Showing posts with label Kisah Abe. Show all posts
Showing posts with label Kisah Abe. Show all posts

Wednesday, May 16, 2012

Penjelasan dari Pengarang

Hello...
Ini untuk teman-teman baru pembaca novel Selamanya Cinta, yang selalu bertanya: Itu kisah nyata bukan, Kakaaak?
Atau menimpuki saya dengan pertanyaan seperti: Abe itu beneran ada ya, Kak? Masih hidup? Udah meninggal? Masih pacaran sama Abe sampai sekarang?
Pertanyaan-pertanyaan yang sama terus bergulir dari para pembaca novel itu.

Seriously, saya senang kok. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menandakan novel saya dibaca dengan sungguh-sungguh. Dihayati, diresapi. Kisahnya membuat pembaca terhanyut, seolah-olah ikut berada di dalamnya, menyaksikan langsung perjalanan hidup tokoh-tokohnya.

Balik lagi ke pertanyaan yang sering dilontarkan ke saya di twitter dan e-mail, sepertinya saya harus menyempatkan diri menulis khusus tentang itu, ya. Teman-teman blogger sih sepertinya sudah tahu jawabannya, karena selalu mengikuti Serial Kisah Abe di blog ini. Masalahnya, banyak teman-teman baru yang ketinggalan cerita. Baru mampir ke blog ini, setelah membaca novel Selamanya Cinta.

Baiklah. Jadi gini....

Novel itu ditulis dengan menjahit potongan-potongan kenangan saya dengan sahabat saya bernama Abe, yang sudah saya posting di blog ini. Cek label Kisah Abe.

Ketika berupa postingan-postingan di blog, itu adalah kisah nyata. Namun, ketika saya menjadikannya buku, maka saya harus membuat kerangka cerita. Sejak Prolog sampai Epilog. Sejak awal sampai ending. Karena demikianlah syarat kisah yang utuh dalam sebuah novel. Karena itu, saya membumbuinya dengan fiksi.

Dalam versi blog (kisah nyata), saya sudah lama kehilangan kontak dengan Abe. Maklumlah, itu kan pertemanan masa SMA, yang sudah lama berlalu.
Namun, dalam versi novel, tentu saya harus membumbuinya dengan konflik dan ending yang manis supaya seru.

Banyak yang mengira, tokoh Dita-Reina dalam novel itu adalah saya.
It's wrong, guys. Kedua tokoh itu tidak mewakili diri saya. Saya yang asli adalah si Saya di versi blog. Namun, ketika saya memindahkannya ke novel, saya menciptakan tokoh Dita-Reina yang berbeda. Saya menciptakan karakter fiktif, meskipun harus saya akui, saya memasukkan karakter saya sedikit di sana.

Ada juga yang berkomentar, kalau Abe itu benar-benar ada, pasti bahagia sekali punya sahabat seperti dia.
Of course, I did. Saya bahagia sekali saat masih menjadi sahabatnya. Masa-masa sekolah saya yang menyebalkan (sejak dulu saya suka cerita kan, kalau saya tidak suka sekolah dan berandai-andai di masa itu sudah ada home schooling?), menjadi 'mendingan' dengan adanya dia dan dua teman sebangku kami (yang menjadi tokoh Teddy dan Dinda).

Well, sepertinya itu penjelasan saya. Semoga memuaskan.
Administrasi pabrik menunggu huhuhu...


pict from here

Adios,

Image and video hosting by TinyPic

Monday, April 16, 2012

Guys, Cetak Ulang!

Hai...

Menulis ini di sela-sela membaca novel si Teteh Dee "Partikel", setelah sesorean menonton k-drama. Iya, saya bilang ke Rona kemarin, saya mungkin satu-satunya manusia kutu buku yang nggak seantusias para kutu buku se-Indonesia yang gedebrukan di toko buku, rebutan dan antri beli Supernova episode baru yang ditunggu-tunggu sampai lumutan itu. Iya, saya juga menunggu kok. Tapi nggak merasa perlu saling sikut di antrian kasir toko buku dan rebutan foto sama alien berkepala mirip jambu biji itu. Hehe...

Saya kan orangnya sabar. *pret!*

Rencananya mau beli Partikel nanti kalau saya sowan ke Jakarta saja. Sekalian belanja novel yang lain, dan melihat dengan mata kepala sendiri novel saya "Selamanya Cinta" terpajang manis di display Best Seller. Pikiran saya tentang 'best seller' itu murni cuma angan-angan 'ngarep'. Tapi ternyata... semesta mendukung.

Hah! Mulai ketularan Rona pakai istilah 'semesta mendukung.'

Iya, tapi sungguhan semesta mendukung. Ketika sedang asyik terpesona menonton adegan Goh Ah-jung dan Hyun Ki-joon dalam k-drama Lie to Me, yang sedang beradegan romantis, tiba-tiba ada telepon masuk. Nomor tidak dikenal sih, tapi suaranya cewek yang bicara kok kayak pernah kenal ya?

"Mbak Enno, ini aku!"
"Eh?"
Bumi memanggil Enno! Bumi memanggil Enno! Setengah Otak saya berputar menelisik memori. Mencocokkan dengan suara, sementara setengahnya lagi masih terpesona pada adegan di layar kaca.
"Iwied ya?"
"Iya."
"Hehehe.. aduh, maaf. Lagi nonton k-drama. Terpesona nih sama adegannya. Apaan, Wied?"
Pertanyaan langsung to the point, karena editor saya, Iwied, menelepon di jam kerjanya yang maha sibuk, dan itu berarti urusan bisnis (baca: novel, naskah, kontrak, jadwal promo, dll).
"Selamat ya. Novelnya laris. Ini mau cetak ulang!"
"Apa?" Otak lemot saya masih butuh mencerna. "Cetak ulang? Beneran?"
"Iya, beneran."
Saya langsung terpekik-pekik. Pasti Iwied mikir saya ini ternyata norak juga. Haha biarin!

Jadi, kata Iwied tadi, novel saya "Selamanya Cinta" yang diangkat dari serial Kisah Abe di blog ini akan cetak ulang. Penjualannya sangat bagus. Cetakan pertama sebanyak 5 ribu copy laris. Cetakan kedua, Iwied bilang, rencananya sebanyak 4 ribu copy.

Novel saya dicetak 9 ribu copy hanya dalam kurang dari 2 bulan? Wow! Bagi saya itu memang 'wow' karena saya kan novelis baru. Dan meskipun saya pernah bekerja di media nasional yang dicetak ribuan copy per minggu, di mana di dalamnya ada tulisan-tulisan saya juga, tetap saja novel yang direncanakan akan dicetak ulang dalam jangka waktu sebulanan setelah terbit bagi saya 'wow.'

Terima kasih ya, kalian selalu mendukung saya selama ini. Sudah membeli, membaca, menyemangati, menggubrak-gubrak.

Without you I'm nothing :)

pict from here


love you all so much,

Image and video hosting by TinyPic

Friday, March 9, 2012

Selamanya Cinta: Behind The Pages #3

Abe!” Ia berusaha mengejar sahabatnya. Abe terus saja berlari meninggalkannya. Ia terhuyung dan tersungkur jatuh. Kakinya sakit sekali. Ia menggapai-gapai, berusaha bangkit, tetapi tak bisa. Kakinya pasti terkilir. “Abe, jangan!”


Ia berteriak. Terus berteriak memanggil-manggil Abe yang dalam sekejap menghilang di antara koridor-koridor rumah sakit. Ketakutan memenuhi rongga dadanya. Ia tahu apa yang akan dilakukan Abe. Ia ingin mencegahnya.


- dikutip dari novel Selamanya Cinta -

......................

Setelah pemakaman Mama, bude saya, ada reuni kecil di rumah. Selalu begitu sih, sejak masih ada Ibu. Sepupu-sepupu, para om dan tante, senang tumplek blek di rumah. Kemarin, mereka mulai meledek soal novel saya.

"Itu gimana cara nulisnya sih?" Tanya seorang tante, sambil memperhatikan pdf novel saya di lappy yang saya gelar di meja makan. "Kamu ngelamun duluuuu, terus nulis. Terus ngelamun lagi. Gitu ya?" Katanya sambil mempraktekkan gaya orang melamun bertopang dagu dengan konyol.

Mereka memang mengenal saya sebagai 'Si Tukang Melamun.' Kadang-kadang, kalau dipanggil pun tidak mendengar, karena pikiran saya asyik mengembara kemana-mana. Kenapa ya saya begitu? Nggak tahu deh. Hahaha.

Yang jelas, tanggapan mereka di luar dugaan saya. Karena saya pikir, mereka akan apriori, mengingat semuanya orang awam di dunia tulis menulis, hanya beberapa orang yang senang membaca, dan satu-dua orang tampak meremehkan.

"Ayo sini, Tante promosikan di BBM!" ujar seorang tante yang lain.
"Bagusnya promo di FB nih!" Sepupu saya berkata.

Alhamdulillah. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari apresiasi keluarga, kan? :)

Well, menulis Selamanya Cinta, membuat saya menemukan banyak hal, banyak hikmah, banyak pembelajaran. Proses menulis novel yang kemarin itu menyakitkan, mengharukan sekaligus menyenangkan.

Kok menyakitkan?
Kan saya sedang patah hati, jadi harus 'memaksa' diri saya untuk kerja keras, disiplin dan fokus menulis, meskipun hati sedang tidak karuan. Dan ternyata, hal itu malah menyembuhkan :)

Mengharukan, karena kalau bukan karena dorongan teman-teman, novel itu tidak akan pernah ada. Iwied 'menodong' tulisan saya dan sejak awal percaya saya bisa melakukannya (menulis novel).
Eka, my old buddy sejak zaman kami dia masih lajang. Ia selalu bilang: "Ayo No, mendingan lu bikin novel. Salurkan perasaan lu jadi hal positif. Lu pasti bisa." Ia bilang berulang-ulang dengan sangat bawel.

Rona, yang 'mengasuh' saya saat patah hati. Memaketkan novel-novelnya dari Bekasi sana, supaya saya punya cukup bahan bacaan penghilang bete. Memberi banyak waktu di sela-sela angka-angka di laporan akuntingnya untuk mendengarkan saya curhat, merengek, bahkan marah-marah. Rona juga yang memberi beberapa masukan untuk novel saya, terutama untuk plot 'menyatukan kembali Abe dan Reina.'

Menyenangkannya di bagian mana, hayooo?

Oh, 80 hari menyelesaikan novel ini memberi pengalaman yang bisa jadi pembelajaran untuk menulis novel berikutnya. Pengalaman itu sangat berharga. Iye tak? :)

Novel Selamanya Cinta sudah beredar di toko-toko buku Gramedia, guys. Untuk sementara baru wilayah Jakarta dulu, ya.

Saya tidak menjanjikan novel ini akan menjadi masterpiece. Saya cukup tahu diri dengan kemampuan saya sendiri. Saya juga tidak akan (sok) merendah dengan menyebut novel ini tidak memuaskan dan kurang bagus. Karena itu sama saja meremehkan semua orang yang ikut andil menjadikan novel ini ada. They are the best team.

Sekarang, saya sedang bersiap-siap untuk proyek kedua. Next will be better!


cover novel Selamanya Cinta


regards,

Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, February 29, 2012

Selamanya Cinta: Behind The Pages #2

Day 13. Lancar Jaya


Hari ini berhasil menulis sampai sekitar 5-6 halaman gitu deh. Alhamdulillah yah, sesuatu banget.
Udah benar-benar tau apa yang mau dimasukin, penggalan postingan yang mana dan tambahan ceritanya seperti apa. Kalau besok bisa lima halaman lagi, kali 30 hari aja udah 150 halaman! Hihihi... Itu mungkin udah ending ya...


Ini proyek 30 hari yang gila! Gue nulis novelnya dari nol, meskipun dibantu postingan yang ada, itu cuma selipan.


Ini jadi tantangan buat gue. Bisa nggak ya? Kayaknya sih nggak 30 hari deh. Pasti molor jadi 2 bulan wahahaha...

- a post from Hidden Galaxy, my private blog -

....................

Sesungguhnya saya benar-benar tersandung-sandung waktu menulis novel Selamanya Cinta ini. Terlebih karena saya sedang muak dengan banyak hal, dan galau karena patah hati. Hati saya ketika itu masih berdarah-darah, sampai-sampai blog privat yang harusnya tentang penulisan novel ini pun ternoda oleh beberapa paragraf 'drama' patah hati itu.

Untungnya editor saya, Iwied, sabar dan pengertian. Tidak bawel bertanya-tanya, menggubrak-gubrak supaya cepat selesai, apalagi ketika saya melewati tenggat sebulan yang awalnya saya janjikan.

Sempat lho, dalam perjalanan menulis ini, saya malah terus-terusan mundur ke bab-bab awal untuk memoles ini-itu. Jalan ceritanya malah nggak berkembang, sampai saya bosan sendiri baca adegan yang itu-itu saja. "Habis ini mereka ngapain?" Pertanyaan itu jawabannya blank. Saya cuma bengong sendiri. Hahaha.

Dari outline yang saya kasih ke Iwied, yang juga dibaca editor Gagasmedia, Gita, mereka kasih input supaya chemistry Reina dan Abe lebih greget lagi. Iwied berkomentar, tokoh dalam novel saya banyak sekali. Akhirnya, dalam proses penulisan, saya hilangkan beberapa tokoh yang tidak penting, saya sederhanakan beberapa relationship, dan saya potong beberapa kisah yang tidak terlalu berpengaruh dalam kehidupan tokoh utama.

Jadi agak berbeda dengan outline awal sih. Alhamdulillah, editornya nggak protes :D

Seperti kata Mbak Clara Ng, salah satu penulis kesayangan saya, di sharetwit-nya: alur cerita harus berjodoh dr awal, tengah, dan belakang. Semuanya hrs kait-mengait, bersebab-akibat. Cerita memang diketik dgn proses maju, tapi persiapannya bergerak mundur. Pertanyaan "kenapa, bagaimana bisa begini?" merujuk pd awal.

Saya setuju.

Dan seperti saya tulis dalam posting sebelumnya, bagian yang sulit adalah memilah-milah sekian posting Kisah Abe yang sudah ada itu untuk dimasukkan ke dalam bab demi bab yang berbeda. Saya harus pisah-pisahkan setiap potongan cerita itu ke dalam waktu yang berbeda: saat mereka kelas 10, 11 dan 12. Baru setelah semua posting yang pernah di-publish di blog sudah masuk ke dalam kerangka cerita, saya membuat adegan-adegan baru, juga episode ketika tokoh utama sudah lulus SMU.

Mas M. Faizi, salah satu penyair favorit saya, pernah bilang, saya cocok menulis novel petualangan. Saya belum tanya, kenapa dia berpendapat begitu. Tapi sepertinya ada benarnya juga, tanpa saya sadari, waktu saya menulis novel Selamanya Cinta, di paruh akhir draft tiba-tiba saja saya menambahkan adegan tegang ala novelnya James Paterson (halaaah!), padahal di outline sama sekali nggak ada.

Supaya tidak lupa pada poin-poin penghubung antar adegan, saya menuliskannya di kertas post-it dan menempelkannya di cermin, karena saya memang lebih pe-we menulis di meja rias (sambil ngetik, sambil ngaca--ganjen). Ini bisa jadi tips juga untuk kalian yang sedang mencoba menulis novel atau cerita pendek, guys. Karena sering melintas ide untuk narasi, dialog, penajaman atau tambahan adegan yang sayang kalau tidak segera dicatat. Jadi, siapkan kertas post-it di sebelah laptopmu, oke ;)

Ini contoh catatan di post-it saya:
Notes:
Di Bagian I paragraf awal, deskripsi setting kurang lengkap!
Chemistry Abe dan Reina kurang!
Karmel adalah teman sebangku Reina!
Post-it yang lain:
Penajaman
Karakter Reina lebih di-riangkan
Bahasa jangan terlalu gaul, lebih dewasa, bukan teenlit. 
Membalas kematian Teddy, Abe tawuran. Ditahan polisi, lalu pindah sekolah ke swasta (padahal udah dekat kelulusan). Setelah itu Na dan Dinda tidak lagi mendengar kabarnya sampai mereka kuliah.
Masih banyak post-it yang lain lho. Fyuh! :D

Saya  bilang ke Lita, dalam komen saya di blognya kemarin, bahwa saya punya motivasi menyelesaikan novel ini setelah Iwied 'menodong' saya hari itu. Motivasi itu adalah sembuh dari rasa sakit hati. Menunjukkan kepada orang yang sudah menyakiti saya bahwa saya tetap maju tanpa dia. Saya ingin mengejek dia dengan cara yang elegan.

Menulis novel ini, dalam waktu 80 hari, membuat saya terengah-engah karena mengumpulkan kenangan masa sekolah yang sudah lama berlalu. Meskipun nggak pede dengan hasilnya, saya cukup puas. Menulis di majalah dan punya buku sendiri adalah mimpi saya sejak masih TK, waktu pertama kali bisa membaca. Amazing, saya bahkan masih ingat pernah bilang pada Ibu, "Retno mau bikin buku sendiri, nanti kalau sudah gede ya Bu..."

Menulis di majalah sudah kesampaian, saya pernah menjadi jurnalis dan sampai sekarang masih menulis lepas. Dan sekarang... jeng jeng! Saya akhirnya punya buku sendiri!

So, thanks to Iwied yang menjadikan tulisan saya lebih mengalir, thanks to Gita yang ikut membaca outline, thanks to Bukune, yang memberi saya kesempatan dan kepercayaan menulis novel ini. Thanks to teman-teman blogger yang selalu memberi semangat dan masukan, terutama karena ikut jatuh cinta sama Abe.

Writing Selamanya Cinta... was such a hard journey with the broken heart, tears, sadness, and 'galau', hahaha...

xoxo,

Image and video hosting by TinyPic

Friday, February 24, 2012

Selamanya Cinta: Behind The Pages

Reina adalah seorang gadis dengan penampilan sederhana. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, berpipi chubby dan rambut sebahu yang diikat ekor kuda tinggi di atas kepala. Kulitnya putih, agak pucat. Gayanya agak tomboy dengan sepatu keds dan tas ransel, juga jam tangan plastik besar berwarna hijau metalik. Identik dengan sapu tangan handuk yang terselip di saku rok dan berguna di segala situasi. Cerdas tapi kompleks. Suka berteman tapi juga suka menyendiri. Terkadang naif dan tergila-gila pada prinsip. Membenci pelajaran olahraga dan tidak bisa berenang.

Abe juga berpenampilan sederhana, kecuali sepatunya. Sepatu basket keluaran terbaru yang bahkan belum beredar di Indonesia. Atlet basket sekolah, jangkung dan badung setengah mati. 
Cuek tapi sensitif. Suka merokok di belakang sekolah. Langganan dipanggil guru BP dan kepala sekolah, tetapi sangat cerdas dan sehingga selalu dimaafkan. 

-dirangkum dari outline novel Selamanya Cinta-


.............


Tidak terlalu sulit mereka-reka penampilan dua karakter utama dalam novel saya. Saya punya banyak model untuk Reina, termasuk diri saya sendiri (hehehe), dan khusus untuk tokoh Abe, saya membayangkan Yoo Ah-in, aktor Korea yang selama ini jadi ikon dalam serial Kisah Abe versi blog.

Kesulitan pertama adalah menyusun ulang postingan-postingan Kisah Abe yang sudah dipublish di blog ke dalam kerangka cerita novel. Seperti main puzzle, tapi ini bukan potongan gambar, melainkan potongan cerita. Tidak sekedar menempatkan potongan-potongan kisah itu di tempat yang benar, karena harus pakai logika sambil membangun alur cerita.

Kesulitan selanjutnya, dan ternyata yang terbesar adalah di awal melangkah, ketika harus menulis paragraf pertama. Seminggu pertama saya lebih sering bengong menatap monitor lappy, dan akhirnya malah memilih main game online. Padahal saya sudah kadung janji pada editor, novel ini akan selesai dalam waktu sebulan. Tetapi begitu menginjak bagian kedua, perjalanan saya menulis tidak lagi tersendat-sendat seperti sebelumnya.

Membangun mood juga sulit sekali. Apalagi waktu mulai menulis novel ini saya baru saja patah hati. Hehehe.

Akhirnya, novel ini memang baru selesai setelah lebih dari sebulan. Dalam jurnal privat itu tercatat 80 hari. Hampir tiga bulan! Tapi memang sebatas itulah kemampuan saya.


-bersambung-


Image and video hosting by TinyPic

Sunday, February 19, 2012

Coming Soon My Novel!

Saudara-saudara setanah air,

Akhirnya tibalah saatnya bagi saya untuk memberitahukan bahwa novel kisah Abe sedang dicetak oleh Penerbit Bukune. Judulnya bukan lagi Kisah Abe seperti versi blognya. Berdasarkan pertimbangan, akhirnya berjudul "Selamanya Cinta."

Kalau dalam versi blog, apa yang saya tulis hanya berupa penggalan-penggalan kenangan, potongan-potongan adegan. Maka, dalam versi novel saya menjahitnya menjadi sebuah cerita utuh yang memiliki prolog dan ending. Tentu saja saya merangkainya dengan imajinasi demi kenikmatan membaca dan kesyahduan suasana. *mulai nggak jelas*

Hehehe....

Ini tentang dua sahabat, Reina dan Abe. Yang satu jatuh cinta diam-diam, satu lagi malah sibuk naksir cowok-cowok lain. Yang satu menodai masa abegenya dengan kegalauan cinta, yang satu lagi sibuk menyangkal perasaannya sendiri. Sebuah peristiwa tragis yang berujung maut semakin menjauhkan keduanya. Bertahun-tahun setelah itu, ketika yang satu mulai pasrah, yang satu lagi mencoba menyiasati takdir supaya mereka bisa bersatu.

Berhasil nggak? Baca aja ya novelnya. Endingnya kemungkinan menimbulkan gumaman 'eh?'
Hehe...

Yang jelas, berhubung banyak yang bertanya ke saya, terutama teman-teman yang lebih muda, soal apakah saya pernah jatuh cinta sama sahabat sendiri (bahkan sampai konsultasi segala hihi), novel ini bisa jadi jawaban buat yang bertanya: "terus harus gimana yaaa?"

Ehm... trus buat yang belum pernah ketemu saya secara langsung alias kopdar, atau belum sempat 'ngefren' di FB personal saya yang lama (yang sudah deactivated), maka di novel ini akhirnya kalian akan melihat muka culun saya. Horeee!

Saya tidak lagi memamerkan foto-foto kaki saya yang seksi. Muka culun saya akan terpajang dengan kepercayaan diri yang prima. Jadi, buat yang terlanjur mencap saya cantik, jelita, ayu, beautiful maupun kece, barangkali harus menurunkan pujiannya.... sedikit aja, menjadi manis, keren, imyut, unyu, atau berkharisma, bolehlah! *pret*

Kalau mau pre-order biar sekalian saya kasih cap jempol (kaki), boleh...
Pesan di kotak komentar posting ini, silakan. Tapi lebih afdol japri di ...
E-mail: bidadari_jatuh@yahoo.com
Twitter: @kireinaenno
Fan page blog ini: di sini

By the way, saya belum bisa kasih tahu harganya. Kemarin lupa nanya ih sama editor saya. Maklum, sama-sama orang sibyuk geto. Dia sibuk dikejar-kejar deadline, saya sibuk ngurusin pabrik. Nanti saya update harganya ya. Hayo, dibujet dulu aja dari sekarang hihihi...

Oke, ini dia penampilan covernya. Jeng jeng!



Begitu dikirim editor saya via e-mail, saya langsung suka dengan ilustrasi dan warnanya. Saya suka ilustrasi yang berkaitan dengan rumah. Entah pintu, jendela atau perabotan. Kesannya hommy. Nyaman. Pulang.
Lalu warnanya coklat pula, tambah terasa hangat kan? Yang mendesain sampul, namanya Gita Mariana. Thanks ya Mbak Gita *sok akrab* wkwkwk

The last but not least, guys, pokoknya kalian harus beli yaaaa... 

*wink*

Image and video hosting by TinyPic

Tuesday, January 3, 2012

[Kisah Abe] Akhirnya Selesai

Dear Abraham,

Kukira kisah tentangmu akan berakhir dalam beberapa episode. Ternyata kisahmu tak pernah menyusut, tersimpan dengan aman dalam benakku. Seperti fosil beku di ceruk gunung bersalju, aku harus menggali dan mencairkannya dalam kehangatan kenangan.

Pernah tidak kau memikirkan aku setelah kita sedewasa ini? Pernah tidak tiba-tiba kau ingin bertemu aku dan mencariku hingga ke ujung dunia? Karena itulah yang kuinginkan sekarang. Mencarimu, menemukanmu dan bertemu denganmu. Meski sudah tak mungkin lagi membiarkanmu merengkuh bahuku seperti dulu, tapi aku ingin mendengar lagi kamu berkata: kan masih ada aku.

Setiap saat merasa tak aman, merasa tak ada seorangpun yang sudi mendengarkan, aku selalu ingin kembali ke masa itu. Saat dua anak remaja pulang dari sekolah sambil tertawa-tawa. Tak ada beban, tak ada kesedihan. Kalaupun ada kau menanggungnya untukku.

Sampai sekarang, teman-teman kita dari masa itu masih suka bertanya. "Lu sama Abe dulu jadian ya?" Dan aku cuma bisa nyengir. Cengiran lebar yang lalu diiringi ledakan tawa, persis seperti caramu tertawa. Nyengir dulu lalu terbahak-bahak.

Tapi kita memang tidak pernah punya kisah romantis. Meskipun sikapmu padaku sangat baik, sangat romantis malah. Tapi kita berdua hanya dua orang anak sekolah yang terikat pada rasa nyaman yang sama. Karena aku membutuhkan perlindunganmu, dan kau membutuhkan penyeimbang seperti aku, yang tidak memuja-mujamu seperti cewek-cewek yang lain itu. Aku menendangmu kalau kesal, mengejar-ngejarmu, menimpuk dengan tas, mengomeli bahkan meninju bahumu.

"Mau jadi apa sih lu?" Katamu sambil meringis sehabis kutendang. "Jadi cewek kok nggak ada lembut-lembutnya." Tapi lalu kamu protes ketika melihatku sedang mendengarkan curhat Tino yang sedang patah hati. "Kok sama Tino lu bisa lemah lembut gitu? Pake sok menghibur lagi. Sama gue aja galak. Gue juga mau ditepuk-tepuk bahu kayak lu nepuk-nepuk si Tino."
"Oh mau? Sini gue tepuk-tepuk!" Aku meraih penghapus papan tulis, mengacungkannya dan kamu langsung lari menjauh.

Abe,
Masih ingat hari itu, saat kita kelas tiga dan kamu datang ke kelasku? Waktu kamu bilang aku tambah manis. kemudian aku kembali ke kebiasaan lama hendak melakukan 'kekerasan' padamu?
Seorang teman yang melihat adegan itu berkata padaku bahwa sejak dulu ia iri pada kita berdua.

"Siapa yang nggak iri. Lu akrab banget sama salah satu cowok paling keren di sekolah, sementara cewek-cewek lain cuma bisa berdoa dilirik sama si Abe meskipun sekilas."

Aku tertawa. "Masalahnya kalian terlalu muja-muja dia sih. Si Abe itu nggak kayak cowok yang lain, yang gampang kege-eran. Dia paling nggak suka diperhatiin berlebihan."
Betul kan?

Hari ini, saat menulis ini dan mengenang tahun-tahun panjang yang sangat lama kita tinggalkan, membuat kesedihanku mengental. Tak ada seorangpun yang seperti kamu. Yang begitu tulus, memahami aku. Semua lelaki itu hanya memandangku dari sudut yang mereka ingin lihat, Be. Mereka tidak pernah benar-benar menerimaku apa adanya.

Bersama tulisan ini kuberitahu kamu tentang kenangan yang kubekukan dalam sebuah buku.
Aku telah MENYELESAIKANNYA, meski tak tahu akankah seindah yang tergambar dalam ingatanku, atau hanya kalimat-kalimat kaku yang terseok-seok dalam kenangan berlapis debu.

Itu untukmu, Abraham. Untukku. Untuk kita dan semua orang yang pernah menjadi bagian dari cerita.


“A friend is one that knows you as you are, understands where you have been, accepts what you have become, and still, gently allows you to grow.”
― William Shakespeare


Yoo Ah-in pastinyaaa! ^^

Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, October 12, 2011

[Kisah Abe] Melacak Nova

Abe selalu bilang, teman kami yang bernama Nova itu pembual. Pembohong besar. Aneh dan agak sinting. Tapi saya, yang tidak tega menuduh teman sendiri sinting, selalu menimpuk bahunya dengan tas saya kalau ia berkata begitu.

"Nggak sinting ah!"
"Sinting!" Abe masih ngotot. "Coba aja, mana pernah dia bisa ngebuktiin semua omongannya yang tinggi itu!"

Nova memang fenomenal. Setidaknya bagi lingkaran pertemanan kami. Anaknya pendek gemuk, berkulit hitam dan berambut keriting. Lingkaran pertemanan kami adalah sekumpulan anak-anak dari beberapa kelas yang sering pulang sekolah bareng naik angkot dengan rute yang sama.

Di dalam angkot, setiap hari, ia bercerita tentang rumahnya yang besar dengan kolam renang di halaman belakang. Tentang ayahnya yang tentara berpangkat brigjen. Tentang empat buah mobil mewahnya.

Ia juga bilang cerpen-cerpennya sering dimuat di majalah.

"Wah hebat ya," celetuk saya iseng. "Boleh liat dong majalahnya. Besok lu bawa ya!"
"Iya bawa ya, Nov! Bawa ya!" Teman-teman yang lain menimpali.
"Iya deh, besok gue bawa," janjinya.
Lalu besoknya, ketika kami pulang dalam satu angkot lagi, ia mengeluarkan sebuah majalah dan menunjukkan halaman dimana cerpen itu berada. Kami heboh berebutan ingin melihat. Ketika majalah itu akhirnya sampai di tangan saya, terlihatlah nama seorang cerpenis... dan itu adalah cerpenis favorit saya, yang pernah saya dengar wawancaranya di sebuah radio. Jelas bukan Nova.
"Ini nama pena lu, Nov?"
"Iya dong. Baca deh cerpennya. Kata orang-orang bagus lho." Senyumnya lebar, penuh kebanggaan.
Saya menahan tawa yang nyaris meledak.

Kali berikutnya ia heboh bercerita tentang kursus bahasa Inggrisnya. Lalu suatu hari ia mulai menyebut-nyebut dua nama cowok yang katanya rebutan naksir dia.
"Eh, siapa namanya Nov?"
"Ardy sama Bayu."
"Oh. Emang rumahnya dimana mereka?"
"Katanya sih deket pertigaan itu lho."
Ring ring! Alarm di otak saya berdering. "Ardy sama Bayu orangnya kayak gimana?"
"Ganteng-ganteng dong. Yang satu tinggi, yang satu kayak Arab."
"Oh!" Saya manggut-manggut. Akhirnya saya paham.

Sampai di rumah, saya melempar tas dan lari lagi keluar, ke rumah sebelah. Langsung masuk lewat pintu belakang karena memang begitulah kebiasaan kami sesama anak tetangga.
"Bayu!" Saya nyelonong ke kamarnya yang pintunya terbuka. Ia, baru pulang sekolah juga-masih berseragam, sedang membaca sesuatu sambil duduk di lantai.
"Apaan?" Matanya tak teralihkan dari bukunya.
Saya duduk di atas tempat tidurnya yang berantakan. "Lu kenal Nova di tempat kursus bahasa Inggris lu nggak?"
"Nova?" Ia mengingat-ingat sebentar. "Oh, iya. Gendut-item-ganjen kan?"
"Yup."
"Dia anak sekolahan lu kan? Sekelas?"
"Nggak sekelas sih. Tapi sering pulang seangkot. Tebak, dia ngomong apa hari ini!" Saya nyengir lebar.
"Mana gue tau."
Saya melemparnya dengan bantal. "Katanya lu sama Ardy naksir dia! Wahahahaha selamat ya guys!" Saya ngakak guling-guling, tak bisa bertahan lagi. "Ternyata selera kalian.... hahahahaha..."
"Apaaaa?" Bayu langsung bangkit. "Gue? Gue naksir dia? Idih!"
"Oh, Ardy kalau gitu ya?"
Kali ini Bayu ikut ngakak. "Eh yuk kita ke rumah si Ardy! Asik juga kayaknya ngeledekin dia."
Kami beranjak ke rumah Ardy masih sambil cekakak cekikik.

Yang tidak pernah diketahui Nova sampai sekarang adalah Ardy dan Bayu itu tetangga saya. Kami satu kompleks, teman main sejak kecil, dan dua-duanya naksir saya, bukan dia.

.........................................

Di sekolah kami mulai penasaran pada Nova. Anak siapa sih sebenarnya dia ini? Banyak sekali kebohongannya yang terbongkar, tapi ia terus saja mengarang kebohongan-kebohongan baru tanpa merasa malu. Tetapi kami juga tidak ingin menuduh tergesa-gesa, karena setiap pulang bareng, angkot yang kami tumpangi selalu menurunkannya di depan sebuah rumah besar.

"Itu kan rumahnya," kata Amel, salah satu teman seangkot kami. "Bukan anak tajir gimana? Rumahnya bagus gitu." Tapi kebanyakan dari kami ragu-ragu.

Lalu Abe mengajak saya menyelidiki Nova.
"Nyelidikin gimana? Kayak detektif gitu? Ih kurang kerjaan banget lu. Ntar kalo ketauan gimana?"
"Ya jangan sampe ketauan dong. Tenang aja. Gue bawa motor bokap deh. Kita ngebuntutin dia naik motor. Dia nggak bakal ngenalin kita deh, kan gue nggak pernah bawa motor ke sekolah."
Mungkin karena saya sama isengnya dengan Abe, dan penasaran juga, akhirnya saya setuju.

Jadi hari itu Abe membawa motor papanya ke sekolah. Ia sudah menunggu saya di parkiran saat jam pulang sekolah, menyodorkan sebuah helm dan menyuruh saya segera naik. Kami membuntuti angkot yang biasa saya tumpangi dengan Nova dan teman-teman yang lain dalam jarak aman. Angkot itu berhenti di depan rumah besar yang sama dan Nova turun.

Abe menghentikan motornya tak jauh dari sana. Di tepi jalan, agak terlindung oleh tiang listrik, kami mengawasi.

Nova bersandar di pagar, melambai-lambaikan tangan pada anak-anak lain di dalam angkot. Ketika angkot sudah menjauh dan tidak kelihatan lagi, tiba-tiba ia berbalik dan berjalan menuju sebuah gang di dekat situ dan menghilang tak kelihatan lagi. Saya melongo, Abe terkekeh.

"Gue bilang juga apa."
"Jadi itu bukan rumahnya?"
"Kalo rumahnya, ngapain dia masuk gang?"
"Lu mau ngikutin dia ke gang itu, Be?"
"Nggak usah. Ntar malah ketauan. Kita tunggu aja dulu. Kalo nggak balik lagi berarti rumahnya emang bukan yang ini."

Kami masih menunggu sepuluh menit kemudian. Tapi Nova tak pernah muncul lagi. Abe tertawa, menyuruh saya naik ke boncengannya lagi dan mengantar saya pulang ke rumah.

Ya sih, memang kami kurang kerjaan banget menyelidiki Nova seperti itu. Tapi kami tidak pernah menyebarkan cerita itu pada siapa-siapa, kecuali pada Dinda dan Teddy, sahabat-sahabat kami yang lain. Biarlah Nova dengan hobi membualnya. Selama itu membuatnya bahagia dan tidak merugikan orang lain, begitu kata Abe.

........................

Abe memarkir motornya persis di depan rumah.
"Mampir dulu nggak?" Ajak saya.
Di balik helmnya matanya menyipit tanda tersenyum. "Lain kali ya. Motornya mau dipake Alex nih. Udah lu masuk aja sana."
"Lu aja duluan yang pulang. Ntar gue baru masuk."

Ia membalikkan arah motornya. Memutar kunci kontak dan mesin motornya menyala dengan derum pelan.

"Eh!" Tiba-tiba dia menoleh. "Kayaknya gue harus lebih sering bawa motor ke sekolah deh."
"Emang kenapa?"
"Biar bisa boncengin lu."
"Apa anehnya boncengin gue?" Saya masih belum paham.
"Lu nggak nendang gue, nggak nimpuk gue, nggak ngejitak gue... Lu malah meluk pinggang gue. Jadi cewek beneran. Dan itu amazing."

Mata itu menyipit lagi, kini menjadi tinggal segaris. Tanda ia nyengir lebar. Lalu motornya dengan cepat meninggalkan halaman rumah saya. Meninggalkan diri saya yang tertegun dengan pipi yang perlahan-lahan menghangat :)

____________

Dear Abe's fans and all readers, ini untuk kalian. Cerita terakhir saya untuk kalian. Nggak tahu kapan saya bisa muncul di sini lagi.

That's all. Just take care ya!







Image and video hosting by TinyPic

Sunday, July 17, 2011

[Kisah Abe] Menguntit Reza

Milikku sedikit dan pengetahuanku sedikit
Tapi apa yang ada pada diriku
Apa kesanggupan dan milikku,
Kuberikan pada kau
Banyak memang tidak
Ya, sungguhpun begitu
Aku jiwa yang hidup, hati dan kemauan
Apa ada yang dapat kau pakai

(Love Letters, Multatuli, 1861)



Setelah Kak Alex lulus, saya tak punya lagi idola. Kalau boleh jujur, mungkin perasaan saya pada kak Alex hanya sekedar kekaguman belaka. Saya tidak jatuh cinta sampai tidak bisa tidur, bahkan enggan menulis surat cinta seperti yang dilakukan pengagum-pengagum Kak Alex lainnya. Saya juga tidak merasa kehilangan dan menangis sesenggukan di acara perpisahan sekolah karena harus berpisah dengannya.

Tetapi suatu hari saya melihat cowok itu, namanya Reza. Ia kelas tiga, dan saya kelas dua. Pertemuan yang tidak disengaja, ketika saya tak sengaja menyenggolnya di perpustakaan, lalu melirik name tag-nya sehingga tahu namanya. Ia tipe yang bertolak belakang dengan Alex yang suka olahraga. Reza pendiam dan sering ‘bertapa’ di perpustakaan. Saya baru menyadari keberadaannya setelah tak ada lagi kak Alex.

Saya suka Reza. Bukan kagum seperti pada Kak Alex. Saya jatuh cinta. Menjadi lebih sering nongkrong di perpustakaan dan pulang lebih dulu dari teman-teman yang biasanya pulang bareng saya, termasuk Abe. Karena saya ingin pulang bareng Reza. Bukan bareng dalam arti sebenarnya. Tapi berjalan di belakangnya sambil memperhatikan ia mengobrol dengan teman-temannya. Itu sudah membuat saya puas dan senang.

Saya jadi punya kehidupan rahasia, dan teman-teman dekat saya mulai curiga. Terutama Abe. Ia sering muncul mendadak di depan saya, di ruang baca perpustakaan. Mencabut sebuah buku dari rak dengan seenaknya, lalu duduk di depan saya pura-pura membaca. Kadang-kadang kakinya menginjak kaki saya di kolong meja. Sengaja ingin membuat saya jengkel.
“Caper banget sih!” Gerutu saya. “Diem dong, gue lagi baca!”
“Ke kantin yuk?”
“Ogah, gue lagi males.”

Jadi Abe akan bertahan di depan saya sambil jam istirahat berakhir dan bel pelajaran berikutnya berbunyi. Ia akan mengikuti saya sampai ke kelas saya, baru pergi ke kelasnya setelah menjahili saya dulu tentu saja. Tengil betul.

Adegan saya berlari-lari sepanjang koridor mengejar Abe menjadi langka. Saya menyadarinya, Abe juga. Usahanya menjadi lebih keras untuk membuat saya jengkel. Tapi saya lebih suka ngeloyor ke perpustakaan dan mengintip Reza yang sedang membaca dari celah-celah buku di rak-rak yang tinggi itu.

"Lu jadi nggak seru," keluh Abe suatu hari. Di suatu momen yang juga langka, yaitu makan bakso bersama di kantin.
"Gue biasa aja deh," sahut saya sambil mendesis kepedasan. "Eh, bakso gue kok jadi pedes gini? Elu ya yang iseng nambahin sambelnya?"
Abe nyengir.
"Elu ya!" Saya menggebuk bahunya. "Kalo gue jadi sakit perut, gue hajar lu!"
"Mendingan lu hajar deh daripada lu cuekin." Ada nada sebal dalam suaranya. "Kenapa sih suka pulang sendiri? Pake banyak alasan lagi! Anak-anak pada nanyain tuh. Lu jadi nggak pernah ikutan seru-seruan pas pulang sekolah. Kemarin kita cabut ke gramed nyari buku dan foto-foto di Blok M, tau!"
"Gue ada perlu."
"Ada perlu tiap hari? Blah!" Abe manyun. Mimiknya lucu. Kalau diingat-ingat lagi, saat merajuk seperti itu dia kelihatan manis.

Saya merasa berhasil menjalani kehidupan rahasia itu. Ah berapa lama ya? Sebulan? Dua bulan? Sampai akhirnya suatu hari saya melihat Reza mulai sering pulang sekolah dengan seorang cewek kelas tiga bertubuh tinggi berambut panjang.

Mereka pulang bareng lagi? Saya mengomel dalam hati, menatap mereka dari jarak sepuluh langkah di belakang. Mereka tampak asyik mengobrol dan tertawa-tawa sementara saya cuma memperhatikan dengan merana.

Oh no, mereka ketawa-ketawa! Sebel! Harusnya gue tuh yang ngobrol sama Reza, omel saya. Siapa sih cewek itu? Kayaknya pernah lihat di kelas tiga. Huh, sok cakep!

Saya mencari tahu dan akhirnya tahu cewek itu teman sekelasnya. Di kantin saya pura-pura menyenggolnya demi bisa melihat name tag-nya. Namanya Christine. Saya jadi mulai sering memperhatikannya juga. Benar-benar berubah menjadi stalker.

Dan Abe masih setia menjadi stalker saya. Juga mulai bawel bertanya kenapa saya jadi sering lalu lalang di wilayah kelas tiga.

"Ke kantinnya lewat sana aja!" Ia menarik tangan saya ke jalan potong yang biasa, di samping kantor kepala sekolah.
"Lewat sini aja!" Saya menolak.
"Kenapa sih jadi suka lewat sini? Lu lagi naksir anak kelas tiga ya?"
Pura-pura tidak mendengar adalah trik terbaik. Karena Abe sangat mengenal saya. Kalau saya membantah justru akan membuat ia tahu yang sebenarnya.

Lalu suatu hari, terjadilah peristiwa itu. Ketika suatu hari, pulang sekolah, di siang bolong yang panasnya membuat perih kulit, hati saya juga perih. Reza menggandeng cewek itu di depan saya. Sepuluh langkah di belakangnya, saya ingin sekali lari kesana dan merenggut lepas tautan tangan mereka. Hahaha. Weird, eh?

Mendadak kesadaran itu menghantam saya telak. Mereka sudah jadian! Oh noooo!!!! Saya kecewa, sedih, kepingin menangis. Lebih baik saya pulang lewat jalan tembus dekat danau itu daripada harus melihat mereka sepanjang jalan menuju jalan raya, lalu melihat mereka saling melambaikan tangan dengan mesra ketika berpisah angkot. Tidak, tidak, tidak. I'm out of here!

Secepat kilat saya memutar badan untuk kembali ke arah sekolah dan mengambil jalan tembus. Brukkk!!! Wajah saya menghantam sesuatu dengan keras. Tubuh saya terdorong ke belakang, nyaris jatuh kalau saja sebuah lengan tidak segera terulur mencengkeram lengan saya.

"Hati-hati makanya!"

Saya mendongak dan melihat wajah yang saya kenal itu dengan perasaan campur aduk. Abe! Pahlawan saya. Saya menabrak dia yang sepertinya sejak tadi membuntuti saya. Tuhan selalu mengirim dia pada saya di saat saya sedang 'menderita.'

Saya mulai terisak-isak, di tepi jalan itu, dengan tangan masih dalam cengkeramannya. Ia menunduk menatap saya. Dan tahulah saya bahwa ia sudah tahu.

Cengkeramannya melonggar, berubah menjadi genggaman yang lembut. Tangan saya diremasnya pelan. "Udah dong, jangan nangis. Ntar orang nyangkain gue yang jahatin elu. Atau lebih gawat lagi kalo kita dikira lagi latihan sinetron." Ia mencoba melucu.

It doesn't work. Saya tetap saja terisak-isak.

"Si Reza ya?" Itu jelas-jelas pertanyaan retoris. "Kenapa nggak cerita sama gue. Kalau gue tau kan pasti gue bantuin biar lu kenal sama dia."

Saya menggeleng. Saya tidak sanggup bilang bahwa saya lebih yakin ia akan meledek saya habis-habisan daripada membantu. Tapi itu memang pikiran buruk. Mungkin saja benar Abe akan menolong saya.

"Udah, udah." Ia menepuk-nepuk pelan bahu saya. Mengulurkan tangannya ke saku rok saya, dan menarik saputangan yang selalu terselip di sana. "Nih, hapus muka lu. Malu. Jadi jelek."

Saya mengambil saputangan itu, mengeringkan muka. Membuang ingus keras-keras.

"Jorok!" Abe tertawa.

Ia, yang badannya semakin tinggi menjulang seperti tiang listrik setahun belakangan itu, melingkarkan lengannya di bahu kurus saya. Merangkul saya, mengajak saya berjalan lagi menuju jalan tembus kami di samping danau.

"Be?"
"Yup?"
"Lu ngikutin gue udah berapa hari?"
"Dari sebulan yang lalu."
"Hah?"
"Sebenernya udah lama gue mau ngaku."
"Rese lu!"
"Elu yang rese kali. Jadi stalker nggak ngajak-ngajak. Kan asik tuh, kayak di film-film. Nah, tuh! Kenapa jadi manyun lagi sih. Udahlaaah... lupain aja si Reza itu. Lagian ya dia nggak cocok sama elu. Elu kebagusan buat dia. Lu tau nggak, si Reza itu keliatannya aja alim. Gue pernah liat dia ngerokok di danau sama temen-temennya. Sok kutu buku lagi! Jangan-jangan stensilan porno dia juga doyan. Trus ya, kata anak-anak, si Reza itu...." Bla, bla, bla.

Siang memang panas. Menyengat kulit. Menyilaukan mata. Tapi hati saya tenang dan hangat oleh keberadaan sahabat yang berjalan merangkul saya sambil mengoceh itu.

Hey, Abraham. If you read this, I wanna say thank you. Again :)



Saya dan Abe? Bukaaaan....! Pict from here


Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, May 18, 2011

[Kisah Abe] Tentang Cinta

Ia menatap lelaki di depannya yang berdiri mematung dengan wajah kaku.

“Jadi itu betul? Kalian taruhan?”
Lelaki itu menghela napas. Sekilas melirik kami yang berdiri tak jauh dari mereka, memperhatikan dengan wajah tegang. Lalu ia mengangguk.
“Siapa aja yang taruhan?”
“Nggak penting. Mereka nggak salah. Aku yang salah. Aku yang ngajak duluan.”
“Apa hadiahnya buat yang menang?”
“Apapun yang dia minta.”
“Dan kamu minta apa, Lang?”
“Pake mobilnya Bobby sebulan, koleksi album U2-nya Abe...”

Perempuan berwajah sedih itu kini menatap kami. “Jadi kalian juga udah tau, tapi sengaja ikut permainan ini? Ngebiarin gue jadi bahan taruhan nggak mutu seolah-olah gue ini cuma barang? Dan elu, Be, gue pikir lu cowok yang baik. Ternyata…”

“Gue emang ikut bersalah.” Abe menyahut, lalu tiba-tiba lengannya merangkul bahu saya dengan sikap melindungi. “Tapi dia ini nggak tau apa-apa. Dia baru tau sekarang.”

Saya menepis lengan Abe. “Kalo gue tau, gue nggak akan diem aja, Mel. Gue juga nggak suka sama apa yang dilakukan cowok-cowok bego ini.”

Saya melihat air mata mulai membasahi wajahnya. Tiba-tiba ia berbalik dan lari meninggalkan kami. Ingin sekali saya mengejarnya dan menghiburnya, tapi pertama-tama saya harus memarahi cowok-cowok ini.

“Bagus,” kata saya sambil menatap mereka berdua. “Bagus banget. Bikin taruhan untuk bisa pacaran sama Karmel. Kalian pikir cewek itu apa? Barang? Memangnya siapa yang melahirkan kalian hah? Batu? Brengsek lu berdua!”

Abe mencoba meraih tangan saya, tapi saya menepisnya dengan kasar dan bergegas mencari Karmel di belakang sekolah.

………………

Dua bulan sudah berlalu, tapi wajah Karmel masih saja sendu. Saya tidak sekelas dengannya. Kelasnya berada jauh di ujung koridor. Setiap jam istirahat saya berusaha mencarinya dan mengajaknya mengobrol, tapi sepertinya ia masih patah hati dan lebih suka menyendiri. Anak-anak cowok yang bertaruh itu sudah menemuinya satu persatu untuk meminta maaf setelah saya mengancam Abe dan Galang bahwa saya akan melaporkan mereka pada guru BP.

Saya memusuhi Abe tiga hari karena ulahnya ikut-ikutan taruhan. Kalau saja dalam Islam mendiamkan orang lebih dari tiga hari itu tidak berdosa, pasti saya akan memusuhinya lebih lama karena masih jengkel.

“Karmel masih sedih ya?” Tanya Abe suatu hari.
“Iya. Gara-gara siapa tuh?”
“Iyaaa… kan udah minta maaf. Lu masih marah aja.”
“Masihlah. Coba pikir kalo gue yang jadi bahan taruhannya. Lu rela?”
“Wah, klo ganggu temen gue sih nggak bakal gue diemin. Gue hajar.”
“Karmel juga temen lu!”
“Iya, iyaaa... Masih dendam aja, kan udah minta maaf.” Wajah Abe memelas penuh rasa bersalah.
“Kayaknya Karmel masih suka sama Galang deh.”
“Eh? Masa sih? Udah tau dijahatin masa masih suka?”
“Ya bisa aja. Buktinya masih sedih gitu. Kayaknya beneran patah hati deh.”
“Hmmm…” Abe memulai kebiasaannya mengetuk-ngetuk hidungnya kalau sedang berpikir. “Si Galang juga aneh. Dia nggak pernah ngumpul lagi sama anak-anak.”
“Si Galang patah hati juga kali. Siapa tau dia suka beneran sama Karmel. Bisa aja kan dari taruhan jadi beneran?”
“Lu kebanyakan baca novel cinta-cintaan tuh!” Abe tergelak. “Daya khayal ketinggian!” Ia menepuk dahi saya, yang langsung saya balas dengan tendangan di kaki.

…………………..

Mereka berdua berdiri saling berhadapan lagi, seperti dua bulan yang lalu. Di bawah pohon flamboyan di samping sekolah. Dan kami berdiri memperhatikan dari jauh, sambil berjaga-jaga jika ada anak lain datang merusak suasana.

Karmel menunjukkan selembar kertas surat pada Galang. “Aku nggak ngerti maksud surat ini. Kamu minta maaf berulang-ulang, dan udah kubilang aku maafkan. Aku udah lupain soal taruhan itu. Tapi aku nggak ngerti pertanyaan kamu dalam surat ini. Apa pentingnya tau perasaanku ke kamu sekarang?”

“Buatku penting, Mel.”

Karmel menoleh pada kami. “Mereka yang nyuruh kamu kayak gini?”

“Enggak. Ini aku yang mau. Aku cuma minta tolong mereka jadi saksi. Karena mereka teman baik aku.” Galang menatap Karmel. “Kalo kamu nggak mau jawab juga nggak apa-apa.”

“Sebenarnya aku juga mau jawab. Aku sayang sama kamu.” Karmel menunduk. “Meskipun aku sekarang tau kamu cuma pura-pura sayang sama aku kemarin-kemarin, tapi aku masih sayang sama kamu. Bodoh banget kan?”

“Enggak, itu nggak bodoh.”

“Iya kok. Itu bodoh,” tukas Karmel. “Kadang-kadang aku berharap waktu itu kamu juga sayang beneran sama aku meskipun cuma sebentar.”

Galang tampak salah tingkah. Ia berusaha untuk mengatakan sesuatu. “Ya,” katanya akhirnya. Hanya itu yang keluar dari bibirnya dengan wajah memerah.

Karmel memandanginya lekat-lekat. Di wajahnya ada harapan yang membuat saya iba. “Kamu sayang beneran sama aku?”

“Ya,” sahut Galang lagi. “Sekarang juga masih.”

“Kamu nggak bohong kan?”

“Enggak.” Galang menggeleng. “Aku sayang sama kamu. Aku nggak akan bohong di depan saksi-saksi yang berdiri disana itu.”

Senyum Karmel merekah, menghapus mendung yang selama ini menggelapi wajahnya.

………………..

Di tempat kami berdiri, saya melihat Abe juga tersenyum. Sepertinya apa yang telah kami lakukan untuk mereka berdua menjadi penebus rasa bersalahnya terhadap Karmel. Tiba-tiba ia menarik lengan saya, menyeret saya pergi dari tempat itu.

“Kita kasih kesempatan buat mereka, dong. Siapa tau mereka mau pelukan,” katanya.
“Iya. Cukup mereka aja yang pelukan. Kenapa lu juga meluk gue?” Saya menepis lengannya yang tiba-tiba erat merangkul bahu saya.

Seperti biasa ia tergelak dan lari menghindari gebukan saya.


Yoo Ah-in lagi! ^^



Image and video hosting by TinyPic

Sunday, April 24, 2011

[Kisah Abe] Roti Untuk Kamu

Baiklah. Inilah pengakuan itu. Meski terlambat, aku tahu. Sejak aku menuliskan kisah ini, mereka bertanya padaku apakah pernah sedikit saja terpikir olehku tentang perasaanmu ketika itu.

Aku harus menjawab apa? Barangkali pernah terbetik sedikit saja tentang itu. 'Mungkinkah kau naksir aku?' Lalu akal sehatku membantahnya habis-habisan. Tidak mungkin, pikirku. Tidak mungkin kau naksir aku. Kau punya sederet pengagum cantik di luar sana. Kau punya pacar yang lebih segalanya daripada si tomboi yang selalu merepotkanmu. Tidak mungkin kau menyukaiku lebih dari teman.

Yang kutahu hanyalah perasaanku. Ya, Abe. Aku pernah menyukaimu. Sesaat saja, dalam satu episode ketika itu. Aku pernah mengira telah sayang padamu lebih dari yang kumau. Ketika kau memberikan roti itu padaku.

Kau ingat kisah itu? Tentang sepotong roti yang kau berikan setiap Jumat siang sehabis pelajaran renang. Roti yang kau bawa dari rumah, dari meja makan ibumu. Yang kau siapkan sendiri sebelum pergi. Kadang-kadang dengan selai nanas, kadang-kadang dengan keju. Dan aku terperangah karena kau tahu kesukaanku.

"Gue benci pelajaran renang!" Gerutuku setelah pengumuman Pak Dahlan, guru olahraga kita, bahwa semester itu kurikulum olahraga kita adalah pelajaran renang.
"Karena lu nggak bisa berenang?" Sahutmu sambil tertawa.
"Gue takut air sekolam gede."
"Nggak bakal tenggelam kalo ada gue. Ntar gue ajarin deh..."
"Ogah! paling juga lu mau ngejailin gue!"
"Kata siapa? Suer deh, gue bakal ngajarin lu."
"Janji?"
"Janjiiii..."

Kau memang mengajariku. Aku selalu tersenyum jika ingat semua itu. Seorang anak lelaki yang menirukan gaya Pak Dahlan di tepi kolam. Menyuruhku pemanasan dulu, sementara kau sendiri sibuk menghibur teman-teman dengan bergaya bak peragawati memakai bikini. Membuat mereka terbahak-bahak dan Pak Dahlan geleng-geleng kepala.

Aku memang hanya bisa meluncur dan masih takut menggerakkan kaki dan tangan di dalam air. Tapi bagiku itu sudah lebih dari cukup. Aku meluncur, lalu menyembul ke permukaan sambil megap-megap dan menemukanmu sedang tersenyum di depanku. Hey, apakah sudah pernah kuucapkan terima kasih padamu?

"Lu nggak pulang dulu ke rumah?"
"Nggak. Gue langsung ke sekolah aja. Bawa seragam kok."
"Anak-anak pada pulang dulu. Jam masuk kan masih dua jam lagi. Nggak makan siang dulu?"
"Nggak apa-apa lagi, Be. Gue nunggu di perpus aja. Lagian kalo pulang dulu gue harus keluar ongkos lagi. Uang saku gue kan ngepas."
"Ya udah. Gue pulang dulu bentar ya."
"Gih sana."

Sejam kemudian kau datang lagi ke sekolah, menemukan aku di antara rak-rak buku perpustakaan. Kau menyodorkan wadah plastik hijau itu.
"Nih!"
"Apaan ni?"
"Roti buat lu. Biar nggak laper."
Lalu seperti malu karena tak biasa berbuat sebaik itu, kau berlalu meninggalkan aku. Kau tak sempat melihat mataku yang terpana dan berkaca-kaca.

Abe, pada akhirnya itu menjadi kebiasaanmu. Membawakan aku roti di wadah hijau tupperware milik ibumu. Dan rasa sayangku tumbuh melihat kebaikanmu.

"Abe, kok lu baik banget gini sih?"
"Daripada lu sakit gara-gara nggak makan siang. Ntar lu izin nggak masuk, gue jadi kehilangan orang buat dijailin. Lu nggak nyadar ya kalo lu itu temen gue yang paling asik buat dikerjain?"
"Ah!"
Mungkin memang begitu. Pada akhirnya kita akan selalu menjadi sahabat. Tak akan lebih dari itu.

"Dek, ini dari Abe."
Aku menoleh dan menemukan wajah kakakmu diantara dua rak buku tempatku bersandar sambil membaca.
Tupperware hijau itu disodorkan padaku.
"Lho? Abenya mana, Kak Alex?"
"Abe nggak enak badan pulang berenang tadi, jadi izin nggak masuk. Kakak mau rapat OSIS, jadi dia nitipin ini buat kamu."

Jadi inilah pengakuan itu. Bahwa aku pernah menyukaimu sesaat dalam satu episode persahabatan kita. Ketika sepotong roti menjadi jembatan penghubung diantara engkau dan aku.
I miss you, Abraham...

Your hands easy
weight, teasing the bees
hived in my hair, your smile at the
slope of my cheek. On the
occasion, you press
above me, glowing, spouting
readiness, mystery rapes
my reason
When you have withdrawn
your self and the magic, when
only the smell of your
love lingers between
my breasts, then, only
then, can I greedily consume
your presence.

-Maya Angelou, Remembrance-

foto Yoo Ah-in dari sini






Image and video hosting by TinyPic

Saturday, April 16, 2011

[Kisah Abe] Masih Ada Aku

Saya sebal mendengar ocehannya setiap hari di sekolah. Kak Alex begini, Kak Alex begitu. Matanya yang berbinar-binar setiap Alex tampak di depan kami, tangannya yang menunjuk-nunjuk norak, senyumnya yang centil tak tahu malu, pekikannya yang dibuat-buat. Saya tak perlu menebak-nebak bahwa Alex juga tahu soal ini. Si ganjen Evi ngefans berat padanya.

Well, saya juga sih. Tapi saya kan tidak senorak dia.

Sialnya lagi kami sekelas, dan mejanya tepat di depan meja saya. Setiap kali Alex bermain basket sepulang sekolah, ia akan mengintip dari jendela kelas kami yang menghadap ke lapangan dan mulai berkicau. "Itu! Itu Kak Alex! Oh my God! Keren banget! Main basket dulu, nggak langsung pulang!"

Kata-katanya itu ditujukan kepada saya, tapi saya membuang muka dan pura-pura sibuk memeriksa PR. Jelas-jelas dia tahu saya juga naksir Alex. Saya menganggapnya jahat karena sengaja memanas-manasi. Bersikap seolah-olah cuma dia yang punya hak naksir kakaknya Abe. Huh!

Dinda, Abe dan Tedy sering menertawakan saya. Abe menjuluki saya dan Evi 'dayang-dayang Alex.' Julukan yang membuat saya akan menendang kakinya sampai dia mengaduh dan meringis.

Anak perempuan 'saingan' saya itu namanya Evita alias Evi. Ya betul, Evi yang itu. Adiknya Hedy, si panitia galak. Takdir yang aneh mempersatukan saya sekelas dengan adik si penjahat dan adik si pahlawan saat OSPEK dulu.

Yang lebih menyebalkan, karena Evi adik Hedy dan Hedy adalah teman Alex, ia jadi punya kesempatan 'jual tampang.' Beratus kali saya mendengar ocehannya tentang kunjungan-kunjungan Alex ke rumah mereka. Tapi Abe selalu punya cara sendiri untuk menghibur saya.

"Bilang aja sama dia, lu sering main ke rumah Alex," katanya sambil mengunyah pisang goreng di kantin sekolah.
"Gue kan mainnya sama elu, bukan sama Kak Alex."
"Tapi kan sama aja. Rumah gue itu rumah Alex juga. Udah, ntar kapan-kapan ngomong gitu di depan dia."
"Tapi kan gue nggak sesering itu main ke rumah elu," saya masih membantah.
"Yaelah. Itu sih gampang. Mulai besok, lu nyegat angkot dari depan rumah gue!"
"Hah?"
"Iya, serius. Kita motong jalan dari sekolah ke rumah gue. Yang belokan deket danau itu, tau kan? Jalan jauhan dikit nggak apa-apa deh. Banyak anak-anak yang suka motong jalan lewat situ kok."
"Niat banget..."
"Mau nggak? Kalau nggak mau ya udah."
Tapi saya memang ingin membungkam keganjenan si Evi sekali-kali. Apa salahnya menuruti saran Abe. "Iya, iya. Mau." Sahut saya akhirnya.
Abe nyengir. "Nah gitu dong. Mau makan bakso? Gue traktir deh, soalnya lu jadi kurus kering gitu gara-gara cemburu."
Saya meninju lengannya.

Saya memang berhasil membuat Evi kelabakan beberapa hari, ketika angkot yang ditumpanginya melewati rumah Abe dan Alex, dimana ia selalu melihat saya berdiri di depan pagar rumah mereka bersama Abe. Berseru-seru pada teman-teman yang lewat di dalam angkot, melambai-lambaikan tangan sambil minum teh botol dingin yang diambilkan Abe dari dalam.

Abe selalu menghibur saya. "Tenang aja. Cewek kayak si Evi bukan tipenya Alex," katanya. "Paling juga si Alex lupa kalo Hedy punya adik cewek bernama Evi."
"Ya sama aja. Paling juga Kak Alex lupa kalo dia pernah nolong gue waktu OSPEK."
"Eh, siapa bilang!" Bantah Abe. "Dia inget kok. Dia pernah nanyain elu sama gue."
Perasaan saya langsung melambung. "Bener? Serius lu? Apa katanya? Apa katanya?" Saya melonjak-lonjak.
"Dia nanya cewek yang dulu pengen nonjok Hedy gimana kabarnya. Dia bilang supaya gue hati-hati nggak bikin lu marah biar nggak lu tonjok."
"Sialan! Emang gue preman!"
Abe terbahak-bahak.

Meski sering disindir anak-anak lain, Evi cuek bebek. Ia bahkan berusaha akrab dengan Abe. Mengajaknya ke kantin, mengobrol atau pulang bareng. Tapi Abe yang setia kawan pada saya selalu menghindar. Ia akan mencari banyak alasan, kadang dengan jawaban halus, kadang jahil. Yang selalu saya sukai dari Abe adalah ia bukan anak lelaki yang kasar pada perempuan. Meskipun badung dan sering dipanggil kepala sekolah karena berbagai ulah, ia selalu bersikap baik pada teman perempuan.

Tapi Evi tidak bisa dibungkam. Sepanjang kelas satu, saya harus menahankan semua celoteh centil dan narsisnya tentang Alex. Semakin lama semakin heboh setelah suatu hari ia berhasil membujuk Hedy untuk meminta Alex mengantarnya ke suatu tempat.

Ia sedang sibuk menceritakan kisahnya saat diantar pergi Alex pada teman-teman di kelas, entah untuk keberapa ratus kalinya, membuat saya muak dan berjalan ke luar kelas.

Di koridor depan kelas, tiba-tiba seseorang melingkarkan lengan ke bahu saya. "Hey, tenang aja lagi. Kan masih ada gue." 

Saya menoleh dan melihat wajah yang mirip Alex tersenyum. Ia, Abe, membelokkan langkah saya menuju kantin.


Yoo Ah-in. Senyum yang sama dengan Abe ^^


Image and video hosting by TinyPic

Sunday, April 10, 2011

[Kisah Abe] Semut-Semut di Kepala

Menjelang jam ujian kedua, saya menghampiri Abe di ruang ujiannya yang terpisah jauh dari ruang ujian saya. Wajah saya pucat, mata saya basah, kepala saya gatal dan pusing. Tiga hari sebelumnya saya tidak masuk sekolah karena demam tinggi. Hari pertama masuk langsung ujian tengah semester.

Sebelum saya ngomong, Abe sudah lari duluan menghampiri. Meninggalkan teman-temannya yang mengajaknya membahas soal ujian pertama. Saya sempat mendengar Abe memaki-maki dirinya sendiri. Pasti semalam ia tidak belajar.

"Kenapa?" Ia berhenti di depan saya yang jalan terhuyung-huyung. "Masih sakit? Nggak enak badan? Kenapa masuk sih? Kan bisa minta ujian susulan."
Saya memegang kepala saya. "Rambut gue... rambut gue gatel, Be."
"Eh?" Ia menatap saya bingung. "Maksud lu apa? Sini, sebelah mana. Mau gue garukin?"
"Bukaaan...." Air mata saya mulai berlinang. "Rambut gue banyak semutnya..."
"Hah? Kok bisa?"
"Kan gue belum boleh mandi sama keramas sejak sakit, soalnya badan gue masih anget. Tapi jadinya rambut gue disemutin... hiks..." Saya terisak-isak.
Abe menarik lengan saya ke toilet sekolah. "Yaelah... Kok bisa sih?" Di wajahnya ada mimik geli sekaligus khawatir. "Iseng amat tu semut-semut piknik di rambut lu. Mana? Ayo sini, gue bersihin."

Di wastafel, saya menunduk sementara ia memutar keran hingga airnya mengalir deras. Tangan kirinya menopang dahi saya, tangan kanannya mengusap-usap rambut saya dengan air. Untungnya rambut saya pendek, jadi tidak terlalu susah untuk dibasahi. Dan semutnya juga semut yang kecil-kecil, jadi mudah hanyut oleh air.

Air mengalir membasahi kerah seragam. Napasnya yang hangat menggelitik tengkuk saya. Ia tak sedikitpun bicara, sementara saya masih terisak pelan.

"Gue malu, Be ..." gumam saya.
"Sama gue? Ngapain malu sama gue. Gue juga diem aja dari tadi, nggak ngeledekin elu," sahutnya. "Udah, sabar. Bentar lagi bersih. Semutnya udah kebawa air."
"Bukan malu sama elu... Tadi pas ujian gue sebangku sama Dodi. Trus semut-semutnya pada jatuh dari rambut gue dan ngerayap ke arah dia. Dia pasti tau rambut gue ada semutnya. Pasti ngatain gue jorok...."
"Jangan-jangan lu suka sama Dodi ya, sampe segitu jaimnya?"
Saya mengangguk. Percuma tidak mengaku pada Abe. Ia bisa mencari tahu dengan caranya sendiri.
"Trus apa kabarnya dong kakak gue?"
"Kak Alex kan udah lulus. Susah ngecenginnya."
Abe tertawa.

"Udah kayaknya. Semutnya udah ilang." Ia menepuk-nepuk kepala saya dengan lembut. "Mana saputangan lu? Buat ngeringin rambut."
Ia tahu saya suka bawa saputangan handuk kemana-mana. Saya mengeluarkannya dari saku rok dan membungkuskannya ke kepala. Waktu saya mendongak, di cermin saya melihat dia tersenyum di belakang saya.
"Gue nggak pernah nemu cewek konyol kayak elu. Udah selera cowok lu aneh, udah rambutnya disemutin, udah gitu begonya dipiara aja sampe kelas dua..."
Anehnya saya tidak membalas ledekannya seperti biasa. Melihat senyumnya, saya menyadari sesuatu. Abe selalu menjadi tempat saya bergantung, dan ia tidak pernah sekalipun mengecewakan saya.

Abe tidak pernah memperlihatkan perasaannya, apapun itu, meski ia tahu saya sedang naksir seseorang. Ia hanya akan tertawa dan meledek saya. Menertawakan selera saya yang katanya aneh.

Bagaimana saya tahu ia menyukai saya selama tiga tahun kalau sikapnya begitu cair, begitu penuh persaudaraan? Kalau saja dulu ia menjadi anggota teater di sekolah kami, aktingnya pasti paling hebat. Mungkin perasaannya yang tuluslah yang membuatnya seperti itu. Apapun yang membuat saya bahagia, maka ia pun akan bahagia.

Peristiwa semut di kepala itu menjadi bahan ledekannya yang terbaru setelah ujian berakhir. Seperti biasa ia akan memancing saya mengejar-ngejarnya sepanjang koridor sekolah. Berlari, tertawa-tawa sambil menengok ke belakang, pada saya yang mengejarnya sambil cemberut.

Tangannya yang menahan dahi saya, sementara tangan yang lain mengusap-usap rambut saya di bawah aliran air. Hangat napasnya di tengkuk saya dan senyumnya yang terlihat di cermin. Hari itu, ia membuktikan bahwa untuk saya dirinya selalu ada.


The Awesome Yoo Ah-in




Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, April 6, 2011

[Kisah Abe] Rahasia

Kalau kalian mengira saya dan Fara akan selamanya menjadi dua orang dalam kutub berlawanan, itu anggapan yang salah. Kami, setelah menjadi dua orang dewasa, berteman cukup baik. Tidak akrab, tapi setidaknya kami saling bertegur sapa di dunia nyata dan dunia maya.

Sayangnya, Fara juga tidak tahu jejak Abe. Setidaknya itulah kesan yang saya dapatkan setiap kami bertukar kabar. Saya tidak pernah bertanya tentang Abe, dia juga. Meski pernah setahun lalu, ketika kami tidak sengaja bertemu di sebuah mall, kami membicarakan Abe.

Hari itu, beberapa hari setelah acara reuni yang digagas Fara dan tidak saya hadiri, kami duduk di McDonald, makan burger dan es krim. Fara bertanya kenapa saya tidak datang ke reuni, dan saya mengulangi alasan saya: dikejar deadline. Saya tidak bisa mengatakan alasan sebenarnya, bahwa saya masih merasa malas bertemu dengan geng mereka. Bukan karena dendam atau apa. Tapi dengan mereka saya tidak punya nostalgia apa-apa. Saya tidak mungkin mempermalukan mereka dengan mengumbar kisah betapa dulu mereka sangat mengganggu saya dan membuat saya sebal, kan?

Tapi ternyata Fara yang menggulirkan topik masa lalu itu duluan.
"Masih ingat Nina, kan?" Tanyanya. "Nina Adriana, yang mantannya Abe di kelas dua?"
"Oh, iya. Nina yang itu." Saya mengangguk.
"Sekarang dia kerja di bank, di Manado."
"Oh ya?"
"Dulu dia cemburu banget sama elu."
"He?" Saya hampir tersedak burger yang saya kunyah. Dulu Nina selalu bersikap seolah-olah saya tidak ada, meskipun saat itu saya sedang ada di dekatnya. Ehm, di dekat Abe sih sebenarnya :)
"Abe suka ngomongin elu, katanya. Ngelarang Nina nggak main sama gue. Nyuruh dia supaya kayak elu."
"He?" Saya buru-buru minum, takut tersedak lagi. "Supaya kayak gue gimana?"
Saya membayangkan Nina yang manis, bersepatu dan tas bagus, selalu memakai bando-bando lucu. Tak bisa dibandingkan dengan saya yang tomboi, memakai sepatu dan tas lama yang baru akan diganti nanti kalau sudah sobek.
"Elu itu dulu apa ya namanya?" Fara berpikir sejenak. "Kalo menurut gue sih, lu keliatan bebas dan cuek gitu. Nggak pernah gabung sama kumpulan yang sama. Selalu pindah dari kelompok satu ke kelompok lain. Nggak terikat, tapi anehnya anak-anak semuanya akrab sama elu."

Saya menatap Fara. Tidak mengira dia dulu memperhatikan saya. Dan apa yang dia katakan benar. Dari dulu sampai sekarang saya tidak suka bikin kelompok atau menjadi bagian dari kelompok tertentu. Saya selalu soliter. Tapi bukan berarti saya mengasingkan diri dari teman-teman. Saya mengobrol dengan mereka, tapi tidak selalu dengan orang-orang yang sama. Kalau beberapa orang sudah mulai mengitari saya setiap waktu, setiap hari dan terkesan mulai membentuk grup, saya akan segera menjauh, menjaga jarak. Entahlah, saya tidak suka bikin geng, grup, kelompok, atau apapun namanya. Itu membuat saya terikat dan sesak napas. Dan muak, ketika mereka lalu mulai melakukan sesuatu yang eksklusif seperti mengganggu atau menggosipkan seseorang.

Saya mungkin hanya punya satu teman akrab dalam setiap periode. Biasanya teman sebangku.

"Gue mau nanya boleh?"
"Please," sahut saya.
"Lu dulu suka sama Abe nggak sih?"
"Enggak. Kok lu nanya kayak gitu, Far?"
"Masa sih? Soalnya dulu lu sering keliatan bareng-bareng dia. Itu sebabnya Nina cemburu. Kayaknya dulu ada beberapa temen cewek yang juga nyangkain elu sama Abe jadian. Termasuk gue..." Fara nyengir. "Gue juga sempet naksir Abe tau..."
Kali ini saya benar-benar tersedak dengan sukses.
"Habis pas kelas dua dia keliatan lebih keren gitu, dan basketnya jago banget." Fara tertawa.

...............

Abe dulu pernah bilang Fara bersikap tidak ramah pada saya karena ia iri. "Iri tanda tak mampu," katanya dengan nada sok tahu. Saat itu jam istirahat, kami ada di pinggir lapangan basket.
"Kok bisa dia iri sama gue? Yang cakep kan dia. Yang kaya juga dia. Yang ngetop dikejar-kejar cowok-cowok juga dia. Kalo dibilang pinter, dia juga pinter kok."
"Karena dia cuma bisa ngandelin orangtuanya. Sedangkan elu ngandelin diri lu sendiri."
"Gue nggak ngerti."
"Ya. Elu kan emang bodoh." Abe menyundul kepala saya. "Maksud gue.... lu inget nggak kejadian waktu lu ngelawan Hedy pas Ospek? Fara nggak akan berani kayak gitu. Lu juga sering ngalahin nilai-nilai dia di kelas satu. Fara ngerasa otak lu lebih jago. Dan ada satu lagi yang bikin dia masih terus iri sama elu..."
"Apaan?"
"Ntar aja gue ceritain. Gue main dulu!" Ia berlari ke lapangan, meninggalkan saya bengong.
"Abeee, apaan?"
"Ntaaar, gue main dulu!" Ia nyengir dari tengah lapangan.

Abe tidak pernah mengatakannya, bahkan ketika kami bertemu lagi di periode kuliah. Karena saya menganggapnya percakapan tidak penting dan melupakannya. Saya baru mengingat percakapan itu setelah bertemu Fara, dan mulai merangkai fakta.

Fara naksir Abe. Fara tidak pernah menyukai saya, bahkan sampai kami kelas tiga. Abe menyukai saya sampai kelas tiga.

"Far, lu suka sama Abe sampe kapan?"
Fara tertawa. "Sampe kelas tiga. Bego banget ya gue. Pungguk merindukan bulan. Si Abenya malah cuek banget."
Sebetulnya saya ingin bertanya apakah itu yang menyebabkan dia terus tidak menyukai saya sampai kelas tiga? Karena selain dia tidak suka nilainya disaingi, juga karena dia tahu Abe menyukai saya sampai kelas tiga? Tapi dia tahu darimana?

Di luar semua itu, apapun yang terjadi diantara kami dulu kini sudah mencair. Saya segan mengungkit kisah lama yang bikin kami tidak nyaman nantinya. Jadi saya memutuskan tidak bertanya.

.............

Sebuah ingatan melintas. Suatu hari sebelum Abe bilang bahwa Fara iri.

"Lu tau nggak, Andi nembak Fara malem minggu kemaren."
"Tau. Dia ditolak kan?"
"Lho? Tau dari mana lu?"
"Dari Fara."
"Fara cerita sama elu?" Saya melotot tak percaya. Abe yang tidak suka pada Fara demi membela saya kok jadi mengobrol dengan Fara? "Lu ngobrol sama dia kapan, Be? Kok bisa? Dia cerita apa?"
Abe tersenyum. "Ya cerita gitu doang." Ia seperti biasa berlari ke tengah lapangan basket dan merebut bola yang sedang didribble temannya.

Sepertinya Fara tahu perasaan Abe pada saya dari Abe sendiri, ya kan? Ketika mereka bicara diam-diam setelah Fara ditembak Andi. Mungkin Fara menyatakan perasaannya pada Abe, dan mungkin Abe bilang ia menyukai saya. Yang terjadi kemudian dua orang itu merahasiakannya dari saya, sampai Abe mengatakannya pada saya ketika kami sudah dewasa.

"Gue mau ngaku," katanya hari itu. "Tiga tahun gue suka sama elu. Tapi elunya nggak ngerti-ngerti."
Satu hal yang tidak akan pernah saya lakukan pada Abe adalah melukai perasaannya. Hari itu, dengan tangan saya dalam genggamannya, kalau boleh jujur saya merasa bersalah telah mengabaikannya begitu parah.



Yoo Ah-in seperti biasa ;)



Image and video hosting by TinyPic

Saturday, April 2, 2011

[Kisah Abe] Prelude

Saya tidak pernah suka OSPEK atau apapun namanya acara konyol perkenalan sekolah untuk murid-murid baru ini. Sejak saya tahu bahwa acara ini melelahkan dan mengerikan, karena kakak-kakak kelas sok galak dan sok kuasa itu bagaikan memperbudak kami.

Kami harus memakai aksesoris yang aneh-aneh, punya nama julukan yang aneh-aneh, membawa bekal makan siang yang aneh-aneh, melakukan hal yang aneh-aneh dan memalukan. Bahkan lagu-lagu yang mereka ajarkan juga liriknya aneh.

Cuma satu yang membuat saya bertahan sejak hari pertama acara gila ini: cowok tinggi bermata sipit yang pendiam di sana itu. Yang duduk saja mengawasi kami dikerjai para kakak kelas yang gila hormat.

Cowok itu keren sekali dalam diamnya. Berkarisma. Suatu kali saya melihatnya sedang bergurau dengan teman-temannya. Ia tertawa dengan suara yang lepas dan renyah.
"Namanya siapa sih kakak yang itu?" Tanya saya pada Rini, sesama murid baru yang sejak hari pertama akrab dengan saya.
"Itu? Yang tinggi itu? Namanya Kak Alex."

Saya tak mengira hari itu akan datang. Hari di mana saya akan menatap langsung mata kakak yang keren itu. Satu-satunya panitia OSPEK yang tidak sok kuasa dan mengerjai anak-anak baru. Sayangnya, peristiwa yang mengawalinya sungguh menyebalkan.

Hari itu, hari terakhir OSPEK, topi saya hilang. Saya sibuk mencari-carinya sejak istirahat makan siang sampai bel berbunyi lagi, tanda kami harus berkumpul di lapangan. Topi itu tak kunjung ketemu. Saya mulai panik, sementara anak-anak lain sudah mulai berbaris di lapangan. Saya masih saja menunduk-nunduk mencari topi.

Tiba-tiba ada suara menggelegar di depan saya.
"Kamu nyari ini ya?"
Saya mendongak dan melihat Kak Hedy, panitia paling galak sedang menatap saya sambil mengacungkan sebuah topi di tangannya. Saya menatap ngeri. Itu topi saya! Kenapa bisa dia yang menemukannya! Saya pasti disiksa!

Benar saja. Ia berseru pada teman-temannya sesama panitia yang semula sudah berada di lapangan. "Hey panitia! Kesini! Ada anak ceroboh disini!"
Sebagian panitia berdatangan menghampiri kami.
"Ada apa Hed?" Tanya salah seorang dari mereka.
"Liat nih, anak ini nggak bisa ngejagain barang miliknya sendiri. Nggak bertanggung jawab. Gimana bisa jadi murid sini kalo ceroboh." Topi saya diputar-putarnya di tangannya. Hedy juga tinggi seperti Alex. Badannya begitu menjulang di depan saya.
Saya gemetar. Jangan salah sangka. Saya bukan gemetar takut, melainkan marah. Sejak kecil berteman dengan cowok tidak akan membuat saya gentar untuk menonjok orang yang menyebalkan seperti dia, seberapa besar pun badannya. Tapi sayangnya ini bukan di rumah. Ini di sekolah. Dan saya hanya murid baru.

"Kamu mau topi kamu dikembaliin kan?" Tanya Hedy sambil menyeringai sinis. "Mau nggak?" Bentaknya.
"Mau, Kak."
"Jawab yang keras! Lembek banget sih kamu! Udah makan belum sih?"
"Mau, Kak."
"Bego! Pertanyaan saya tadi udah ganti. Saya tadi tanya udah makan belum!" Ia membentak lagi. "Coba liat nih," katanya sambil memandang para panitia yang lain. "Anak bego kayak gini mau jadi murid sini! Kenapa topi ini bisa hilang?" Hedy mengacungkan topi saya di depan hidung saya. "Jawab yang keras!"
"Saya nggak tahu," jawab saya.
"Heh! Kok nggak tahu? Jawab yang betul! Kenapa bisa hilang!"
"Jatuh kali," jawab saya.
"Eh, jawab yang sopan ya! Anak baru aja udah belagu. Mau nantang?"
"Kan udah saya bilang nggak tahu. Mana mungkin saya tau topi itu bakal hilang. Saya bukan peramal."
Si Hedy tambah melotot. "Heh! Beneran ni anak nantangin gue!"

Saya angkat bahu. Sengaja menantang memang. Melawan. Dia pikir siapa dia membentak-bentak dan mengerjai saya. Memangnya saya tidak tahu hakekat OSPEK ini untuk apa? Bukan untuk gagah-gagahan panitia kan? Memangnya saya bakal takut? Saya ini besar di kompleks tentara, sudah terbiasa mendengar tembakan meriam dan senjata api, pernah ikut naik tank dan helikopter Puma. Ngapain takut sama bentakan dia. Toh kami sama-sama murid. Saya cemberut.

"Sekarang juga kamu push-up! Push-up!" Bentaknya sambil mendorong saya. "Push-up 50 kali, skotjam 50 kali!"
Saya menepis tangannya yang mendorong-dorong saya. Mata saya mulai panas dan berair. Ya, saya ingin menangis karena terlalu marah. Marah karena dipermalukan di depan banyak orang dan frustasi karena kalau saya memutuskan menonjok orang ini, saya pasti akan dipanggil kepala sekolah, dianggap berkelahi di sekolah dan itu akan sangat memalukan.

Saya mulai terisak-isak.
"Udah deh Hed, kayaknya lu udah keterlaluan deh." Beberapa panitia cewek mulai berkomentar.
"Dia yang ngelawan duluan. Udah gitu malah nangis. Udah bego, cengeng lagi!" Ejek si Hedy.
"Udah, kasihin topinya, Hed," kata Kak Indah. Saya ingat namanya, karena ia termasuk panitia yang baik pada murid baru. "Anak orang lu bikin nangis. Kasian tau. Cuma topi jatuh aja elu besar-besarin."
"Nggak segampang itu dong, tetep aja harus dihukum." Si Hedy ini sepertinya memang maniak. Sungguh menyebalkan mengingat tampangnya dulu itu, bahkan ketika saya mengingatnya selagi menulis ini.
"Iya Hed, lu udah keterlaluan bikin anak ini nangis." Akhirnya beberapa panitia mulai berkomentar.

Tiba-tiba, seseorang menyeruak dari kerumunan panitia. Menyambar topi itu dari tangan si panitia sinting dan memasangnya di kepala saya dengan lembut.
Saya tengadah dan melihat wajahnya yang serius. Alex. Kak Alex!

"Lex, lu apa-apaan sih!" Si sinting protes.
"Udah. Cukup. Anak-anak lain udah nunggu lama di lapangan. Mau sampe jam berapa ngurusin yang beginian doang?"
"Ini urusan gue, Lex! Lu kan kebagian ngurusin lapangan!"
"Hed, adek lu juga anak baru kan? Si Evi, yang rambutnya dikepang itu? Lu rela nggak kalo adek lu juga kita kerjain?"
"Heh! Kenapa adek gue dikerjain! Awas lu!"
"Kalo lu nggak suka adek lu dikerjain, lu juga jangan suka ngerjain orang. Kalo anak ini punya kakak, pasti kakaknya juga nggak rela adiknya dikerjain."
"Iya bener. Lu suka keterlaluan kalo ngerjain anak baru, Hed. Mau adek lu dikerjain juga?" Ujar Kak Indah.
Saya tak mengira akhirnya saya dibela. Si Hedy sinting itu terdiam, mungkin karena takut adiknya dikerjai juga.
Lalu Alex menoleh pada saya dan tersenyum. "Ke lapangan yuk! Airmatanya dihapus dulu, nanti malu."
Kak Indah menggandeng saya ke lapangan, bergabung dengan anak-anak kelas satu lainnya. Mereka semua memandangi saya heran, karena di belakang saya panitia-panitia lain mulai beranjak ke lapangan juga.
"Di sana ada apa sih tadi?" Bisik Rini. "Lu diapain sama mereka?"
"Ntar aja gue critain."

Sejak itu saya mengagumi Kak Alex dan kegirangan waktu tahu kami memakai kelas yang sama dan meja yang sama. Saya selalu mengintip dia di balik jendela, kalau kelasnya belum bubar dan saya datang terlalu cepat. Hmm... atau saya sengaja datang terlalu cepat ya supaya bisa mengintip dia duduk di bangku kami? Hihihi

Kemudian saya tahu bahwa ada adik Kak Alex di kelas saya. Anak lelaki bertampang tengil yang super bandel dan suka menjahili saya.

Suatu hari di kelas, ia menarik-narik rambut saya dari belakang.
"Lu naksir kakak gue, ya?"

Dan kisah pun berawal.

............


"Alex pulang dan cerita ke gue, katanya ada anak baru, cewek, yang gokil banget berani ngelawan Hedy. Dia cerita gimana cewek itu melototin Hedy, nepis tangannya Hedy, terus nangis karena kayaknya pengen nonjok Hedy tapi nggak bisa."
"Maksud lu gue?"
"Iya. Elu. Dan ternyata gue sekelas sama elu. Kalo lu tanya sejak kapan gue suka sama elu, itu adalah sejak gue denger cerita itu dari Alex."

Saya dan Abe. 20 tahun.

_____________________________

Memori ini buat teman-teman yang mendesak saya via e-mail dan SMS supaya terus bercerita tentang Abe, yang membuat saya akhirnya membongkar lagi semua tumpukan diary lama itu. Hadoooh! Hahaha....

Masih tetap Yoo Ah-in, ikon untuk Abe ^^



Image and video hosting by TinyPic

Friday, April 1, 2011

[Kisah Abe] Kisah Terakhir

Minggu ini saja sudah tiga kali mereka bertengkar di depan saya. Sungguh menyebalkan terjebak dalam situasi ala sinetron yang tidak ada romantis-romantisnya. Mereka saling berteriak, lebih gaduh dari perkelahian anjing dan kucing.

"Coba ya punya malu sedikit," gerutu saya. Rasanya ingin sekali meninggalkan mereka di jalan sempit yang memotong rute sekolah ke jalan raya itu. Tapi mereka menghalangi jalan. Dan saya tidak bisa meninggalkan salah satu diantara mereka. Karena dia teman saya.

Kenapa sih saya harus latihan paskibra hari ini? Kenapa tidak pulang sendiri saja lewat jalan yang biasa? Kenapa harus menuruti ajakan dia? Saya melotot jengkel pada cowok tinggi berambut gondrong yang sebentar lagi pasti kena razia rambut guru BP itu. Sebal!

"Pokoknya kalo kamu masih ngelarang-larang aku main sama Fara, kita putus!" Teriak si cewek. Saya mencibir. Belakangan ini dia sedang dekat dengan gengnya Fara. Apa bagusnya anak-anak sok kaya itu? Bangga amat sih berteman sama anak-anak nggak mutu!
"Fara itu cewek nggak bener. Genit. Ganjen. Sok kaya. Sombong. Nggak ada bagus-bagusnya buat jadi temen!" Teriak si cowok.
"Dia baik kok! Kamu aja yang sirik!"
"Siapa yang sirik? Aku kan sedang berusaha melindungi kamu dari pergaulan nggak bener!"
"Kayak kamu bener aja! Kamu juga suka dipanggil guru BP, suka berantem, suka bolos!"

Saya melotot. Mengomel dalam hati. Hey, Enak aja! Cowok elu itu temen gue. Dan gue tau temen gue dengan sangat baik. Dia emang bandel, tapi baik dan nggak sombong kayak geng elu!

"Pokoknya gue mau kita putus! Nih, gue juga nggak butuh ini!" Ia melepaskan cincin di jarinya dan melemparnya. Cincin itu melenting di jalan beraspal, nyaris menggelinding masuk got.
"Ambil lagi nggak!" Seru si cowok marah.
"Nggak!"
"Ambil!"
"Nggak mau!"
Mereka masih saling teriak ketika saya membungkuk mengambil cincin itu.
"Hey, orang-orang kaya belagu!" Panggil saya. Mereka menoleh. Saya mengacungkan cincin itu. "Mentang-mentang punya duit banyak, barang begini dibuang-buang. Jadi nggak ada yang mau nih? Ya udah, buat gue aja!" Saya melangkah menerobos mereka. "Minggir, gue jalan duluan."
"Eh! Eh! Itu cincin gue!" Si cewek teriak, berusaha mengejar. "Kok elu ambil! Balikin!"
"Biarin!" Si cowok menarik tangannya. "Biarin aja. Salah sendiri kamu buang!"

Ternyata bukan cuma saya yang muak dengan pertengkaran mereka yang tak kenal waktu dan tempat. Kepala sekolah memanggil mereka ke kantornya. Menutup pintu rapat-rapat untuk menyidang mereka berdua.
"Memangnya kalian pikir ini sekolah apa? Ini tempat menuntut ilmu, untuk masa depan kalian. Di luar sana, dunia itu kejam, kalian harus menghadapi banyak masalah yang lebih besar. Tapi yang kalian lakukan disini bukan belajar malah pacaran, dan mengganggu kenyamanan siswa yang lain. Kalian ini mau jadi apa, hah?"

Suara Kepala Sekolah menggelegar murka. Saya dan Dinda menguping dari jendela belakang kantornya.
"Bikin masalah melulu sih," gerutu Dinda. "Udah kelas dua malah tambah bandel."

............

Saya menemuinya di tempat kami biasa ngobrol berempat waktu kelas satu dulu. Tak ada Dinda dan Tedy, hanya kami berdua. Kami semua tidak lagi sekelas. Berpencar-pencar, dan mulai mencari teman baru. Kami berdua masih lumayan sering bertemu karena ekskul saya paskibra dan ekskul dia basket berlatih di hari yang sama.

"Nih, cincin lu."
"Lu simpen aja."
"Kasihin lagi aja sama Nina."
"Gue udah putus sama dia."
"He? Putus beneran? Gara-gara dipanggil Kepsek ya?"
"Nggak. Emang pengen aja. Capek gue pacaran sama dia. Cewek payah, nggak bisa disayang. Nggak bisa dibilangin."
"Dia lagi akrab sama geng Fara kan. Ya biarin aja. Elu juga sih pake sewot segala."
"Emangnya lu lupa apa yang dilakuin Fara ke elu lagi kelas satu? Gue nggak mau Nina jadi ikut belagu kayak mereka. Apalagi sekarang mereka tambah belagu setelah si Fara diantar jemput mobil."
"Ya udah, lupain aja si Nina. Kan masih ada cewek lu yang di Santa Theresia. Hehehe... Iya kan?"
Ia merengut. "Kok lu tau?"
"Tedy yang ngasih tau dong..." Saya mengedip-ngedipkan mata, meledeknya.
"Si Tedy? Wah, awas deh tu anak!" Ia merengut.
"Nih cincin lu. Ambil." Saya memasukkan cincinnya ke saku kemejanya.
"Lu aja yang simpen. Gue nggak butuh."
"Apalagi gue. Ngapain gue nyimpen cincin dari pacar orang? Ntar bawa sial!" Saya tertawa dan beranjak dari sana.

Pulang sekolah keesokan harinya, ia menunggu saya di depan gerbang sekolah. Memberi saya tiga coklat Toblerone besar yang langsung dimasukkannya ke dalam tas saya setelah menoleh kiri kanan, memastikan tak ada yang melihat.
"Cuma boleh dimakan sama Dinda," katanya.
"Sama Tedy juga dong."
"Ah, dia sih biarin aja. Sibuk pacaran mulu," gerutunya.
Saya tertawa. "Kayak kemaren-kemaren elu enggak pacaran mulu. Elu juga samaaaa! Pake berantem heboh, bikin pusing."
Dia nyengir. "Sekarang enggak deh. Gue kapok." Ditunjukkannya rambutnya yang terpangkas pendek tak beraturan.
Saya terbahak-bahak. "Kena razia ya? Hahahaha... Pak Budi kayaknya penuh dendam gitu ngeguntingnya. Pasti gara-gara elu dipanggil Kepsek! Hahahaha..."
"Heh, ngetawain gue lagi! Balikin sini coklatnya!" Ia meraih tas saya. Saya berkelit dan lari menghindar menyeberang jalan. Masih tertawa-tawa melihat rambutnya yang aneh.

Dari tempatnya berdiri ia juga tertawa. Tampak bersinar di bawah matahari siang, dengan dua tangan di saku celana, sepatu basket merahnya yang talinya lepas dan rambut pendek acak-acakan.

Saya akan selalu mengenang pemandangan itu. Sosok teman baik saya yang bandel, Abe.

____________________________

Serial Abe selesai.

Ini adalah kisah terakhir tentang Abe yang saya temukan di diary lama periode sekolah. Sementara ini belum menemukan yang lain di diary periode lainnya. Lagipula siapa tahu bikin bosan, kan? Hehehe...

Beberapa teman bertanya dan menduga saya menyesal karena dulu tidak pacaran dengan Abe. Tapi sebenarnya kalaupun dulu Abe berterus terang pada saya, pasti tetap saya tolak. Karena perasaan saya padanya dulu lebih seperti perasaan pada seorang saudara laki-laki (bahkan setelah kami bertemu lagi saat saya di periode kuliah).

Kalau pun saya menyesal, saya cuma menyesal karena dulu tidak sadar kalau dia keren dan sexy. Kalau dulu sudah menyadarinya kan jadi bisa saya bangga-banggakan dan saya manfaatkan untuk bikin cemburu cowok-cowok yang saya taksir hahahaha....

Buat kalian yang gara-gara serial ini jadi fans Abe, doakan saya menemukan jejaknya ya ^^


Ini Yoo Ah-in.... dan saya? Hehehe



Image and video hosting by TinyPic
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...