Showing posts with label On Writing. Show all posts
Showing posts with label On Writing. Show all posts

Wednesday, October 4, 2017

[Allure] Lelaki yang Entah Datang dari Mana

Aku memandangi meja di sudut dekat jendela besar yang menghadap ke jalan raya. Ada seseorang duduk di sana, sendirian saja. Cangkir kopi di atas mejanya masih mengepul, baru saja diantar pramusaji. Itu cangkir kopinya yang ketiga.

Kau tahu, aku bukan orang yang suka memata-matai orang lain dan ikut campur urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan diriku, kan? Aku biasanya duduk diam di meja favoritku, di sebuah sudut yang lain yang berseberangan dengan sudut di sana itu. Aku biasa mengabaikan sekelilingku dan menulis kata demi kata di laptop merah kesayanganku.

Namun, sudah seminggu ini, aku tak bisa menghindari pemandangan di sebelah sana itu. Seorang lelaki, yang telah menjadikan meja itu sebagai meja favoritnya di kafe itu, sebagaimana kutasbihkan meja ini sebagai favoritku. Tujuh hari yang panjang, dan ia hanya duduk di sana tanpa orang lain menghampirinya. Yang dilakukannya selain meneguk bercangkir-cangkir kopi adalah mencoret-coret lembaran-lembaran tisue.

Ia akan pergi menjelang senja. Bangkit perlahan dari kursinya, menepuk-nepuk celana jinsnya dan tercenung sejenak sambil menatap ke luar jendela. Bisa kulihat gerak pelan bahunya, seolah-olah ia menghela napas dan menghembuskannya kuat-kuat. Lalu, ia akan menghampiri meja bar dan bertanya apakah ia bisa membeli secangkir kopi dan beberapa muffin untuk dibawa pulang.
Dalam rutenya ke pintu keluar, ia akan melewati mejaku. Mengangguk sedikit kepadaku--karena lagi-lagi aku terlambat mengalihkan tatapanku dari sosoknya. Ia tahu aku memandanginya, dan itu membuatku mengumpati diri sendiri.

Awalnya, aku tak tahu siapa dirinya. Di hari pertama itu, kulihat beberapa pengunjung kafe diam-diam menoleh padanya dan mulai berbisik-bisik satu sama lain. Wajah-wajah penasaran bercampur dengan wajah-wajah kesal dan tak suka. Sungguh membuatku heran.
Memangnya siapa dia? Kenapa orang-orang tampak begitu kesal melihatnya? Beberapa bahkan diam-diam mengacungkan jari tengah ke arah lelaki itu. Aku mengerutkan kening. Dosa apa yang dilakukan lelaki itu sampai harus diperlakukan begitu?

Di hari kedua, aku mendapatkan jawabannya dari beberapa pramusajiku.
"Oh, masa Kakak tidak tahu?" seru mereka. "Namanya menghiasi berita selama dua bulan belakangan ini." Seorang dari mereka menunjukkan laman sebuah situs berita dari smartphone-nya.
"Oh." Cuma itu komentarku setelah membaca isi berita dan mengetahui siapa lelaki itu.
"Seharusnya, dia kita larang datang ke kafe ini. Pengunjung lain jadi nggak nyaman, Kak."

Kau tahu, aku membenci segala bentuk tindakan diskriminasi, kan? Makanya, kubiarkan saja lelaki itu menghabiskan waktunya di kafeku. Aku tidak berhak melarang-larang orang lain menikmati kebahagiaannya, sesepele apa pun itu. Aku memang pemilik kafe ini, kusediakan kafe ini bagi orang-orang yang membutuhkan tempat berlindung dari kejamnya hidup sehari-hari. Kusiapkan apa yang membuat mereka nyaman dan senang. Lantas, jika lelaki itu menemukan kenyamanan dan kesenangannya dengan duduk di sudut sana sambil meneguk bercangkir-cangkir kopi, apakah aku berhak melarangnya? Tentu tidak, bukan? Jadi, kubiarkan saja ia di sana. Pengunjung-pengunjung picik yang merasa terusik boleh mencari kafe lain.

Kau akan merasa keheranan setengah mati, kalau tahu siapa lelaki itu, dan kenyataan bahwa aku malah bersikap lunak kepadanya.
Namun, aku tidak akan memberitahukannya kepadamu. Tidak sekarang. Jangan. Belum waktunya. Aku punya firasat, ia tidak seburuk yang dikatakan orang.

"Permisi," sebuah suara membuyarkan pikiranku. Aku mendongak dari keyboard laptopku. Sepasang mata coklat gelap menatap sejajar dengan mataku. 
Lelaki di sudut seberang itu tengah membungkuk dan mengambil sesuatu di dekat kakiku. Diletakkannya benda itu di mejaku. 
"Pulpenmu jatuh."
Aku tertegun sejenak, lalu hanya bisa menjawab, "Oh." Reaksi tolol, yang sedetik kemudian kusesali.
Lelaki itu sudah beranjak, berjalan menuju pintu. Aku tersadar dan memanggilnya.
"Tunggu!"
Ia menoleh.
"Anu..., terima kasih."Aku menelan kegugupanku. Lalu, melambaikan tangan ke arah jendela, yang menyuguhkan pemandangan hujan sore yang berkilau dalam sorot lampu jalan. "Di luar hujan. Kami meminjamkan payung untuk pelanggan setia kafe."

Ia mengerutkan kening. Sepertinya, belum menyadari bahwa aku pemilik kafe ini. Kemudian, ia mengangguk. "Terima kasih tawarannya. Tapi saya suka hujan." Ia meneruskan langkahnya menuju pintu keluar, lalu menghilang ke dalam senja yang berhujan.

Lelaki itu, entah dari mana datangnya dan kemana ia pulang. Semoga ia tidak kena flu. Aku ingin melihatnya lagi besok, duduk di sudut dekat jendela itu.


pic from here

Wednesday, April 5, 2017

Algernon Project: About Their Names

Sebenarnya, pemicu terbesar yang menggerakkan saya langsung menulis tanpa pikir panjang, adalah dua nama yang melekat di otak saya sejak masih kecil.

ALGERNON dan DEMITRIA.

Saya sangat menyukai dua nama itu, terutama Algernon. Itu adalah nama yang unik dan antik. Berasal dari bahasa-bahasa kuno.

Algernon berasal dari bahasa Normandy France, yang artinya 'with beard'.
Meski tak pernah saya membayangkan seorang pria berjanggut saat menyebut nama itu. Yang saya bayangkan, justru remaja  cerdas, tinggi besar agak gendut bernama Frederick Algernon Trotteville, yang dijuluki Fatty oleh teman-temannya.

Yes, pertama kalinya saya tahu nama Algernon dari serial Pasukan Mau Tahu-nya Enid Blyton, penulis favorit yang buku-bukunya menemani saya bertumbuh. Dari seorang anak kecil pengkhayal menjadi cewek remaja tomboy yang doyan keluyuran, lalu orang dewasa yang keras kepala, yang masih tetap pengkhayal dan doyan keluyuran.

Nama Algernon itu klasik, meskipun tidak praktis dilafalkan. Baru saya sadari kemudian, ternyata sejak kecil saya sudah suka dengan segala hal berbau jadul, vintage dan antik. Haha.

Lalu gimana dengan Demitria?

Saya tidak ingat kapan tepatnya saya mendengar nama itu dan langsung menyukainya. Tapi sekitar 10 tahun yang lalu, barangkali lebih, saya membuat blog terkunci yang isinya adalah bab-bab awal novel dengan tokoh bernama Demitria. Novel itu tidak terselesaikan, karena saya tak bikin outline sama sekali. Terlupakan, tetapi nama tokohnya tetap saya sukai.

Dalam draft Algernon Project juga ada nama Pip. Itu nama yang saya sukai juga. Setiap pembaca setia buku-buku Ibu Guru Blyton pasti tahu siapakah Pip itu.
Kuncinya masih di serial Pasukan Mau Tahu.

Demikianlah, suatu pagi yang dingin berkabut di sebuah kampung (yang bagi saya adalah tempat yang sangat menyebalkan), di sudut Jawa Barat, dua nama yang puluhan tahun mengendap di dalam benak saya itu mengetuk-ngetuk minta keluar.
Seperti saya, mereka sepertinya jatuh cinta pada Würzburg, yang saya baca di internet beberapa hari sebelumnya.

Maka, saya menciptakan takdir untuk pertemuan mereka di sana.
Algernon yang memandang hidup dengan pahit dan Demitria yang selalu optimis.

Sesungguhnya, proses mewujudkan mereka adalah pembelajaran baru lagi bagi saya.

Pertama, saya menulis tanpa outline (dan saya jadi tahu bahwa saya lebih cocok dengan sistem kerja pakai outline).

Kedua, tadinya saya terbiasa menulis berdasarkan mood. Draft ini membuat saya ketat sekali dengan waktu. Menulis tiap hari tanpa menunggu mood. Memaksa memikirkan dialog dan adegan sepanjang hari 24 jam. Dan saya jadi bisa menyelesaikanya 2 bulan lebih cepat dari tempo normal saya.

Ketiga, ternyata inspirasi memang datang tidak terduga. Hanya dari nama, sebuah kisah bisa tercipta.

Tunggu tinjauan berikutnya dari Algernon Project, ya!

Pfiaddi!


Tuesday, March 28, 2017

Algernon Project: A Prolog

I see you,
When on the distant road
The dust rises,
In deep night,
When on the narrow bridge

- Wolfgang von Goethe, "I Think of You"


Apa yang ingin saya ceritakan tentang draft ini, adalah tentang betapa saya mencintai proyek naskah yang satu ini.

Suatu dorongan hati, menggerakkan saya untuk membuka laptop dan menulis di suatu pagi. Tentang sepasang anak muda yang bertemu di sebuah kota, di bagian selatan Jerman.

Dan saya menulis, mula-mula tanpa outline.

Saya menulis sampai malam, hari itu. Di benak saya tergambar jelas sosok kedua tokoh saya. Algernon yang kepengin mati, dan Demitria yang mencintai hidup.
Saya larut dalam dunia mereka. Dunia yang sebenarnya saya ciptakan sendiri.

Selama menuliskan kisah mereka, saya terbenam dalam karakter Algernon yang depresi. Tingkah laku saya sehari-hari jadi sedikit aneh, dan itu saya sadari.

Kenapa saya sangat mencintai proyek ini? Entahlah.
Mungkin karena secara tidak terlalu sadar, saya menuangkan hal-hal pribadi yang merupakan bagian dari diri saya.

Bahwa saya kadang-kadang membenci hidup, sekaligus ingin hidup seribu tahun. Saya menyukai bangunan-bangunan dan kota-kota lama, seperti Würzburg yang menjadi lokasi kisah ini. Saya menyukai warna oranye, merah dan kuning, dan menyukai kabut. Seperti karakteristik musim gugur, musim yang mempertemukan Algernon dan Demitria.
Saya juga menyukai buku-buku dan sastra klasik, yang menjadi benang merah kedua tokohnya. Dan saya, adalah orang yang tidak pernah kehilangan harapan, seperti pesan moral yang disiratkan kedua tokohnya.

Dalam satu bulan, saya merampungkan kisah ini. Benar-benar sebuah rekor, karena biasanya saya butuh waktu paling cepat 3 bulan untuk menyelesaikan sebuah naskah.

Ketika selesai, ada kebanggaan tersendiri dalam hati. Bukan karena, memecahkan rekor selesai 1 bulan.
Ini semacam kebanggaan kepada anggota keluarga.
Dalam hal ini, saya bangga pada Algernon dan Demitria.

Sungguhan, nulis tanpa outline? Tanya seorang teman penulis.
Ya. Saya melaju tanpa outline kali ini. Hanya coretan-coretan dialog atau adegan-ditulis tergesa-gesa di sembarang kertas, yang tiba-tiba pop up di kepala saat sedang tidak bisa membuka laptop.

Bukan berarti saya menyarankan untuk tidak membuat outline saat hendak menulis, lho. Bagaimana pun, outline itu penting.
Dalam proyek ini, saya hanya sedang menantang diri sendiri. Bisakah saya menulis tanpa outline, hanya berdasarkan ide segar, yang langsung ditempatkan di naskah? Ibaratnya ini permainan puzzle.

Ribet? Iya. Pusing? Iya. Bingung? Iya.
Tapi akhirnya saya melewati itu semua. Dan naskah Algernon Project akan segera diterbitkan dan bisa dibaca.

Penasaran?
Sabar.
Sementara sedang diperiksa editor, saya akan bercerita lagi tentang draft ini nanti.

Saturday, December 24, 2016

What I Learn from Pinky Promise

Uhm, well, hello...
Here I am, the owner of this blog. How are you?

Sudah beberapa lama ingin mulai menulis lagi di sini. Terutama mengenai novel terbaru saya, Pinky Promise. Tetapi, selalu saja ada hal-hal lain yang bikin saya menunda-nunda.

Hari ini. tetiba ada sedikit waktu. Kebetulan juga baru isi kuota hehe...

Jadi ceritanya, novel terbaru saya yang judulnya Pinky Promise sudah terbit sejak bulan Oktober lalu. Novel itu diadaptasi dari skenario film berjudul sama, yang ditulis Gina S. Noer. Pernah dengar namanya, kan? Dia bukan penulis skenario sembarangan. Sering mendapat penghargaan perfilman. Selain itu. salah satu filmnya, Perempuan Berkalung Sorban, adalah film favorit mendiang ibu saya.
Omong-omong, film Pinky Promise pun sudah ditayangkan di bulan Oktober.

Trus, kenapa tiba-tiba saya kepengin nulis tentang novel ini, padahal dua bulan sudah berlalu?
Pertama, karena saya belum dengan resmi pengumuman di blog ini, bahwa novelnya sudah cetak dan beredar di toko-toko buku.
Yang kedua, malam ini nggak sengaja saya lihat foto-foto Ria Irawan dan Julia Perez di internet. Mereka sedang menjalani kemo, untuk melawan kanker yang menggerogoti tubuh mereka. Saya jadi ingat malam-malam yang terasa sedih dan mencekam, saat saya menulis Pinky Promise sebagai draft utuh, yang dikembangkan dari dialog-dialog di skenario Gina

Mudah?
Tidak.
Bisa dibilang, ini adalah pengalaman saya menulis novel yang paling menguras tenaga dan pikiran . Tidak hanya secara teknis. tetapi juga secara psikologis.

Mengadaptasi sebuah skenario menjadi novel ternyata nggak segampang yang saya bayangkan.Terutama, jika kamu dituntut untuk mengembangkan plotnya secara utuh. Skenario cuma berisi adegan dan dialog-dialog untuk kebutuhan visual. Jauh bedanya dengan sebuah novel, yang harus bisa membuat pembaca memahami sekaligus bisa mengimajinasikannya.

Saya harus membentuk lagi karakter-karakter setiap tokoh, memberi mereka sejarah dan latar belakang, menciptakan plot-plot penunjang, dialog-dialog tambahan. Sementara itu, kisahnya sendiri menguras emosi kesedihan dalam diri saya.

Tahu nggak, kenapa?

Pinky Promise adalah kisah tentang orang-orang yang berjuang melawan kanker payudara di tubuh mereka. Mereka berjuang untuk tetap hidup. Dan saya, punya seorang sepupu, yang tahun ini meninggal karena penyakit yang sama. Sepupu yang dulu teman bermain saya saat kami masih kecil. Meski, tahun-tahun belakangan hubungan kami menjadi renggang, ketika ia meninggal, saya menangis berjam-jam di kamar. Ia meninggalkan tiga orang anak. Saya mencemaskan mereka.

Perasaan duka itu terungkit lagi ketika saya mengerjakan draft Pinky Promise. Berkali-kali, saya menulis sambil bercucuran air mata. Terlebih karena memang dalam skenario itu, ada dialog-dialog yang menyentuh hati, yang kemudian harus saya jelmakan menjadi plot yang utuh. Membikin saya memahami, mungkin apa yang dirasakan para pejuang kanker dalam kisah ini (Gina melakukan riset dan wawancara dengan para pejuang kanker sungguhan sebelum menulis) seperti itu pula dulu yang dirasakan mendiang sepupu saya.

Saya pun melakukan riset saya sendiri. Mencoba memahami situasi yang dirasakan seorang pejuang kanker. Saya menemukan beberapa blog para pejuang kanker. Favorit saya adalah blog mendiang Sima Gunawan. Mbak Sima almarhum adalah orang yang sangat optimis dan tegar menghadapi kankernya yang sudah stadium 4. Ia sangat mirip dengan karakter Anind yang ceria, dalam novel Pinky Promise. Berkunjung deh, ke blognya. Meskipun Mbak Sima sudah tiada sejak awal tahun 2012 lalu, blognya masih menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi para pejuang kanker lainnya sampai sekarang.

Thank you for inspiring us, Mbak Sima.
May you rest in peace in Heaven.

Sebenarnya, yang mau saya bilang saat memutuskan menulis di sini hari ini adalah, bahwa menulis Pinky Promise memberi saya banyak pelajaran. Pertama, tentu saja teknik mengadaptasi skenario menjadi novel. Saya beruntung, editor saya, Iwied, sabar banget membantu mengoreksi dan memberi masukan-masukan dalam diskusi online kami. Selain Iwied, tim penulis skenario dan production house juga ikut memberi masukan. Kalau boleh jujur, mengakomodir sekian banyak masukan dari banyak kepala itu agak gimanaaa gitu. Hehe. Bikin panik dan bingung mesti gimana menerapkannya. Lagi-lagi, Iwied mengajak saya mendiskusikannya, dan akhirnya saya bisa mengakomodir semua masukan. Selain itu, masukan dari Gina adalah yang saya jadikan summary dari semua masukan lainnya.
Mungkin, karena Gina sendiri adalah penulis, ia mengurutkan kritik dan sarannya step by step dan terstruktur. Thanks, Iwied dan Gina!

Dan memanglah, semua masukan itu jadi membuat novel Pinky Promise ini utuh dan lengkap.

Novel ini juga mengubah mindset saya soal menghadapi musibah. Kita nggak bisa menjauhi dunia ketika hidup sedang kedatangan masalah. Nggak bisa sembunyi atau pura-pura nggak terjadi apa-apa dalam hidup kita. Kadang-kadang, beban itu harus dibagi dengan orang-orang yang peduli dan kita percayai.
Seperti mendiang Mbak Sima. Ia membagi bebannya dengan menulis di blog. Menceritakan penyakitnya, perjuangannya, dan memberi semangat buat orang-orang yang senasib dengannya. Dari blog itu, dia jadi punya banyak teman. Mereka saling berceloteh riang di kolom komentar, mungkin juga ada yang kopi darat dan menjadi teman di dunia nyata.

Berbagi beban bagi para pejuang kanker itu tidak selalu tentang minta dikasihani. Salah banget kalau ada yang mengira begitu. Sejauh riset saya dan selama saya menulis novel ini, saya kemudian paham, bahwa mereka cuma ingin kehidupan mereka berjalan normal seperti biasa. Mereka kepengin didukung supaya kuat dan menularkan kekuatan itu kepada orang lain.

Saya, secara pribadi, sukaaa sekali tokoh Anind dalam novel itu. Tokoh favorit saya. Dan betapa diri saya menginginkan kepribadian seperti dia.

Dan ternyata, saya berjumpa dengan banyak orang seperti dia, saat premier film Pinky Promise.

Saya berjumpa dengan pejuang-pejuang kanker dari Yayasan LovePink Indonesia yang juga diundang untuk menonton tayangan perdana film Pinky Promise. Saya melihat wajah-wajah mereka yang sumringah, dengan senyum dan tawa, dan kegembiraan yang murni. Berkelompok dengan pakaian-pakaian berwarna pink, beberapa menutup kepalanya dengan kerudung atau turban, yang menurut dugaan saya mungkin mengalami efek kemo yang biasa terjadi pada kulit dan rambut.
Ada juga yang didorong dengan kursi roda, atau dipapah dengan tongkat. Wajahnya? Sama saja. Tegar dan berseri-seri.

Melihat perempuan-perempuan yang memancarkan aura ketabahan dan kekuatan sebesar itu, saat itulah saya bersyukur menjadi penulis novel Pinky Promise. Bersyukur diberi kesempatan ikut menginspirasikan kekuatan untuk terus berjuang bagi siapa saja yang sedang terpuruk, apa pun masalahnya, bukan hanya penderita kanker payudara.

Saya belajar dari para pejuang kanker, bahwa sekecil apa pun kesempatan, hidup harus diperjuangkan.






Launching novel Pinky Promise
bersama beberapa pemeran utama film Pinky Promise




Sunday, July 3, 2016

Pinky Promise: The Ladies and The Monster

Miss A.

Aku sudah jatuh cinta padanya sejak ia masih bayi berkulit keriput dan merah jambu. Ia menatapku dari gendongan ibunya dengan matanya yang kata orang serupa mataku. Ketika kusodorkan telunjukku, jemarinya yang mungil dan rapuh menggenggamnya erat-erat.

Ada binar di wajahnya, bibirnya terbuka, seolah-olah berusaha tersenyum padaku.
Sejak itu, aku berjanji akan membimbingnya menjadi perempuan yang tangguh. Perempuan yang menjalani hidupnya dengan bahagia atas usahanya sendiri.

Dan aku sudah melakukannya. Sampai ia dewasa. Berdiri di hadapanku sebagai perempuan muda yang cantik, pandai dan mandiri.
Tapi tugasku masih belum selesai. Ia masih belum bisa menaklukkan ketakutannya sendiri.

Ah, aku sungguh kesal dengan caranya bersembunyi. Jangan diam saja, Sayang. Aku dikejar waktu. Monster itu sudah lama mengincarku.

Miss T.

Bisakah kita tidak membicarakan semua kesialan hidupku? Aku tidak mau orang-orang tahu bahwa aku, yang mereka kenal sebagai perempuan hebat yang sukses dan meraih cita-cita dengan perjuangan sendiri, pada akhirnya harus kalah juga.

Kalian tidak tahu apa yang kurasakan. Apa yang kukorbankan. Dua belas tahun kebersamaan akhirnya menjadi sia-sia.
Kalau begitu, untuk apa aku melakukan semuanya? Untuk apa aku bersusah payah dari nol, jika pada akhirnya aku ditinggalkan dengan rasa sakit yang harus kutanggung sendirian?

Tidak. Aku tidak akan percaya lagi pada apa pun tentang cinta, persaudaraan, persahabatan. Membahagiakan orang lain? Hah. Mana ada ketulusan di muka bumi ini. Aku cuma percaya satu orang saja. Perempuan yang sejak aku lahir menjadi ibu periku.
Kalian selebihnya mungkin hanya manipulator.

Miss K.

Aku sudah melakukan semuanya yang kalian inginkan, ya kan? Aku tidak pernah membantah, meski tak menyukainya.
Aku ingin kalian bahagia, dan semuanya baik-baik saja.

Tapi, tolonglah sekali ini saja. Dengarkan keinginanku.
Aku ingin hidup dengan caraku sendiri. Yang kupilih, meski menyakitkan.

Sudah terlalu banyak yang kusimpan dalam diam. Tidak bolehkah sekarang aku bicara?

Aku melawan monster, dan tak tahu apa yang akan terjadi. Tapi aku berharap, dalam prosesnya aku tumbuh menjadi orang yang benar-benar berarti bagi orang lain. Terutama kalian.

Tidakkah kalian ingin aku hidup? Lalu kenapa kalian menekanku, sampai aku sesak?

Dan kau, Tuan Mata Teduh. Bisakah kau buka mata sedikit saja? Tidakkah kau lihat aku putus asa terus berpura-pura?
Tolong jangan melihat ke luar sana. Lihatlah ke dalam hatiku saja.

Miss B.

Kecantikan dan ketenaran akhirnya harus kalah oleh si brengsek satu ini.
Bukan saja waktu yang mengkhianatiku, tetapi sesuatu yang tumbuh dalam diriku. Merajang diriku pelan-pelan menjadi serpihan-serpihan yang dulu dikagumi banyak pria.

Monster itu mengacaukan hidupku. Aku harus menstel ulang dari nol lagi.

Lalu, apa artinya keberadaanku di dunia selama ini, jika akhirnya harus berakhir begini ironis?
Apa yang sudah kuperoleh selama ini oleh kecantikan dan ketenaran?
Kaum pria yang mengantri itu? Atau uang yang bisa kubelikan apa saja?
Nyatanya, semua itu sekejap datang seperti mimpi.

Pada akhirnya, aku hanya seonggok daging yang tak lagi dilabeli harga.
Tapi tak mengapa. Karena pada akhirnya, aku mengerti apa itu cinta.
Hidup membawaku pada sekumpulan orang yang melihatku sebagai manusia.
Yang punya hati, bukan sekedar tubuh sexy.

Monster itu datang lagi. Mereka melindungiku.
Tak apa, kataku pada mereka. Tak apa. Ia sudah tak membuatku takut lagi.

Mrs. V

Dear Suami,
Aku ingin mengatakan banyak hal padamu. Yang selama ini tak sempat terucapkan karena kita sama-sama sibuk bertahan hidup.

Saat kau menatapku, aku tahu isi hatimu.
Kau mencemaskan aku, begitu jelas terbaca di matamu. Kau berharap bertukar posisi denganku, agar aku tak harus menanggung beban melawan monster yang begitu inginnya menguasaiku.
Kau mencintaiku, aku tahu. Meski tak pernah kau ucapkan lagi sejak kita menikah dan punya anak-anak, yang  menuntut seluruh perhatian.

Malam itu aku menangis, Suami.
Menatap tiga tubuh mungil terlelap di larut malam.
Isakku pelan, karena mereka tak boleh tahu aku bersedih.
Aku teringat hari-hari menyenangkan saat melahirkan dan membesarkan mereka. Dan aku tak sudi menukarnya dengan apa pun.
Aku juga menangis setiap kali melihat punggungmu menjauh di gang sempit tempat tinggal kita, menuju tempatmu membanting tulang seharian.
Karena aku tahu, kau pergi dengan harapan menemukan jalan untuk membantuku membebaskan diri.

Suamiku, Allah tahu yang terbaik buatku. Maka aku menerima ini dengan ikhlas, dalam keterbatasan kita.
Aku berjanji padamu untuk tidak mengeluh. Aku juga tidak akan bersedih. Aku pasrah melawan dengan doa.

Dear Suami,
Bagiku, yang penting adalah anak-anak dan kamu, selalu ada di sampingku.
Aku cinta kalian. Itu lebih dari cukup bagiku.

____________

Catatan di atas dibuat berdasarkan karakter-karakter tokoh di novel/film Pinky Promise.

Novelnya masih tahap revisi, dan akan diterbitkan GagasMedia.
Stay tune ya!

Sunday, June 26, 2016

New Project: Pinky Promise

Hai...

Sudah lama banget nggak ngeblog. Yuhuuu!
Apa kabar, semuaaa? *ala penyanyi dangdut*

Eh, berdebu banget ini blog. Sambil nyapu, saya mau ngerumpi ah.

Siapa yang sudah baca novel "Melupakanmu Sekali Lagi"?
Makasih ya yang sudah baca. Yang belum baca, baca dong. *kedipkedip*

Eh iya. Saya sedang menggarap novel baru. Saat ini sedang tahap revisi atas petunjuk editor.
Judulnya PINKY PROMISE.
Cute ya, judulnya?

Jangan-jangan ada yang mikir, ini tentang janjian pake warna pink.
Ish, bukan keles! Wkwkwk.
Pinky promise artinya janji di antara dua orang yang bersifat sakral dan rahasia. Harus dijaga dan ditepati. Disebut juga pinky swear.
Pinky artinya jari kelingking. Jadi saat berjanji, caranya mengaitkan jari kelingking masing-masing.

Novel ini akan sedikit berbeda dengan novel-novel saya sebelumnya.
Pertama, ini novel adaptasi dari skenario film. Skenarionya ditulis Gina S. Noer, yang karyanya sudah sering mendapat penghargaan. Skenarionya, Perempuan Berkalung Sorban, adalah film favorit saya dan mendiang Ibu.
Bisa bayangin kan senangnya saya mengembangkan skenario Gina?

Kedua, ini berkisah tentang persahabatan. Novel-novel saya sebelumnya kan pure romance.
Kali ini, kisahnya akan berfokus pada perjuangan bertahan hidup dan menemukan makna hidup seandainya pun kalah.
Pinky Promise mengisahkan perempuan-perempuan dengan latar belakang berbeda yang akhirnya menemukan persahabatan yang tulus, saat sama-sama melawan ketakutan mereka.
Ada kisah romance-nya juga pastinya sih. Hahaha.

Bikin baper, nggak? Ih, bangeeet.
Ini yang nulis aja sampe nangis-nangis nyesek sendiri. Mana lagi puasa yaelah. Jadi kan nggak bisa minum secangkir teh tarik hangat untuk menenangkan diri. #eh
Wkwkwk

Btw, saya sudah nonton hasil editing offline-nya lhooo.
Pada suatu sore yang agak mendung, ditemani editor saya Iwied dan Resita-pemred GagasMedia. Iya, nanti akan diterbitkan GagasMedia. Jadi cekidot aja akun Gagas. Pada waktunya pasti akan ada cuitannya.

Filmnya direncanakan tayang di bioskop bulan Oktober. Novelnya terbit sebelum itu. Nggak lama lagi kok, insyaAllah. Sudah dapat tanggal naik cetak, edar, dan launching dari Iwied. Nanti di-share kalau sudah naik cetak aja ya.

Oiya, pada pengin tau pemain filmnya siapa? Pemainnya adalah aktor dan aktris yg aktingnya semua nggak diragukan lagi.
Buat penggemar Chelsea Islan dan Derby Romero siap-siap ya. Mereka juga main, lho.
Derby cute banget seperti biasa. Hihi.

Yang seru, nantinya akan ada road show sebelum film tayang. Kata mbak PR prod house-nya, saya diikutsertakan.
Duh, gimana ini? Road show sama artis, ya ampun! Semoga nggak ada yang ngajak saya main film habis itu. Huhu.
Nggak bakal kuat menanggung popularitasnya. *digaplok*

Udah ah, jadi random gini. Entar lama-lama lapar pulak awak.

Buat yang mau kepo tentang PINKY PROMISE, sila kunjungi Instagram @pinkypromisemovie dan Twitter @pinkypromisemov yaaa...

Kalian bisa lihat siapa aja aktor dan aktris kece yang main di film ini.

Kepoin akun saya juga gapapa banget. Harus malah! #maksa :))
Nanti saya akan ngeblog lagi tentang progress novel dan serba serbi kisah ini.
Akan ngetwit juga dan nyetatus di FB.

So, selamat penasaran. Dan selamat berpuasa hari ini. Yang kuat, ya!

Kiss kiss

ENNO


Tuesday, December 15, 2015

Anak Ketiga, Melupakanmu Sekali Lagi


Halo...

Saya menulis ini malam-malam, sambil menunggu kantuk. Akhir-akhir ini, saya nggak bisa tidur. Entah kenapa. Bukan karena semacam firasat buruk, tetapi lebih cenderung pada kesalahan si benak yang berpikir terus. Susah disuruh off.

Hikmahnya, saya akhirnya punya waktu menulis blog lagi.

Ini posting pertama di akhir tahun. Nggak ada kabar personal tentang diri saya, kok. Nggak ada perkembangan apa-apa. Saya masih saya. Yang semakin sinis terhadap banyak hal (atau itu memang bawaan lahir), yang masih kecanduan ngetrip, masih kesal dengan berat badan yang turun naik kayak main yoyo, masih malas olahraga, dan... masih mencoba merampungkan utang-utang tulisan saya pada beberapa penerbit di sela-sela tidur-ngetrip-jadi babu rumah-main Instagram.

Iya. Saya lebih sering curcol di Instagram sekarang. Bukan curcol galau, tapi nulis latar belakang perjalanan di setiap tempat yang saya singgahi.

Oh iya, trip terakhir saya tahun ini adalah Malang, Bromo dan Madakaripura. Itu ketiga kalinya saya ke Bromo. Suka sekali gunung ini gara-gara savananya (berarti saya suka savana dink), dan Madakaripura adalah air terjun idaman saya sejak dulu, setelah saya tahu Gajahmada bertapa di sana dan moksa.

Ini kenapa jadi random ya? Hahaha. Kan sebenarnya mau ceritain novel ketiga yang baru terbit bulan Oktober kemarin. Judulnya Melupakanmu Sekali Lagi. Bagian dari serial Love Cycle-nya GagasMedia.

Novel ini temanya Patah Hati. Tapi bukan patah hati yang termehek-mehek gitu. Ini tentang gimana caranya melanjutkan hidup dan petualangan mencari jati diri.

Selain novel Melupakanmu Sekali Lagi, sebelumnya saya ikutan menulis cerpen untuk buku Glenn Fredly 20. Itu adalah buku kumpulan cerpen dari penulis-penulis GagasMedia, dalam rangka memperingati 20 tahun Glenn Fredly berkarya. Cerpen saya di buku itu berjudul: Ketika Hujan Pagi Itu.

Di postingan habis ini, nanti saya ceritain lengkap tentang proses menulis Melupakanmu Sekali Lagi, ya, Sekarang segitu dulu.
Cuma buat laporan aja, gitu. Hahaha,
Ini akhirnya kantuk datang. Bye bye. Doakan semoga mood saya untuk ngeblog akhirnya bergelora lagi.


Image and video hosting by TinyPic

Sunday, December 7, 2014

[Project Dawn ] Revisi

Hai!

Get Lost Journey Part 3, ditunda dulu ya. Saya lagi mau cerita tentang perkembangan draft.

Ini hari kelima saya mangkal di sofa ruang tamu.
Draft Project Dawn saya sudah selesai diperiksa editor, dan dikembalikan dengan beberapa catatan untuk revisi.

Revisi, sodara-sodari!

Baru kali ini saya diminta merevisi draft. Soalnya biasanya storyline saya sederhana, jadi plotnya nggak aneh-aneh. Nah, draft kali ini memang agak complicated.

Bukannya saya tidak senang.
Senang, tahu!
Apa lagi waktu tahu yang mengedit kali ini bukan cuma Iwied, tapi juga Gita. Dua-duanya adalah orang-orang yang gaya tulisannya saya sukai sejak pertama kali kami bertemu di dunia maya sebagai blogger.
Boleh dong bangga, bahwa draft saya kali ini 'diurusi' teman-teman bermain kata yang sudah lama saya kenal. Semoga hasilnya nanti lebih memuaskan dari novel-novel saya sebelumnya.

Dan revisinya?
Hahahahahahaha... fyuh!
Mereka memang teliti banget ye. Rasa bangga dan senang saya bercampur dengan kepanikan. Soalnya, hasil diskusi menghasilkan keputusan untuk memundurkan setting waktu ke masa 25 tahun yang lalu.

Duh, tolong.
Saya kan belum lahir! *kibas poni*
Hihihihi.

Jadilah, alih-alih menulis, kemarin saya menggalau cari lokasi baru. Mana bukan di Jakarta pulak. Kalau Jakarta sih saya nggak akan galau. Wong saya orang situ.
Ini settingnya di Surabaya, kakak. Meneketehe Surabaya 25 tahun lalu kayak apa. Saya akhirnya sibuk chatting sana-sini dengan teman-teman asli Surabaya untuk menggali informasi set lokasi.

Dapat.
Malah bukan dari orang Surabaya asli, tapi dari teman penulis asal Situbondo, Helga Rif. Hahahaha.

Jadi, saya cerita di BBM lagi cari lokasi di Surabaya yang sudah ada sejak 25 tahun lalu.
Tiba-tiba dia nyerocos aja tentang sebuah taman bermain tempat dia dulu liburan waktu masih kecil-dari Situbondo ke Surabaya.
Nggak nyangka, teman saya yang penulis-atlet penembak-peragawati-pengajar ini dulunya bolang. Bocah petualang.

Saya suka tempat yang dia ceritakan itu. It's such a romantic place untuk.ukuran akhir tahun 80-an. Saya harus riset lagi tentu saja.
Inilah bagian dari menulis yang paling krusial menurut saya.
Riset itu penting. Berkaitan dengan plot, karakter, adegan, dialog, gaya hidup, dan logika.

Menulis tanpa riset, sekecil apapun adalah nonsense.

Kemudian, sekarang muncul kegalauan baru. Alih-alih mencari data di internet, saya kepengin datang sendiri ke tempat itu untuk riset. Tapi waktunya mepet sekali.
Duh, bingung.

Ya sudahlah. Sementara ini, saya usahakan riset literatur dan wawancara.

Saya sedang bersemangat sekali sejak revisi dimulai. Karena revisi artinya draft ini sedang dalam proses penerbitan.

Ah, senang!

Thanks Iwied, Gita, Helga.
Mari tenggelam lagi di lautan kata! ^^

- Enno -

Sunday, November 2, 2014

Proyek Baru dan Saya Yang Tidak Akan Banyak Cerita


Halo kalian...
Amicuuuu!

Masih ada yang mengunjungi blog berdebu ini nggak sih?
Haduh, maaf ya, saya mengingkari janji untuk update rutin selama menyelesaikan Project Dawn.
Saya sedang tenggelam dalam perjalanan-perjalanan saya kemana-mana. Lalu berhenti untuk menyelesaikan Project Dawn.
Project Dawn sudah selesai sejak awal Oktober lalu. Lalu, saya kembali ke alam bebas, bersama teman-teman main saya. Mblusukan kemana-mana, yang pada intinya bersenang-senang.

Baiklah. Sekarang saya sudah di sini lagi. Menulis draft baru, yang bakal jadi novel keempat saya.
Saya memberinya nama Project Lost. Tentang apa? Tunggu aja deh. Yang jelas, ini benar-benar sesuatu yang baru, meski sudah sering saya 'lakukan' sejak masih rajin menulis di blog ini.

Ada satu hal, yang ingin saya sampaikan.
Mulai sekarang, saya mungkin tidak akan sering menulis tentang traveling saya terlalu detail. Cerita saya hanya akan dikisahkan sambil lalu saja. Blog ini akan saya fokuskan untuk menulis tentang kegiatan kepenulisan.

Traveling saya separuhnya adalah mencari setting lokasi atau fix untuk survei (jika lokasi setting sudah ditentukan). Setting lokasi yang saya maksud adalah eleman yang spesifik. Bukan kota, bukan daerah, bukan tempat umum, bukan jalan, yang semua orang bisa baca di mana saja. Bukan yang panduan wisatanya bahkan khusus terbit dalam buku-buku.

Saya menjaga setting lokasi spesifik saya diambil orang, sebelum tulisan saya selesai. Saya mencegah lokasi trip saya dipakai beberapa penulis lain dengan jalan pikiran 'wah-terinspirasi' atau 'oh-ini-kayaknya-menarik-dimasukkan-ke-novel-gue', atau 'kok-nggak-pernah-kepikiran-pakai-ah'...
Saya lho, capek-capek pergi. Keluar uang, keluar tenaga, sampai kadang kesasar di kota yang asing--tiba-tiba elemen saya dipakai.

Enak ya tinggal pakai? Makasih lho, apresiasinya.

Tips buat penulis dan yang mau jadi penulis: 
kalau mau cari setting lokasi (yang spesifik atau pun yang umum), keluar dari rumah dan jalanlah ke dunia luar, sejauh yang mampu dilakukan, Nggak perlu muluk-muluk ke luar negeri. Ke kota sebelah juga bisa. Kecamatan sebelah atau kelurahan sebelah, why not?
Carilah sesuatu yang spesifik di luar sana, yang belum pernah ditulis orang atau jarang dipublikasikan. Penulis yang baik seharusnya demikian. Bukan terkubur di dalam dunia imaji dan riset di kamar saja.

Tulisan akan lebih hidup dan lebih bercerita ke pembaca kalau ditulis berdasarkan pengalaman sendiri, daripada hanya sekedar memungut apa yang disurvei orang.
Ini sangat berlaku dalam konteks setting lokal. (Kan traveling saya mencari setting spesifik juga masih lokal).

Untuk tips mencari setting spesifik lokasi luar negeri, saya akan bagi tipsnya di tulisan lain, ya :)

Btw, kenapa saya ngomongin topik ini?
Yah, tahulah kenapa kalau saya kayak gini. Saya masih belum berubah dari Enno yang dulu suka ngamuk waktu tulisan-tulisannya diplagiat orang :))

Jadi, sekarang mari kita berbincang-bincang tentang proyek-proyek menulis, tips-tips menulis, dan hal-hal random dalam hidup saya.
Tentang jalan-jalannya akan saya tulis, kalau sudah kelar jadi buku, ya...
Mohon maklum.

Oh, and please, no hard feeling.




Image and video hosting by TinyPic

Sunday, July 27, 2014

[Project Dawn] Setelah Melarikan Diri

Ia menaikkan sebelah alisnya. “Lelaki bodoh yang akan menonjok siapa saja yang berani menyentuh gadis yang disukainya.”
“Itu tidak seromantis yang kamu pikirkan, tahu.”
Ia menatap perempuan itu dan menyahut sinis. “Siapa yang berpikir itu romantis? Aku berpikir dia gila.”

......................


Sehari menjelang Lebaran.

Mau ngaku, bahwa draft novel ini adalah draft yang paling suliiiit saya tulis dibandingkan dua novel sebelumnya (Selamanya Cinta dan Barcelona Te Amo). Duh. Saya ditimpa banyak sekali hambatan psikologis, terutama karena di awal saya menulis, saya tidak dalam kondisi perasaan yang baik.

Di awal-awal itu, saya menulis dengan tertatih-tatih kayak bayi yang baru bisa berjalan. Kadang-kadang seharian saya cuma duduk bengong menatap layar laptop, tanpa menulis apa-apa. Kadang-kadang, saya telungkup dan menangis sesenggukan di atas meja, di samping laptop yang menyala tapi terabaikan.

Akhirnya, saya mikir. Saya mesti memperbaiki suasana hati dulu supaya bisa meneruskan menulis.
Di badan saya, sedang bercokol mahluk menyedihkan yang nggak mau diajak kerja sama. Enno yang dulu sedang kabur entah kemana.
Jadi, saya keluarkan lagi ransel dari lemari, menjejalkan beberapa lembar baju ganti ke dalamnya, dan memanggulnya ke dunia luar. Pergi menyesatkan diri.

Mengunjungi candi-candi terlupakan, pergi ke hotel kuno yang terkenal paling berhantu, roadtrip bolak-balik melalui jalan pegunungan yang bikin mabuk darat dan muntah-muntah hanya untuk berburu sunrise dan sunset, pergi snorkeling ke ujung pulau (padahal nggak bisa berenang), naik gunung untuk berburu sunrise lagi (padahal sudah lamaaa nggak naik gunung)...

Pokoknya, saya bepergian ke mana-mana selama beberapa bulan,sampai saya merasa sudah siap kembali ke laptop!

So, this is me. Sudah menulis lagi sejak meninggalkan jalanan dan menyimpan lagi ransel di lemari. Sudah ada beberapa tujuan lagi sampai akhir tahun, tapi draft ini harus selesai dulu.

By the way, apa kabarnya draft?
Oh, tokoh utama saya sedang berada di sebuah kota dan mulai menemukan beberapa titik terang dari sesuatu yang menjadi tujuannya. Kisah ini akan terus bergulir. Insya Allah, plotnya sudah fix dan endingnya tidak akan berubah.

So, ini hari terakhir di bulan ramadhan tahun ini. Semoga puasa sebulan ini berkah dan mendapat pahala yang diridhoi Allah, ya. Selamat bermalam takbiran.
Eid mubarak, mohon maaf lahir dan batin.


Ciao bella (from Sappeda Mountain)!
*muter-muter trus nggeletak tengah jalan*



“I believe one has to escape oneself to discover oneself.” 
 ― Rabih Alameddine


pict from here


Image and video hosting by TinyPic

Tuesday, July 22, 2014

[Project Dawn] Tentang Draft Novel Ketiga

Aku menatapnya dari seberang jalan. Seorang lelaki muda yang tengah duduk di atas kursi beton, di bawah sebuah pohon flamboyan tua yang rindang. Ia menunduk menatap sepasang kakinya yang beralas sepatu kanvas bertali bermerk Nike. Aku tahu sepatu itu. Ia membelinya dua bulan yang lalu di sebuah mal. Sama seperti sepatu-sepatu kanvasnya yang lain, sepatu yang bermerek itu-itu saja. Karena ia fans berat Nike. Sama seperti aku.

Aku melihat wajahnya tengah menerawang. Menatap ke kejauhan. Ke arah anak-anak yang tengah berlarian, main petak umpet di sudut taman kota. Kucoba mengikuti arah tatapannya, dan kutemukan di antara kerumunan anak-anak itu, seorang lelaki sedang mengajari anak lelakinya bersepeda. Setiap kali sepeda itu terguling jatuh bersama anak lelaki di atasnya, lelaki itu berlari menghampiri. Membantu anaknya bangkit dan mengusap kepalanya memberi semangat. Adegan yang biasa saja sebenarnya, tetapi tidak bagi lelaki muda itu.

Angin berhembus di antara dedaunan, menjatuhkan daun-daun kering ke arah bangku beton. Angin meniup lembut rambut ikal setengah gondrong lelaki muda di bangku itu. Menyibakkannya ke arah telinga, menampakkan profilnya wajahnya yang dibentuk rahang maskulin dan alis mata tebal yang menaungi sepasang mata yang kecil tapi tajam. Sorot mata itu seringkali berubah-ubah. Terkadang sejuk seperti udara sehabis hujan. Terkadang dingin seperti angin gunung di musim kemarau. Namun hatinya lembut. Ia tidak mudah mengumbar emosi. Sifat yang kukagumi, karena aku tak memilikinya.

Angin berhembus lagi. Kali ini lebih kencang dan membawa butir-butir air sehalus pasir. Langit mendadak muram, menyembunyikan matahari yang tadi bersinar dengan garang. Sebuah pusaran angin kecil bergerak ke tengah taman, menyeret dedaunan kering dan debu, membuat anak-anak itu berteriak kelilipan dan berlarian ke pinggir.

Aku beranjak. Sudah waktunya pulang, sebelum badai keburu datang. Aku melangkah ke arah kursi beton itu, dan lelaki muda di depanku mendongak.

"Lho, Ibu sudah selesai belanjanya? Kok cepat?" Ia bangkit, menepis debu dari jins butut robeknya yang sejak dulu ingin kubuang. 
"Sudah. Tadi cuma beli beberapa obat-obatan dan salep otot untuk nyeri sendi. Ibu kan sudah tua."
"Masa sih?" Ia tersenyum lebar. "Ibu nggak tua. Ibu cantik dan sehat." Tangannya meraih sebelah tanganku dan menepuk-nepuknya dengan maksud menghibur. Dia memang sangat pandai menghibur. Sifat yang juga tidak diperolehnya dariku.
Aku tersenyum. "Ayo pulang. Sebentar lagi hujan besar. Anginnya kencang sekali."
Ia mengambil alih tas plastik belanjaanku, sementara sebelah tangannya yang lain diselipkan di lenganku. Menarik tubuhku merapat kepadanya saat kami berjalan.

"Ibu... tahu nggak..."
"Apa?"
"Ibu harusnya nggak usah sedih gitu kalau sedang menatapku, seolah-olah aku akan pergi jauh. Aku nggak akan pergi seperti lelaki itu. Aku akan selalu bersama Ibu."

Kali ini ia merangkulkan lengannya di bahuku. Tubuhnya yang dua puluh dua senti lebih jangkung dariku seperti pohon besar yang menaungiku sepanjang jalan. Dari terpaan angin, dari gerimis, dari dunia dan kepedihan yang menghuni jiwaku. Aku merasa aman.

............

Hai hai....

Jadi, saya sedang menulis novel ketiga. Kali ini kisahnya agak berbeda dari yang sebelumnya. Masih tentang cinta, tetapi ada sesuatu yang lain di dalamnya. Tentang kasih sayang, tentang kehilangan, tentang kepedihan dan perjuangan meneruskan hidup. Oh, baiklah. Mari kita sebut saja ini tentang HIDUP.

Itu cuma tema besar. Ada sub tema yang menjadi inti konflik dari kisah ini. Tunggu aja deh ya. Saya akan ceritakan sedikit demi sedikit. Perlahan-lahan, dengan clue yang (semoga) bikin penasaran. Apa seh. Belagu banget gue :))

Proyek ini saya namakan Project Dawn. Tokoh utamanya kali ini seorang lelaki muda, berumur dua puluhan, yang karakternya agak berbeda dari tokoh-tokoh lelaki yang pernah saya buat. Berbedanya kayak apa? Nanti saya kasih clue-nya... kalau mood tapiiii :))

Seperti biasa, progress-nya akan saya update terus, karena sudah banyak teman-teman dan pembaca yang kepo. Kekepoan itu sesungguhnya membuat panik lho, sodara-sodari. Hehehe.

Baiklaaah. Posting ini anggap saja prolog. Nanti akan saya usahakan update perkembangan draft secara rutin. Semoga bisa ngebut. Karena sebenarnya, berdasarkan pertemuan informal (yang tadinya cuma dimaksud buat ngegosip dan temu kangen) dengan editor saya, Iwied...  desye malah wanti-wanti segera beres. O-ow!

Ya udah. Back to draft, di sela-sela beres-beres sebelum Lebaran (ini sama persis prosesnya kayak lagi nulis Barcelona Te Amo deh-jelang Lebaran juga).

Nantikan update selanjutnya!
Cup! Mwah!

“She says she's OK. She says she is fine. but underneath that smile is a broken heart” 
 ― anonymous



pict from here


Image and video hosting by TinyPic

Monday, February 3, 2014

Killed By The Draft

Sometimes, all you can do is laugh
to keep yourself from crying.

...................

Hello world...

Here I'm still trying to finish Project Dawn draft.
After several drafts couldn't be completed and set aside because I was spending more time on the road, this draft shouldn't be treated so.
It's part of a mini-series that I worked with friends. So, it should be completed on time.

The problem is... this draft affected my emotions so much.
Word by word pierced my heart. Killing me slowly. Sometimes, I stop writing.... and crying.
Gosh! It feels... it feels so heavy to write until the ending.

The progress... it became very slow. Sometimes, I just stared at the letters that glowed on my laptop screen all day.
Then every night, I dream of unpleasant things, and waking up screaming or crying.

What's up with me?
Well, I don't want to talk about it. Really.

Until this moment, I'm still struggling to finish the story.
It seems this draft like cutting my heart, bit by bit, then soaked them in a memory tube containing vinegar and liquid chemicals. Fyuh!

But it's okay.
I have to finish it. For the sake of someone, who I will meet later when the universe was over.

Pray for me, will you?




Image and video hosting by TinyPic

Monday, September 2, 2013

Project Sol: The Mood Booster

Tetiba, malam ini ada yang menyanyi untuk saya di Skype, dengan gitar bolong alias gitar akustik. Saya hampir lupa kalau suaranya bagus, karena dia jarang menyentuh gitarnya. Lebih sering menenteng Mauser-nya dan menembaki babi hutan.

Kami sudah sangat lama berteman, jadi ia tahu saya fans-nya empat om-om kece band Wet Wet Wet. Begitu tahu kalau saya mulai sering mendengarkan lagu-lagu mereka lagi demi menggali mood untuk draft saya, maka ia dengan murah hati menyanyikan Goodnight Girl tiga kali berulang-ulang. Hahah.

Caught up in your wishin' well 
You hopes inside it 
Take your love 'n' promises 
And make them last

Suaranya masih sebagus biasanya. Petikan gitarnya mulus, tidak keseleo nada atau apa, karena dia memang sungguhan jago memainkan alat musik itu. Dia nyengir di layar Scarlet, laptop saya. Separuh wajahnya tertutup hoodie jaket.

Habis itu, dia menyanyikan Push-nya Matchbox 20. Omigod, saya nyaris lupa sama band ini! Aaaak! Saya teriak-teriak heboh di depan Scarlet, dan teman saya itu meneruskan sesi Matchbox 20-nya dengan Unwell.

All night 
Hearing voices telling me 
That I should get some sleep 
Because tomorrow might be good for something 
Hold on I'm feeling like I'm headed for a breakdown 
I don't know why 

"Bentar, bentar! Kenapa lo nyanyi lagu ini? Nyindir ya?"
"Enggaklah. Sensi amat sih!"

I'm not crazy, I'm just a little unwell 
I know, right now you can't tell 
But stay awhile and maybe then you'll see 
A different side of me 
I'm not crazy, I'm just a little impaired 
I know, right now you don't care 
But soon enough you're gonna think of me 
And how I used to be.

"Tuuuh! Kan elo nyindir gue!"
"Lho, kan bener lo nggak gila?"
"Dikit sih."
"Ya udah kenapa marah? Udah, mendingan ikut nyanyi. Lo kan bisa lagu ini. Kita udah lama nggak duet, ya nggak?"
"Oh iyaaa... Lo sih sekarang seringnya nenteng si Coki!" Coki adalah nama senapan berburu Mauser semi otomatisnya. Nama yang terlalu cute buat sebuah senapan berwujud sangar *sigh*
Unwell diulang dari awal, dan saya ikut nyanyi keras-keras padahal sudah tengah malam.

Setelah dia memberi saya hadiah Yesterday-nya The Beatles, kami berpisah di layar Skype. Saya yang memaksa, karena harus melanjutkan menulis draft dan melanjutkan memeriksa setumpuk 'tugas rahasia' saya yang mengasyikkan.

Mood saya bagus banget setelah dikasih hadiah lagu-lagu indah.
Lo baca ini kan, bro? Thanks ya. Next time gue mau The Beatles lagi dong. *ngelunjak*

Btw, tulisan saya sedang revisi bab 3 sekarang. Seperti saya pernah bilang (pernah nggak sih?), bahwa saya mengganti POV dalam draft. Lebih karena kenyamanan pribadi saja. Tapi jadinya harus menulis lebih hati-hati, karena dengan POV yang sekarang saya bisa terjebak jadi 'tell the story' bukannya 'show the story.' Padahal, rumus yang berlaku umum supaya pembaca bisa ikut larut dalam cerita kamu adalah: show, don't tell.'

Rupanya ada yang penasaran, ini cerita tentang apa. Hmm.. apa ya?
Ini tentang sesuatu yang mungkin kamu kira adalah kebahagiaanmu. Sesuatu yang mungkin kamu kira adalah kebahagiaan seseorang juga. Tetapi ketika kamu sedang sok tahu, Tuhan kasih kejutan. 
*Dih, gue kok malah kayak curcol?*

Udah dulu deh daripada tambah random.
Ciao! Capcus back to work!

Ini Om Marti Pellow, vokalisnya Wet Wet Wet.
Dia itu mirip Om Sting gitu deh. Makin tua, makin keren. I love you, Om! Hahaha



Taraaaa!!! Nih, Unwell-nya Matchbox 20. Edisi akustiknya. Sila dibuka. Selamat nyanyi dan ngademin mata liat Rob Thomas, vokalisnya yang kece! ^^



Dan ini tentunya para om kece di Wet Wet Wet. Om Marti Pellow bikin melting di MV Somewhere Somehow ini. Bentar, saya pingsan cantik dulu... ^^



Image and video hosting by TinyPic

Monday, December 17, 2012

Introducing: The Rain Project

Haiiii....
*nyengir lebar*

Akhirnya, cita-cita saya untuk menovelkan  postingan di label Hujan tercapai.
Saat ini, saya resmi dalam proyek penulisan draft yang saya beri nama Rain Project. Ceritanya pasti beda dengan apa yang saya tulis di label Hujan. Kalau label Hujan itu memang asli tentang kisah saya, kalau Rain Project ini cuma terinspirasi saja. Tokoh-tokoh dan karakternya berbeda.

Bisa dibilang, sebenarnya proyek ini akan mengungkit kisah lama sih ya...
Soalnya saya akan menelaah dan merangkai bagian-bagian kisah dari postingan-postingan itu (klik label Hujan kalau penasaran).
Tapi untungnya, ini bukan kisah yang bikin saya sakit hati. Kisah asli berakhir dengan cara baik-baik. Itu sebabnya, saya mengambilnya sebagai ide cerita. Kalau kejadiannya bikin eneg, mana mungkinlah saya abadikan di novel. Iya nggak sih? Hehehe.

Saya punya waktu sampai bulan Maret 2013 untuk merampungkan draft ini. Untungnya semua bahan riset sudah siap. Kebetulan juga karena ini melibatkan kegiatan outdoor, khususnya caving, ingatan saya masih sangat segar sehabis caving kemarin. Dan sejujurnya, niat pergi caving kemarin itu memang sekaligus riset untuk bahan draft ini.

Jadi ceritanya, bahan-bahan draft ini sudah lama saya persiapkan. Jauh sebelum 'Selamanya Cinta" dan "Flamenco Project." Saya benar-benar kepengin banget label Hujan itu jadi novel. Riset dan pencarian bahan terus dilakukan selama saya mengerjakan proyek-proyek lain. Termasuk ketika saya merasa harus caving lagi, untuk menyegarkan memori.

Nah, saat saya pulang liburan terakhir itu, saya ditodong naskah lagi. Dan outline Rain Project-lah yang akhirnya saya sodorkan. Karena saya nggak mau kehilangan moment ingatan yang masih fresh tentang caving dan kegiatan outdoor kemarin.

Jadi, inilah saya sekarang. Kembali masuk petapaan untuk menciptakan lagi sebuah kisah tentang cinta. Mengumpulkan puing-puing kenangan dan ingatan yang terserak. Berharap semuanya akan lancar dan baik-baik saja. All is well. All is well.

Jatuh cinta padamu membangkitkan segala puisi indah dalam jiwa. Aku menulis beribu kata untukmu dan kau sesungguhnya tahu.
-- Enno, in Hujan


pict from here
Image and video hosting by TinyPic

Monday, July 16, 2012

On Writing: Proyek Mendadak dan Tips Membuat Plot

Dan datanglah tawaran itu, di tengah-tengah konsentrasi saya menulis novel kedua. Proyek yang seolah-olah disodorkan kepada saya bulat-bulat. Dengan setting dan tema yang menarik, dengan beberapa tenggat waktu yang bisa dipilih.

Yang ada dalam pikiran saya pertama kali? No way. Gue lagi fokus banget. Ini sudah sampai di bab kedua dari empat bab yang disiapkan. Di tengah jalan.


Tetapi kalian tidak pernah tahu, betapa saya menyukai deadline. Dan itulah satu-satunya yang mendorong saya untuk serta merta menerima ajakan ini. Dalam waktu beberapa detik, saya memutuskan dan bilang 'oke.' Memilih tenggat waktu yang sekiranya tidak terlalu lama, juga tidak terlalu cepat. Alhasil, saya punya tiga bulan untuk menyelesaikan proyek novel ini.

Itu berarti, bulan Oktober (pertengahan), draft harus sudah diterima penerbit.
Terlalu cepat? Tidak juga :)
Saya terbiasa berkejar-kejaran dengan deadline saat masih menjadi jurnalis aktif. Terkadang, satu jam sebelum berangkat ke percetakan, saya masih diberi tugas menulis sebuah artikel baru. What a wonderful job! :D

Untuk proyek ini, editor saya memberi waktu tiga hari untuk menyerahkan outline (padahal saya minta seminggu) *sigh*
Jadilah tiga hari berturut-turut, saya benar-benar bertapa di depan si Scarlet, lappy tercinta. Dari pagi sampai malam. Untungnya, semua orang rumah dan orang pabrik menghormati privasi saya dan membiarkan saya melongo-mengetik-melongo-garukgaruk kepala-mengetik-melongo lagi. Memperhatikan semua adegan itu dari luar kaca jendela kamar saya tanpa komentar. Hehehe...

Wangsit yang saya terima tak tanggung-tanggung. Sembilan halaman outline lengkap, full spoiler adegan, yang siap digarap. Saya membuat versi garis besarnya untuk dibawa ke rapat penerbit, tapi tetap mengirim versi lengkapnya kepada mpok editor ;)

Setelah ini saya sudah bisa tidur nyenyak dan mulai mengumpulkan konsentrasi baru untuk proyek ini. Dengan sangat menyesal, novel yang sedang saya garap harus disisihkan dulu. Tak apa, toh plot, spoiler, dialog dan adegan penting sudah tercatat dalam kartu warna-warni yang saya tempelkan di papan gabus samping meja tulis :P
Oh iya, ada yang nanya tentang plot.
Plot adalah pola dasar yang membangun situasi dan kejadian-kejadian penting dalam sebuah novel. Kadang-kadang kan ya, kita punya banyak ide cerita tapi nggak tahu gimana caranya menjadikannya sebuah kisah yang bisa dibaca dan dinikmati. Kita punya banyak tema, tapi nggak punya plotnya.

Ini ada beberapa tips untuk teman-teman yang kesulitan menyusun plot ketika akan mengawali menulis novel. Cekidot! ;)

  1. Deskripsikan cerita yang ingin kamu tulis dalam sebuah kalimat. Kalau kamu nggak bisa mengatakan tentang apa novel yang akan kamu tulis, itu berarti ide cerita kamu belum matang dan nggak jelas.
  2. Putuskan apa yang paling diinginkan tokoh utama kamu dalam hidupnya. Rangkaian kisah akan tumbuh dari keinginan itu.
  3. Tulis keterangan karakter tokoh-tokoh kamu. Misalnya penampilan fisiknya, apa yang dia suka dan tidak suka, ketakutannya, trauma masa kecil, pekerjaan, dan lain-lain. Plot adalah perilaku. Seperti halnya orang-orang di dunia nyata, pengalaman tokoh utama kamu di masa lalu akan menentukan bagaimana ia berperilaku di masa depan. Apa yang dia takutkan bisa mempengaruhi tindakannya. Plot tumbuh dari karakter. 
  4. Buatlah waktu untuk setiap event dalam novel kamu, karena dari situ juga kamu bisa mengembangkan plot/cerita. Waktu bisa menjadi titik awal atau titik akhir novel kamu.
  5. Buat peta dimana semua aksi dalam novel kamu akan berlangsung. Jadi kamu bisa mengukur jarak dan tahu berapa lama waktu yang diperlukan untuk memindahkan tokoh-tokoh kamu dari satu tempat ke tempat lain. 
Tips di atas itu bisa menghindarkan kamu dari kebiasaan jelek penulis pemula yang suka memilah-milah bab yang penting dan bab yang nggak penting. Sebaaab... dalam sebuah novel seharusnya semua bab itu penting karena saling terkait satu sama lain membentuk kisah yang utuh. Plot, karakter, cerita, tema dan setting harus terikat satu sama lain.

Gitu aja tipsnya. Semoga yang pada nanya soal plot terpuaskan. Met nulis!


pict from here
Image and video hosting by TinyPic

Monday, June 11, 2012

On Writing: Tentang Detail Cerita

Yuhuuu! Ketemu lagi di sesi On Writing! Hehe…
Saya berusaha untuk nggak sotoy, kasih tips sana-sini, mentang-mentang baru nerbitin novel. Novel baru satu ajaaa… demikian mungkin kata sebagian orang, ya? :D

Masalahnya, kalau kemudian banyak yang membombardir saya dengan pertanyaan soal teknik menulis, gimana dong? Padahal, saya juga sama-sama masih belajar. Akhirnya, yang bisa saya lakukan ya sekedar sharing pengalaman. Teknik menulis saya kan otodidak, tetapiii… karena saya bekerja sebagai editor, dan banyak belajar dari senior-senior saya yang kompeten (mereka sih lulusan Sastra–kebanyakan Sastra Inggris malah) , setidaknya tips-tips saya cukup bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan-lah gitu. Hahaha… *ngedipin senior*

Baru-baru ini pertanyaan yang mampir adalah soal detail di dalam cerita. Eh, lalu saya baca tuh di review-nya Fenty tentang novel saya Selamanya Cinta di blognya. Dia ngeluh nggak bisa menulis detail cerita seperti saya.
Errr… seperti saya? Seperti Andrea Hirata ajalah yang lebih jago . Ya? Ya? :P

Detail yang dimaksud teman-teman di sini mungkin ‘deskripsi’. Bagaimana penggambaran suasana, situasi, mimik tokoh dan mungkin juga termasuk dialog yang natural seperti layaknya percakapan lisan.

Dalam pekerjaan saya di dunia jurnalistik, detail atau deskripsi dalam berita atau artikel yang ditulis itu hukumnya wajib. Selama meliput di lapangan, kami wajib pasang mata, pasang telinga, mencatat setiap pergerakan di lapangan. Entah itu si narasumber, atau orang-orang di sekitar yang berkaitan dengan topik liputan. Kalau meliput demonstrasi, misalnya. Detail situasi termasuk penting untuk diperhatikan, kemudian ditulis. Karena jeli, wartawan di lapanganlah yang seringkali menemukan adanya provokator dalam kerusuhan massa.

Yang sebenarnya sih, menulis dengan mendetail itu bisa dilatih kok. Ini nih, saya kasih tahu caranya.

  1. Kalau kamu punya buku diary, bisa dipakai untuk latihan. Tuliskan apa saja yang terjadi pada hari itu, sedetail-detailnya. Tulis perasaan kamu, dan dialog-dialog percakapan kamu dengan orang-orang yang kamu temui hari itu. Kalau kamu belum punya buku diary, ayo bikin! :D 
  2. Perhatikan kamar kamu. Lalu deskripsikan dalam tulisan, dalam 300-500 kata. 
  3. Tulis biografi diri kamu sendiri. Batasi, misalnya 500-1.000 kata. Tulis sampai hal-hal sekecil-kecilnya, dan yang nggak penting sekalipun. Toh bukan untuk dibaca orang kan? :P 
  4. Pilih lima orang teman kamu, yang kamu kenal baik. Deskripsikan karakter mereka, sebanyak yang kamu bisa. 
  5. Semua orang pasti punya kenangan masa kecil. Ceritakan kenangan yang paling indah, dan yang paling tidak mengenakkan. Ingat-ingat setiap detailnya. Yang seperti ini, saya menyebutnya ‘latihan memanggil memori’. 
  6. Deskripsikan sebuah tempat yang kamu kenal, atau pernah kamu kunjungi. Gunakan semua indera untuk mendeskripsikan apapun di tempat itu (rasa, suara, suasana, aroma), tapi jangan pakai indera penglihatan. Cobalah menulis dengan cara seperti itu sampai pembaca benar-benar bisa membayangkan tempat itu sampai dengan detail-detailnya. 
  7. Rekam percakapan teman-teman kamu dengan diam-diam, misalnya waktu sedang nongkrong di kantin, atau mengobrol di kelas saat jam istirahat. Setelah itu transkrip/salin hasil rekaman ke dalam tulisan. Kamu akan mendapatkan contoh dialog yang natural. 

Untuk teman-teman yang sudah mulai menulis novel, tapi mentok di detail cerita. Saran saya sih, kalian wajib riset. Kalau settingnya tentang kehidupan anak sekolah, sedangkan kamu sudah bukan lagi anak sekolah, kamu bisa datang ke sebuah sekolah untuk melihat susunan bangunan kelasnya, gerak-gerik para murid dan guru-gurunya. Atau kalau kamu ingin mengambil setting tentang pecinta alam, sebaiknya sih bergaul dengan kelompok pecinta alam dan ikut salah satu kegiatan mereka. Detail cerita akan mengalir lancar saat kamu menulis.

Tipsnya segitu dulu aja ya... Itu ada tukang bakso lewat. Saya mau ngebakso dulu. Hehehe...
Selamat latihan! :D


pict from here

xoxo

Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, May 30, 2012

Journey to Batavia

Some folks leave home for money 
And some leave home for fame, 
Some seek skies always sunny, 
And some depart in shame. 
I care not what the reason 
Men travel east and west, 
Or what the month or season-- 
The home-town is the best. 

(Edgar A. Guest, The Home-Town)
..............


Saat diminta mengisi Kelas Nulis yang diselenggarakan Bukune, novel saya bahkan belum kelar. Dan pengalaman saya bicara di depan banyak orang, bukan sebagai pembicara tamu. Saya main teater, dulu waktu masih SMA. Itu beda, karena saat berakting, kita berada di dunia imajinasi. Saya mengajar di sekolah darurat. Itu juga beda, karena yang saya hadapi anak-anak dengan suasana yang informal.

Tapi kalau harus bicara depan banyak orang (dewasa) dan sharing ilmu? Walah! Saya memang punya pengalaman sebagai editor (majalah). Tapi kan bukan novelis seperti Ayu Utami atau Dee Lestari, dan terutama terlalu jauh bedanya dengan NH Dini, Mira W., atau V. Lestari yang senior-senior itu. Fyuh!

Dipikir-pikir lagi, nggak ada salahnya juga saya coba. Toh Iwied bilang, acaranya juga informal. Pada dasarnya saya juga suka mendiskusikan hal-hal yang saya sukai. Nggak ada salahnya membagi pengalaman dengan teman-teman yang baru mulai menulis. Setidaknya, sebagai editor, saya cukup punya masukan untuk hal-hal yang mendasar tetapi sering dilupakan.

Oke, ayo kita diskusi! Saya pun mulai packing.

Jakarta menyambut saya acuh tak acuh seperti biasa, begitu saya turun dari bus antar kota di Terminal Lebak Bulus. Dimulai lagi acara mengejar-ngejar metromini, yang entah kenapa tahun ini sudah tidak masuk lagi ke dalam terminal. Sebagai anak (yang dibesarkan) di Jakarta, mengejar metro dan melompat ke dalamnya sih perkara mudah. Hehehe.

Begitu sampai di rumah tante, saya tidak kemana-mana, meskipun hari masih siang dan sebenarnya masih cukup waktu untuk sekedar pergi ke Gramedia Blok M. Saya malah mengobrol dengan tante saya, setelah sebelumnya berganti kostum kebangsaan di Jakarta: tanktop dan celana pendek. Sekarang hanya dipakai di dalam rumah, tentu saja ;)

Petualangan baru dimulai esoknya. Iwied mengirim pesan, saya akan dijemput oleh utusan Bukune bernama Pak Syarif. Tepat pukul setengah sebelas siang, seseorang muncul di depan pagar.

"Saya diminta menjemput Enno," katanya. Saya agak ragu. Masih muda? Ganteng?
"Ini dari Bukune?"
"Iya."
"Pak Syarif?"
"Iya, saya Syarif."
Oh, wow! Sejak tadi yang saya tunggu itu seorang bapak-bapak setengah baya. Hahaha.

Di Kafe Buku Margonda, Iwied sudah menunggu di parkiran. Dia langsung wara-wiri nggak jelas. Tapi saya sempat bilang ke dia. "Apaan, Pak Syarif?  Mas Syarif itu mah!"
Iwied menghampiri mobil yang sedang parkir, dan kembali ke saya sambil nyengir. "Iya ya. Aku juga baru tau."

Kelas nulisnya berlangsung fun. Saya malah juga ikut dapat banyak masukan dari Mbak Windy, saat giliran dia sharing. Dia jelas punya banyak tips dan teknik yang bisa dibagi sebagai editor fiksi.

Waktu giliran saya, ternyata mudah saja bercuap-cuap di depan banyak orang itu ya? Hahaha. Saya sebenarnya suka diskusi. Kolega-kolega saya tahu betul, setiap rapat redaksi, saya ini paling argumentatif.

Satu hal yang saya garis bawahi untuk teman-teman calon penulis hari itu, saya bilang supaya mereka jangan setengah-setengah.
"Waktu kalian memutuskan untuk menjadi penulis dan bilang 'saya kepingin jadi penulis', kalian nggak bisa mundur lagi. Apa pun motivasi kalian untuk jadi penulis itu, jangan setengah-setengah. Pengen ngetop, eksis, banyak duit? Fine. Meskipun seharusnya motivasi menjadi penulis itu karena suka menulis-tanpa embel-embel. Cuma satu yang harus diingat, penulis harus mau DIKRITIK. Kritikan paling pedas sekalipun harus bikin kita lebih maju, bukannya mundur dan berhenti. Kalau malah patah arang itu namanya cemen."

Agak sarkastis ya? Hehe. Saya kan memang begitu. Saya sengaja pakai istilah cemen alias pengecut. Supaya teman-teman calon penulis di depan saya termotivasi. Kelak, kalau mereka dapat kendala dan putus asa, pasti akan ingat kata-kata saya. 'Kata Mbak Enno, kalau patah arang itu cemen.'

Memangnya ada gitu orang yang mau disebut cemen? :P

After all, acaranya asyik. Santai dan kami kenyang karena makanannya banyak. Haha. Thanks ya teman-teman di Bukune :P
Saya juga ketemu beberapa teman penulis. Ada Mbak Dian Purnomo, Ninna Krisna dan Naura Laily. Saya ketemu teman-teman kru Bukune. Ketemu Gita dan puteri kecilnya. Ketemu Iwied lagi (yang hari itu seksi repot). Ketemu Mbak Windy Ariestanti yang saya sukai tulisan-tulisannya.

Pulangnya, saya di antar Pak... eh, Mas Syarif lagi. Naura yang dipanggil Nunu ikut sampai Stasiun Tanjung Barat. Nunu yang sudah saya ceritai soal peristiwa kecele itu bisik-bisik, "Eh iya, sopirnya ganteng hihi..."

Hari itu, perasaan saya lega. Akhirnya acara yang sudah digadang-gadang dari beberapa bulan yang lalu, terlaksana juga. Dan tunai sudah tugas saya. Semoga peserta kelas nulis yang jelas lebih muda semua dari saya, sukses dan menyelesaikan novelnya dengan lancar.

Saya masih punya cerita keluyuran di Jakarta sih. Tunggu di part 2 ya. 


pict from here


Image and video hosting by TinyPic

Tuesday, April 24, 2012

On Writing: Outline Itu Seperti Ini...

Jadi, saya dapat buanyaaak pertanyaan via e-mail tentang outline Outline itu apa sih?
Cara bikin outline itu bagaimana? Outline itu sama dengan sinopsis ya? Harus berapa halaman? Wah.. dsb, dll deh ;)

 Saya tahu, pertanyaan ini ada kaitannya dengan lomba Nulis Bareng Bukune yang akan digelar beberapa minggu lagi. Syaratnya, peserta yang ingin diundang dan terpilih ikut kelas menulis ini harus mengirimkan dulu outline novelnya ke redaksi Bukune. Cerita yang dianggap menarik dan bagus untuk diterbitkan sebagai novel akan membuat si calon penulis terpilih ikut kelas ini, di mana saya akan ada di sana sebagai narasumber untuk sharing.

Nggak heran kalau saya jadi kebanjiran pertanyaan tentang outline, yang seharusnya topiknya baru akan di-share nanti di kelas menulis.

Tapi, kalau dari sekarang nggak tahu apa itu outline, gimana mau kirim dan ikutan lomba. Iya kan? Hehehe... Outline itu maksudnya kerangka karangan. Ingat nggak, topik kerangka karangan ada di pelajaran Bahasa Indonesia di bangku sekolah?

Yuhuuu! Outline beda dengan sinopsis ya...
Sinopsis itu berupa ringkasan cerita-semacam review tapi tanpa kesimpulan penilaian.
Outline adalah panduan, atau peta, atau garis-garis besar haluan membuat novel. Gunanya untuk memandu kita supaya nggak melenceng dari plot cerita yang gambaran besarnya sudah disusun dalam benak (mind mapping). Agar kita bisa menyesuaikan ide cerita, para tokohnya, alur cerita, setting waktu dan tempat, sejak awal cerita sampai ending.

Kegunaan outline itu banyak. Intinya sih membantu penulis untuk tetap konsisten on the track. Plot cerita nggak akan melebar kemana-mana. Sebaliknya, kalau mau mengembangkan plot pun, outline menjaga penambahan itu tetap nyambung dengan inti cerita. Manfaat outline masih banyak sebetulnya. Nunggu kelas menulis dulu ya... Nanti saya share di sini deh :P

Tapi sekedar nggak bingung, outline itu seperti apa. Gambarannya kayak gini:

Outline yang simpel biasanya terdiri dari:


  1. Judul 
  2. Genre (romance, sci-fi, petualangan, horor, thriller, fantasi, komedi, dll)
  3. Tokoh-tokoh dalam cerita 
  4. Setting (lokasi dan waktu) 
  5. Alur cerita 
  6. Konflik cerita 
  7. Sinopsis untuk menggambarkan keseluruhan kisah. 



Penggambaran setiap tokoh lebih detail lebih bagus. Deskripsikan ciri-ciri fisik, sifat, dan keunikan karakternya. Jelaskan hubungannya dengan masing-masing tokoh yang lain.

Setting lokasi dan waktu ada hubungannya dengan alur cerita. Penulis bisa memilih alur maju, alur mundur (flashback) atau alur campuran. Disesuaikan dengan tempat kejadian perkara #eh wkwkwk...

Konflik cerita itu disusun dari tiga pertanyaan: Apa sih masalah utama yang terjadi atau dialami si tokoh utama? Apa sih kesulitan utama dari si tokoh utama dalam mencapai tujuannya? Bagaimana memberi solusi atau penyelesaian untuk si tokoh utama?

Sinopsis cerita ditaruh di bagian akhir outline plus beberapa fragmen opening atau adegan pembuka dan adegan penting yang sudah terpikir waktu menulis outline, untuk membantu editor membayangkan ceritanya bakal kayak gimana hehehe...

Outline yang lebih terperinci biasanya saya bikin kalau sudah mulai menulis. Perinciannya dibikin bab per bab.

Gampang kan bikin outline itu? Gampanglaaah. *wink*
______________________

Pengakuan nih. Waktu awal-awal diminta Iwied kirim outline, saya sempat tanya:
"Outline itu kayak apa sih?"
Trus Iwied kasih tau, begini, begini, begini.
"Oh, kerangka cerita maksudnya?" Saya langsung paham seketika.

Ya, maklum ya sodara-sodara. Saya ini biasa nulis berita atau artikel yang langsung tulis tanpa kerangka. Jadi lupa lagi kalau outline sama dengan kerangka cerita. Huahahaha *pentung diri sendiri*

The secret of good writing is to say an old thing in a new way

pict from here


  Image and video hosting by TinyPic
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...