?" Ia masih belum memutar kunci kontaknya.
"Yakin. Yuk, buruan!"

Setelah memberi kesempatan pada anggota tim perburuan yang menumpang sholat magrib di rumah seorang peladang di kaki gunung, kami siap naik. Anjing-anjing mulai dilepas ketika kami sudah semakin jauh ke dalam hutan. Chris dan saya berjalan paling belakang. Wak Ujang dan teman-temannya seperti biasa berjalan cepat mengikuti suara salakan anjing-anjing itu. Situasi rutin yang biasa dalam setiap perburuan yang kami ikuti.

Di kejauhan kami mendengar anjing-anjing menyalak lebih keras dan ribut.
"Ada satu!" Chris menarik tangan saya agar melangkah lebih cepat. Lebih aman bagi kami mendekati rombongan ayahnya, karena bisa saja babi hutan yang kepergok itu berlari ke arah kami.
Kami mendengar suara Wak Ujang berseru pada teman-temannya. Kami setengah berlari, tidak mau ketinggalan menonton pengejaran dan pertempuran antara anjing-anjing dan babi hutan yang terjebak itu.

Kami tertegun di balik semak. Babi hutan itu besar. Paling besar yang pernah kami lihat selama ini. Taringnya mencuat panjang mengerikan. Ia sedang berputar-putar, menghadapi Roldo dan tiga ekor anjing pemburu lainnya. Terkepung, namun pantang mundur. Roldo, yang paling besar di antara yang lain mencoba menerkamnya, babi itu mengibaskan tubuhnya sehingga si pemburu terpelanting. Tiba-tiba ia menyeruduk Roldo. Saya menjerit. Taringnya menusuk perut anjing itu.

"Roldo!" Chris hampir saja menghambur ke tengah arena perkelahian untuk menyelamatkan anjingnya. Saya menarik tangannya. Terdengar beberapa letusan senapan, tetapi babi hutan itu masih tetap bisa melawan. Roldo terlontar keluar arena, terkapar sambil mendengking-dengking. Tiga ekor anjing lainnya masih mengepung si babi hutan sambil menggeram dan menyalak ribut.

Lalu setelah pulih dari rasa kagetnya, Chris membidikkan senapannya ke tengah arena. Saya merasakan kemarahannya, terlalu lama mengenalnya sejak kami masih balita untuk tahu bahwa Chris tidak akan segan-segan mencincang babi itu dengan tangan kosong jika memungkinkan.
"Hati-hati," kata saya. "Nanti kena anjing-anjing."
Ia membidik satu kali. Chris, si penembak jitu. Dan babi itu menggelepar, roboh dengan kepala berlubang.

Kami mengelilingi Roldo. Ia terkapar di tanah dengan perut robek. Matanya yang coklat lembut menatap kami. Napasnya terengah-engah menahan sakit. Dengkingannya pelan, terdengar seperti rintihan. Saya mulai menangis.

"Kita harus bawa Roldo ke dokter hewan, Pi," kata Chris pelan. Tangannya mengusap-usap kepala anjingnya.
"Papi nggak yakin bisa diselamatkan, Chris," Wak Ujang menjawab sama pelannya. Ia yang melatih sendiri anjing-anjingnya. Tentu perasaannya yang paling sedih melihat anjingnya itu terluka parah.
"Bisa Pi, bisa. Kita buruan turun yuk, Pi. Ntar aku pinjam motor di bawah. Kita bawa pake motor aja biar cepat."
Wak Ujang menggeleng.

Beberapa temannya, para pemburu yang sama-sama berpengalaman seperti dirinya juga menggeleng.
"Nggak bisa diselamatkan, Chris," ujar Pak Heru. "Terlalu parah."

Roldo sekarang memejamkan matanya. Napasnya semakin tersengal-sengal. Kalau saja bisa bicara, mungkin ia akan mengatakan betapa sakit lukanya itu. Saya tak tega. Menembaki seribu ekor babi hutan, bagi saya tak masalah. Tapi menyaksikan seekor anjing terluka dan meregang nyawa, hati saya ikut terluka.

"Wak, kita harus bawa Roldo ke dokter hewan."
Wak Ujang menggeleng lagi. "Uwak ngerti kamu sama Chris sedih. Tapi Roldo memang udah sekarat."
"Sebaiknya dipercepat aja, Pak Ujang," ujar salah seorang temannya. "Kasihan, kelihatannya tersiksa."
Wak Ujang mengangguk. Ia meraih senapannya yang tergeletak di tanah. Wajahnya muram.
"Pi, jangan Pi!" Chris mencoba menahan.
"Kasian Chris. Sekaratnya bisa lama, menderitanya juga jadi lama."
Saya melongo. "Uwak mau ngapain?"
"Bantuin Roldo..."
"Jangan, Wak!" Saya berseru kaget. "Jangan, Wak. Plis.. plis...jangan ditembak..."

Sebuah tangan menarik saya mundur. Chris. Sepertinya ia sudah bisa menerima kenyataan bahwa anjingnya tak tertolong lagi.
"Kasian. Kita ikhlasin aja. Papi bener, ke dokter hewan terlalu jauh dari sini. Roldo pasti keburu mati di jalan."
"Tapi kenapa ditembak? Nanti kan mati sendiri..."
"Anjing-anjing yang udah dilatih kayak gini daya tahannya kuat. Kalau sekarat biasanya lama. Kasian..."
"Kita tungguin aja." Saya menatap Wak Ujang yang mulai membidik kepala Roldo. "Wak, kita tungguin aja!"

Chris malah menarik saya ke belakang punggungnya.
"Jangaaaaan!" Jeritan saya tenggelam oleh bunyi letusan senapan. Saya menangis terisak-isak. Chris membiarkan punggungnya menjadi tempat saya menyembunyikan wajah, merelakan jaketnya basah oleh air mata.

Jadi hanya begitu saja perjalanan hidup seekor anjing pemburu bernama Roldo? Anjing yang baru saja saya sukai karena mirip Doggy. Betapa menyedihkan. Ia mati dalam tugasnya.

Sungguh saya menyesal memarahinya setiap kali ia mengendus-endus saya. Seharusnya saya biarkan saja ia berbuat begitu. Saya tidak akan keberatan membersihkan liurnya dengan tanah tujuh kali, empat belas kali, dua puluh satu kali, bahkan ratusan kali, asal mata coklatnya yang lembut itu masih bisa menatap saya.

Rest in peace, good boy....



“Does it hurt?' The childish question had escaped Harry's lips before he could stop it. 'Dying? Not at all,' said Sirius. 'Quicker and easier than falling asleep.”
― J.K. Rowling, Harry Potter and the Deathly Hallows


pict from here

Image and video hosting by TinyPic

Saturday, September 10, 2011

Pantai, Sebatang Nyiur dan Segenggam Pasir

Dear Pung,

Aku punya kenangan denganmu di pantai itu. Dulu sekali, ketika langit masih berwarna pastel dan burung-burung camar itu belum lagi takut pada manusia. Kita duduk di bawah sebatang nyiur yang meneduhi sebidang pasir dari matahari. Aku di sebelahmu sibuk mengoleskan sunblock berulang kali.

"Takut nggak putih lagi?" Kau terkekeh geli.
"Takut kebakar," aku bersungut. Kau yang memaksaku ke pantai, padahal kubilang kita ke Puncak saja. Aku suka udara sejuk dan angin gunung yang lembut dan ramah, bukan matahari dan angin pantai yang kering berbau garam nan lengket.
"Ngapain sih kita duduk di sini?" Tanyaku heran. Sejak tadi kau hanya mengajakku duduk saja setelah minum es kelapa di sebuah warung, di ujung pantai sana. "Lu nggak lapar?"
"Lu lapar ya?" Kau merogoh ranselmu, secara tak terduga mengeluarkan sebatang coklat yang diulurkan padaku. "Nih!"
"Bukannya dari tadi lu kasihin ke gue."
"Lupa."

Aku mulai mengunyah coklatku, dan kau masih diam. Menekuk lutut, menghembuskan asap rokokmu pelan-pelan ke udara. Menciptakan gulungan-gulungan tipis yang melenyap di atas kepala. Pasir di sekeliling kita bergerak oleh angin. Menimbun ujung-ujung kakiku yang telanjang dan ujung sepatu kedsmu yang butut.

"Sepatu lu bukannya ganti. Malu-maluin. Udah jelek gitu masih dipake."
Kau terkekeh. "Ini sepatu belinya pake gaji pertama. Jadi bersejarah."
Aku tergelak. "Mau beli pake gaji pertama kek, pake duit presiden Amerika kek, tetep aja butut, malu-maluin!"
Kamu meraup segenggam pasir dan menaburkannya di pangkuanku sambil tertawa-tawa, bangkit dan lari menjauhi bahaya: aku yang marah-marah.

Tahukah engkau, Pung. Bertahun-tahun setelahnya aku masih tak mengerti untuk apa kau mengajakku ke pantai itu. Hari itu berjam-jam kita hanya keluyuran di sana, mengukur bibir pantai dari jilat ombak yang datang dan pergi. Kau arsitek, bisa dengan mudah menghitung perkiraan. Aku cuma berlari-lari saja mengejar ombak itu, yang menyurut lagi ke laut.

"Ngapain kita ke sini?"
"Jalan-jalan."
"Bukan, pasti ada sebab lain."
"Memang ada."
"Dan itu adalah?"
"Kurang refreshing."
"Huh. Alasan apaan tuh!"

Matahari semakin meninggi, angin mulai gemerisik ribut di antara lengan-lengan nyiur. Pasir yang beterbangan mengaburkan pandanganku kepadamu, yang berdiri mematung menatap laut.

"Lapar tau."
"Ayo cari makanan!"
"Gue mau makan nasi."
"Iya. Di sebelah sana ada rumah makan."
"Lu yang traktir kan?"
"Emang kapan gue nggak pernah traktir lu?"
"Hehehe... gue yang nggak pernah."
"Pernah. Lu pernah kok."
"Lho? Kapan? Lupa gue."
"Waktu kita ke Gramedia trus gue lupa bawa dompet."
"Oh iyaaaa! Hahahaha."

Lalu suatu hari kau pergi. Begitu saja, meninggalkan aku sendiri tanpa perlindungan. Sudah kukatakan padamu untuk berhenti, sejak kutahu kau mengenal bubuk jahat itu. Kau tenggelam dalam pemujaan terhadapnya. Mengisi darahmu gram demi gram dengannya. Sudah kubilang berhenti, Pung! Berhenti! Tapi kau tuli.

Lalu kau pergi. Dan aku tersedu-sedu di sisi jenasahmu di rumah sakit itu. Apa yang sangat menyakitkan dalam persahabatan kita, Pung? Melihatmu berjuang, lalu kalah. Karena kau memulainya dengan sangat terlambat.

Pung, aku masih tidak menyukai pantai. Tapi lelakiku menyukainya. Kalau kau masih ada, kurasa kalian dengan mudah menjadi teman. Aku akan 'terpaksa' menjelajahi pantai bersama kalian.

Tiba-tiba aku ingat padamu, Pung. Makammu begitu jauh. Padahal aku ingin bersimpuh di dekat nisanmu dan menyapamu seperti dulu. "Howdy, cowboy!"

.................

Dua hari yang lalu.

"Aku nggak suka pantai. Kalau ke pantai kulitku suka terbakar."
"Nanti juga normal lagi kan."
"Lama. Dua bulan biasanya. Tapi kalau kena matahari di kota atau gunung nggak terbakar tuh."
"Kok aneh?"
"Mungkin bukan sinar matahari langsung. Terpantul dulu ke gedung atau pohon-pohon."
"Nggak ada teorinya intesitas sinar matahari berkurang karena terpantul gitu."
"Lho faktanya begitu, gimana."
"Nggaklah. Kalau terbakar ya harusnya dimana-mana sama."
"Kamu tuh yaaa. Iya, iya. Minta ditemenin aja berbelit-belit. Aku mau ke pantai deh. Aku temenin kamu sampai puas."



pict from here




Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, August 31, 2011

Quick Update: Lebaran Notes

Saya menepi sebentar dari keriuhan di rumah. Sepupu-sepupu yang asyik makan bakso kuah yang baru diangkat dari panci, asyik mencicipi rujak aceh pedas yang dibawa salah satu tante, asyik menghabiskan isi toples yang saya jajarkan di setiap meja tadi pagi. Saya menepi saja, ketika obrolan menjadi hambar karena mereka asyik mengunyah sembari terkantuk-kantuk.

Ini lebaran yang tidak hanya galau di penentuan hari, tapi juga di hati kami. Saat sungkeman keluarga tadi, kami semua menangis karena teringat Ibu. Ayah saya duduk sendirian saja di kursi itu bersama saudara-saudara Ibu. Biasanya ada Ibu disampingnya. Saya memeluknya sembari menangis. Baru menyadari betapa tuanya ayah saya, betapa ringkihnya. Betapa hancur hatinya ditinggalkan Ibu.

Ayah menangis di depan makam Ibu saat kami semua berziarah ke pemakaman keluarga sehabis acara sungkeman. Menangis tersedu, sampai harus dipapah om saya menuruni tangga makam. Usi sudah sejak acara sungkeman menangis keras. Saya berdiri di sudut makam, mengusap mata yang basah diam-diam. Keluarga besar ini kehilangan Ibu. Yang biasanya memasakkan makanan kesukaan saudara-saudaranya. Menghangatkan dapur dengan tawanya. Mondar mandir, sibuk sendiri. Sesekali berteriak memanggil saya untuk mengambilkan sesuatu.

Ibu sedang tidur dengan tenang kan? Kami semua rindu. Opor Usi tidak seenak buatan Ibu. Menu di meja jadi berbeda, karena Tante Min yang memasak. Tak ada sambal goreng kentang yang dipisahkan di mangkuk khusus untukku. Tak ada yang bawel memanggil-manggil aku untuk mengambilkan ini itu...

Ini lebaran yang mencengangkan bagi sepupu-sepupu saya, melihat saya berhijab. Sepupu-sepupu yang sebaya, teman-teman bermain saya di masa kecil baru berdatangan tadi pagi. Mereka ternganga melihat saya menyongsong mereka di beranda dengan jilbab menutup kepala.

"Wah, lu pake jilbab cakep lho!"
"Gue pake jilbab sekarang. Maksudnya ini beneran hijab."
"He?" Mereka tercengang dengan sukses.

Ya, saya tahu. Mengingat saya yang dulu santai dan cuek, saya berhijab menjadi fenomena bagi mereka.

Saya menepi di sini. Di kamar pengungsian saya, di ruang rekreasi. Tiba-tiba mendengar lagu yang diputar seseorang sepupu di mobilnya. Not With Me, Bondan Prakoso.

I’m waking up from my summer dreams again
try to thinking if you’re alright
then i’m shattered by the shadows of your eyes
knowing you’re still here by my side

I can see you if you’re not with me
i can say to my self if you’re okay
i can feel you if you’re not with me
i can reach you my self, you show me the way

Life was never be so easy as it seems
’till you come and bring your love inside
no matter space and distance make it look so far
still i know you’re still here by my side

you’re made me so alive,
you give the best for me
love and fantasy
and i never feel so lonely,
coz you’re always here with me
always here with me

Saya teringat seseorang di kota lain sana. Yang mencintai saya dan saya mencintainya juga. Saya tahu ketika saya sedih ia akan bilang 'masih ada aku' (meski tak bisa mengatakannya dengan gamblang karena ia tak seromantis itu).

pict from here


eid mubarak!


Image and video hosting by TinyPic

Thursday, August 4, 2011

Mencari Ibu

Ramadhan hari keempat.

Sejak Ibu pergi, saya mencarinya pada setiap sosok yang menjadi saksi kehidupannya. Mencarinya dalam diri saudara-saudara perempuannya. Dalam intonasi suara mereka, dalam tawa yang menyipitkan mata hingga segaris. Efek yang diwariskan secara genetis.

Saya mencarinya dalam diri saudara-saudara lelakinya. Dalam kosakata yang biasa digunakan. Dalam humor lama yang selalu diulang-ulang setiap acara. Menemukan jejak periang Ibu dalam diri mereka. Mungkin dari merekalah Ibu belajar bercanda.

Saya mencarinya dalam diri saudara-saudara saya. Dalam suara Usi ketika ia mengomeli anak-anaknya. Dalam gelak nyaring adik lelaki kami saat tak bisa membendung geli. Karena demikianlah Ibu meramaikan rumah kami dulu.

Mencarinya dalam diri Ayah. Lelaki yang dicintai dan mencintainya. Ketika ia tengah berdiri berlama-lama di depan foto Ibu yang besar dan berbingkai. Sesuatu yang sering dilakukan Ibu, dulu sekali. Ketika Ayah bertugas ke Australi, dan Ibu rindu setengah mati.

.........

Suatu hari di rumah sakit itu.
Para perawat yang mengurus Ibu bertanya saya ini siapa.
"Anak Ibu," sahut Ibu.
"Kok nggak mirip ya. Saudara-saudaranya yang dua itu mirip. Bongsor-bongsor, sama seperti Ibu. Kalo teteh ini kecil."
"Memang nggak mirip Ibu. Tapi anak Ibu yang ini lebih pintar, lebih mandiri, lebih supel. Dari kecil sudah begitu." Ibu mengelus lembut lengan saya. Seolah memberitahu saya, seperti apapun saya, Ibu sayang dan bangga pada saya.

..........

Saya mencari Ibu dalam diri saya, meskipun saya tak mirip dia kata mereka. Berdiri di depan cermin besar yang tergantung di kamar, saya tersenyum. Dan itulah Ibu. Tersenyum pada saya di kaca itu. Senyum khasnya dengan bibir terkatup tak kelihatan gigi.

Mata yang menatap saya di cermin itu mulai membasah. Kesadaran menghunjam pelan. Ah, itu bukan Ibu. Itu saya dengan senyum yang diwariskannya.

Ramadhan hari keempat.

Saya masih saja mencari Ibu. Dalam setiap sosok, setiap benda, setiap sudut rumah kami. Tak kuasa melengkapi rindu.


I like for you to be still, and you seem far away.
It sounds as though you were lamenting, a butterfly cooing like a dove.
And you hear me from far away, and my voice does not reach you:
Let me come to be still in your silence.

-Pablo Neruda

pict from here




Image and video hosting by TinyPic

Thursday, July 28, 2011

Pink

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.

Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.

-Pada Suatu Pagi Hari, Sapardi Djoko Damono, 1973-

...

Akhir-akhir ini saya sering menangis tiba-tiba. Saya menangis di dapur saat hendak memasak, saya menangis di depan pintu kamar mandi saat baru selesai wudhu, saya bahkan menangis saat melihat kalender. Kemarin malam saya terjaga dan mendapati diri saya sedang menangis terisak-isak, dan meneruskan tangis (bahkan lebih keras) ketika teringat bahwa dalam mimpi itu saya bertemu Ibu.

Saya kangen Ibu. Sesungguhnya tiada hari tanpa kangen Ibu. Tapi ini kangen yang jauh lebih kental, lebih pekat, lebih sunyi dari sebelumnya. Setahun yang lalu Ibu masih bersama kami. Biasanya menjelang ramadhan seperti ini Ibu sibuk menceritakan rencana-rencananya pada saya, dengan suaranya yang melengking dan ceria itu. Menu-menu puasa, kue-kue yang akan dibuat untuk Lebaran, dan apa yang akan dibelikannya untuk ayah saya.

"Belikan sandal atau sarung ya, Ret? Sarung kan baru beli bulan kemarin. Masa beli lagi kayak anak kecil aja."
"Sandal aja, Bu. Nanti deh Retno yang beliin."
"Eh, bilang sama kakakmu, Ibu bikinkan lapis surabaya saja. Jangan bolu. Nggak aneh."
"Besok kita jadi beli gorden baru nggak, Bu?"
"Nggak usah. Pakai yang lama aja. Masih bagus. Suruh si Yayah nyuci sampe bersih. Uang buat beli gorden mendingan buat beli baju anak-anak si Yayah."

Malam itu, dalam mimpi saya Ibu datang. Masuk ke kamar saya dan ikut memilih-milih tas. Entah kenapa tiba-tiba seperti itu jalan ceritanya. Lalu Ibu beranjak dan bilang akan pergi lagi. Saya ingin ikut. Saat itu saya hanya merasa Ibu akan pergi ke pasar atau apa.

"Nggak boleh," jawab Ibu. Saya masih ingat wajahnya yang tersenyum sedih saat mengatakan itu. "Kamu di sini saja. Ibu nggak bisa ngajak kamu."

Lalu Ibu melangkah ke pintu. Di sana, di depan pintu, Ibu menoleh lagi dan tersenyum lebar. Cantik sekali. Saat itulah saya menyadari bahwa Ibu sudah meninggal. Bahwa Ibu tidak akan kembali ke rumah ini lagi. Saya mulai menangis. Mulanya terisak-isak.

Tapi Ibu terus melangkah keluar pintu itu dan saya meraung. Menjerit-jerit memanggil Ibu. Berlari mengejar dan menggapai-gapai, tapi Ibu sudah tak kelihatan. Menghilang ke dalam kabut. Saat itulah saya terbangun, masih dalam keadaan menangis. Dan semakin keras ketika menyadari bahwa begitu putus asanya saya merindukan Ibu.

Lita bilang aura saya pink. Seperti yang menempel di aksesori-aksesori anak-anak perempuan pra-remaja, di kaus-kaus centil yang dipakai para abege, pada hiasan-hiasan ponsel atau stationery. Warna yang mengesankan lembut, manis, feminin dan cantik. Meskipun saya tidak merasa seperti kesan itu.

Aura saya pink, mungkin itu sebabnya saya mudah menangis? Kata Lita, hati saya mudah luluh. Disadari atau tidak, jauh di dalam sana saya adalah orang yang mudah terluka.

Pink. Atau apapun warna aura saya, saya memang mudah menangis akhir-akhir ini. Karena sedih, karena marah, karena bosan. Hari itu Lita menelpon saya ketika saya sedang menangis karena marah. Di hari yang lain, pembantu saya memergoki saya mengusap mata yang membasah saat menemukan sandal jepit kesayangan Ibu di bawah lemari.

Mungkin saya benar-benar pink sejati. Yang mudah terluka dan rapuh. Menutupinya dengan gelak tawa dan sikap tabah pura-pura.

Saya pink, dan saya rindu Ibu. Rindu sekali.

*mengusap mata yang membasah*


pict from here



Image and video hosting by TinyPic

Tuesday, March 22, 2011

Nggak Ada Judul

Cewek yang cemburu bisa lebih ganas dari singa lapar. Bertahun-tahun yang lalu teman saya, Claude, berkata dalam bahasa Indonesia yang masih menyisakan logat sengau Perancis-Kanadanya. Ia sedang menyindir saya, ketika siang itu saya cemberut karena sedang marah pada pacar saya.

"Ne pas intervenir, Claude!" Sahut saya sambil melemparnya dengan sepotong gorengan yang sedang saya makan. Jangan ikut campur, Claude. Ia tertawa. Entah menertawakan kesewotan saya, entah menertawakan logat Perancis saya yang kacau. Sisa-sisa mata pelajaran bahasa Perancis di SMA dulu.

Tapi ternyata Claude lebih mengenal diri saya dibandingkan saya sendiri. Selama ini saya tidak pernah merasa bahwa saya ini cewek yang cemburuan, seperti kata dia dulu. Setidaknya sampai kemarin. Ya. Kemarin.

Dan masalahnya menjadi ganjil, karena yang saya cemburui bahkan sudah bukan pacar saya lagi.

Saya menyesal masuk ke fesbuknya hari itu. Jaring sosial sialan! Seharusnya saya hapus saja akun saya disana. Sudah pernah akan saya lakukan, tapi kemudian saya ingat teman-teman saya disana. Semua teman SD sampai teman kuliah, para kolega, para sahabat, semua sepupu dan orang-orang yang sudah saya anggap seperti saudara. Saya tidak mau kehilangan tempat bertegur sapa dengan mereka dari kejauhan.

Seharusnya hari itu, setidaknya saya tidak masuk ke fesbuk dia. Tidak kepingin menuliskan sesuatu di 'dinding' untuk mengisenginya. Sehingga saya tidak perlu membaca reply-nya untuk komentar perempuan itu. Bahasa yang lembut plus ikon senyum.

Damn! Dia bahkan tidak pernah memberi saya ikon senyum! Dia selalu membalas keisengan saya dengan kata-kata konyol lagi. Haha-hehe tidak jelas. Tidak pernah lemah lembut. Tidak pernah manis. Brengsek! Memangnya dia pikir saya tidak pantas diperlakukan lembut?

Kenapa saya marah? Jangan tanya. Saya juga tidak tahu kenapa saya marah dan merasa terganggu. Saya tidak tahu kenapa saya iri dan cemburu. Saya tidak tahu kenapa ingin rasanya mencekik perempuan itu. Claude benar. Cewek yang sedang cemburu bisa lebih ganas dari singa lapar.

Hey! Seberarti itukah dia untuk kamu? Perempuan yang membuat aku terpaksa mundur dari hidupmu. Perempuan yang tidak pernah bisa kamu hindari. Betapa bodohnya aku yang masih saja berputar-putar di sekitarmu, padahal kau sendiri berputar-putar di sekitarnya.

Bukan berarti saya masih mencintainya. Benarkah? Kemarin seorang sahabat saya bilang justru penyangkalan saya berarti saya masih mencintainya.

I don't know! Teriak saya padanya. Jengkel. How would I know who I love right now! Orang yang mengabaikan aku di Inggris sana itu! Atau orang yang masih beramah tamah dengan perempuan jalang menyebalkan di negara ini! Hatiku kosong. Hampa. Kau bisa berteriak di sana sekencang-kencangnya dan mendengarkan gemanya berulang-ulang. Apa artinya itu? Hampa kan? Kosong kan? Bahkan mungkin tak ada oksigen untuk bernapas.

Selami hatimu. Selami.

Baiklah. Sudah aku selami. Kau mau tahu jawabannya, teman? Aku tidak mencintai siapa-siapa. Setidaknya saat ini. Saat ini aku tidak mencintai siapa-siapa. Aku terlalu bingung dan marah.

Mulai hari ini saya berjanji tidak akan masuk ke sana lagi. Ke akunnya yang penuh dengan cewek-cewek, yang selalu dibalasinya dengan lembut, terutama pada si jalang itu.

Kau, laki-laki brengsek sok macho! Keputusanku meninggalkanmu ternyata memang tepat. Aku baru menyadarinya sekarang.

Oke. Selesai. Calm down now.

foto dari sini




Image and video hosting by TinyPic

Thursday, December 9, 2010

Belum Sembuh

Ketika saya berkeliaran di rumah, beres-beres, memasak, menyiram bunga, melakukan banyak hal dalam kehidupan kami yang biasa, sayup-sayup seperti ada suara Ibu. Suaranya melintas cepat seperti menembus lorong waktu. Seperti dulu, cerewet menyuruh ini-itu.

Kadang-kadang saya sengaja melakukan kesalahan, berharap mendengar suara Ibu yang melengking naik dua oktaf, mengomeli saya. Bunga yang itu jangan disiram terlalu banyak. Teras yang sebelah sana belum disapu. Meja belum dilap ya?

Tapi sia-sia. Seberapa banyak pun kesalahan yang saya buat, tak ada suara Ibu yang berteriak mengingatkan.

Biarpun begitu, sampai sekarang saya masih merasa Ibu ada. Seolah-olah Ibu tidak pernah meninggal. Ia sedang tidur di kamarnya, di sebelah kamar saya ketika saya sedang online malam-malam begini. Baru esok pagi, ketika saya terbangun, saya baru menyadari bahwa kami tak lagi bersamanya. Tak ada bunyi piring dicuci. Tak ada suara gumamannya mengaji sehabis sembahyang Subuh. Tak ada tawanya, terkekeh saat menonton acara Mamah Dedeh di televisi. Tak ada yang melemparkan si Pupu, kucing kesayangan saya, ke atas ranjang saya kalau saya belum juga bangun.

Lalu seketika saya merasa gamang dan sendirian.

Seberapa cekatannya pun saya mengurusi semua hal di rumah ini. Dari mengurusi rumah sampai sawah. Saya malah semakin merasa kehilangan Ibu.

Saya rindu melihatnya berjalan tertatih-tatih kalau asam uratnya kumat. Kadang-kadang kalau kakinya sedang bengkak, memakai sandal jepit pun Ibu kesulitan. Saya rindu mendengarnya mengomel sendiri karena hal itu.

Saya ingin melihat lagi Ibu duduk di beranda sambil menatap jalan raya. Kadang-kadang sendiri, lebih sering bersama Ayah. Saya menatap punggung mereka berdua dari ruang tamu tapi jarang ikut bergabung. Saya merasa itu adalah saat-saat khusus untuk mereka berdua. Berbicara tentang topik 'orangtua'.

Rumah ini dipenuhi kenangan tentang Ibu. Setiap dindingnya, setiap sudutnya. Gema suaranya masih memantul di lorong waktu. Semakin sayup, dan tak lagi terdengar.

Saya menangis terisak-isak dengan hebat kemarin ketika tiba-tiba lupa bagaimana suara Ibu. Saya tidak ingin waktu menghapusnya dari ingatan.

Ya, saya belum sembuh...



foto dari sini




Image and video hosting by TinyPic

Tuesday, November 23, 2010

Remind Me of You

Foto Ibu ada dimana-mana. Bertebaran di meja rias, meja tulis, terselip di cermin, di dalam tas, dompet dan di saku jaket. Seolah-olah aku mencegah waktu menghapus Ibu dari ingatanku. Aku tak ingin setiap detail mimik wajah ibuku tergusur dari memori.

Ibu. Ibuku yang gemuk, berwajah persegi dan tahi lalat di atas bibir. Ibu yang membuat rumah ramai oleh suara-suara kehidupan yang ditimbulkannya. Langkah kakinya yang diseret, ceklik gagang pintu, teriakannya memanggilku, suara panci beradu dan piring-piring yang berdenting saat dicuci.

Ibu tidak pernah bisa diam. Ia selalu bergerak diantara kami. Menegur, tertawa, marah, mengomel, bahkan menyanyikan jingle iklan Indomie dengan suaranya yang fals. Ia tertawa-tawa waktu aku merekamnya.

Foto-foto itu hanya rekaman bisu. Tanpa Ibu, rumah sepi. Ternyata bukan aku matahari di sini. Aku cuma bintang yang berkelip samar karena cahayanya. Ibulah matahari kami. Tanpa Ibu, hanya ada suara-suara langkah kaki diseret pelan. Tak akan pernah lagi kudengar teriakannya memanggilku. Sungguh. Lebih baik kudengar lagi omelannya yang dulu kuanggap memusingkan itu daripada begini sunyi.

Sampai hari ini aku masih saja berlari ke makamnya sambil menangis jika rindu menjadi hantu. Kubawakan bunga-bunga yang dulu ditanamnya, kutaruh di jambangan tanah liat dekat nisannya. Ibuku yang selalu tak bisa tidur sendiri, kini tak ditemani. Aku tahu, aku tak menangisi Ibu yang kini sudah tidur dengan tenang. Aku menangisi diriku sendiri yang kesepian tanpa dirinya.

.......

Kenangan.

Ibu, terbaring di atas ranjang. Aku telungkup di sebelahnya. Kami sedang bercanda menertawakan ulah Ayah.
Tangan kanan Ibu yang tidak lumpuh bergerak meniru cara Ayah memutar-mutar nasi di atas piring. Meniru cara Ayah menyuap makanan, yang sejak dulu memang kami anggap lucu. Ibu dan aku terkekeh-kekeh. Tawa Ibu pelan dan tertahan. Aku terbahak-bahak.
Ah Ibu, dalam sakitmu, masih saja tak kehilangan humor.

Kupikir Ibu akan sembuh dan kami bisa berkumpul lagi di rumah ini. Kemarin ada kami bertiga, sekarang hanya berdua. Dan aku masih harus menghibur Ayah dengan sikap ceria yang biasa. Sulit. Sangat sulit. Karena setiap tawa terdengar hambar.

.......

Aku kehilangan berat badanku dengan drastis. Aku yang kurus di cermin itu membangkitkan kenangan tentang omelan Ibu. Suaranya masih terngiang di telingaku. Ibu bilang aku harus mulai diet kalau tidak mau semakin gemuk. Lalu kami bertengkar dan aku menangis jengkel.

Ibu, lihat. Aku kehilangan berat lima kilo sekarang. Seharusnya Ibu ada untuk memujiku.

Foto-foto Ibu masih bertebaran dimana-mana. Kubiarkan saja demikian. Agar aku tetap merasa Ibu menjaga dan melindungiku seperti kemarin. Agar gadis kecil dalam diriku selalu merasa aman dalam pelukannya.

Suara Ibu yang tak ingin kulupakan adalah ketika tengah malam seperti ini ia muncul mengecek di ambang pintu kamarku. "Retno, kamu belum tidur? Ibu tidur sama kamu ya?"

Aku kuat. Aku pastilah orang yang kuat karena Tuhan telah memilihku menerima cobaan ini. Aku cuma bersedih. Sementara biarkan aku begini...

_______________________

Warna fuchsia pink di blog ini untuk Ibu atas cintanya padaku. Aku merombak blog ini sejak sore sampai tengah malam. Thanks untuk Ucup, yang peka pada bentuk dan warna, sebagai konsultan paksaan di tengah pekerjaan lembur yang menumpuk. Tapi tak sia-sia kau belajar sampai jadi arsitek ya ^^



gambar dari sini



Image and video hosting by TinyPic

Monday, November 15, 2010

Firasat

Selama ini ternyata saya telah menumpulkan diri. Saya, yang biasanya selalu waspada dan hati-hati dengan pertanda, tiba-tiba saja begitu awam dan tak peduli. Sejak sebelum Ibu sakit, firasat itu sudah meraja. Tapi saya menyingkirkannya jauh-jauh dari pikiran. Seolah-olah yang ada hanyalah hari-hari yang biasa. Kehidupan kami yang selama ini penuh warna, dan kemudian sedikit terusik keprihatinan karena sakitnya Ibu.

Sebelum jatuh sakit, Ibu sudah tampak pucat. Ibu juga jadi agak pendiam. Dan entah kenapa, setiap Ibu mau berangkat entah ke pengajian atau ke pasar, hati saya seolah tak terima. Tiba-tiba saya takut Ibu tidak pulang.

Saya masih ingat hari terakhir Ramadhan. Saya sedang menatap keluar jendela ruang tamu yang menghadap ke halaman dan jalan raya. Saya melihat Ibu di tepi jalan, pulang dari warung hendak menyeberang kembali ke rumah. Tiba-tiba saya merasa sangat menyayanginya dan berlari keluar. Di seberang sana Ibu tersenyum dan mencegah saya menyeberang. Ibu bisa kok, katanya sambil mengibas-ngibaskan tangan. Ketika lalu lintas sepi, ia menyeberang dengan langkahnya yang tertatih karena kaki yang sedang bengkak oleh asam urat. Saya menggandengnya ke rumah. Dengan hati penuh sesal karena membiarkan Ibu pergi ke warung sendirian,

Mungkin itu firasat. Seperti juga setiap kali saya berbicara tentang Ibu pada orang lain, saya selalu memakai kalimat lampau (past tense). Ibu 'dulu' begini. Ibu 'dulu' begitu. Saya sampai sering menghentikan kalimat di tengah percakapan karena terkejut sendiri, kenapa saya menggunakan kata 'dulu' padahal Ibu masih hidup.

Dan saya yang tidak pernah sekalipun mau berpakaian hitam saat menjenguk orang sakit karena merasa takut itu menjadi pertanda, di hari kepergiannya menjenguk Ibu dengan tshirt hitam. Tak sedikitpun terbetik perasaan janggal. Bahkan saya sekarang ingat, sebelum Lebaran tiba-tiba saja saya mengumpulkan kerudung hitam, menumpuknya di lemari. Saya juga memilah-milah kerudung sutra Ibu yang sudah tidak lagi dipakainya dan memindahkannya ke lemari saya.

Hey, hey, buat apaan tuh? Tanya Ibu. Itu kerudung bagus semua!
Ini kan warisan, sahutku sambil nyengir.

Mungkin Ibu juga punya firasat sendiri, karena beberapa bulan lalu ia pernah bertanya padaku begini:
Kalau Ibu sudah meninggal, piring dan gelas-gelas Perancis Ibu mau dikemanakan?
Buat aku dong, sahutku.
Saudara-saudara kamu nggak dikasih?
Dikasih, tapi sedikit. Aku tertawa.
Nah, nah, itu nggak boleh begitu.
Usi sudah punya kan? Koleksinya lebih banyak dari Ibu. Lebih bagus-bagus.
Tapi adikmu gimana?
Ah dia kan anak lelaki. Istrinya minta aja warisan dari ibunya sendiri. Kalau ibunya nggak punya gelas Perancis ya salah sendiri.
Ibu tertawa karena tahu aku cuma bercanda. Ia mencubitku. Nggak boleh gitu dong, Ret.
Iyaaa, nanti dikasih. Tapi sedikit aja ya hehehe

Selama sakitnya, Ibu selalu saja mengabsen orang-orang yang disayanginya dan menitipkannya pada saya. Si Nova kasih makanan ya. Jangan lupa kasih uang jajan kalau mau sekolah.
Nova adalah anak mantan pembantu kami yang sudah meninggal. Ibu mengasihi anak itu seperti keluarga sendiri. Sudah tidak punya ibu, kata Ibu. Dan sekarang saya senasib dengan anak itu...

Saya sungguh-sungguh menumpulkan diri, bahkan sehari sebelum Ibu terserang stroke dan saya memotret dirinya yang tampak begitu pucat pasi, duduk di sebelah adiknya.

Kalau tahu begini bodoh dan tumpul, seharusnya sejak dulu saya menuruti nasehat seseorang untuk mengasah indera keenam saya. Supaya saya tahu Ibu akan pergi dan saya tak akan pernah melepaskan diri dari sampingnya.

Kalau melihat lagi ke belakang, firasat demi firasat itu begitu banyaknya. Membuat saya merasa tolol dan bersalah.

Ibu, maafkan Retno ya. Di akhir kebersamaan kita, Retno seharusnya lebih banyak memelukmu dan mengatakan betapa sayangnya Retno pada Ibu. Maafkan Retno, Bu...





foto dari sini



Image and video hosting by TinyPic

Saturday, October 16, 2010

Caci Maki Itu

: Anda, yang mencaci maki saya kemarin pagi

Terima kasih sudah melontarkan cacian itu pada saya melalui telepon. Membentak-bentak keras, mengatakan saya ini anak yang tidak punya tanggung jawab. Sungguh, itu gelar yang hebat sekali. Yang disematkan pada tubuh yang lelah ini, yang tulang-tulangnya nyaris patah karena harus mengurus segalanya sendirian selama Ibu sakit.

Jangan khawatir. Saya tidak marah. Sakit hati sedikit mungkin. Tapi saya mengerti, Anda dan yang lainnya di belakang sana selalu begitu. Menghakimi orang tanpa mencari tahu duduk persoalannya. Itu sudah mengalir dalam darah keluarga, ya? Untungnya tidak dalam darah saya.

Marahi saja saya sepuas hati Anda. Karena saya belum sempat menjaga Ibu sejak pulang dari rumah sakit dan tinggal bersama Usi. Karena seharusnya saya tinggalkan saja ayah saya yang asam uratnya sedang kambuh dan tidak bisa berjalan itu. Benar, seharusnya saya tinggalkan saja adik ipar saya yang terbaring kena gejala tipus dan anemia itu, biar ia merangkak mengurus dirinya sendiri. Dan tak perlu saya urus adik saya yang demam dan membelikan obat untuk radang tenggorokannya. Saya sendiri yang juga sedang demam seharusnya memaksakan diri naik angkutan umum ke rumah Usi, meskipun harus pingsan di jalan.

Kami berempat di sini sakit. Tahukah Anda hal itu? Tentu tidak. Yang Anda tahu adalah segera memutar nomor telepon saya begitu mendengar laporan Usi bahwa belum satu pun dari kami yang datang sejak Ibu di rumahnya.

Tolong tanyakan pada kakak saya yang berhati mulia, sabar, tabah dan bijaksana itu. Apakah ia sudah membaca pesan pendek yang saya kirimkan malam sebelumnya? Saya memberitahunya bahwa kami semua sakit di sini. Saya minta maaf belum bisa ke sana dan harap ia bersabar sampai dua hari ke depan. Kalau ia tidak menerima pesan itu, suruh ia membakar saja ponselnya yang tak berguna. Atau kalau ia tidak mengerti isi berita saya, tolong tanyakan harus dalam bahasa apa saya mengirim pesan untuknya.

Tak ada yang memaksanya menempatkan Ibu di rumahnya. Kalau tak sanggup, katakan saja sejak awal. Mohon bawa Ibu kembali ke rumah ini saja. Akan saya urus Ayah dan Ibu sendirian, tanpa harus merepotkan kalian. Meski harus mati kelelahan pun saya ikhlas.

Tadinya saya kira kami akan menjadi tim dalam menghadapi ini semua sampai Ibu sembuh. Ternyata saya salah. Ada yang tidak tabah, tidak sekuat yang saya kira. Yang akhirnya berkeluh kesah sehingga Anda meradang dan mencaci kami di sini.

Anyway, terima kasih untuk caci makinya. Itu adalah pertama kalinya seseorang mencaci maki saya seumur hidup. Selamat ya, Anda sudah memecahkan rekor.

Besok saya akan ke sana. Membawa pulang Ibu ke rumah kami lagi. Supaya Usi kakak saya tercinta bisa istirahat dan mengurus lagi keluarganya dengan tenang. Supaya tak ada lagi hal-hal seperti ini, karena bahkan saya tak punya waktu dan terlalu lelah untuk bertengkar.



foto dari sini



Image and video hosting by TinyPic

Monday, October 4, 2010

Ada Aku

Hari itu, ibuku merengkuh kepalaku ke dadanya dengan sebelah tangannya yang masih bisa bergerak. Tanpa kata karena terlalu melelahkan baginya untuk bicara. Aku tenggelam dalam turun naik napasnya yang berat. Di antara payudaranya tempat ia menyusuiku dulu.
"Tidak apa-apa, Bu. Retno tidak apa-apa. Retno baik-baik saja, Ibu juga pasti akan sembuh..."

..............

Ibu, waktu darah mengalir deras dari tubuh Ibu, sampai pamper, seprei, baju dan selimut Ibu kuyup oleh darah segar, apa yang Ibu pikirkan? Aku tahu Ibu terlalu lemah untuk bicara. Kondisi Ibu menurun lagi gara-gara pendarahan itu. Padahal dua hari sebelumnya Ibu sudah bisa mengobrol dan bercanda dengan suster-suster itu.

Apa yang Ibu pikirkan malam itu saat Usi takut darah, sembunyi di balik tirai dan aku membantu suster jaga membersihkan darah yang menggenangi tubuh Ibu di ranjang? Darah segar, Bu. Entah dari mana asalnya. Mungkin lambung, mungkin wasir. Tapi kenapa tak kunjung berhenti sepanjang malam? Seperti air keran, mengalir deras dari lubang anus sampai Ibu harus ditransfusi dan dipasangi dua infus.

Ibu jangan khawatir. Aku tidak akan menangis seperti dua anakmu yang lain. Yang satu cuma bisa menangis sepanjang waktu, yang satu lagi tidak fokus menjaga Ibu karena lebih banyak jalan-jalan ke pertokoan di sebelah rumah sakit atau tidur. Ibu jangan khawatir, ya. Masih ada aku, yang tidak pernah beranjak dari ranjang Ibu. Aku selalu mengaji untuk Ibu, tersenyum, dan berceloteh tentang hal-hal yang lucu meski Ibu cuma bisa menatapku dan tak kuat bicara.

Biar aku saja yang menyuapi Ibu, karena Usi selalu membuat Ibu tersedak. Biar aku saja yang mengusap kening Ibu sampai tertidur karena Ajay cuma bisa menangis sambil memegangi tangan Ibu.

Maafkan kedua saudaraku ya, Bu. Toh masih ada aku yang membereskan semuanya.

Jangan khawatir tentang Ayah, Bu. Aku selalu memasak untuk Ayah. Tidak ada jeroan dan sayuran yang membuat asam uratnya kumat. Aku berhati-hati. Kelinci-kelinci dan semua kucing Ibu selalu kuberi makan. Dan Nunung, pembantu kita yang agak dungu itu, selalu kudiktekan tugas-tugas dan kuawasi sampai beres. Aku membereskan semua urusan sawah dan kebun. Mengawasi panen, mengatur bibit dan segala urusan pajaknya.

Apa yang Ibu pikirkan saat menatapku yang sedang membersihkan darahmu? Aku tidak takut darah, Bu. Aku cuma takut kehilangan Ibu. Kalau bisa, ambillah separuh kesehatanku. Supaya Ibu sembuh dan pulang ke rumah, lantas setiap malam muncul lagi di depan pintu kamarku untuk menggodaku.

"Ibu tidur sama kamu ya?"
"Enggaaaaak! Ibu suka ngorok!"

Aku tidak akan menangis dan menatap ngeri dua infus dan satu slang transfusi di sekeliling ranjangmu seperti Usi. Aku tahu itu semua untuk kebaikan Ibu, untuk kesembuhanmu. Aku yang mencari informasi tentang endoskopi ketika Usi hanya bisa bingung saat dokter menyodorkan solusi itu.

Kata Bayu, endoskopi itu perlu dan relatif aman. Supaya penyebab pendarahan Ibu segera diketahui. Anestesinya tidak total seperti saat Ibu menjalani MRI. Bayu bilang pada endoskopi anestesinya seperti pada kuratage (kuret rahim), dengan obat tidur. Jadi kami tidak perlu khawatir Ibu kehilangan kesadaran berhari-hari seperti sehabis MRI waktu itu. Aku percaya pada Bayu, Bu. Ibu juga selalu percaya padanya. Ia anak tetangga kesayanganmu.

Bu, cepat sehat ya. Cepat pulih. Lalu nanti kita cari ahli terapi untuk tangan dan kaki kirimu yang tak bergerak itu. Tidak, Ibu tidak lumpuh. Sudah kubilang berkali-kali itu cuma lemas, Bu. Nanti bisa bergerak lagi kalau dilatih dengan rajin.

Ayo semangat, Bu. Kita tunggu tiga hari. Kalau obat suntik paling bagus itu bekerja dan Ibu tidak pendarahan lagi, dokter bisa segera melakukan endoskopi. Ibu bisa mendapat pengobatan yang tepat dan bisa segera pulang.

Jangan pikirkan apa-apa, Bu. Jangan khawatir. Ibu kan tahu bahwa aku selalu bisa diandalkan.
___________________

Saat pendarahan otak Ibu dinyatakan semakin pulih dan mengecil, Ibu malah mengalami pendarahan dari anus. Saking banyaknya dan terjadi selama empat hari, dokter memberikan transfusi. Kondisi Ibu drop lagi. Wajahnya pucat pasi dan terlalu lemah untuk bicara. Kami memutuskan mencoba obat anti pendarahan paling bagus meski harganya sangat mahal. Diperlukan tiga hari penggunaan obat tersebut sampai pendarahan Ibu dinyatakan berhenti dan bisa dilakukan endoskopi.



foto dari sini



Image and video hosting by TinyPic
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...