Showing posts with label Rain Journey. Show all posts
Showing posts with label Rain Journey. Show all posts

Sunday, November 23, 2014

Get Lost Journey -- Day 2

"Tulung, Neng. Tulung..." Sesosok tubuh seperti jatuh tersungkur ke dekat kaki saya, membentur dinding. "Tulung, bebaskeun abdi..."
Saya tertegun, lalu kembali melanjutkan langkah. Hati saya sedih sekali. Tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakannya.
Lalu sosok berbaju seragam militer tersorot ketika cahaya senter saya menerangi sebuah ceruk. Saya menahan kebencian saya dan berlalu. 
Oh, betapa tempat ini menguras emosi.

...................................


Hari kedua di Bandung dibuka dengan lokasi yang lagi hit bingit di socmed.
Berpose kekinian di Tebing Kraton.

Dan saya kecewa.
Cuma gitu-gitu aja? Nanjak ke sebuah kampung yang lokasinya di atas bukit, lalu ada sebidang tanah di ujung kampung dengan tebing menjorok ke jurang. Bebatuan yang bertonjolan di situ kemudian dipakai sebagai sandaran untuk berfoto dengan latar belakang jurang..
Really? Nggak ada obyek lain?
Bah! Bagusan Garut Selatan kemana-mana. Iya sih, buat orang yang nggak pernah mblusukan ke kampung alias turis koper, tebing ginian dibilang bagus.

Waktu baca-baca pengalaman yang sudah ke sana di internet, banyak yang menggambarkan jalan ke desa Ciburial di mana tebing itu berada seram banget.
Jalanannya rusak paraaaah, katanya. Sempit bangeeet, katanya. Licin, katanya. Hati-hati masuk jurang, katanya. Mending naik motor, katanya. Pokoknya bikin kesannya itu bahaya banget.
Saya sampai sempat wanti-wanti ke sopir mobil rentalan untuk beneran hati-hati.

Nggak taunya, jalanan nggak seseram yang digambarkan orang-orang. Iya rusak, sempit, berbatu-batu, dan ada satu tanjakan tajam mendekati lokasi.
Tapi itu mah biasa aja. Buat saya.
Masih lebih bahaya rute ke Garut Selatan keleus...
Mungkin kebanyakan yang mereview rute ke Tebing Kraton adalah orang kota atau yang tinggal di daerah-daerah dataran rendah. Jadi rute off road tak beraspal, geradakan penuh batu dan menanjak bukit itu dianggap hal yang luar biasa berbahaya. No offense lho...

Justru, tebingnya yang berbahaya.
Kebanyakan menulis bahwa tebingnya menampilkan view yang indah, seolah di dunia lain, romantis dan dramatis.
Well, iya sih.
Tapi berapa banyak yang bilang kalau batu yang menjorok ke jurang ratusan meter di bawah itu berbahaya?
Bebatuan itu hanya menempel di dinding tebing. Sebagian menjorok ke luar, sebagian tertanam di dinding tanah yang mudah longsor atau tercongkel (kalau beban di atasnya terlalu berat). Padahal kalau lihat foto-foto yang beredar di socmed, banyak yang berdiri ramai-ramai di situ untuk berpose groufie.

Mari kita tinggalkan tebing yang biasa-biasa aja itu.
Saya dan Morgan turun dari kawasan tebing dan menuju ke Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ir. H. Djuanda. Hutan lindung ini dan Tebing Kraton sama-sama di bawah pengawasan Perhutani. 
Nah, di Tahura ini banyak pohon pinus. Lumayan buat foto-foto ala adegan Bollywood.

Goa Jepang dan Goa Belanda

Dan inilah yang mau saya ceritakan. Di kawasan Tahura ada dua buah gua peninggalan Jepang dan Belanda. Dulunya digunakan ketika perang, untuk menimbun logistik dan perlindungan dari musuh.
Sudah lama banget saya kepengin ke dua gua ini, karena saya suka gua... dan tentu saja semua teman saya tahu, saya suka sejarah.

Kami jalan kaki menyusuri jalan setapak hutan. Mudah kok, karena ada papan penunjuk arahnya. Yang pertama dijangkau dari arah kami datang adalah Gua Jepang. Seorang pemuda yang bekerja sebagai guide menyambut kami. Saya--yang biasanya sotoy ogah pakai guide--kali itu merasa butuh. Soalnya, saya kan ingin diceritai sejarah gua sambil menyusuri lorongnya.

Guide kami masih muda. Saya dan Morgan (yang ragu-ragu hahaha) mengikutinya masuk ke dalam. Pintu masuk gua itu lebar dan kira-kira setinggi dua meter. Di dalam gelap. Saya menyalakan senter yang harus disewa seharga lima ribu, menyorotkannya ke depan lorong.

Dan si guide mulai menceritakan sejarah gua, sambil menyusuri lorong demi lorong dan menyinari ceruk demi ceruk.

"Guanya dingin ya, A..," komentar saya. 
"Iya, Teh," sahutnya. "Jepang bikin beberapa ventilasi, jadi banyak udara dan angin yang masuk."
"Tapi ini dingin sekali..."

Morgan berjalan di belakang saya. Diam saja sambil menyorotkan senternya lurus ke depan. Saya tahu, sebenarnya dia takut.

"Bade naon kadieu? (mau apa ke sini?)"
"Eh?" Saya menoleh ke Morgan. Tapi ia tampak bungkam. Siapa yang nanya tadi?
"Kade, ulah lami teuing di dieu. Seueur nu jail... (awas jangan terlalu lama di sini. Banyak yang usil)"
Suara itu terdengar dari sebelah saya. Kini lebih jelas, dan terdengar seperti suara seorang kakek.
Sementara itu, si Aa Guide masih berjalan di depan kami. Ia tidak tahu apa yang saya dengar. Kakek tak kasat mata itu lalu terdengar batuk-batuk. Saya ngerti, ia menunggu jawaban saya.
"Muhun (iya)," sahut saya dalam hati. "Moal lami (tidak lama)."

Kemudian, saya berusaha mengalihkan fokus saya dan bertanya-tanya tentang sejarah gua lagi kepada guide. Gua itu, kata guide kami, dulunya dibangun Jepang sebagai tambahan dari Gua Belanda, yang sudah ada sejak tahun 1800-an. Belanda membangun gua pertama sebagai tempat reservoir atau penyimpanan cadangan air dari mata air yang ada di pegunungan sekitar.
Goa Jepang dibangun sekitar tahun 1942, menjelang Perang Dunia Kedua, untuk dijadikan tempat logistik dan perlindungan dari tentara Sekutu.

Saya membayangkan berapa banyak orang yang diangkut ke tempat ini, dipaksa untuk membuat gua. Melubangi dinding batu cadas yang kerasnya minta ampun, membuat lorong dan ceruk-ceruk lebar. Sementara Sekutu sudah mulai mendarat di Indonesia.
Perlu ratusan orang yang bekerja siang malam, ngebut untuk mengejar deadline, agar Sekutu tidak keburu menyerbu.

"Tulungan abdi, Neng...(tolonglah saya, Neng)"
Lamat-lamat, saya mulai mendengar rintihan minta tolong dari segala penjuru. Shit! 

"Aa, ini teh lorongnya masih panjang?"
"Enggak, Teh. Ini belokan ke pintu keluar."
Ketika pintu keluar tampak, Morgan mendahului kami keluar. Hahaha. Meskipun belakangan dia ngakunya malas gelap, saya nggak bisa dibohongi dan tahu dia takut.
Di dalam gua Jepang, meski ventilasinya cukup bagus, namun udara pengap oleh bau amoniak dari guano (kotoran kelelawar). Gua itu memang menjadi sarang koloni kelelawar. Mereka bergantungan di langit-langit gua, di atas kepala kami sepanjang lorong.

Terbebas dari hantu-hantu para romusha di dalam gua dan menyengatnya amoniak dari guano, semangat saya muncul lagi. Saya ingin segera melihat Gua Belanda, yang letaknya satu kilometer dari Gua Jepang.
Ada orang-orang yang menyewakan motor. Namun, kami menolak dengan alasan ingin memotret sepanjang jalan, maka kami wajib jalan kaki.

Mengobrol dengan guide saya (sengaja namanya nggak disebut) menyenangkan. Ia dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan saya, yang nggak bisa lepas dari gaya wartawan lagi ngorek informasi hehehe. Tidak sampai lima belas menit, kami sudah sampai di depan sebuah tebing tinggi, dengan pintu gua terbuka seolah-olah mempersilakan kami masuk, namun kali ini Morgan tidak mau ikut. Ia memilih menunggu di luar.

Keadaan di dalam Gua Belanda tidak segelap di Gua Jepang. Lorongnya lebih lebar, dengan lantai berubin di beberapa bagian lorong depan. Dinding gua ditembok dan dikapur, dan tampak bahwa strukturnya lebih modern. Ceruk-ceruk di sepanjang lorong menyerupai kamar-kamar berdinding lengkung. Tampak beberapa rak semen di dinding dan ada rak-rak besi bekas menaruh mesin dan radio komunikasi.

Gua Belanda tidak terlalu dingin seperti Gua Jepang. Di bawah kaki kami, tertutup ubin tua, adalah saluran air yang dulu dibangun Belanda.

Menurut guide kami, Jepang menjadikan Gua Belanda sebagai markas tentara. Lengkap dengan sel tahanan, ruang interogasi dan kamar-kamar istirahat para perwira. Saya sih bisa ngerti. Soalnya gua Belanda lebih mirip benteng daripada gua. Mungkin karena ditembok dan lebih luas, ya...

Tetapi dulunya, pembangunan gua ini di masa penjajahan Belanda, juga menyisakan kisah pedih para pekerja rodi. 

"Ini dulunya sel tahanan dan tempat penyiksaan." Senter Aa Guide menyorot sebuah lubang yang hanya cukup dimasuki dengan berjongkok. Di baliknya ada sebuah ceruk berlantai tanah yang dindingnya tidak ditembok.
"Oh," sahut saya sedih. Karena berbagai gambaran seram mulai terbentuk di kepala, juga tampak di mata batin saya. Mereka yang disekap di sini, dibiarkan sekarat sampai mati. "Semoga yang meninggal di sini diterima amal ibadahnya," bisik saya.

"Aamiin." Ada sebuah suara menyahut lirih.

Selepas dari ceruk penyiksaan, lalu ceruk sel tahanan yang lebih beradab (besar dan tampak bekas engsel pintu dari besi), kami akhirnya sampai di pintu keluar. Oh iya, ada rel juga di dalam gua ini, bekas lori yang mengangkut logistik berat.

Kalau ditanya, apa yang saya lihat di kedua gua itu, oh banyak sekali. Dan beberapa merupakan bayangan kejadian menyeramkan dan memilukan. Seperti adegan yang biasa saya saksikan di film-film tentang perang kemerdekaan.

Orang-orang pribumi yang dipaksa bekerja, kurus kering dengan tulang iga bertonjolan. Wajah-wajah putus asa dan menahan lapar. Yang mereka kenakan hanya sepotong cawat kumal, tidak lebih.

Ngomong-ngomong, mungkin karena saya jadi terlalu emosional, pertahanan saya lemah. Beberapa mahluk dari gua itu ternyata ada yang mengikuti saya. Pantesan, setelah sampai di rumah, saya masih saja merinding. Tukang urut yang dipanggilkan adik saya ternyata bisa melihat hal-hal yang seperti itu. Ia memastikan bahwa saya 'ketempelan'.

Hadeeeh... 
Sungguh menyebalkan yang nempel bukan cowok keren, malah setan! Hahaha...
Saya lalu 'dibersihkan', dipijit di lipatan-lipatan badan. Karena katanya mereka suka sembunyi di situ. 
Rambut saya dijambak, kepala saya diguncang-guncang sambil dibacain ayat suci. Trus si mamah tukang pijitnya ngomong, "indit siah!" Pergi kamu!

Duh gile, sakit bingit! Itu si mamah, makin saya teriak sakit, makin kenceng mijitnya. Padahal yang teriak sakit kan saya, bukan setannya... zzzzz....

Eh tapi benar saja...badan saya jadi enteng dan tidak merinding lagi sehabis sesi exorcism wakakakak...

Oh iya... Saya masih punya Part 3 dari kisah Get Lost Journey ini.
Beberapa hari lagi, ya. Sekarang saya mau kembali ke draft.

See ya! ^^


Gua Belanda di Tahura Djuanda
Gua Jepang di Tahura Djuanda.


Wednesday, November 19, 2014

Get Lost Journey -- Day 1

Ketika saya ingin pergi, maka saya akan mengemasi tas dengan pakaian secukupnya, dan pergi.
Terkadang sendiri. Terkadang, mengajak seorang teman yang terpikir saat itu juga.
Hanya sekedar bertualang sejenak ketika jenuh mulai menggerogoti jiwa dan raga.
Saya memang impulsif.
Dan di sinilah saya sekarang. Menulis blog tengah malam di sebuah homestay di Bandung yang disiram gerimis setiap siang menjelang sore.
Di kamar sebelah, ada seorang teman yang saya culik tanpa pikir panjang. Dengan pertimbangan bahwa dia yang paling available waktunya kalau ajakannya mendadak begini.
Benarlah dia bisa. Dan bersedia traveling pakai cara saya. Get lost journey.
Ketika saya post beberapa foto trip Bandung saya di Instagram, hasil ekplorasi sepanjang siang, beberapa teman kirim chat japri untuk memprotes keras karena tak diajak. Beberapa malah sedikit lebay dan bilang ke saya, kalau saya perginya sok rahasia-rahasiaan.
Saya ketawa hambar.
Wajibkah saya lapor kalau mau pergi ke setiap orang yang saya kenal? Wajibkah saya menawari mereka semua ikut?
Wajibkah saya kasih pengumuman ke seluruh dunia kalau saya mau pergi?
Well, saya kasih tahu...
Hidup saya tidak terikat pada siapa-siapa. Pada seseorang, pada grup, pada perkumpulan, pada sebuah jaringan, bahkan sekelompok orang, bahkan pada organisasi.
Saya hanya terikat pada Tuhan. Pada keluarga dan pekerjaan. Lain tidak.
Kalau saya pergi tidak ajak-ajak, atau tidak pengumuman dulu, ya terimalah sebagai mana adanya.
Saya ini ya cuma mau pergi tanpa mikir, dan menyambar siapa pun yang teringat dan paling sempat waktunya.
Saya selalu bilang, saya ini aslinya manusia soliter. Kebutuhan saya untuk menyendiri lebih banyak dari orang lain. Sejak masih kecil dan selamanya, saya orang yang seperti itu.
Jadi...
Di sinilah saya. Tengah malam tergeletak di sebuah kamar homestay dan mengeluhkan kenapa orang-orang senang sekali bikin saya jengkel. Hehehe.
Sudahlah. Mungkin ini cuma saya yang lagi suka mengomel. Mood saya masih agak gloomy, meskipun sejak journey dimulai mulai terobati.
Hari ini awal journey dimulai dengan tersesatnya saya ke terminal Ledeng, yang asing dan kecil... di tengah hujan deras. Lalu setelah balik lagi dengan Damri rute yang sama akhirnya bisa juga ketemu teman saya di meeting point kami, di Paris van Java Mall.
Lalu sorenya ada petualangan menunggu bus city tour Bandung yang bernama Bandros itu, di depan Taman Lansia (diturunkan di sana sama sopir taksinya).
Bus dan antrian yang biasanya berjubel tak tampak, barangkali bus tidak beroperasi karena hujan yang kian menderas. Saya dan teman saya, Morgan, melipir ke sebuah kafe terdekat bernama Pasar Cisangkuy.
Lalu menyadari bahwa kafe itu interiornya keren dan ternyata makanan dan minuman yang kami pesan tidak mengecewakan rasanya.
Jelang magrib, kami jalan kaki tanpa arah mencari taksi, tahu-tahu lewat Gedung Sate dan Sabuga. Taksi ketemu, mengantar kami ke Cihampelas Walk karena masih terlalu dini pulang ke homestay.
Menemukan lagi kafe lucu bernama Tea House dan kami minum teh poci hangat dan Singkong Thailand. Pulangnya jalan kaki ke homestay yang (ternyata lumayan jauh) dipandu Google Map, melalui jalan-jalan perumahan yang basah dan gelap. Hahaha.
Get Lost Journey Mission 1 - accomplished!
See you on next mission tomorrow!
- Enno -
(Ditulis tengah malam tanggal 18 Nov 2014, diedit jam 04.39 tanggal 19 Nov 2014)

Tuesday, March 12, 2013

Rain Journey: Oud Soerabaia


"This is a slightly shabby colonial villa that still has a twinkle of charm and grandeur. Rooms are plain but clean, and have some lovely touches including Mediterranean-style shuttered windows and front porches with chairs. The helpful managers speak English and Dutch."

-  Lonely Planet's Review about Paviljoen Hostel


Pacar saya yang mengusulkan saya untuk menginap di Hostel Paviljoen, di Jalan Genteng Besar. Kami menemukannya nggak sengaja di search engine dengan kata kunci penginapan murah di Surabaya. Taraaa! Saya menemukan foto hostel ini dengan eksterior dan interior tempo dulu. Langsung ngiler.

Si pacar menelepon ke sana, menanyakan kamar kosong. Saya beruntung. Begitu akhirnya touchdown in Surabaya, saya pergi ke hostel itu untuk menanyakan kamar. Dapat, sodara-sodara! Hahaha...

Hostel ini dibangun tahun 1917 oleh orang Perancis. Kemudian kepemilikannya berpindah-pindah ke orang-orang Eropa lainnya, diantaranya warga negara Jerman dan Belanda. Sejak awal didirikan, bangunan ini memang diperuntukkan sebagai losmen.

Hostel ini punya 21 kamar. Sebagian menghadap ke taman di bagian tengah bangunan. Di depan kamar ada kursi dan meja untuk duduk-duduk. Menginap di sini berasa kayak menginap di rumah seseorang. Suasananya nyaman, sepi dan rumahan banget! Sewa per malamnya juga murah. Kamar dengan kipas angin Rp 137 ribu. Yang ber-AC antara Rp 165 ribu - Rp 196 ribu. Semua kamar punya kamar mandi dalam. Trus setiap pagi dapat sarapan teh manis dan setangkup roti dengan selai dan mentega. Lumayan. By the way, rotinya roti gandum lho.

Jangan salah, biarpun murah, hostel ini nggak murahan. Nama baiknya terjaga. Warga asli Surabaya nggak bisa menginap di sini untuk short time. Sori ye. Syarat menginap di sini, tamu harus menitipkan KTP, dan yang ber-KTP Surabaya langsung ditolak.

Hostel ini juga terkenal di mancanegara. Tuh, buktinya direview Lonely Planet. Orang-orang bule, terutama backpacker, banyak yang menginap di sini, bahkan sampai sebulan (udah kayak kost). Seperti saya bilang kan, suasananya nyaman dan hommy. Recommended lah pokoknya.

Hostel Paviljoen cuma berjarak 10 meter dengan Jalan Tunjungan. Saya dan si pacar jalan kaki ke sana untuk memotret. Lumayan, dapat beberapa obyek foto menarik, meski tak sempat berjalan lebih jauh ke arah Hotel Majapahit yang dulu bernama Hotel Yamato di mana insiden perobekan bendera Belanda di atapnya terjadi. Ingat kan?

Nah, ini beberapa foto hasil perburuan saya di sudut-sudut kota selama di Surabaya. Selain pergi ke Kya Kya dan Jalan Tunjungan, kami menelusuri kota sampai ke kawasan Jalan KH Mansyur yang di sepanjang jalannya berderet bangunan-bangunan cagar budaya, yang sayangnya beberapa dibiarkan tak terurus.

By the way, foto-fotonya sengaja diedit jadi vintage hahaha...

Salah satu bangunan cagar budaya di Jl. KH. Mansyur, yang kosong tak terawat.

Hotel Kemadjoean, Jl. KH Mansyur No. 96.
Salah satu heritage building di kawasan ini. Jari si pacar di sudut kanan bawah, sengaja gak dicrop hahaha...

Kemadjoean Hotel since 1928


Ini Jalan Gula. Terkenal sebagai tempat untuk berfoto dengan latar belakang vintage.
Dua bangunan dalam gambar tadinya bekas pabrik kain dan pabrik sepatu sejak zaman Belanda.

Salah satu rumah lama di kawasan Pecinan Surabaya.
Di jalan Dukuh ini ada Klenteng Hong Tiek Hian, klenteng tertua di Surabaya. Tapi lupa nggak mampir ke situ :(

Salah satu bangunan heritage di Jalan Tunjungan

Dibangun tahun 1912

Rumah cagar budaya milik keluarga Oesman Naban di Jl. KH. Mansyur

Oesman Nabhan adalah tokoh pergerakan kaum Arab di Surabaya

Ruang tamu Hostel Paviljoen, tempat saya menginap :)

...........................

Note:

Tadi siang, waktu kamu bilang sedang kangen aku, 
aku sudah punya banyak persediaan rindu kepadamu.
Sebelum kamu mengatakannya, barangkali sambil mendekap angan
aku punya banyak rahasia yang kusimpan.
Tentang hujan
Tentang kalimat-kalimat yang kurangkai saat sunyi
Tentang malam yang dipeluk mimpi
Tentang kamu dalam cahaya, sepanjang aku terjaga...



Image and video hosting by TinyPic

Saturday, March 9, 2013

Rain Journey: With You For A Thousand Years


Sepulang dari Bromo.

Beb, hari nggak pernah sebiru itu.
Tapi bukan langit yang membuatnya begitu.
Kamu, yang duduk di sebelahku. Menyetirkan mobil, sementara aku duduk sambil membuka bungkus keripik baru. Menaikkan kaki ke jok mobil, mengunyah keripik sambil menyuapimu sekalian.

"Kita mau ke mana habis ini?"
"Udah, tenang aja."
"Ayo ah bilang!"
"Pokoknya ikut aja."
Aku mention sahabat kamu via Twitter. "Aku diculik. Help." Yang dijawab dengan tawa dan ledekan.

Lamunanku buyar waktu kamu menepuk-nepuk lututku dengan lembut. "Mau makan apa? Masih pengen rawon?"
"Mauuu!" Reaksi 'the child in me' yang membuat kamu seringkali memutar bola mata ke atas.
"Oke, kita mampir di Rawon Nguling."

Di Pasuruan (atau masih Probolinggo sih itu?), kamu menghentikan mobil di Rumah Makan Rawon Nguling yang terkenal itu. Pernah dengar, tapi belum pernah mencoba. Thank you karena sudah membawaku ke situ :)

...............

Ternyata pergi ke Batu.

Memetik apel dan stroberi. Makan nasi goreng apel dan roti bakar berselai apel. Membeli bibit anggrek. Lalu melihat burung dara mahkota di dalam sangkar.

"Halo, kamu cantik sekali."
Dan si burung biru bermahkota itu mulai bersuara. Dum dum. Dum dum.
"Beb, suaranya lucu! Dum dum. Dum dum."
Kamu memutar mata.
"Bisa nggak?"
Kamu menirukan.
"Hahaha... nggak mirip. Gini nih. Dum dum. Dum dum."
Memutar mata lagi.

Masih punya banyak waktu, dan kita tak tahu mau ke mana. Akhirnya ke Cangar itu. Kamu yang usul karena pernah pergi ke sana sendirian.
Kita mencari gua Jepang, memotret, (nggak sengaja) mengusik orang pacaran.

"Mulai deh, mulai. Nggak usah ketawa-tawa gitu. Orangnya pindah tuh."
"Tapinya lucu."
Memutar mata. Duduk membelakangi. Pura-pura mengupil.
"Ih, jorok, Bebe!"
"Biar!"

..................


Di Surabaya lagi.

"Nonton lagi, yuk! Orang kampung nih. Di kampungnya nggak ada bioskop."
"Yaudah, nonton apa?"
"MAMA bagus nggak ya?"
"Jangan horor!"
"Ih kamu! Itu kan cuma film kali..."
"Enggak deh. Makasih."
"Cuma film, Beb!"
"Yang lain aja."

Nonton film tentang hiu. Bioskopnya spooky.

Duduk menunggu dua jam di lobi yang sepi setelah capek melihat-lihat buku di Gunung Agung. Mengomentari pasangan-pasangan yang lalu lalang di depan kita. Tertawa-tawa lagi.

"Kamu lihat apa?"
"Nggak lihat apa-apa."
"Masa?"
"Kalo diomongin emangnya kamu nggak takut?"
"Ya udah nggak usah!"
"Hahaha..."

Asli, aku nggak lihat apa-apa kok. Tapi merasa ada yang aneh dan mencekam. Makanya mengajakmu bercanda dan ketawa-ketawa. Bahkan hantunya ragu untuk pamer padaku. Dia tahu kalau ada kamu, aku nggak peduli mereka di situ.

Seminggu denganmu, hari-hari nggak pernah berwarna selembut itu. Kamu yang bikin aku merasa begitu. Di sebelahku, memutar mata dan menggandeng tanganku. Memprotes lipatan celana, bertanya mau makan apa dan membawaku memotret bagian kota yang tua.

"Beb, habis ini kita ke mana?"
"Ke hatimu."

.....................

Note:

Saat menulis ini, kusebut namamu dalam gumam. 
Mendekap ingatan tentangmu sepanjang malam. 
Dalam diam, saat terpejam.



Museum Sampoerna, Surabaya.
Look! That's him ^^

Image and video hosting by TinyPic

Thursday, March 7, 2013

Rain Journey: Hotel Ganefo dan Buaya Kapasan

Jadi begini...

Saya menemukan hotel tua itu nggak sengaja. Sepulang melintasi Jembatan Suramadu, si pacar membawa saya keliling kota mencari obyek foto. Lewatlah kami ke Jalan Kapasan di kawasan Pecinan Surabaya (dikenal juga dengan sebutan Kya Kya). Mata saya tiba-tiba tertumbuk pada sebuah jalan masuk yang diujungnya menampakkan sebuah beranda luas ala zaman dulu. Sekilas, saya melihat patung singa di depan undakannya, dan pinggiran atap kayu yang berupa renda-renda berlubang.

Saya memohon si pacar untuk putar balik dan mengintip dari jalan masuk. Maafkan kesoktahuan saya karena saya memang bukan arsitek. Tetapi, menurut saya, itu model yang sama dengan rumah-rumah Betawi, yang memang dipengaruhi kebudayaan Cina.

Bangunan hotel itu benar-benar bergaya kolonial dan dibiarkan seperti aslinya. Masuk ke dalamnya, saya seolah-olah terlempar ke zaman VOC. Hahaha. Iya lah, lebay. Zaman VOC nggak ada yang nenteng kamera digital kayak kami berdua. Dan nggak ada mas-mas dan bapak-bapak berkemeja santai yang menyambut kami di meja resepsionis yang di atasnya ada mesin tik dan pesawat telepon kuno.

Saya, seperti usul si pacar plus insting wartawan investigasi yang masih tersisa, pura-pura menanyakan harga kamar untuk serombongan teman yang berniat liburan di Surabaya. Lalu, masih dengan alasan yang sama, saya minta izin melihat-lihat kamar. Kamar di sana ternyata murah. Kamar dengan kipas angin Rp 135 ribu per malam. Yang ber-AC juga cuma Rp 165 ribu per malam.

Kami masuk ke dalam. Suhu terasa sejuk karena konstruksi bangunan khas kolonial adalah langit-langit yang tinggi dan lubang angin di plafon dan pintu. Jendelanya model Perancis yang punya dua daun jendela dibuka lebar, terentang ke kiri dan kanan.

Kamar yang saya lihat adalah yang berkipas angin. Kamarnya... alamaaak! Besar, dengan dua tempat tidur yang besar juga (queen size). Selain dua tempat tidur kayu (kuno juga lho) dan kipas angin, di langit-langit, ada juga seperangkat meja tulis dan kursinya. Ruang kosongnya masih lega, masih bisa dipakai lari-lari kecil bolak balik.

Ubinnya sepertinya masih asli. Di ruang tamu, ubinnya bahkan bercorak, bagus sekali. Saya menyerahkan Oly ke tangan pacar, supaya dia bisa mengambil gambar, sementara saya bertanya dan melihat-lihat ditemani si mas resepsionis.

Belakangan, saya menyesal nggak mblusukan sampai ke dalam gang-gang di kawasan Kapasan Dalam. Ternyata Kapasan adalah kawasan bersejarah, pusat pergerakan orang-orang keturunanTionghoa menentang pemerintah kolonial.

Hotel Ganefo tadinya adalah rumah kapitan Cina yang diangkat Belanda untuk mengawasi kawasan itu demi kepentingan kolonial. Dulu, Kapasan dikenal memiliki pendekar-pendekar kungfu yang berjiwa nasionalis dan anti kolonial. Mereka dijuluki 'Buaya Kapasan.' Ada sebuah klenteng di dekat Hotel Ganefo bernama Boen Bio, yang sampai sekarang masih berdiri. Dari klenteng inilah mereka menghimpun kekuatan politik dan kemanusiaan.

Di abad 17, kawasan Kapasan menjadi pusat perlawanan keturunan Tionghoa yang terbesar di Hindia Belanda, dan sulit ditundukkan. Orang-orang Tionghoa di Kapasan bukan dari golongan pedagang, meskipun begitu mereka mampu mempelopori pemboikotan perniagaan dengan Belanda, sehingga pasokan logistik Belanda pun kritis.

Karena kawasan ini dianggap sebagai ancaman dan bahaya besar bagi pemerintah kolonial di Surabaya, Belanda kemudian mengangkat seorang kapitan/kapten (pimpinan distrik) untuk mengawasi orang-orang Tionghoa di Kapasan. Secara pribadi, saya yakin banget, orang Tionghoa yang diangkat sebagai kapitan untuk Kapasan itu pasti orang Tionghoa dari daerah lain, yang bisa dibujuk untuk pro Belanda.

Masalahnya nih, yang bikin saya kepengin jitak kepala sendiri, saya tahu sejarah Kapasan ini justru setelah pulang dari Surabaya, setelah saya mencari informasi tambahan tentang Hotel Ganefo. Jadi waktu dolan ke Kapasan kemarin, saya cuma menelusuri bagian luar kawasannya saja. Saya cuma punya foto Hotel Ganefo dan Gapura Kya Kya. Padahal si pacar udah nawarin motret Klenteng Boen Bio dan kantor Polresta Surabaya Timur yang dulunya ternyata adalah kantor polisi Sectie V van Kapasan Soerbaia yang khusus didirikan untuk mengawasi kawasan Kapasan ini (abis baca ini dia pasti ngomong, 'Kan, apa kubilang?')

Huaaa! Saya kepengin nangis! Pokoknya harus balik lagi ke sana! Menginap di Hotel Ganefo dan mblusukan ke gang-gang Kapasan Dalam. Katanya, di bagian belakang Klenteng Boen Bio, masih banyak rumah-rumah bandar yang belum dipugar. Trus, kalau beruntung mungkin bisa lihat orang-orang yang latihan kungfu dengan jurus asli Kapasan tempo dulu yang terkenal itu. Huaaa! Bruce Lee, Jacky Chan, lewaaat! Jurus mereka sih memang asli, tapi kan mereka berantemnya di film. Kalau pendekar-pendekar Kapasan asli menerjang peluru dan bayonet beneran!

Ya ampun! Dipikir-pikir, saya ini bener-bener tergila-gila sama hal-hal yang berbau heritage, ya? Hehehe... Untungnya, pacar saya pengertian.

Darling, kita mblusukan Kapasan lagi ya entar? *kedipkedip manja*

Well, saya masih punya banyak cerita tentang journey ini. Misalnya bahwa hostel tempat saya menginap juga merupakan bangunan heritage yang dibangun tahun 1917. Atau cerita tentang pergi nonton di bioskop yang spooky abis (ini juga bangunan heritage awalnya). Atau kunjungan ke Museum Santet. Malahan, perjalanan kami ke Bromo pun belum ditulis kan?

Sabar ya. Ini catatan yang tergantung mood sih ;)


Papan nama hotel. Ini yang motret si patjar ^^


Ruang tamu. Lihat ubinnya keren!
Yang motret si patjar juga ^^
Patung Singa yang dipotret sama  patjar akyu! :))
Berandanya ini saya yang motret

.........................................


Note:

Cuma mau bilang, bahwa hatiku masih terasa hangat seperti di hari itu, waktu kamu membawaku keliling sudut Surabaya pagi-pagi sekali.
Padahal aku nggak pernah bilang terang-terangan kepengin berburu foto di kawasan heritage, tetapi tahu-tahu kamu membawaku keliling kawasan-kawasan itu.

Kamu...
Sampai hari itu, aku nggak pernah mengira sebesar itu pemahamanmu tentang aku.

Thank you so very much. Aku sayang kamu, Beb.
Ah, kamu pasti sudah tahu ;)


Image and video hosting by TinyPic

Saturday, March 2, 2013

Rain Journey: Di Cangar, Dua Sejoli

"Tungguin aku!" Saya terengah-engah. Benci pada berat badan yang meroket belakangan ini, justru pada  saat saya mulai kerap traveling.
"Sini!" Tangannya terulur. Menggenggam erat, menghela saya ke arahnya.

Jalan setapak yang kami lalui tidak terlalu becek, tidak juga licin. Beralas batu-batu yang terserak tanpa disengaja, jalanan itu semakin menanjak ke atas mengarah ke lereng Gunung Welirang.

Saya berjalan di belakang pacar saya. Meski agak terengah, saya semangat banget naik terus ke atas. Mencari gua Jepang yang katanya berjarak 600 meter di atas sana. Semakin ke atas, jalan setapak menghilang di balik rimbun vegetasi sesemakan gunung. Saya pikir cuma ada kami berdua. Oh saya salah.

Di tengah pendakian, kami bertemu dua pasang sejoli sedang duduk mengobrol. Masing-masing di lokasi berbeda. Jujur ya, saya agak nggak ngerti kenapa mereka milih mojok di tengah jalan setapak rimbun gitu sih? Apa nggak takut? Masalahnya, saya yang terus mendaki ke atas, semakin merasa aura yang tidak enak di hutan itu. Seperti ada yang tidak suka. Terusik. Tapi karena saya masih pengen melihat gua Jepang itu, maka saya meneruskan langkah.

Di sebuah belokan, pacar saya berhenti. Membiarkan saya melewatinya dan terus naik. Sebuah ceruk lebar tampak menganga. Saya mencoba mendekat, lalu mendadak berhenti.

Itukah yang namanya Gua Jepang seperti termaktub di papan penunjuk arah di bawah sana? Yang kata seseorang tadi 600 meter ke atas. Cih! Ini paliing juga baru 200 meteran. Tapi... tapi perasaan saya nggak enak melihat ceruk besar itu.

(Belakangan saya tahu, gua Jepangnya ada beberapa. Dan yang saya lihat ini cuma salah satu dan sepertinya yang terdekat. Dia kelihatan berbentuk ceruk atau rongga karena bagian dalamnya sudah runtuh. Yang masih utuh di atas, ada yang lorongnya masih bisa ditelusuri)

Ceruk besar yang menganga itu seolah-olah menatap saya, dan saya balas menatapnya. Saya nggak perlu bilang apa yang kemudian saya lihat, oke. Pokoknya saya langsung balik badan, turun menghampiri pacar saya yang berdiri menunggu.

"Ayo turun!" Saya mendahului melangkah.
"Kamu lihat apa?"
"Udahlah, pokoknya kita turun." Saya terus berjalan sampai agak jauh dari gua dan perasaan saya mulai tenang lagi.
"Kamu lihat sesuatu, ya?"
"Ada deh..."
"Ah, kamu!" Ia mengeluh kesal, karena sebenarnya berharap saya menjawab 'tidak ada apa-apa.' Hahaha...

Pernah dengar Taman Hutan Rakyat (Tahura) R. Suryo - Cangar? Letaknya sekitar 18 Km dari kota Batu. Ke sanalah kami pergi.
Itu adalah lokasi hutan dan pemandian air panas di kaki Gunung Welirang. Ada track untuk lintas alamnya juga (beberapa jalur bisa membawa kita ke puncak Welirang), dan di sana ada beberapa gua Jepang.

Begitu saya dengar dari si pacar, bahwa di Cangar ada pemandian sumber air panas, saya membayangkan pemandian seperti di Cipanas, Garut. Semacam kolam renang, lalu deretan boutique hotel dan penginapan yang menyediakan bak rendam air hangat di kamarnya. Sebuah kampung turis yang kecil dan asri, berudara sejuk di kaki gunung.

Ternyata Cangar berbeda.

Ini benar-benar lokasi sumber air panas yang masih alami, yang dikelola oleh Dinas Kehutanan setempat. Terletak di tepi hutan lereng gunung. Memiliki beberapa kolam renang berair hangat.

Perjalanan kami dari kota Batu menuju Cangar, menyenangkan banget lho. Hampir sama dengan perjalanan kami saat menjelajah Gunung Bromo. Jalanan naik turun di lereng perbukitan dengan pemandangan puncak bukit dan gunung berlapis-lapis di kejauhan (pemandangan yang sama saat saya dan Wuri menuju Ranca Buaya tempo hari), di mana lereng-lereng itu menghijau karena ditanami sayuran.
Bedanya, menuju Cangar, kami juga melewati beberapa bangunan tempat bertani jamur. Daerah ini sepertinya terkenal sebagai tempat budidaya jamur.

Turun dari lokasi Gua Jepang, si pacar mendengar gemericik air dan tampaklah di antara rerimbunan semak belukar, aliran kali kecil dengan air yang mengepul tanda bersuhu tinggi. Saya yang sudah mengeluarkan Oly, kamera saya, sejak tadi, mulai mencari obyek untuk difoto. Pacar saya akhirnya mengeluarkan Canon kesayangannya juga. Jadilah kami latihan fotografi disitu. Ehm... saya sih yang sebenarnya masih latihan. Dia mah memang sudah jago hehehe....

Tahu nggak, ada yang kocak. Jadi, salah satu pasangan sejoli yang kami lewati saat mendaki ke gua Jepang itu ternyata sedang duduk di bawah shelter beratap genteng tak jauh dari tempat kami memotret. Saya menyenggol si pacar sambil ketawa-ketawa.

"Eh, ketemu lagi...," gumam saya.
"Hus! Biarin aja. Jangan diusilin."
Duh, nggak bisa dong. Mana tahan. Saya yang berada di belakang mereka, melihat si cowok mencium pipi ceweknya. Huh sial! Nggak keburu difoto! Hihi...
Sepertinya, mereka merasa kali ya dijadikan bahan cekikikan saya. Terus mereka beranjak pergi. Oke, good bye! Saya melambai, yang lalu dipelototin si pacar. Jiaaah! Hahaha...

Setelah cukup lama memotret di dekat kali berair panas itu, Saya melihat ada undakan dan jembatan menuju pintu masuk dan keluar lokasi bagus untuk difoto juga. Jadi kami beranjak ke sana. Duh, ternyata dua sejoli itu duduk di shelter tak jauh dari jembatan batu yang mau saya potret. Sebenarnya saya sudah tidak berniat mempedulikan mereka lagi. Saya sibuk memotret jembatan, anak tangga dan bunga-bungaan di situ. Tahu-tahu, si pacar menyenggol saya dan menunjuk ke belakang kami.
Dua sejoli itu beranjak pergi, sepertinya akan pindah mencari tempat lagi. Huahahaha....

"Kamu sih..." kata si pacar sambil nyengir.
"Apaan? Kok aku? Memangnya kenapa aku?"
"Ya kamu motret sembari ribut, dan ketawa-ketawa." Iya sih saya ketawa-ketawa. Tapi kan ngetawain hal-hal lain, bukan mereka.
"Idih, suka-suka dong. Emang ini negara dia? Salah sendiri pacarannya mojok. Pacaran itu kayak kita nih. Kreatif. Fotografi."
Pacar saya geleng-geleng.

Ngomong-ngomong, dua sejoli itu pergi ke dalam hutan lagi lho. Saya nggak ngerti. Mereka nggak punya perasaan takut atau gimana gitu? Saya sih boro-boro kepengin mojok di situ.

Acara latihan fotografi itu (beneran latihan, karena saya ditegur dan diajari sama dia) akhirnya berakhir ketika gerimis mulai turun dan menderas. Kami bergegas menuju mobil di tempat parkir dan meninggalkan Tahura S. Suryo.

Seriously, itu sebenarnya lokasi yang menarik untuk lintas alam dan mandi-mandi air belerang. Bagian mandi-mandinya buat saya sih nggak menarik, karena di kota tempat tinggal saya punya pemandian air panas juga hehe..
Buat saya pribadi, lintas alamnya itu yang menarik. Saya kepingin datang lagi dan naik terus ke atas sampai gua Jepang yang masih utuh. Tapi mungkin harus datang beramai-ramai. Soalnya, kalau cuma berdua... errrr.....


Kali kecil yang airnya hangat

Mengintip dua sejoli di balik tas si pacar. Hahaha

Jembatan

Undakan tangga menuju parkiran

..............................


Note:

Kamu pasti nggak ngerti, bahwa aku merasa beruntung punya kamu.
Di saat cowok itu cuma bisa mencium pipi ceweknya dan mengajaknya mojok di tengah gerumbulan semak hutan, kamu justru mengajariku fotografi.
Dan banyak hal lainnya tentang hidup. Yang tentunya tidak kamu sadari, karena kamu selalu rendah hati.

Kamu nggak ngerti, hal-hal kecil yang kita lakukan sangat berarti.
Ketika kamu bilang 'hus' sambil mendelik itu saja pun mengajariku untuk lebih peka pada dunia. 
Siapa bilang aku lebih dewasa? Justru kamulah yang membuat aku bertumbuh, dan mengingatkan bahwa aku tidak harus sempurna.

Dalam perjalanan pulang, ketika kamu menyetir dan menyuapimu keripik kentang, Beb, aku kepengin bilang: kamu seperti udara. Aku nggak bisa bernapas tanpa kamu... 


Image and video hosting by TinyPic

Thursday, February 28, 2013

Rain Journey: Sebuah Pagi di Atas Selat

Hello guys!

Akhirnya saya menulis lagi. Well, ini akan menjadi catatan yang random tentang perjalanan ke Surabaya, Bromo dan sekitarnya kemarin. Hari dan tempat tidak akan dibuat runut. Saya akan menceritakannya sesuai mood saja. Dan hari ini, saya ingin bercerita tentang jatuh cinta.

Jatuh cinta? Lagi? Bukannya lo punya pacar? Pasti pada nanya begitu. Ya emang jatuh cinta sama pacar saya. Jatuh cinta lagi sama dia. Gara-gara suatu pagi yang dingin, waktu matahari baru saja terbit, dia membawa saya melintasi selat dengan motornya.

Tebak, selat apa?

Jadi ceritanya begini. Dia membangunkan saya di penginapan. Oh, saya sudah pernah bilang belum kalau dia tinggal di Surabaya? Oke, jadi pagi itu, ketika malamnya saya diantar pulang dengan wajah cemberut karena sakit perut (bukan gara-gara dimsumnya, Sayang), paginya dia menculik saya. Menyodorkan helm dan menyuruh saya cepat-cepat naik ke boncengan motornya. Saya tanya mau kemana, dia (seperti kebanyakan cowok yang nggak suka dibantah) bilang: udah, ikut aja.

Saya malas berdebat pagi-pagi dalam keadaan masih mengantuk dan sisa-sisa bad mood. Jadi saya membiarkan dia membawa saya melintasi jalanan Surabaya di hari Minggu yang masih dingin dan sepi. Kemana? Entah. Tahu-tahu, saya merasakan hawa pesisir dan angin laut. Pinggir kota? Okay, I got the clue.

Dan dugaan saya benar ketika saya membaca penunjuk arah berwarna hijau di pinggir jalan. Saya kepengin tersenyum lebar sebetulnya. Tapi berhubung masih jaim gara-gara bad mood, saya bergembira dalam hati.

Dan jembatan yang terkenal itu akhirnya membentang di depan kami. Suramadu! Menghubungkan dua pulau yang sebelumnya dipisahkan perairan dan lalu lalang kapal feri. Saya sudah lama kepengin ke Madura. Sekedar menginjak tanahnya, menghirup udaranya, menatap langitnya, dan bilang ke orang-orang: hei, gue udah pernah ke Madura!
Saya sudah lama penasaran dengan jembatan ini sejak dia dibangun dan diresmikan. Berjalan di atas selat Madura, di atas laut. Bukankah itu keren? Rasanya hampir mirip seperti sihir. Okay, saya lebay. Gimana kalau saya bilang, itu lumayan terkesan futuristik? Dua pulau bisa dihubungkan dengan hanya sebuah jembatan. Lain kali, dua buah planet dihubungkan dengan sebuah penerbangan biasa. Who knows? 

Tiang-tiang jembatannya yang seperti senar harpa, berwarna oranye, berbaris cepat dalam penglihatan saya. Dia sengaja melajukan motornya tidak terlalu kencang, supaya saya bisa menikmati perjalanan dan pemandangan di sisi jembatan. Matahari merah yang masih muda melayang di bahu kanan, sementara kami melaju di sisi kiri jembatan.

"Sunrise-nya malah di sini!" Dia menepuk lutut saya dan menunjuk si matahari. Kami ketawa, mengingat kegagalan kami mendapatkan sunrise di Gunung Bromo, beberapa hari sebelumnya, yang nanti akan saya ceritakan kalau sudah mood. Hehehe.

Kalau kalian pernah menyeberangi Jembatan Suramadu dengan mobil, coba deh sekali-kali menyeberang dengan motor. Pagi-pagi, saat angin dari samping belum kencang dan membuat motormu oleng. Angin laut pagi-pagi itu segar sekali. Pemandangan laut dengan para nelayan yang mencari kerang dan udang di pantai yang lebih dalam juga menarik untuk diperhatikan. Sayangnya, jembatan itu jalan tol, jadi tidak boleh berhenti untuk sekedar mengambil foto. Hehehe...

Again, seperti yang biasa dia lakukan, pacar saya berhasil menghibur saya. Mood saya mencair sudah.
Apa lagi saat kami sudah meninggalkan ujung pantai terakhir pulau Jawa dan benar-benar berada di atas perairan Selat Madura. Ya Allah, ini di atas laut! Pikir saya dengan gemetaran. Saya tegang. Berandai-andai jembatan tiba-tiba runtuh dan kami kecemplung ke laut. Saya nggak bisa berenaaaang! Hiks...
Tapi tetap saja saya merasa exciting. Dan itu membuat saya akhirnya beneran tersenyum lebar dan mulai bawel lagi, mengomentari pemandangan. Hahaha.

Ketika motor yang kami tumpangi akhirnya menjejak daratan pesisir Bangkalan, Madura, saya teriak. Maduraaa!
Dia yang di depan saya ketawa. Sudah tahu kalau saya memang segitu noraknya. Menyusuri akhir jalan itu sampai ujung persimpangan untuk ke lokasi-lokasi lain, akhirnya dia memutar balik motornya menuju arah Surabaya lagi. Huahahaha....

Saya sebal sebenarnya. Saya pikir hari itu kami akan bertualang di Madura. Mengingat dia pernah tinggal cukup lama di daratan ini. Ish! Malah putar balik! Tapi dipikir-pikir gimana mau bertualang. Saya nggak bawa apa-apa. Cuma tas selempang dan bahkan belum mandi. Iya sih saya bawa kamera. Tapi chargernya aja ditinggal di penginapan.

Pulang ke Surabaya, kami melintasi Suramadu lagi. Karena sulit memotret, akhirnya saya memfilmkannya saja. Untuk kenang-kenangan sendiri. Lagipula obrolan saya dengan dia ikut terekam. Tawanya ada di sana. Saya bisa putar lagi kalau sedang kangen :')

Kami sampai lagi di Pulau Jawa bagian Surabaya.
Memotret sedikit kegiatan hari Minggu warga setempat di taman kota di bawah jembatan Suramadu. Pemerintah kota membangun taman ini untuk kegiatan warga berolahraga, jalan-jalan, bahkan mungkin untuk menggalau juga. Banyak yang jalan pagi, stretching, main odong-odong, duduk nongkrong, bahkan pacaran. Boleh juga tuh! Hahaha...

Hari itu masih panjang. Kami melanjutkan acara dengan berburu foto di bagian kota lama, sekitar Kya Kya, pecinannya Surabaya. Itu akan saya ceritakan di bagian lain ya. Karena tulisan ini tentang jatuh cinta.

Maka, kalau ada orang yang masih bertanya kenapa saya bisa jatuh cinta sama dia. Jawabannya cuma satu. Karena dia satu-satunya orang yang selalu membuat saya merasa baik-baik saja. Yes, you are, darling...

........................

Note:

Dear kamu,
Tahukah, jika ada yang bertanya mengapa aku jatuh cinta padamu, jawabannya adalah bukan 'karena kamu baik'? Atau jawaban lain semacam itu, yangmenyiratkan bahwa kamu orang 'baik.' 
Aku sudah lama tak percaya pada laki-laki yang kelihatan baik. Sorry to say, bahwa penampakan luar terkadang sangat mengecoh, bisa sangat menyembunyikan kebobrokan di dalam. 

Suatu ketika, di episode jauh sebelumnya, aku pernah jatuh cinta pada 'orang (yang tampak) baik.' Tapi ternyata hatinya seperti warna tinta yang pekat. Ia membuatku merasa seperti benda yang bisa dipilih, lalu dibuang. Maka sejak itu, aku tak percaya lagi pada orang yang katanya baik. 

Aku jatuh cinta padamu, berkali-kali nyaris setiap hari.
Semata-mata bukan hanya karena kamu baik, melainkan karena kamulah yang membuatku baik-baik saja.

Love you.

The hand that keeps me warm and stronger ^^
(this photo is my personal property)


PS:
Yang ngarep foto-foto perjalanan, di next episode ya. 
Karena ini tentang jatuh cinta, makanya fotonya tangan dia. Hihihi...


Image and video hosting by TinyPic

Saturday, February 16, 2013

Rain Journey: Catching The Sunset

Tahu nggak, saya dapat sunset yang indah di pantai Ranca Buaya kemarin.
Pernah lihat matahari berwarna merah jambu tua yang bulat sempurna dan besar? Sangat besar dan sangat dekat, seolah-olah bisa disentuh kala kita mengulurkan tangan?

Matahari yang saya lihat kemarin surut dengan anggun ke balik cakrawala. Menyisakan semburat merah jambu dan marun di ufuk barat. Saya dan Wuri berdiri terpaku setelah menjepretkan kamera kami mengabadikan keindahan itu.

"Sampai ketemu lagi, Matahari!" Saya berseru sambil melambaikan tangan. Iya, norak memang. Tapi seumur hidup saya, itu adalah sunset paling bagus dan paling jelas yang pernah saya lihat.

Yup. Saya dan Wuri mblusukan wilaya Garut Selatan beberapa hari yang lalu. Wuri baru pulang dari Gunung Papandayan dan mampir ke rumah. Saya senang karena punya kesempatan 'balas budi.'
Soalnya kalau saya ke Jogja, saya pasti merepotkan keluarga Wuri karena tinggal di sana. Hehe..

Saya itu mana tahu tentan pantai Ranca Buaya, kalau saja tidak disebut-sebut dalam novel Perahu Kertas. Tapi dimasukkannya pantai itu ke itinerary sebetulnya bukan karena saya pura-pura jadi Kugy dan kepengin disusul Keenan (Adipati, susul akuuuh! -prett!). Ranca Buaya sebetulnya letaknya lebih dekat dari kota dibandingkan pantai-pantai lain seperti Santolo, Sayang Heulang, dan lain-lain di Pameungpeuk. Dengan catatan, kita naik angkutan umum rute langsung Ranca Buaya - Garut Kota.

Pukul setengah 10 pagi, waktu kami berangkat dari kota, ternyata kami nggak sengaja malah naik jurusan Pameungpeuk. Berputar-putarlah kami melalui rute-rute 'yang tidak seharusnya.' Pukul 12 siang, mobil elf yang kami tumpangi menyusuri jalan pegunungan di Kecamatan Cikajang yang berkabut tebal. Untungnya, mobil berhenti di rumah makan dan seisi mobil turun untuk makan siang dulu.

Untung saja saya dan Wuri memutuskan ikut makan siang. Karena ternyata perjalanan masih jauh, sodara-sodara! Hahaha...

Kami tiba di Cikelet (masih kawasan Pameungpeuk) sekitar pukul setengah 3 sore. Bayangkan! Jam segitu harusnya saya sudah sampai Jogjaaa!!! Aaarrgghh!
Dan sebelnya lagi, rute ini melewati semua pantai-pantai di Pameungpeuk! Pantai Ranca Buaya malah jadi salah satu yang paling ujung.
Ngiler dong waktu mobil elfnya melewati pantai Santolo dan Sayang Heulang yang landai dengan ombak putih bergulung-gulung. Pengen turuuuun! Tapi kami harus konsisten dengan tujuan awal, sodara.

Ternyata jam segitu sudah nggak ada lagi angkutan yang langsung ke Ranca Buaya, pilihannya adalah ojek. Kami menumpang motor Pak RW setempat yang kebetulan lewat. Karena pangkalan ojek masih nun jauh di Cijayana, katanya. Itu masih di ujung-ujung sana deh pokoknya. Jadilah satu motor butut itu dinaiki bertiga, melewati rute yang naik turun curam dan jalanan yang rusak berat.
Saya curiga Pak RW yang biasa dipanggil Abah itu sakti. Soalnya tanjakan tegak lurus yang harusnya nggak mungkin dilewati motor butut dengan tiga penumpang ternyata bisa ditaklukan juga. Gila euy!

Ngomong-ngomong, pernah dengan tempat yang namanya Puncak Guha?
Si Abah mengajak kami mampir dulu ke situ. Tempat itu berupa puncak sebuah bukit yang menjorok ke laut lepas. Tebing-tebing di bawahnya dipenuhi tonjolan batu karang dan riuh oleh debur ombak. Bukit ini ditumbuhi rumput hijau yang rata kayak sengaja dipangkas tukang kebun. Pemandangannya juga bikin Wuri foto-foto narsis melulu. Haha. Bayangin aja, depan kamu laut lepas dengan ombak memecah di beting-beting karang. sedangkan di kiri, kanan dan belakangmu sejauh mata memandang adalah sawah hijau dan pegunungan. Waktu kami masuk ke sini sih gratis, wong nggak ada pintu masuk atau apa pun. Seolah-olah bagian dari kebun sebelah rumah gitu deh. Hihi. Ada juga emak-emak penggembala kambing yang lagi tidur dan kambing-kambingnya yang berkeliaran di situ.

Setelah dari Puncak Guha, kami kembali meneruskan perjalanan. Dari Cikelet ke Ranca Buaya dengan motor itu sekitar 1 jam. Bokong saya, masya Allah, udah berasa gepeng segepeng-gepengnya nempel di jok motor.

Untungnya, sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan unik. Sawah menghijau sepanjang garis pesisir dan sungai-sungai kecil yang bermuara ke laut. Keren, saya nggak bohong.

Kami sampai di Ranca Buaya pukul 4 sore. Agak kecewa dan super capek karena perjalanannya nggak disangka lama dan jauh banget. Tapi agak terhibur waktu Abah bilang, sunset di situ bagus banget. Kami lalu menyewa penginapan murah seharga 100 ribu per malam. Isinya cuma kasur dan kipas angin. Eh, dikasih welcome drink lho, teh manis panas! Hihi..

Kami berkeliaran sambil motret-motret, nunggu sunset yang katanya bagus itu. Dan memang bener. Bagus banget!

Sayangnya, nggak ada sunrise di pantai ini karena tertutup perbukitan. Kami memutuskan pulang pagi dengan angkutan langsung Ranca Buaya - Garut kota. Sopirnya ditelepon lho sama pemilik penginapan. Baik ya. Setengah enam pagi kami dijemput di depan penginapan. Udah kayak naik travel.

Dan tibalah pada bagian menyeramkan dalam postingan ini, sodara.
Rute ini off road habis! Elf sarat penumpang dan barang harus melalui jalan pegunungan yang melingkar-lingkar di bibir jurang. Setiap kali terguncang, mobil miring ke arah jurang. Mana saya duduk di dekat jendela pulak! Sepanjang jalan saya nggak berhenti berzikir, sementara Wuri berusaha tidur, yang mana tidak  mungkin bisa karena bokong kami terlempar-lempar di jok nyaris separuh perjalanan.

Jalan yang kami lalui ini nyaris berupa jalan setapak yang diperlebar sekedar bisa dilalui satu mobil, diperkeras dengan batu-batu dan di tepi jurangnya sama sekali tidak ada pengaman. Sementara sisi satunya lagi adalah tebing yang rawan longsor. Ini adalah jalan peninggalan masa kompeni, yang dulunya dipakai penjajah untuk mobilisasi pasukan dan logistik.

Di wilayah Cikajang, jalanan kembali normal. Tetap berkelok-kelok membelah perbukitan, tapi lebar, dua arah dan beraspal bagus.

Kami turun di depan pintu masuk menuju Curug Orok, karena tempat itu juga ada dalam itinerary (sebelum mblusukan Garut Selatan, kami sempat ke Candi Cangkuang). Setelah sarapan popmie dan segelas susu hangat, kami menuju curug. Dari jalan raya ke curug bisa ditempuh jalan kaki sekitar 500 meter, melewati perkebunan teh dan pemandangan perbukitan yang indah, Ternyata selain Curug Orok, ada juga Curug Kembar di kawasan ini. Kami nggak ke  Curug Kembar karena katanya lokasinya lebih mblusukan dan licin.

Tentang Curug Orok, sila baca postingan Hans yang INI. Curug ini suasananya emang agak spooky sih. Cuma saya nggak bilang Wuri, yang sibuk minta dipotretin dengan berbagai pose.
Kami nggak lama di sini, karena nggak istimewa amat lah. Mana sepi banget. Pengunjungnya bisa dihitung jari selama kami sedang di sana.

Jalan kaki lagi ke jalan raya dan akhirnya menumpang elf jurusan Garut Kota untuk menuju Cipanas. Kami menginap di sana untuk istirahat dan berendam air hangat belerang.

Kalau boleh disimpulkan. Trip kali ini adalah blind trip. Kami benar-benar jalan tanpa persiapan pengetahuan dan mental. Benar-benar nggak mengira harus melewati perbukitan teh dipenuhi kabut tebal yang mematikan jarak pandang, boncengan motor bertiga di jalan yang curam, dan menantang maut di rute off road dengan mulut jurang menganga nyaris separuh perjalanan. Fyuh!

Saya senang punya partner jalan seperti Wuri. Sama sekali nggak terdengar dia ngeluh atau ngomel. Dia hanya terlalu suka berfoto. Hahahaha...

Minggu depan, saya jalan ke Bromo dengan B. Kali ini, saya mau berburu sunrise.
.
Tunggu Rain Journey berikutnya ya!
Kiss kiss!


Pemandangan depan penginapan. Foto-foto lain belum diedit.
 Nyusul yak!  :D


Image and video hosting by TinyPic
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...