Showing posts with label Pejalan Plinplan. Show all posts
Showing posts with label Pejalan Plinplan. Show all posts

Wednesday, July 11, 2012

Sorry, But I Hate Him

Status akun twitter

dia menghilangkan seluruh jejaknya dr gw?
kenapa gak menghilangkan nyawanya aja skalian?

@kireinaenno, 2 Juli 2012

................

Pesan pendek

Aku disuruh motret arisan ibu-ibu.
Lho, merangkap tukang foto juga? :P Suruh aja si labil itu. Bukannya dia paling hobi belagak jadi fotografer pro (yang anehnya malah lebih tampak sebagai tukang foto keliling):P
Kalo fotografer banyak yang lebih jago. Aku motoin arisan ibu-ibu aja kok.
Iya tau, banyak yang lebih jago. Sebenernya kan aku cuma mau menghina dia. Ups. Abaikan :))

...............

Saya harus berterima kasih pada Rona, karena dengan sabar ia sanggup dan mampu membaca dan mendengar cercaan saya pada mahlukyang satu itu, yang notabene adalah temannya.
Rona tidak pernah menyela sarkasme saya dengan kata-kata sok bijak, nasehat sok suci, atau sebagainya. Ia hanya mengabaikannya seolah-olah tak ada yang saya katakan, mengalihkan topik atau menjawab dengan gurauan.

Dan sikap demikianlah yang mampu mengendalikan saya dari kerusakan mood akibat sarkasme saya yang tak tertahankan jika menyangkut 'orang itu.'

Saya ingat sekali kata-kata Vanny, teman mereka (yang kemudian menjadi teman saya). Vanny berharap saya, karena sakit hati dan dilukai, tidak berubah menjadi orang yang mendoakan hal-hal buruk untuk mahluk itu. Saya meyakinkannya, saya bukan orang yang suka mendoakan keburukan untuk orang lain. Sampai detik ini pun tidak. Saya tidak mendoakan hal-hal buruk, atau kasarnya, menyumpahi mahluk itu. Tetapi bukan berarti saya mendoakan dan berharap yang baik-baik untuknya. Tak usah ya!

Kalau kelak saya ketemu Vanny (atau kemungkinan dia sudah duluan membaca ini), saya kepingin bilang, bahwa dengan sangat menyesal saya kini membenci temannya. Saya tidak bermaksud demikian, tetapi saya tidak bisa mencegahnya.
Saya, yang sudah berusaha memaafkannya, and yes I did! I forgave him! Tiba-tiba karena mahluk itu ternyata bukan orang yang tahu terima kasih (karena sudah dimaafkan) dan tak cukup tahu diri (sudah menipu seorang perempuan), membuat saya merasa dilecehkan, dihina dan diinjak-injak.

Saya si korban penipuan, sudah membuang kemuakan saya padanya, menggantinya dengan kebesaran hati demi tali silaturahmi yang saling bersambungan antara kami semua. Rona, Vanny, si mahluk stupid dan semua teman-teman mereka yang mengenal saya secara langsung dan tidak langsung.
Saya yang seharusnya muntah, menelan gumpalan besar di kerongkongan saya demi yang namanya 'ukhuwah Islamiyah' seperti yang diajarkan agama kami, dan yang seharusnya lebih dia pahami sebagai orang yang mengaku-ngaku ikhwan.

Oh, yang dia lakukan adalah mencoba 'menyakiti' saya dengan mendekati lagi pujaan hatinya yang lama 'di depan mata saya.' Yang bagi saya adalah sebuah tragedi percobaan membuat cemburu yang gagal total.
Memangnya saya harus cemburu? Kenapa? Buat saya hal itu malah semakin memperjelas kepicikan dan ketidakdewasaannya. Come on boy, that's a game for a primary school student!

Dan maafkanlah saya, kalau kemudian saya tak tahan untuk mengutarakan pendapat pribadi saya tentang betapa dia sudah mempermalukan kualitas dirinya, di akun media sosial kami yang saling bertaut.

Orang-orang tentu akan menganggap saya sama bodohnya. Berkata, kenapa saya tidak mengatakannya langsung. Saya akan menjawabnya dengan gamblang. Mengatakan langsung bagaimana? Ia bersembunyi dan menjauh dari saya sejauh-jauhnya, sehingga saya tak tahu apakah pesan saya akan sampai, dibaca dan dipahami. Lagipula, saya juga mengujinya.

Dalam surat elektroniknya yang dibuat untuk memutuskan hubungan kami secara sangat pengecut (dan membuat saya ragu apakah ia berkelamin pria atau wanita, atau di antaranya), ia berharap saya memaafkan dirinya, dan kami masih tetap berteman.

Dan hei! Aku sudah memaafkanmu, kau sudah tahu. Dan aku membuka pintu untuk pertemanan yang sejak awal bahkan sudah terjalin. Tapi apa yang kau lakukan? Kau kemudian bersikap seolah-olah aku yang salah. Lalu kemudian memblock akun media sosialku yang terhubung dengan akunmu.

Well done, Goofy!

Jangan salah paham dan mengira aku menangisi akun kita yang tak terhubung lagi. Aku justru lega. Karena tak lagi terganggu dengan tulisan-tulisanmu yang sok abege plus kegenitanmu yang tak penting. Please, grow up! *sigh*

Aku senang karena sudah lama ingin memblokade akunmu, namun aku selalu ingat ajakan baikmu untuk tetap bersilaturahmi. Memutuskan silaturahmi itu dosa, demikian dalam ajaran agama kita. Saya tentu tak mau menambah dosa dengan sengaja.

Namun sepertinya Tuhan tahu saya sudah muak dan menggerakkan mahluk itu memblokade akunnya duluan. Meskipun, maafkan saya Tuhan, itu membuat saya mencap dia orang yang munafik. Sekaligus membuktikan bahwa dia bukan orang yang bisa memegang omongannya.

Lho, tungggu! Kenapa tulisan ini jadi melantur kemana-mana?
Sebenarnya saya cuma ingin bilang terima kasih buat Rona. Juga Vanny dan teman-teman yang lain, selama ini berperan penting menjaga saya tetap berpikir jernih.

Tanpa mereka, terutama Rona, saya akan terperosok terlalu dalam pada mood yang muram dan tak bisa keluar lagi. Thank you all. I'm sorry, but I hate him :)


“It has been said, 'time heals all wounds.' I do not agree. The wounds remain. In time, the mind, protecting its sanity, covers them with scar tissue and the pain lessens. But it is never gone.”
― Rose Kennedy


pict from here

Image and video hosting by TinyPic

Friday, April 6, 2012

Kau yang Rugi

Bagiku, sarangmu tak seberharga itu. Tak ada yang penting, tak menimbulkan perasaan diundang untuk mengaso sejenak. Hanya berisi petuah-petuah kosong yang kau sitir dari kitab suci, tanpa kau maknai sendiri.

Tak perlu bersusah payah kau kunci. Aku tak pernah berniat datang menyelidiki. Terlalu sombong dirimu jika mengira aku akan melakukan itu. Terlalu jumawa jika kau pikir aku peduli. Kutulis ini hanya karena aku merasa bersalah. Maaf, jika keberadaanku pada akhirnya membuatmu merasa dunia menyempit. Salahmu, menyakiti aku tanpa alasan. Kau dan rasa bersalah yang terus mengejarmu kemana-mana. Hey, bukankah sudah kubilang aku memaafkanmu?
Tapi malah kau yang berakting dizalimi.

Sarangmu tak perlu kau kunci. Jika kau maksudkan agar aku tak bisa masuk ke sana, bukankah itu menggelikan? Kau sangat tahu aku bisa membuka kuncinya kapan pun aku mau. Kau tahu tak ada password yang bisa menghalangiku. Percuma.

Tak perlu kau kunci, aku tak berniat mengunjungi sarangmu, karena hidupmu tak lagi penting bagiku. Atau kau takut aku membuka jati dirimu dan orang-orang beramai-ramai mengganggumu? Jangan cemas, tak terpikir untuk melakukannya.  Lagipula tampaknya teman-teman sekantormu, yang suka mampir ke sini, tahu kau ini siapa.

Kalau kau kunci, kau akan kehilangan kesempatan menambah jumlah temanmu yang sedikit itu. Siapa tahu ada seorang gadis bodoh seperti aku yang bisa kau jadikan percobaan cinta berikutnya?

Maka, jangan dikunci. Kau yang rugi.


Image and video hosting by TinyPic

Sunday, April 1, 2012

Inilah Topengmu

Halo 'ikhwan religius' yang dicintai Allah,

Mengajak perang dingin terbuka denganku?
Kau kekanak-kanakan sekali ternyata ya. Masih ingat kau bilang pernah menulis apa waktu memutuskan hubungan kita secara pengecut via e-mail?
Kau berharap kita masih tetap berteman, bersilaturahmi. Kau berharap suatu saat aku akan memaafkanmu, mengampunimu. Kau tidak memberiku alasan kenapa kau ingin kita berpisah, padahal tak ada pertengkaran. Bahkan terakhir bertemu di danau itu kau tak mengatakan apa-apa, seolah-olah tak terjadi apa-apa.

Tapi lihatlah dirimu itu.
Setelah kau menendangku dari hidupmu, kau dengan berlebihan mulai bercengkrama lagi dengan perempuan yang dulu kau sukai sebelum aku. Di depan mataku. Di akunmu, yang terhubung dengan akunku. Padahal dulu saat masih bersamaku, kau menyindirnya melulu. Dalam bahasa Prancis, ingat? Kau mengatai dia pembohong, pendusta, orang yang memalukan, dan sebagainya. Sampai aku menegurmu untuk tidak berbuat itu.

Apa yang kau harapkan, wahai lelaki yang mengaku ikhwan?
Aku cemburu? Terbakar? Panas hati?
Haha. Kau bercanda ya?
Kau di posisi yang mana sih? Kenapa jadi kau yang ingin memanas-manasi aku? Kan aku yang kau buang itu. Harusnya aku yang menunjukkan padamu bahwa aku bisa hidup tanpamu, dan masih banyak lelaki lain yang menginginkan aku. Tetapi tak kulakukan trik murahan itu. Malah kamu yang begitu. Aneh sekali.

Atau kau memutuskan aku karena kau masih suka dia?
Kau tidak akan mengaku, aku tahu. Kau berjanji dalam e-mail-mu akan memberitahuku alasannya kenapa kau menginginkan perpisahan. Tetapi sampai detik ini, kau tak membayar utang janji itu. Kau malah bergenit-genit dengan perempuan itu. Itukah jawabanmu?
Oh well, baiklah. Kalau begitu benar, bahwa kau menipuku.

Waktu dulu aku yang mau pergi dari hidupmu, kau yang memohon-mohon. Please, please, please, jangan pergi.
Kau bahkan berjanji melupakan perempuan itu. Katamu, aku berusaha. Aku berusaha. Aku mencintaimu.
Itu drama yang kau cuplik dari FTV yang suka kau tonton ya?

Hari ini aku sesungguhnya hanya ingin berterima kasih padamu. Kamu sudah membloking akun kicauku. Wow! Hebat! Akhirnya hari yang kutunggu-tunggu tiba! Aku memang berharap kau akhirnya membuka topengmu dengan terang-terangan. Dengan membloking akunku, artinya sudah jelas bahwa sejak awal kau yang duluan memutuskan tali silaturahmi.

Aku masih menyapamu sesekali, tapi kau memberi jarak. Aku memberimu kesempatan berteman seperti sebelum kita pacaran, tapi kau sibuk bergenit-genit dengan perempuan lain. Aku bilang aku memaafkanmu, kau seolah-olah tak mendengar. Jangan salahkan kalau aku jadi jengkel dan akhirnya menyindirmu sesekali.

Kau membloking akunku! Wow!
Akhirnya linimasaku bersih dari kemunafikan. Sudah lama aku ingin membersihkannya, tapi aku tak mau memutuskan tali silaturahmi, karena kau memohonnya untuk tetap menyambungnya.

You did it! Finally!

By the way, boy. You are not ikhwan at all.
Seorang saudara laki-laki tidak akan menyakiti saudara perempuannya. Tidak akan menyakiti saudara seimannya. Tidak akan menyalahi komitmen ta'arufnya.

Tapi catat ini. Aku tidak menyalahkanmu. Aku yang bersalah. Tak waspada pada kebohonganmu.

______________________

PS: Kalau ada yang beranggapan saya yang salah sehingga kami putus, kesalahan saya cuma satu. Percaya pada pembohong, yang menyembunyikan isi hatinya dari saya. Yang tak bisa menakar perasaannya sendiri pada dua perempuan. Yang mengagungkan ego. Yang mengaku-aku ikhwan, tapi tak selaras dengan sikap.


Image and video hosting by TinyPic

Sunday, March 18, 2012

The Story Behind

Dan Meida berteriak-teriak norak di Twitter karena akhirnya bisa melihat wajah saya di novel itu.
Di depan lappy, saya nyengir.

...........

Foto di sampul belakang itu punya cerita sendiri. Foto perempuan berjilbab yang tersenyum sok inosens di depan meja rias di kamarnya, yang kata Meida sama sekali jauh dari bayangannya. Tidak kelihatan centil, jutek, tomboy atau galak. Hahaha.

Lalu di foto itu saya kelihatan bagaimana, Da?
Tahu tidak, perempuan di foto itu adalah perempuan yang hatinya sedang bahagia. Ia sedang mencintai seorang laki-laki yang dia pikir baik, sholeh dan akan menjadi yang terakhir. Laki-laki yang memberikan janji-janji dan ia pikir bukan sekedar latihan menggombal demi menambah jam terbang pacarannya yang masih nol.

Ia sengaja memotret dirinya untuk laki-laki itu. Diberikan padanya untuk dilihat jika sedang rindu--meskipun kini ia ragu, pernahkah laki-laki itu, si pembohong itu, merindukannya.

Perempuan itu masih ingat, suatu hari ia mengirim foto itu via e-mail. Ia berkata, "Tuh, sudah kukirim fotoku untuk kamu. Minta foto aja malu. Fotomu lho kupajang di desktop lappyku."

Tetapi laki-laki itu tak pernah memberitahu di mana sesungguhnya ia menaruh foto itu. Barangkali ia memang tidak pernah menyimpannya, membiarkannya tak terunggah di inbox e-mail.

Ketika editornya meminta ia mengirim biodata dan foto, ia memutuskan mengirim foto itu. Meski masih banyak foto-fotonya yang lain. Yang mungkin lebih bagus, lebih enak dipandang, lebih fotogenik.
Tapi tidak. Ia memilih foto itu, karena novel itu adalah pembuktiannya bahwa kebohongan laki-laki itu tidak bisa menghancurkannya. Tidak bisa menindasnya. Bahwa tanpa laki-laki itu, hidupnya tetap lebih baik.

Ia pemenang, dan laki-laki itulah si pecundang.

Novel itu adalah Tugu Monas-nya. Patung Liberty-nya. Menara Eiffel-nya. Pembuktiannya bahwa ia bisa berjaya meski sudah dibohongi mentah-mentah.

Foto itu, yang dipasang di novel itu, adalah foto seorang perempuan yang sedang mencintai seseorang. Dengan tulus. Yang ketulusannya dibalas dengan kebohongan.

Asal tahu saja.

_________________

PS: foto laki-laki itu masih ada. Di folder yang isinya adalah wajah-wajah yang masuk daftar hitam dalam hidupnya. Folder bertajuk 'WTF'.

pict from here
Image and video hosting by TinyPic
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...