Dia ketawa.
"Apa?"
Dia malah ketawa lebih lebar.
"Apa sih?"
"What happen with you?"
"What what? I do fine."
"Nooo. You don't." Dia mengacungkan telunjuknya di depan muka saya dan menggoyang-goyangkannya ke kiri dan ke kanan.
Akhirnya saya memilih balik badan.
"Heiiii... where are you going?"
"Go home. Bubye!"
Ia menarik tangan saya, menyeret saya ke bangku semen di dekat kami. "Cerita dong. Kayak bukan sama temen aja."
"Cerita apa sih? Lagi nggak punya cerita."
"Kamu mau kabur-kaburan lagi, kan?"
"He?"
"Ah, kemarin udah ngeluarin keril 60 litermu dari lemari."
"Oh itu." Saya teringat acara bersih-bersih kemarin. "Mau masuk gua."
"Caving lagi?"
"Yup."
"Oh dammit, I envy you. Really."
"Oh yea? That's your problem kan? Not mine."
Saya dicekik.
...
Dan Kris yang paling tahu, tanpa harus diberitahu, bahwa akhir-akhir ini saya kepingin banyak jalan.
Kangen jins, ransel dan sepatu keds yang sekarang terpaksa dilemarikan.
Kangen merentangkan tangan lebar-lebar dan tertawa lepas di udara bebas.
Kangen melangkah lebar-lebar, melompat, berlari, dan menendang batu-batu kerikil.
Kangen rute naik-turun, tanjakan-turunan yang curam dan berkelok-kelok, yang biasa saya lewati di atas motor sambil teriak 'yiha'.
Kangen makan di pinggir jalan, meskipun cuma sepotong pisang goreng dan segelas teh tawar hangat.
Saya kangen. Sungguh.
Kris pernah tanya, sampai kapan keinginan saya cuma mentok di situ.
Berkisar pada jalan-jalan, maksudnya. Saya nyengir. Keinginan saya banyak kok, bukan cuma jalan-jalan. Tapi tidak pernah saya umbar. Selalu saya sederhanakan sembari diusahakan.
Saya tidak mau stress karena cita-cita yang tidak kesampaian. Saya mau jadi orang sabar dan tawakal.
Kata Kris, kalau jalan-jalan terus, kapan kawinnya?
Sekarang saya yang ketawa.
Tanya sama Tuhan, kata saya. Kapan Tuhan mau nimpuk saya sama cowok yang bakal jadi jodoh saya. Kapan? Ini semua bukan salah saya. Saya malah yang selalu jadi korban.
"OK, stop. Aku ogah curcol."
Kris melengos. Saya hapal, dia berusaha tidak tertawa. Dasar!
Tapi iya kan? (Ini saya ngomong ke Tuhan)
Saya nggak pernah minta banyak-banyak, kan?
Cukup rezeki yang lancar, pekerjaan yang disukai, tubuh yang sehat dan dikelilingi orang-orang yang menyayangi saya.
Cukup seorang laki-laki yang baik buat hidup saya. Tidak pernah saya meminta lebih.
Meskipun kata Kris (dengan nyinyir), "Tapi kalau bisa, kamu mau minta laki-laki yang suka jalan juga. Kamu membayangkan jalan-jalan berdua sama dia ke tempat-tempat yang seru. Just the two of you. In beautiful places. You are, the romantic freak!"
Iya sih. Saya ngakak. "Dammit, Kris! Do you read my mind? Since when did you become psychic?"
Tapi betul kan?
Buat kalian yang suka jalan seperti saya. Akan menyenangkan kan, kalau suatu hari hidup tiba-tiba terasa monoton, pasangan hidup kita bisa diseret berkelana kemana pun tanpa protes, karena dia juga menyukainya?
Saya punya beberapa pasang teman yang seperti itu. Sejujurnya, saya iri :)
Tapi itu sesungguhnya tidak terlalu penting juga, iya nggak? (ngomong lagi ke Tuhan).
Saya tidak pernah banyak meminta.
Hanya mau kehidupan yang tenang dan baik-baik saja, saya akan merasa bahagia.
Saya bukan perempuan yang rewel.
You know me, God :)
Tapi Kris benar (lagi-lagi si Kupret itu membaca pikiran saya).
Akhir-akhir ini saya kepingin pergi.
Kemana saja. Sejauh yang saya bisa.
Kan mumpung saya masih sendiri.
Bukan karena saya tak kuat dengan rutinitas. Bukan karena saya tidak teguh, tidak tegar.
Hei, saya masih saya yang sekuat baja!
Saya cuma kepingin jalan. Mengukur jarak. Melihat dunia.
Pakai sandal gunung. Atau sepatu keds. Dengan keril 60 biru itu.
Sendiri. Atau berdua. Atau bertiga. Karena saya tidak suka rombongan.
Karena demikianlah saya sedari dulu.
I am.
Just as simple as that.