Showing posts with label brother. Show all posts
Showing posts with label brother. Show all posts

Sunday, March 6, 2011

Nobar in da House

Saya nyaris lupa rasanya menonton film bareng adik saya. Malam minggu kemarin sepertinya saya diingatkan lagi, menonton film dengan dia seperti orang lain menonton film dengan saya. Kami berdua suka heboh sendiri.

Sepupu-sepupu dan sahabat-sahabat saya sering menjauhkan tangannya dari saya di bioskop. Soalnya saya suka mencubit tangan teman menonton saya kalau filmnya tegang. Atau menepuk keras-keras, atau menarik lengan baju. Atau kalau filmnya membosankan, saya suka menggelitik lengan mereka hanya karena iseng. Hahaha.

Padahal kemarin itu kami hanya menonton di rumah. Di ruangan yang kami namai 'kamar hiburan' karena isinya rak-rak buku kami, TV, DVD player dan peralatan audio. Kami berdua duduk di lantai beralaskan karpet. Saya sambil memangku laptop dan mengetik, ia bersandar di bantal duduk besar yang dibuatkan mendiang Ibu untuk ruangan kami itu. Tapi sepertinya kami betul-betul berisik.

Kami menonton 'Apocalypto.' Pertama kali untuknya, kelima kali untuk saya. Film yang harusnya cukup mencekam di scene pembantaian suku Jaguar Paw, malah tidak terasa mengerikan gara-gara komentar-komentar konyolnya yang saya timpali sama konyolnya.

"Mel Gibson payah ah. Pemainnya jelek-jelek gini!" Gerutunya.
"Yeee suku indian jaman kuno nih. Masa dibikin bule-bule dan ganteng. Tapi yang jadi Jaguar Paw ganteng ya, Jay? Hehehe."
"Apanya yang ganteng!"
"Eh, banyak fansnya tuh si Rudy Youngblood! Aslinya keren tau! Sekarang aja didandanin kumel."
"Gue rasa si Rudy bertemen sama Rhoma Irama."
"Heh?"
"Itu, namanya Youngblood. Artinya darah muda kan? Dia pasti penggemar Rhoma Irama. Lagu favoritnya yang judulnya Darah Muda."
Saya ngakak.

Dalam suatu scene lagi, tiba-tiba adik saya berseru. "Curang! Curang nih si Mel Gibson!"
Saya mendongak dari layar laptop saya. "Curang kenapa?"
"Tuh, bininya si Jaguar Paw cakep. Bini temen-temennya jelek-jelek. Kasian gue sama mereka."
Saya ngakak lagi.

Sayangnya, karena saya sudah hapal film itu sehingga tidak merasa tegang menontonnya, ia tidak kebagian cubitan dan gebukan keras saya. Biasanya sih ia satu-satunya orang yang pasrah. Mungkin karena saya juga suka pasrah mendengar komentar-komentar konyolnya sepanjang film. Sepertinya kami sudah saling toleran.

"Gue tau kenapa lu suka nonton film ini sampe berulang-ulang."
"Kenape?"
"Banyak bokong cowok Indian keliatan jelas kan?"
"Sok tau!" Saya tertawa, kali ini benar-benar menggebuk lengannya keras-keras.

fotonya masih Rudy Youngblood yaaa hehehe



Image and video hosting by TinyPic

Monday, February 22, 2010

Kisah Monyet Abu-abu, Babi Gemuk, dan Seekor Katak Malang

Ini tentang seekor katak hijau yang terusir dari kolam tempat ia tinggal dan mencari makan. Katak yang belum dewasa dan agak kurang bertanggung jawab, tapi rajin, jujur dan berhati tulus.

Penguasa kolam itu adalah seekor monyet berbulu abu-abu kusam yang tinggal di atas pohon, jauh di seberang kolam. Dialah yang mengawasi kehidupan di kolam itu, melompat dari dahan yang satu ke dahan yang lain sambil meneriakkan perintah-perintah. Kadang-kadang ia melempari para penghuni kolam yang terdiri dari katak, angsa, ikan mas, siput dan laba-laba air dengan jambu-jambu busuk hanya untuk iseng. Menyipratkan air kolam ke tepian, membuat mereka lari lintang pukang.

Monyet itu tinggal bersama anaknya, seekor monyet betina muda yang manja, yang terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya, dengan pengaruh ayahnya yang berkuasa.

Di bawah pohon jambu itu, ada segerombol semak belukar tempat bersarang seekor babi gemuk. Keberadaannya di tempat itu tampak ganjil, karena tentu saja biasanya seekor babi berada di peternakan. Biarpun begitu, Babi Gemuk adalah tangan kanan si monyet abu-abu. Pekerjaannya mengendus kesana kemari, mencari-cari kesalahan penghuni kolam, sambil mengintip para angsa cantik dan ikan-ikan mas berenang-renang.

Si babi tidak menyukai Katak Hijau. Mungkin karena si katak adalah mahluk paling populer di kolam itu. Sifatnya yang baik hati dan suka menolong membuat ia disukai para angsa dan ikan-ikan mas. Seekor angsa putih yang paling cantik menjadi kekasihnya, dan seekor ikan mas yang siripnya paling lebar dan perenang paling lincah adalah sahabatnya.

Mungkin juga Babi Gemuk tidak menyukai si katak karena cemburu. Si babi jatuh cinta pada si ikan mas lincah. Ia pernah menyatakan perasaannya pada si ikan mas. Apa jawab si ikan mas? Tidak, terima kasih. Kamu terlalu gemuk untuk menjadi pacarku, apalagi jika dibandingkan sahabatku si Katak Hijau.

Kehidupan di kolam tampak tentram dan damai. Tetapi itu hanya di permukaannya saja. Sampai tibalah suatu hari ketika si monyet betina muda berkata pada ayahnya bahwa ia jatuh cinta pada Katak Hijau. Maka dalam rangka menyenangkan hati anaknya, Monyet Abu-Abu menitahkan si katak menerima cinta anaknya.

"Maaf, Tuanku," ujar Katak Hijau. "Tetapi saya sudah memiliki kekasih. Angsa Putih yang cantik dan baik, yang suka berenang-renang di kolam."
"Tapi anakku jatuh cinta padamu. Kamu akan kubuatkan kolam besar yang indah di bawah pohon jambu. Di sana, kamu bisa lebih bebas bermain dan mencari makan. Kau tidak perlu khawatir, jika pada akhirnya kau tak cocok lagi dengannya, kau boleh memutuskan hubungan kalian berdua."

Tapi Katak Hijau tetap bilang tidak. Ia mencintai Angsa Putih dan sudah berikrar sehidup semati dengannya. Meskipun ia dan monyet betina muda itu sangat akrab, ia hanya bisa menganggap si monyet betina itu teman. Dan mungkinkah jika ia menjadi kekasih si monyet betina ia bisa memutuskannya begitu saja? Tak ada jaminan bahwa ayahnya tak akan murka, bukan?

Si Babi Gemuk yang berdiri tak jauh dari tuannya berbisik-bisik.
"Tuan," desisnya sambil melirik Katak Hijau dengan tatapan dengki. "Kalau dia tidak mau menurut suruh saja dia pergi dari kolam ini. Ia mengganggu ketentraman di kolam ini. Menggoda para angsa dan ikan-ikan mas itu, mengecewakan tuan puteri dan menolak perintah tuanku. Saya tak tahu apa maunya dia ini. Gayanya seperti pangeran saja."

Maka, turunlah keputusan itu. Monyet berbulu abu-abu jelek itu mengusir Katak Hijau dari kolam yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Dan pergilah si Katak Hijau, meski tak tahu hendak kemana. Ia meninggalkan semua hal yang pernah sangat berarti baginya di kolam itu. Teman-teman, para sahabat, dan segala hal yang telah ia curahkan habis-habisan kini bagaikan sia-sia belaka.

Tapi ia tidak menyesal pergi dari sana. Dari kolam yang menzaliminya itu.

_________________________

Well, I spare you the details. Because you said you are his fellow.


Image and video hosting by TinyPic

Saturday, October 24, 2009

Adik Termuda

Jogja. Pukul delapan malam. Di sebuah warnet, ada yang tertawa-tawa sinting di salah satu kubikelnya.

"Sssst...kita berisik amat ya?"
"Hihihi bodo ah!"

Betapa ingin keluyuran lagi di Jogja. Ke pelosok-pelosok kampung yang tak terjamah turis. Bertingkah seperti arkeolog yang meneliti puing-puing dari zaman batu. Menapaki rute yang hilang ratusan tahun lalu. Duduk di boncengan motornya, sambil memeluk perutnya yang gendut.

"Mbok, gue nemu situs purbakala lagi, ke arah Magelang. Kapan ke sini? Kita kesananya barengan aja. Gue sengaja nih nungguin."

Menyesap coklat panas dan makan muffin di kafe favorit berhotspot. Yang di lantainya ada toko buku. Membuka laptop, berselancar di dunia maya. Mengundang lagi Fahmi, temanku si cerpenis itu.

"Mi, kita ngopi di Djendelo Kafe yuk! Aku tunggu di sana!"

Aku kangen adikku Ridwan yang hidup dengan gaya post-modernisme ala dirinya sendiri. Mengkhawatirkan kesehatannya karena mulai tak cukup tidur. Benci pada kantung mata yang semakin menghitam di mukanya yang lucu. Jika tak ada jenggot tipis itu, ia mirip kanak-kanak gendut yang suka merengut.

"Post-modernisme apaan? Bilang aja lu hidup santai! Hehehe..."
"Hehehe..."

Post-modernisme? Whatever.
Bersamanya, petualangan terasa lengkap.

milkysmile

Image and video hosting by TinyPic

Monday, October 5, 2009

Kamu Sudah Besar

Sudah siang, ketika kubuka halaman fesbuknya. Seperti sudah pernah kubilang, kini aku membatasi diri dengan dunia yang satu ini. Bosan hanya bertukar komentar dan celaan, menulis status diri yang tidak penting dan tidak harus semua orang ketahui. Kalau aku kembali ke sini, itu hanya sekedar menatapi foto-foto teman lama dan para sepupu yang berderet di daftar teman.

Dan di halaman fesbuknya, kulihat wajahnya yang murung. Sepupuku. Umurnya jauh lebih muda dariku.

Aku ingat ketika ia masih kanak-kanak dan masih suka menangis kalau dimarahi ibunya. Aku memeluknya dan memberinya selembar uang untuk membeli permen. Ia berhenti menangis dan memain-mainkan uang itu di tangannya.

"Jangan beli banyak-banyak ya, dek. Nanti sakit gigi."

Di halaman fesbuknya, kutemukan alamat blognya. Dan kutemukan seluruh ungkapan hatinya. Ia tidak pernah memberitahu siapapun dalam keluarga tentang blognya, tentang kesusahan hatinya, tentang patah hati dan frustasinya. Kupikir selama ini ia baik-baik saja.

Hujan saat kau meninggalkanku terkapar
dan sekarat di lantai.
Tanpa kau, aku hanyalah mayat hidup..
Apa aku pernah salah atau membiarkanmu terjatuh?
Karena aku melihat semuanya berakhir ketika prolog baru saja dibacakan.

Aku tidak mengira ia bisa menulis kalimat sepedih itu. Lebih tidak mengira bahwa ia bisa menerjemahkan perasaan dengan tulisan seperti halnya diriku. Ia yang kukenal adalah remaja lelaki pendiam yang tersenyum malu jika bertemu denganku. Suka menghabiskan waktu berjam-jam bermain game online. Belakangan membiarkan rambutnya gondrong dan tubuhnya yang jangkung semakin ceking.

Di mataku, ia masih sepupu kecil yang terisak-isak dalam pelukanku dan kubelikan permen.

Ternyata kamu sudah besar ya dek...
Sudah merasakan patah hati.

Image and video hosting by TinyPic

Saturday, May 16, 2009

The Silly Dialogues



Kost. Tempat Mencuci Baju.

“Eh mbak, nama kita ada di daftar peserta pilpres!” Ria, dengan antusiasme yang tak masuk akal.
“Masa sih?” Enno, berjongkok di dekat ember cucian.
“Iya. Ditempel di luar, di depan rumah. Di bawah ring basket!” Ria, dengan mata berbinar-binar. “Wah! Ditempel disitu!” Enno, dengan mata tak kalah berbinar-binar. Berpikir dirinya akan menjadi ngetop karena namanya ditempel di ruang publik. Paling tidak kan terbaca oleh para tetangga satu gang. Hehe.
“Mau nyontreng siapa Mbak?” Ria, sambil membilas cucian.
“Hm… Nggak tau. Nggak ada yang muda dan ganteng sih capresnya ya?” Enno, manyun. Menyesali para capres Indonesia yang selalu saja dari generasi angkatan babe gue. Coba ada yang keren seperti Obama.

Kamar. Pesan pendek via ponsel

“Mbak, gue posting tentang lu di blog gue.” Enno, untuk Kiki. Dikirim sambil cengengesan.
“Iya udah gue baca dan udah komen. Awas lu ya. Ntar gue bikin juga tulisan tentang cengengnya Enno!”
“Haha. Enak aje gue cengeng. Tulis aje, paling juga orang-orang tau kalo itu fitnah!”
“Eeeh mereka kan nggak ada yang liat kalo dulu di kantor suka ada yang nangis. Hayo ngaku!”
“Ya udah tulis aja. Pengen tau hasilnya.”
Beberapa menit jeda.
“Hihi bingung mulainya saking banyak yang mau ditulis. Ntar tunggu dapet wangsit dulu ye, sambil bayangin pipi gembil elu.”
Enno, ngakak. “Yaelah kelamaan! Keburu bulukan deh nungguinnya!”

Rumah. Ruang Keluarga.

“Lagu mars Pemdanya kayak gimana?” Enno, mencolek Ajay.
Ajay langsung berdiri. “Tapi nggak pernah dinyanyikan lagi sekarang.”
“Iya, lagunya gimana?”
“Ada video klipnya lho.” Ajay nyengir. “Ibu-ibu pegawai Pemda berderet, trus di tengah-tengah berdiri pencipta lagunya. Bapak-bapak, kumisnya segede golok.”
“Hahahaha… terus?”
Ajay lalu bernyanyi. Berdiri tegak lurus, dengan dua tangan digenggam di depan dada, ala ibu-ibu paduan suara. Tubuh bagian atas berlenggak lenggok, sambil bergantian mengangkat telunjuk ke kiri dan ke kanan. Tak lupa kepala juga ikut menengok ke kiri dan ke kanan. Tapi ada yang aneh.
“Eh, kok gaya tangan lu gitu?”
“Kan si bapak-bapak kumis golok itu goyangin tangannya sekalian ngusap kumisnya.”
“Hah? Iya gitu? Hahahaha… “

Kamar. Telpon nyasar.

“Halow?” Suara laki-laki. Sunda medok.
“Ya halo?” Enno, bertanya-tanya. Suara siapa sih?
“Tolong bilangin sama Encep, ditunggu di rumahnyah Topik.”
“Encep mana ya?”
“Lho, ya Encep! Inih Teh Imas kan, isterinya Encep?”
“Oh iyaaaa.” Muncul ide untuk iseng. Langsung mengeluarkan logat Sunda. “Ini temennya Kang Encep yah? Agus bukan? Agus yah?”
“Eeeh bukaaan! Ini mah Arip! Yang di Cibodas.”
“Oh Arip yah. Apa kabar? Yang kumisan ituh bukan yah?”
“Itu mah Parid atuh Teteh! Sayah mah klimis. Yang gondrong tea. Si Teteh meni lupa sama sayah.”
“Oh, iyah. Maap atuh yah. Udah lama sih nggak main ke sinih. Jadi gimana inih, apa tadi pesen buat Kang Encep?”
“Ditunggu di rumah Kang Topik.”
“Oooh gituh? Tapi gimana atuh yah, soalnya Kang Encepnya baru ajah kemarin berangkat ke Arab Saudi jadi TKI.”
“Hah? Yang bener ah si Teteh? Minggu kemaren masih ketemu sama sayah.”
“Iyah kan rencananyah rahasia.”
“Ah masa sih?” Jeda. Pasti si Arip sedang bingung.
“Eh Arip, udah dulu yah. Teteh lagi goreng ikan. Nanti tutung.” Telepon langsung ditutup. Cekikikan sendiri.
(Tutung = hangus)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...