"Pipi kamu kenapa, Man?" Saya menyentuh wajahnya pelan. Ia menunduk.
"Jatuh, Bu."
"Jatuh?" Saya tidak percaya. Pengalaman saya mengatakan itu bekas tamparan. "Ini dipukul kan? Siapa yang memukul?"
Ia menggeleng lagi. Tersenyum. Senyum yang sepertinya dimaksudkan untuk menenangkan saya. Seolah-olah dia ingin bilang 'aku baik-baik saja. Tenanglah.'
'Iman dipukul' menjadi topik pembicaraan kami sepulang mengajar di perkampungan itu. Hal yang mengherankan karena sepanjang yang kami tahu, anak itu paling cerdas, paling manis, penurut dan bersikap dewasa. Ia berbeda dengan anak-anak lain yang selalu ribut dan bertengkar. Iman selalu duduk manis dan membaca buku-buku yang kami bawakan. Kadang-kadang ia menengahi pertengkaran temannya. Anak sekecil itu sungguh mengesankan. Tetapi kenapa ia dipukul? Siapa yang memukul?
"Iman suka dipukulin emaknya," kata Siti. Salah satu anak yang kami bimbing. Siti sudah kelas enam, jadi sepatutnya dia memahami apa yang terjadi di sekitarnya. "Kadang-kadang bapaknya juga mukulin dia, Bu."
"Kenapa? Iman nakal di rumah?"
"Iman nggak nakal, tapi suka aneh, Bu. Kata emaknya, Iman suka kesurupan."
"Kesurupan?" Saya melongo.
Siti mengangguk, lalu berlari meninggalkan kami.
..............................
Di dekat perkampungan darurat para pemulung itu ada sebuah gudang. Pemiliknya memakai gudang itu untuk menumpuk barang-barang bekas yang dijual para pemulung. Jika saya dan teman-teman mengajak anak-anak itu berjalan-jalan, kami melewati gudang itu. Bangunan itu besar, kotor dan terkunci.
Suatu hari kami lewat situ lagi untuk mencari tempat melukis. Tiba-tiba Iman yang berjalan di sebelah saya agak tersentak. Tangannya meraih saya dan menyeret saya menjauhi gudang.
"Kenapa, Man?" Saya keheranan.
"Ada yang mau iseng supaya Bu Guru jatuh."
Perasaan saya mendadak tidak enak. Saya menoleh ke arah gudang, tapi tidak melihat apa-apa. Saya hanya merasakan hawa yang tidak enak berhembus dari sana. "Ada mahluk halus?"
Iman mengangguk. Lalu tiba-tiba saya mengerti. Iman punya indera keenam. Mungkin itulah yang membuatnya seringkali dianggap aneh.
.................
Hari itu giliran saya mengajar murid-murid kecil kami. Saya meminta mereka masing-masing bercerita di depan kelas tentang cita-cita kalau sudah besar. Anak-anak itu tampak gembira. Saya tahu, mereka semua memendam keinginan untuk didengarkan, diperhatikan. Ditanyai apa yang sesungguhnya mereka inginkan dan pikirkan. Tetapi para orangtua mereka lebih sibuk mengais sampah di luar sana, untuk sekedar membeli sepiring nasi hari itu. Tak ada yang peduli mau jadi apa anak-anak itu nanti.
"Saya mau jadi guru." Teti yang manis dan kenes tersenyum malu-malu di depan teman-temannya. Ia memakai rok kebesaran yang sudah lusuh, mungkin lungsuran dari kakaknya. Rambutnya dikepang satu.
"Kenapa, Ti?" Saya bertanya.
"Teti mau seperti Ibu Guru Enno, Ibu Guru Zizi, Ibu Guru Aisah dan Kakak Toby. Membuat orang menjadi pintar."
Saya tersenyum. "Sebelum membuat orang lain pintar, Teti harus pintar dulu ya. Rajin sekolah dan belajar supaya nilai-nilainya bagus terus. Setuju?"
Ia mengangguk antusias.
Iman adalah anak kedua yang maju ke depan kelas. Ia tersenyum pada saya sebelum menatap teman-temannya.
"Saya nggak mau jadi apa-apa," ujarnya. "Saya mau jadi Iman aja. Bantuin emak dan bapak cari duit. Menyekolahkan adik-adik supaya mereka pintar dan nggak miskin kayak sekarang."
Saya tertegun. Teman-teman saya tertegun. Kata-kata itu keluar dari mulut seorang anak sepuluh tahun. Betapa dewasa cara berpikirnya.
"Kalau Iman pintar, sekolah yang tinggi, nanti bisa bekerja dan cari uang yang banyak," ujar saya. "Memangnya Iman tidak ingin jadi tentara, atau polisi, atau dokter gitu? Jadi guru seperti Teti, tidak?"
Bocah itu menggeleng dan tersenyum tenang. "Iman udah tau jadi apa nanti. Pemulung lagi kayak Bapak." Ia kembali ke tempatnya di tengah teman-temannya yang duduk bersila di lantai.
Sejak itu saya perhatian saya dan teman-teman semakin terpusat padanya. Wajahnya terkadang masih lebam bekas pukulan ketika datang mengikuti pelajaran. Dan sesekali ia masih suka menarik tangan orang lain untuk menghindari sesuatu yang tak terlihat.
Tetapi kami punya firasat, yang tampak dari luar tak sesederhana itu.
“Children see magic because they look for it.”
― Christopher Moore
![]() |
pict from here |