Showing posts with label Dunia Iman. Show all posts
Showing posts with label Dunia Iman. Show all posts

Wednesday, December 7, 2011

[Dunia Iman] The Strange Child

Hari itu saya melihat lebam di sisi kiri wajahnya, ketika ia maju ke depan kelas mengambil jatah rotinya.
"Pipi kamu kenapa, Man?" Saya menyentuh wajahnya pelan. Ia menunduk.
"Jatuh, Bu."
"Jatuh?" Saya tidak percaya. Pengalaman saya mengatakan itu bekas tamparan. "Ini dipukul kan? Siapa yang memukul?"
Ia menggeleng lagi. Tersenyum. Senyum yang sepertinya dimaksudkan untuk menenangkan saya. Seolah-olah dia ingin bilang 'aku baik-baik saja. Tenanglah.'

'Iman dipukul' menjadi topik pembicaraan kami sepulang mengajar di perkampungan itu. Hal yang mengherankan karena sepanjang yang kami tahu, anak itu paling cerdas, paling manis, penurut dan bersikap dewasa. Ia berbeda dengan anak-anak lain yang selalu ribut dan bertengkar. Iman selalu duduk manis dan membaca buku-buku yang kami bawakan. Kadang-kadang ia menengahi pertengkaran temannya. Anak sekecil itu sungguh mengesankan. Tetapi kenapa ia dipukul? Siapa yang memukul?

"Iman suka dipukulin emaknya," kata Siti. Salah satu anak yang kami bimbing. Siti sudah kelas enam, jadi sepatutnya dia memahami apa yang terjadi di sekitarnya. "Kadang-kadang bapaknya juga mukulin dia, Bu."
"Kenapa? Iman nakal di rumah?"
"Iman nggak nakal, tapi suka aneh, Bu. Kata emaknya, Iman suka kesurupan."
"Kesurupan?" Saya melongo.
Siti mengangguk, lalu berlari meninggalkan kami.

..............................

Di dekat perkampungan darurat para pemulung itu ada sebuah gudang. Pemiliknya memakai gudang itu untuk menumpuk barang-barang bekas yang dijual para pemulung. Jika saya dan teman-teman mengajak anak-anak itu berjalan-jalan, kami melewati gudang itu. Bangunan itu besar, kotor dan terkunci.

Suatu hari kami lewat situ lagi untuk mencari tempat melukis. Tiba-tiba Iman yang berjalan di sebelah saya agak tersentak. Tangannya meraih saya dan menyeret saya menjauhi gudang.

"Kenapa, Man?" Saya keheranan.
"Ada yang mau iseng supaya Bu Guru jatuh."
Perasaan saya mendadak tidak enak. Saya menoleh ke arah gudang, tapi tidak melihat apa-apa. Saya hanya merasakan hawa yang tidak enak berhembus dari sana. "Ada mahluk halus?"
Iman mengangguk. Lalu tiba-tiba saya mengerti. Iman punya indera keenam. Mungkin itulah yang membuatnya seringkali dianggap aneh.

.................

Hari itu giliran saya mengajar murid-murid kecil kami. Saya meminta mereka masing-masing bercerita di depan kelas tentang cita-cita kalau sudah besar. Anak-anak itu tampak gembira. Saya tahu, mereka semua memendam keinginan untuk didengarkan, diperhatikan. Ditanyai apa yang sesungguhnya mereka inginkan dan pikirkan. Tetapi para orangtua mereka lebih sibuk mengais sampah di luar sana, untuk sekedar membeli sepiring nasi hari itu. Tak ada yang peduli mau jadi apa anak-anak itu nanti.

"Saya mau jadi guru." Teti yang manis dan kenes tersenyum malu-malu di depan teman-temannya. Ia memakai rok kebesaran yang sudah lusuh, mungkin lungsuran dari kakaknya. Rambutnya dikepang satu.
"Kenapa, Ti?" Saya bertanya.
"Teti mau seperti Ibu Guru Enno, Ibu Guru Zizi, Ibu Guru Aisah dan Kakak Toby. Membuat orang menjadi pintar."
Saya tersenyum. "Sebelum membuat orang lain pintar, Teti harus pintar dulu ya. Rajin sekolah dan belajar supaya nilai-nilainya bagus terus. Setuju?"
Ia mengangguk antusias.

Iman adalah anak kedua yang maju ke depan kelas. Ia tersenyum pada saya sebelum menatap teman-temannya.

"Saya nggak mau jadi apa-apa," ujarnya. "Saya mau jadi Iman aja. Bantuin emak dan bapak cari duit. Menyekolahkan adik-adik supaya mereka pintar dan nggak miskin kayak sekarang."

Saya tertegun. Teman-teman saya tertegun. Kata-kata itu keluar dari mulut seorang anak sepuluh tahun. Betapa dewasa cara berpikirnya.

"Kalau Iman pintar, sekolah yang tinggi, nanti bisa bekerja dan cari uang yang banyak," ujar saya. "Memangnya Iman tidak ingin jadi tentara, atau polisi, atau dokter gitu? Jadi guru seperti Teti, tidak?"
Bocah itu menggeleng dan tersenyum tenang. "Iman udah tau jadi apa nanti. Pemulung lagi kayak Bapak." Ia kembali ke tempatnya di tengah teman-temannya yang duduk bersila di lantai.

Sejak itu saya perhatian saya dan teman-teman semakin terpusat padanya. Wajahnya terkadang masih lebam bekas pukulan ketika datang mengikuti pelajaran. Dan sesekali ia masih suka menarik tangan orang lain untuk menghindari sesuatu yang tak terlihat.

Tetapi kami punya firasat, yang tampak dari luar tak sesederhana itu.

“Children see magic because they look for it.”
― Christopher Moore

pict from here

Image and video hosting by TinyPic

Sunday, October 30, 2011

Dunia Iman

"Pakai kacamata, jangan softlense. Udaranya berdebu banget. Nanti malah bikin mata lu iritasi."
"Kacamata? Oke."
"Sepatu vantofel nggak apa-apa. Tapi sebaiknya keds aja. Kalau pas hujan, kaki tetep bersih."
"Yes. Dicatat."
"Bawa bekal minum. Kualitas air di sana buruk, meskipun sudah dimasak. Kecuali perut lu punya kekebalan terhadap bakteri e-coli dan disentri."
"Sumpah, nggak kebal. Gue bawa deh!"
"Good. Selebihnya kita akan bersenang-senang."
"Hahaha. Sure!"

Dan Zizi benar.

Itu adalah tempat paling tak terbayangkan dalam benak saya. Perkampungan darurat di tengah-tengah tumpukan sampah. Begitu memasuki wilayah itu, udara busuk langsung menyerbu pernapasan. Kami harus berjalan menyelusup di antara rumah-rumah terbuat dari papan dan kardus yang atapnya terbuat dari terpal. Udara pengap, lalat-lalat berpesta. Mahluk-mahluk menjijikkan itu bermanuver di udara menyambut kami.

Untuk sampai ke kampung itu, kami terpaksa harus menyeberangi lautan sampah. Mobil Zizi dititipkan di sebuah bengkel yang lumayan jauh, karena tak ada yang menjamin keamanannya jika kami parkir di dekat lokasi tempat pembuangan sampah yang sebenarnya liar itu.

Kami berempat. Selain saya dan Zizi, ada Aisah dan Tobi. Aisah menjinjing kantong plastik besar berisi buku-buku, Tobi membawa satu kardus berisi alat tulis. Saya dan Zizi menjinjing termos berisi susu dan keranjang berisi roti.

Sekelompok ibu-ibu tersenyum ragu kepada kami ketika kami melintas menuju bangunan darurat yang didirikan di jantung perkampungan kumuh itu. Sebuah bangunan kecil, 4x5 meter, yang biasanya dipakai warga sebagai mushola atau tempat pertemuan.

"Bu Guruuu!" Beberapa anak kecil berlari menyambut kami. Mereka berebutan menghampiri Zizi yang sudah mereka kenal, meraih tangannya untuk disentuhkan ke kening.

Zizi tertawa. Matanya berbinar-binar. "Halo kalian! Ibu Guru bawa teman-teman nih. Ayo salaman dulu."

Mereka menyalami kami. Anak-anak kecil berumur 4-10 tahun dengan tubuh kurus, dekil, dan bau. Sesuatu yang berat seolah menohok dada saya dengan telak. Masih ada anak-anak seperti ini di negara yang setiap tahun merilis laporan Badan Statistik Nasional tentang keberhasilan pemerintah menaikkan taraf hidup rakyat?

Zizi sudah lama menjadi pengajar sukarela di sana. Hari itu ia mengajak kami bertiga untuk bergabung. Bukan idenya sebenarnya, tapi ide Tobias, ketika kami berempat nongkrong di warung Roti Bakar Edy suatu malam. Zizi tentu saja senang. Kami lantas mempersiapkan beberapa hal, pembagian tugas, alat-alat tulis dan makanan bergizi untuk anak-anak itu.

"Ada yang mau roti dan susu?" di depan kelas darurat kami, Zizi langsung bertindak menguasai keadaan yang ribut, riuh rendah.
"Mauuuuu!" Anak-anak itu berteriak gembira.
"Kalau begitu, ayo duduk yang manis dan jangan ribut. Nanti dipanggil satu-satu ke depan. Semuanya pasti kebagian," ujar saya.

Anak-anak itu menurut. Mereka duduk dengan sikap manis yang lucu di lantai semen. Meski kumal, mereka tetap kanak-kanak yang polos. Wajah-wajah sumringah penuh harap itu menatap kami menunggu giliran maju ke depan mengambil jatah susu dan roti. Mereka yang sudah mendapatkan jatahnya kembali ke tempat duduknya di lantai dengan gembira, lalu mulai mencuili roti dan meneguk susunya.

Hari itu kami mengajari mereka menggambar. Itu ide saya karena saya tahu Tobi pandai menggambar. Ia dulu ingin sekali kuliah di Seni Rupa ITB, tapi gagal saat ujian masuk. Akhirnya dia mengambil Teknik Arsitektur di sebuah kampus swasta dan meneruskan hobi menggambarnya dalam bentuk rancangan-rancangan gedung atau jembatan.

Tobi menggiring semua anak-anak itu keluar dari kelas darurat yang pengap. Mengajak mereka duduk di lahan kosong yang menghadap ke perkampungan mereka dan gunungan sampah yang setiap hari mereka jelajahi.

"Nah bayangkan yang di depan kalian itu sawah, atau sungai, atau istana," kata Tobi. "Menggambar yang bagus di buku gambar barunya ya. Nanti kalau minggu depan kakak kesini lagi, kakak bawain pensil warna. Nanti kita warnai sama-sama ya..."

Saya tertawa. Tobi pernah bilang di Roti Bakar Edy waktu itu, ia tidak mau dipanggil 'pak guru.' "Berasa bapak-bapak," katanya sambil nyengir. "Nah kalian bertiga awas ya kalau manggil gue pak guru."

Hari itu, ada satu anak yang menarik perhatian saya. Seorang anak lelaki berumur kira-kira enam tahun bernama Iman. Anak itu lebih pendiam dibanding yang lain. Wajahnya lucu, imut, meskipun sama kumalnya dengan yang lain. Ia menerima roti dan susunya dengan tangan terulur sopan dan mengucapkan terima kasih dengan suara lirih.

Saya langsung terpesona dengan anak itu. Ia berbeda. Saya yakin itu. Dikemudian hari saya terlarut dalam dunia kecilnya yang tak sesederhana perkampungan kumuh tempat ia tinggal.

Tentang Iman, nanti saya akan bercerita. Tunggu ya.

Wish you were fine...
pict from here

Image and video hosting by TinyPic
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...