Showing posts with label Moody. Show all posts
Showing posts with label Moody. Show all posts

Sunday, November 16, 2014

Shit Happened -- Part 2

Saya masih bad mood. Gila, parah banget gegara terlalu banyak yang cari perkara.
Sampai hari ini masih menjauh dari manusia, kecuali orang-orang yang berkepentingan atas beberapa urusan, dan beberapa teman mengobrol random sehari-hari.

Ini adalah bagian kedua dari curhatan panjang saya.

.......................................


06.04 WIB

Dear kamu, Tukang Ngadu...

Semoga kamu puas ya sudah mengadukan omongan saya kepada si X. Semoga kamu mendapatkan award dari si X atas keloyalan kamu kepada dirinya. Dan congratulation juga bahwa kamu mendapatkan segerbong perasaan hina dari saya kepada kamu.

Seharusnya kamu tahu, bahwa apa yang saya katakan kepada kamu waktu itu, tidak bermaksud memojokkan teman kita si X itu. Saya hanya mengatakan prinsip pribadi saya, yang berseberangan dengan prinsip pribadi si X. Apakah prinsip saya itu merugikan si X? Dalam konteks kasus ini, saya rasa tidak.
Prinsip saya adalah milik saya, dan apa yang sedang atau akan dilakukan si X merupakan haknya.
Jika kami kemudian berseberangan, bagi saya SANGAT TIDAK MASALAH jika saya mengalah agar tidak terjadi tabrakan kepentingan. Dan itu sudah saya sampaikan dengan jelas kepada kamu, kalau-kalau kamu mendadak belagak pikun atau kena amnesia.

Seharusnya, sebagai orang dewasa, kamu bisa menyaring mulut dan otakmu. Seharusnya kamu tahu, mana yang perlu untuk disampaikan, mana yang tidak.
Ketika saya bicara kepada kamu, saat itu saya mempercayai kamu secara penuh. Tidak pernah terbetik dalam otak saya bahwa kamu akan mengadu, dengan alasan apa pun. Seingat saya, saya bahkan mengatakan kepada kamu agar tidak menyampaikannya kepada si X.
Hal itu, karena saya sadar, meskipun saya tidak membicarakan keburukan siapa pun (hanya tentang prinsip saya), kemungkinan orang yang berpikiran picik akan salah paham terhadap saya.

Dan itu akhirnya terjadi. Well, good job, fella!

Oh tentunya saya tidak bakal menerima alasan apa pun seandainya kamu mencari pembenaran atas apa yang sudah kamu lakukan. Tidak ada sedikit pun unsur kebaikan dan kemaslahatan dalam kasus ini.
Kamu sudah menghancurkan image saya di mata seorang teman, dan membuat sikapnya kepada saya berubah. Meskipun seumur hidup saya tidak peduli dengan image saya di mata orang lain, tetapi kali ini hal itu telah merusak silaturahmi antara saya dengan orang lain. Membuat pertemanan saya dengan seseorang yang tadinya baik-baik saja menjadi dingin dan tidak nyaman.
Maaf aja, itu perbuatan yang parah banget buat saya, dan terus terang saya memaki-makimu dalam hati.

Meskipun demikian, saya tidak sepenuhnya menyalahkanmu. Kamu begitu mungkin memang sudah sifatmu.
Saya lebih marah kepada diri sendiri karena betapa tololnya saya sudah begitu naif terhadap kamu.
Saya salah karena keliru menilai orang. Keliru menaruh kepercayaan kepada orang.
Sebenarnya, kalau dipikir-pikir lagi, itulah mengapa saya ini orang yang sangat pilih-pilih dalam berteman. Kenapa saya lebih sering terlihat kemana-mana sendirian atau cukup berdua.
Lalu ketika sekarang, kejadiannya seperti ini...
Yah, saya sungguh tolol.

Jadi, mari kita balik lagi ke kamu, wahai Tukang Ngadu....
Nasehat saya buat kamu.
Jadi orang jangan terlalu suka bicara deh. Jangan terlalu banyak ngomong. Kadang-kadang, kita nggak bisa mengendalikan apa yang keluar dari mulut kita. Hal-hal yang tidak penting yang terlontar begitu saja bisa mencelakakan kamu atau orang lain.

Satu lagi, jangan suka memusingkan anggapan orang terhadap kamu. Nggak usah ingin dianggap positif oleh orang lain, karena hal seperti itu nggak bisa dipaksakan. Nggak usah insecure, lalu sok-sok mengadu biar dianggap setia. Kalau kamu memang aslinya menyenangkan, orang lain juga akan mengapresiasi. Kalau kamu memang menyebalkan, kamu nggak akan bisa apa-apa. Kedokmu akan terbuka suatu hari.

Di masa mendatang, ingatlah satu hal.
Jangan bersikap palsu di depan saya. Cepat atau lambat saya akan tahu, meskipun tidak ada yang memberitahu.

I can see right through your bullshit act. 
I can see your true colors. 
I observed you.

.........................................

PS: banyak teman blogger mengeluh karena nggak bisa post komentar di beberapa postingan ini. Maaf ya. Saya tahu kok, banyak yang ingin menghibur dan menyemangati. Terima kasih sebelumnya.
Tapi kali ini saya cuma ingin 'didengarkan' saja. Dan terima kasih juga sudah 'mendengarkan.'
*kiss kiss*


pict from here




Image and video hosting by TinyPic

Thursday, November 13, 2014

Shit Happened -- Part 1

Belakang ini, saya menjauh dari pergaulan. Memilih membaca tumpukan novel yang tertunda di sela rehat menulis.
Saya sedang bad mood berat. Banyak yang terjadi, yang mengganggu ritme nulis saya.
Tulisan ini anggap saja sebagai curhat terbuka, dan karena takut kepanjangan dipenggal jadi beberapa bagian.

Nah, ini bagian pertama.
.............................

22. 36 WIB

Jadi di sela-sela menulis Project Lost malam ini, ada percakapan random dengan Monica alias Momon. Agak tidak biasanya saya kepengin berinteraksi dengan manusia (bahaha). Mungkin karena saya sudah lama sekali nggak chat sama dia.
Seperti biasa, obrolan saya dengannya tidak pernah normal.
Tapi kali ini topiknya bikin kami ketawa-ketawa miris.

Kami mengobrol tentang cowok. Klasik bukan? :)

Baru-baru ini, kami berdua punya kasus mirip, berkaitan dengan pria yang ... ya begitu lah. If you know what I mean (jelas nggak bakal tahu juga sih hehe).

Saya nggak berhak cerita tentang kasus Momon tanpa seizin dia. Tapi untuk kasus saya, bolehlah saya bilang di sini, bahwa saya nggak punya waktu buat meladeni kode-kodean dan no mention dari siapa pun.
Ini bukan tentang orang tertentu, ya. Jadi garis bawahi: dari siapa pun.

Kalau ingin kenal saya lebih dekat, just reach me personally. Lelah sekali harus berbalas kode atau status no mention, atau berbalas komentar random tanpa juntrungan di media sosial. Lagian sejak dulu saya nggak pernah kayak gitu. Mau mengobrol dengan saya jangan di ruang publik dan ditonton seluruh dunia. Apa lagi kalau pertanyaannya: kamu sedang apa?

Duh. Please, man. DM aja keleus.

Nggak usah posting sedang mendengarkan lagu apa, yang liriknya kode untuk saya sebagai wakil dari perasaanmu. Jangan. Nggak usah. Kirim lagunya secara personal aja napa. Itu lebih manis (bukan berarti juga bikin saya jadi meleleh sih--kan saya belum tentu naksir juga).
Setidaknya itu lebih gentle. Berani. Manly, kalo istilah Momon.

Jangan posting gambar yang isinya quote buat kodein saya juga.
Ngomong aja langsung. DM. Private message. Aku kangen kek. Apa kabar kek. Sedang apa kek.
Saya belum tentu bilang 'gue juga kangen' (kan belum tentu naksir). Tapi setidaknya, saya hargai perhatiannya.

Pada akhirnya, karena cuma kode-kodean dan no mention, jangan salahkan kalau saya malah ilfil.
Ya ampun, capek tahu ditimbunin hal-hal kayak gitu setiap hari, sembari nggak ada action nyata. Urusan saya sudah banyaaaak.

Saya sedang menulis novel.
Saya mengurus bokap dan beberes rumah dan masak dan segala urusan kerumahtanggaan lainnya.
Saya lagi merancang liburan akhir tahun buat adik saya-bikin itinerary-cari hotel-sewa mobil-perincian budget-kasih tips dan trik, karena adik saya ini blas orang rumahan yang nggak pernah kemana-mana, jadi saya khawatir dia nyasar.
Saya bikin daftar trip saya pribadi untuk 6 bulan ke depan selama musim hujan.
Saya juga sibuk memikirkan hal-hal lain.
Pokoknya nggak ada waktu.

Karena itu, mohon maaf kalau saya bergeming saja. Semoga mereka-mereka itu nggak menganggap saya PHP.
Gimana saya PHP? Yang flirting siapa?

Begitulah terkadang, pembawaan saya yang mudah akrab sama cowok suka disalahartikan sama beberapa orang. Dikira saya naksir, padahal saya memang lebih nyaman bergaul sama cowok ketimbang sama cewek (kecuali kalo sama sintingnya). Begitulah saya sedari kecil.

Atau terkadang juga awalnya saya sedikit naksir, tetapi seiring waktu--karena kelakuan si cowok--saya jadi ilfil (saya sekarang gampang ilfil, dan cenderung apatis).
Nah, beberapa dari mereka kadang-kadang masih ge-er aja (telat geer-nya). Lalu sok kecakepan. Lalu sok dingin (karena merasa pret-gue-gak-demen-sama-lo-gak-level)

Halaaah. Pengin rasanya ngakak depan muka cowok-cowok model begini.
Cuy, kalo Nicholas Saputra sih gue taksir abadi. Nah elo? Get a life. Justru karena elo songong begitu, gue jadi ilfil.

Duh. Capek lagi! :))

Sesungguhnya, saya menyesal kalau sampai ada yang merasa terluka (atau ge-er berkepanjangan) karena sikap dan prinsip saya tersebut di atas.
Maaf juga, kalau saya nulisnya agak sarkas dan terkesan belagu.
Nggak, saya nggak belagu.
Apalah saya ini. Cuma remah-remah kerupuk di kaleng Khong Guan...

Intinya sih dari omelan tulisan saya dari atas ke bawah, pesan moral untuk kaum pria:
Kalo lo suka sama cewek, ngomong langsung. 
Jangan pake kode-kodean.
Malesin, cuy!

Gitu aja. Sekian. Peace. No hard feeling ya :)

................................




pict from here


Image and video hosting by TinyPic

Thursday, January 24, 2013

My Life, My Rules, My Random Thoughts

Bermula dari 'interogasi' seorang anggota keluarga besar, tentang rencana-rencana traveling saya, yang dibocorkan kakak saya si mulut besar, sebelum waktunya.

Muncul pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya merasa balik lagi ke umur 15 tahun. Pertanyaan model: Pergi kapan? Sama siapa? Berapa orang? Nginap di mana? Ngapain aja? Dalam rangka apa? Pulang kapan? Mimik si penanya tanpa senyum. Serius habis. Membuat saya merasa seperti anak SMP yang sedang berusaha untuk diizinkan jalan-jalan dengan teman-teman.
Padahal, siapa juga yang minta izin? *sigh*

Saya hampir saja menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan lagi: 'Menurutmu?'
Tapi, saya masih takut kena kualat laaah...

Pertanyaan itu lantas berlanjut dengan: Jadi sekarang punya pacar baru, ya? Saya jawab 'iya.' Dan seperti sudah saya duga sebelumnya tentu saja, muncullah kata-kata: "Kamu sudah bukan lagi waktunya pacaran! Cepat menikah!"
Hiyaaa!!! Cetar membahana, sodara-sodara! Hahaha... 

Kenapa ya, orang-orang ini? Maksud saya, orang-orang yang jalan pikirannya sesimpel itu. Kalau punya pacar, menikahlah. Helooow! Memangnya pergi ke KUA segampang pergi beli ayam goreng di KFC?

Mungkin bagi sebagian orang, itu memang mudah. Sorry to say, buat saya enggak.
Kalau ada yang bilang, janganlah suka mempersulit yang semestinya mudah. Sorry to say again, you know nothing about my life, people! 
Kalau menurut saya ribet, ya memang demikianlah kondisinya.
Terima saja. Percaya saja. Saya toh bukan abege alay yang suka lebay. Saya orang dewasa yang punya pertimbangan sendiri.

Tapi okelah, kalau soal getting married, saya mah sebenarnya sudah kebal kalau ada yang mengungkit-ungkit. That's not a big deal anymore. Buktinya, saya nggak pernah kan bergalau ria di blog ini tentang topik itu?

Yang bikin saya jengkel justru topik pekerjaan. Profesi. Dan topik itu dimunculkan setelah topik 'menikah' di-blow up ke forum *udah kayak rapat menteri ye? kekekek*
Muncul dalam bentuk kalimat: Daripada nulis-nulis kayak gitu mendingan cari pekerjaan kantoran lagi. Masa dengan pengalaman sebanyak kamu, nggak ada yang mau mempekerjakan?
Hmmm. Haha..

Saya dicap tukang main, tukang jalan-jalan? Oke.
Saya disuruh cepat menikah? Masih oke. Cuek. Ongkang-ongkang kaki.
Tapi kalau saya disuruh kerja kantoran lagi dan meninggalkan profesi kepenulisan saya? Saya nggak mau. Ogah. Emoh. Nehi.

Gila apa? Menjadi penulis, yang menghasilkan buku-buku dengan nama saya terpampang di cover depannya. Dengan dunia yang saya reka di dalamnnya. Dengan imajinasi yang saya terjemahkan berbulan-bulan di setiap lembarnya. Saya harus meninggalkan ini? Ini cita-cita saya dari kecil, mamen.
Saya merintisnya dari zaman masih SMA dengan menulis cerpen. Menulis cerpen akhirnya tinggal kenangan setelah saya menjadi wartawan. Tapi bukankah menjadi wartawan juga menghasilkan tulisan dan dibaca banyak orang? Jadi, kepuasannya tetap sama.

Mereka berpikir, karir itu adalah kalau bekerja nine to five di sebuah gedung yang disebut kantor. Dapat gaji tetap tiap bulan, dapat cuti tahunan (yang nggak selalu bisa diambil kapan saja), dihantam stress dan politik teman sekerja, diperas keringatnya kayak budak belian. Masih pula diomelin boss dan atasan.
Hoho. Saya sudah melalui hal-hal kayak gitu bertahun-tahun. Sudah cukup tahulah. Pernah menjadi bawahan, juga akhirnya menjadi atasan. Lalu apa lagi yang saya cari? Kedamaian. Ketenangan. Kepuasan batin. Nah, itu.

Pantas saja, kadang ada yang nyinyir kalau melihat saya sedang menekuni laptop. "Jangan mainan laptop aja!" "Nulis melulu!" "Cari kegiatan lain, jangan di kamar aja!" "Bergaul dong!"
Wow banget ya, encouragement-nya?

Mereka yang ngomong kayak gitu, pikirannya nggak bakal nyampe ke fakta bahwa saya bekerja, bukan main laptop. Bahwa menulis adalah memang bagian dari profesi saya dan itu menghasilkan uang (yang minimal cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar saya). Bahwa kegiatan lain itu sebenarnya ada, cuma mereka tidak serumah dengan saya, jadi tidak tahu dong ya. Bahwa saya bergaul, masih bergaul, bahkan dengan teman-teman SD, karena internet itu spread us to the world kan?

Yah. Pokoknya gara-gara itu, saya bete. Bukan bete pada orang yang kemarin menyuruh saya bekerja kantoran lagi sih. Tapi bete pada kenyataan, bahwa sudah sedewasa ini, setua ini, mereka masih tidak sudi melihat jati diri saya. Menganggap saya remeh temeh di antara para sepupu yang bekerja kantoran dan terima gaji bulanan, meskipun faktanya tetap saja mereka pun belum ada yang kaya raya. Sepupu yang baca harap tidak tersinggung. Sori jek, tapi itu kenyataan kan?

Kalau yang pada akhirnya dijadikan ukuran adalah harta dan kekayaan. Atau materi. Atau kemapanan. Mereka harusnya melihat para penulis beken di luar sana. Tidak usah saya sebut nama satu per satu. Banyak kan penulis yang kaya?
Baiklah. Berhenti ngedumel. Sepertinya saya harus membuktikan kalau saya juga akan mapan suatu saat nanti.

Just wondering. Kalau saya sukses dan kaya, masih pada protes sama kerjaan saya sebagai penulis nggak ya?
Cus ah!

The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams
- Eleanor Roosevelt


pict from here

               Image and video hosting by TinyPic

Friday, September 14, 2012

Kepada Tuan Beruang

Aku menelisik dirimu hari itu.
Dari selapis layar berpendar di kotak menyala pada pangkuan.
Kalimat-kalimat yang kau susun. Makna demi makna. Dimainkan kata demi kata, yang kau telikung.
Sehingga sampai pada kesimpulan. Bahwa kau biasa saja.

Lantas apa yang membuatmu begitu angkuh, Tuan Beruang?
Karena dengan keangkuhan yang setara, aku mampu mendongakkan dagu dan berkata: "aku juga bisa."

Menurutku, kau tidak istimewa. Kau bukan calon pemenang Pulitzer, Nobel Sastra, atau Khatulistiwa.
Kau hanya bagian dari orang-orang seperti aku. Yang melulu hidup untuk menulis... atau kau, mungkin menulis untuk hidup?

Jangan terlalu besar kepala, Tuan Beruang.
Kau hanya sebutir debu di dunia kata-kata. Demikian pula aku.
Kau hanya segelintir mahluk bermata nanar di depan layar. Yang benaknya terus berputar mencari kata, menggali makna, menyusun tekateki huruf agar menjadi sebuah semesta.
Tapi kau bukan Shakespeare, bukan Byron, bukan Lewis, bukan Tolkien, bukan Sapardi.
Kau hanya orang yang sedang merangkak memunguti huruf-huruf. Bermimpi tentang sebuah buku besar yang menerakan namamu di bawah nama-nama mereka.
Karena demikian pulalah aku. Begitulah mimpiku.

Tapi kau masih jauh dari itu.
Kau, seperti kubilang, sungguh biasa. Tak istimewa. Apa yang kau lakukan, aku sudah melakukannya.
Kebesaranmu hanya dalam benakmu, karena kesombonganmu.
Kalau kau berpikir kau sehebat itu, Tuan Beruang... bunuh saja aku.

Capek deh....

“Some arrogant feel very confident that they are the best.
That's pity. Much better men let them feel so for a reason.”
― Toba Beta


pict from here
Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, July 11, 2012

Sorry, But I Hate Him

Status akun twitter

dia menghilangkan seluruh jejaknya dr gw?
kenapa gak menghilangkan nyawanya aja skalian?

@kireinaenno, 2 Juli 2012

................

Pesan pendek

Aku disuruh motret arisan ibu-ibu.
Lho, merangkap tukang foto juga? :P Suruh aja si labil itu. Bukannya dia paling hobi belagak jadi fotografer pro (yang anehnya malah lebih tampak sebagai tukang foto keliling):P
Kalo fotografer banyak yang lebih jago. Aku motoin arisan ibu-ibu aja kok.
Iya tau, banyak yang lebih jago. Sebenernya kan aku cuma mau menghina dia. Ups. Abaikan :))

...............

Saya harus berterima kasih pada Rona, karena dengan sabar ia sanggup dan mampu membaca dan mendengar cercaan saya pada mahlukyang satu itu, yang notabene adalah temannya.
Rona tidak pernah menyela sarkasme saya dengan kata-kata sok bijak, nasehat sok suci, atau sebagainya. Ia hanya mengabaikannya seolah-olah tak ada yang saya katakan, mengalihkan topik atau menjawab dengan gurauan.

Dan sikap demikianlah yang mampu mengendalikan saya dari kerusakan mood akibat sarkasme saya yang tak tertahankan jika menyangkut 'orang itu.'

Saya ingat sekali kata-kata Vanny, teman mereka (yang kemudian menjadi teman saya). Vanny berharap saya, karena sakit hati dan dilukai, tidak berubah menjadi orang yang mendoakan hal-hal buruk untuk mahluk itu. Saya meyakinkannya, saya bukan orang yang suka mendoakan keburukan untuk orang lain. Sampai detik ini pun tidak. Saya tidak mendoakan hal-hal buruk, atau kasarnya, menyumpahi mahluk itu. Tetapi bukan berarti saya mendoakan dan berharap yang baik-baik untuknya. Tak usah ya!

Kalau kelak saya ketemu Vanny (atau kemungkinan dia sudah duluan membaca ini), saya kepingin bilang, bahwa dengan sangat menyesal saya kini membenci temannya. Saya tidak bermaksud demikian, tetapi saya tidak bisa mencegahnya.
Saya, yang sudah berusaha memaafkannya, and yes I did! I forgave him! Tiba-tiba karena mahluk itu ternyata bukan orang yang tahu terima kasih (karena sudah dimaafkan) dan tak cukup tahu diri (sudah menipu seorang perempuan), membuat saya merasa dilecehkan, dihina dan diinjak-injak.

Saya si korban penipuan, sudah membuang kemuakan saya padanya, menggantinya dengan kebesaran hati demi tali silaturahmi yang saling bersambungan antara kami semua. Rona, Vanny, si mahluk stupid dan semua teman-teman mereka yang mengenal saya secara langsung dan tidak langsung.
Saya yang seharusnya muntah, menelan gumpalan besar di kerongkongan saya demi yang namanya 'ukhuwah Islamiyah' seperti yang diajarkan agama kami, dan yang seharusnya lebih dia pahami sebagai orang yang mengaku-ngaku ikhwan.

Oh, yang dia lakukan adalah mencoba 'menyakiti' saya dengan mendekati lagi pujaan hatinya yang lama 'di depan mata saya.' Yang bagi saya adalah sebuah tragedi percobaan membuat cemburu yang gagal total.
Memangnya saya harus cemburu? Kenapa? Buat saya hal itu malah semakin memperjelas kepicikan dan ketidakdewasaannya. Come on boy, that's a game for a primary school student!

Dan maafkanlah saya, kalau kemudian saya tak tahan untuk mengutarakan pendapat pribadi saya tentang betapa dia sudah mempermalukan kualitas dirinya, di akun media sosial kami yang saling bertaut.

Orang-orang tentu akan menganggap saya sama bodohnya. Berkata, kenapa saya tidak mengatakannya langsung. Saya akan menjawabnya dengan gamblang. Mengatakan langsung bagaimana? Ia bersembunyi dan menjauh dari saya sejauh-jauhnya, sehingga saya tak tahu apakah pesan saya akan sampai, dibaca dan dipahami. Lagipula, saya juga mengujinya.

Dalam surat elektroniknya yang dibuat untuk memutuskan hubungan kami secara sangat pengecut (dan membuat saya ragu apakah ia berkelamin pria atau wanita, atau di antaranya), ia berharap saya memaafkan dirinya, dan kami masih tetap berteman.

Dan hei! Aku sudah memaafkanmu, kau sudah tahu. Dan aku membuka pintu untuk pertemanan yang sejak awal bahkan sudah terjalin. Tapi apa yang kau lakukan? Kau kemudian bersikap seolah-olah aku yang salah. Lalu kemudian memblock akun media sosialku yang terhubung dengan akunmu.

Well done, Goofy!

Jangan salah paham dan mengira aku menangisi akun kita yang tak terhubung lagi. Aku justru lega. Karena tak lagi terganggu dengan tulisan-tulisanmu yang sok abege plus kegenitanmu yang tak penting. Please, grow up! *sigh*

Aku senang karena sudah lama ingin memblokade akunmu, namun aku selalu ingat ajakan baikmu untuk tetap bersilaturahmi. Memutuskan silaturahmi itu dosa, demikian dalam ajaran agama kita. Saya tentu tak mau menambah dosa dengan sengaja.

Namun sepertinya Tuhan tahu saya sudah muak dan menggerakkan mahluk itu memblokade akunnya duluan. Meskipun, maafkan saya Tuhan, itu membuat saya mencap dia orang yang munafik. Sekaligus membuktikan bahwa dia bukan orang yang bisa memegang omongannya.

Lho, tungggu! Kenapa tulisan ini jadi melantur kemana-mana?
Sebenarnya saya cuma ingin bilang terima kasih buat Rona. Juga Vanny dan teman-teman yang lain, selama ini berperan penting menjaga saya tetap berpikir jernih.

Tanpa mereka, terutama Rona, saya akan terperosok terlalu dalam pada mood yang muram dan tak bisa keluar lagi. Thank you all. I'm sorry, but I hate him :)


“It has been said, 'time heals all wounds.' I do not agree. The wounds remain. In time, the mind, protecting its sanity, covers them with scar tissue and the pain lessens. But it is never gone.”
― Rose Kennedy


pict from here

Image and video hosting by TinyPic

Friday, June 8, 2012

Journey to Batavia #3

Sejujurnya, bukan karena saya sedang maraton menonton serial The Walking Dead, yang bikin saya tak kunjung melanjutkan catatan perjalanan saya ke Jakarta, tempo hari.
Sebenarnya, ada satu hal yang membuat saya jadi enggan menuliskannya. Saya kecewa. Benar-benar kecewa dan sebal.

........................

Pada hari ketiga saya di Jakarta, saya nggak perlu ceritakan bagian pertemuan saya yang berkaitan dengan pekerjaan, ya. Tidak menarik dan bakal bikin bosan.
Hari itu, setelah pertemuan 'bisnis', seharusnya saya reuni dengan beberapa kolega di kantor lama. Namun, malam sebelumnya sudah saya batalkan.

Apa pasal? (heh? ini gaya bahasa mantan Pemimpin Umum saya yang orang Medan).

Saya kecewa pada senior-senior saya. Kolega yang umurnya nyaris sebaya dengan ayah saya, yang saya hormati dan saya anggap pengganti orangtua di perantauan. Mereka melakukan hal yang menurut saya tidak pantas. Mengajak bergurau dengan cara yang membuat saya merasa dianggap gampangan.

Mereka seperti itu, sejak tidak sekantor lagi dengan saya. Apa yang ada dalam pikiran mereka?
Bahwa Enno bukan lagi teman sekantor, jadi boleh dirayu? Yang benar saja!

Salah satu di antara mereka, misalnya. Ketika mengajak saya berangkat bersama-sama keluar kota, ketika dia punya urusan bisnis di sana, begitu juga saya punya urusan bisnis sendiri. Dia bilang: "Di hotel, kita sekamar ya?" Saya langsung membatalkan keberangkatan saya, meskipun kemudian dia bilang itu hanya bercanda.

Bercanda macam apa itu? Selama ini, dia saya anggap orangtua saya. Usianya sebaya dengan ibu saya. Saya tersinggung dengan gurauannya itu. Dan saya anggap itu bukan sekedar gurauan. Itu spekulasi. Seandainya saya bilang ya, apa mungkin dia akan bilang 'oh, tapi saya bercanda'? No, that's a dead bullshit!

Lalu malam itu, seorang lainnya mengirim pesan pendek dengan gaya bahasa dan cara menulis alay. Aku menjadi 'aq', lalu bahasa yang bernada merayu. "Aq manggil kmu sayang, ya?"
Saya jawab dengan lugas. "Bapak harusnya memanggil saya 'nak.'"

Lalu saya batalkan reuni itu. Meskipun sebenarnya saya bisa saja tetap bertemu dengan para kolega yang sebaya, yang bebas dari wabah puber entah ke-35 atau ke-100. Tapi saya keburu ilfil dan bad mood to the max. Sampai sekarang pun, kalau ingat hal itu, saya masih jengkel. Plus sedih, karena saya jadi kehilangan dua teman, dua orangtua, dua senior yang seharusnya masih bisa membimbing saya. Apa boleh buat. Saya harus menjauh.

Gara-gara itu, akhirnya saya melarikan diri ke Pasar Senen.

Kenapa Pasar Senen? Pertama, karena saya sedang menulis artikel tentang pasar barang bekas yang bisa ditemukan, salah satunya di Senen. Kedua, karena saya ingin melacak kenangan saya dengan seseorang.

Hari itu, ia mengajak saya ke Senen untuk memotret arus mudik. Kami pergi ke stasiun, dan saya duduk di bangku kayu, sementara ia mulai berburu gambar ke sana kemari. Setelahnya ia duduk di samping saya, lutut kami saling bersentuhan dan ia tersenyum.
"Kamu capek ya?"
"Enggak."
Lalu kami berdiskusi tentang seseorang yang kami kenal. Bukan dengan cara menjelek-jelekkan, tetapi mencari inti persoalan. Dan ia berkata, "Sudah, jangan pamer argumen lagi. Kamu itu pintar, aku sudah tahu. Jangan sampai aku jatuh cinta sama kamu lagi."
Saya tersenyum. Saya tahu, menurutnya cewek pintar itu sexy. Saat itu saya ingin bilang: Hei, aku masih cinta kamu, tahukah kamu itu? Tetapi, aku membenamkannya dalam-dalam dan menghadapinya sebagai hantu masa lalu. It's time to face the truth, I will never be with you.'

Jadi saya ke Senen, menjelajahi pasarnya. Menghadapi hantu masa lalu itu sekali lagi.


pict from here


Image and video hosting by TinyPic

Sunday, April 8, 2012

Secuil Waktu

Saya cuma punya secuil waktu luang dalam sehari sekarang. Pembukuan dan urusan pabrik benar-benar menyedot seluruh daya dan tenaga dan pikiran juga. Badan saya kadang terasa remuk. Itu pasti karena saya suka ikutan angkat karung-karung plastik yang harus ditimbang (sekitar 6 kiloan, tapi karungnya besar-besar) dan hilir mudik di seantero pelosok pabrik.

Akibatnya, karena kecapekan, begitu malam tiba saya sudah mengantuk. Jangankan membaca, menulis pun harus berjuang ekstra keras. Kadang-kadang, judes saya kumat. Seperti semalam, ketika saya sedang menonton tivi, kakak saya mengirim pesan pendek menanyakan harga satu item barang di pabrik. Saya bilang, saya tidak melayani urusan pabrik di luar jam kerja. Silakan tanyakan ulang di hari Senin, di jam kerja. Malam hari adalah dunia saya sendiri. Menonton tivi, mengobrol dengan teman di telepon, membaca, dan menulis.

Akhir-akhir ini frustasi mulai menyerang, ketika novel kedua mulai digarap. Saya butuh pikiran yang tenang, sunyi, sehingga bisa tenggelam dalam dunia imajinasi yang saya ciptakan. Kenyataannya otak saya dipenuhi hitungan dan angka-angka, dan segala masalah di pabrik. Akhirnya paragraf pertama di bab pertama stuck sampai sekarang.

Orang-orang di pabrik juga tidak membuat hidup saya mudah. Ada saja yang membuat ulah dan menghabiskan kesabaran. Permintaan ini-itu, tuntutan ini-itu, dan ketidakjujuran yang berujung pada kerugian finansial. Damn!

Bekerja dengan orang kampung tidak sama dengan orang kota seperti saat saya di Jakarta. Maaf kalau saya bilang, orang-orang kampung tidak berpikir analitis, metodologis dan sistematis. Mereka hanya tahu mengeluarkan tenaga, lalu berharap bayaran. Yang saya bicarakan bukan orang kampung yang sekolahan tentu saja. Bukan yang sarjana, tentunya. Kebanyakan karyawan di pabrik ini adalah orang-orang yang bahkan hanya lulusan SMP.

Kemarin dua orang karyawan laki-laki bertengkar. Salah satunya sudah memegangi kepala goloknya yang terselip di pinggang. Untungnya ada abang ipar saya. Thanks God, sekarang ada dia di pabrik ini membantu saya (baru seminggu sih). Keributan dilerai, si pembawa golok yang memang pencari gara-gara dimarahi. Abang ipar saya itu jenis yang tenang dan pendiam seperti ayah saya. Tetapi soal pekerjaan, dia sangat tegas. Sehaluan dengan saya.

Sudah tiga hari ini saya bedrest di tempat tidur karena diserang flu berat, dan mungkin juga stress berat.

Saya sungguh sudah muak dengan segala urusan pabrik ini. Saya kepingin keluar dari urusan ini. Tetapi saya bagaikan sudah terjebak di dalamnya.

Saya cuma kepingin menulis. Please, God....


pict from here

Image and video hosting by TinyPic

Sunday, October 9, 2011

Begitulah

Jadi suatu hari, beberapa tahun lalu, di acara rapat pagi, Mbak Venna udah nggak tahan lagi sama orang yang lagi 'onani.' Membanggakan diri sendiri dengan 'isi transkrip' yang gitu-gitu aja. Sampe kita hapal di luar kepala.

Waktu seseorang bicara melantur ke soal profesionalisme, tiba-tiba Mbak Venna nyamber, bilang bahwa profesionalisme itu termasuk menggaji karyawan dengan baik dan sesuai peraturan yang berlaku. Sindiran yang tepat sekaligus frontal!

Bos kami langsung sensi. Dengan suaranya yang menggelegar dan nada sampe tujuh oktaf beliau melancarkan sejumlah alasan 'logis nan masuk akal.' Bahwa selama ini beliau sudah merasa menggaji kami secara profesional sesuai proporsi kami. Bahwa tulisan kami semua sebetulnya tidak layak jual. Jadi ya gaji harus sesuai dong dengan kemampuan kami.

Yah, kami memang nggak sehebat beliau sih ya... Beliau itu kan konon sudah mengetahui soal bisnis media dari A - Z. Oooh mana bisa kita ngalahin beliau, yang cuma setahun jadi reporter langsung diproyeksikan sebagai kepala biro. *Ayo tepuk tangannya mana?*
Buktinya Mbak Venna (yang hari itu juga langsung resign), besoknya 'cuma' diterima kerja di majalah milik Kedubes Jepang. Yah, cuma sebatas itu skill Mba Venna...

Bener sih Bos bilang, bahwa Kompas pun nggak bakal mau beli tulisan kami yang nggak mutu itu.
Cuma kedutaan besar sebuah negeri yang terkenal profesional dan taat aturan aja yang mau nerima afkiran dari kantornya (kasus Mbak Venna).
Beliau bilang, "Cuma di sini yang mau bayar tulisan kalian senilai yang sekarang!"
(Dengan gaji senilai itu untuk berhalaman-halaman artikel? Ckckck beruntung ya kami! Soalnya, waktu gue jual cerpen gue ke sebuah majalah, gue 'cuma' dibayar 500 ribu. Itu cuma dua halaman lho Bos...)

Suasana hening selagi beliau mengutarakan pendapatnya yang 'ilmiah'. Yang lain menunduk, tapi gue malah mendongak menatap wajahnya. Mudah-mudahan dia nggak menganggap gue sedang mencari simpati ya... Gue mah cuma lagi nyari tanda-tanda waham di dirinya.

Tetapi Bos memang kawan sejati lho. Seperti yang beliau utarakan dengan rendah hati, bahwa dengan tulus beliau telah 'MENAMPUNG' teman-teman lamanya di kantor yang dulu supaya selamat dari PENGANGGURAN. Makanya, beliau berhak dong marah-marah dikit. Mengingat kemurahan hatinya membuka lapangan kerja di kantornya untuk teman-temannya yang 'miskin dan butuh uang'. Karena itu, kita semua harus berterima kasih pada beliau. Harus bekerja sesuai aturan yang beliau terapkan dan jangan menuntut gaji yang layak.

Nggak usah dipeduliin deh peraturan penggajian dalam UU Ketenagakerjaan, UU Perburuhan dan peraturan pemerintah juga Peraturan Daerah tentang Upah Minimum Regional. Itu sih cuma berlaku untuk orang-orang yang kerjanya bagus dan berkualitas.

Kita nggak usah ngiri sama gaji orang Kompas atau media manalah. Mereka kan menghasilkan produk yang bisa dijual. Seperti kata beliau yang serba tahu, seorang lay-outer di Kompas pun gajinya nggak seberapa kok. (Iya sih. Mereka CUMA ditunjang sama uang makan, uang transport, Askes, Jamsostek dan asuransi dana pensiun sesuai standar yang berlaku)
Apalah artinya dibanding standar penggajian di kantor kita ini yang mengandalkan subyektifitas Bos yang bijaksana.

Oh, ngomong-ngomong kita juga sebetulnya juga nggak butuh lay-outer! Beliau bisa mengerjakannya sendiri. Apalagi beliau mengaku terbiasa kerja 20 jam sehari. Wow, hebat! Superb! Cool! Amazing! Tres magnifique! Salute!
Karena itu beliau heran kok bisa-bisanya Ezra diterima kerja di perusahaan penerbitan terkenal setelah cabut dari kantor ini. Padahal 'kan Ezra selama ini kerjanya cuma bisa 'copy-paste'.

Yah, Ezra memang kerjanya nggak bagus ya Bos...
Penerbit itu kan cuma kasian sama dia. Makanya dia dikasih gaji yang lebih baik, plus Askes, Jamsostek, asuransi dana pensiun dan bonus-bonus tertentu. Dikasih kesempatan juga untuk jenjang karir. Siapa tau kan mau nyobain jadi manajer....

Jadi begitulah.

Ada istilah ILMU PADI. Semakin berisi, semakin merunduk. Kerendahan hati dan ketulusan Bos Kami yang Agung betul-betul mengharukan hati kami. Jadi kami maklum waktu dia ngusir Mbak Venna supaya cepat-cepat resign daripada jadi tukang kritik aja. Mbak Venna keterlaluan sih... udah ditolong malah nodong. Rasain, sekarang malah kerja di Kedutaan Besar Jepang!

By the way, gajimu pake dolar atau pake yen sih, Mbak? *wink*

- dari jurnal lama yang sempat diposting lalu sekarang saya publish ulang-

...........................................

26 September 2011
Telpon dari Mrs Prayoga yang biasa dipanggil Mama oleh koleganya yang lebih muda.

"Enno, katanya lagi sakit ya sayang?"
"Iya Mama..."
"Aduh sakit apa? Di rumah sakit?"
"Iya nih.. hiks..."
"Maaf ya Mama belum bisa nengok, lagi nggak sehat juga. Udah tua sih. Ini lho Mama mau ngasih tau, kamu dicariin Mr X tuh..."
"Ada apa gitu? Tumben...."
"Mau diajak kerja kayaknya. Lagi butuh orang di majalah Y."
"Oh..."
"Kamu telpon dia aja gih sayang!"
"Enggak ah. Nggak minat."
"Kalo dia nawarin gaji gede gimana?"
"Ini sebenarnya bukan soal uang, Ma. Mama kan masih inget gimana dia dulu merendahkan kita."


27 September 2011
Telpon dari Ezra, mantan kolega sekantor. Mantan teman menggila saat deadline.

"Hey centil, kau sakit ya?"
"Iya, makanya telpon aku malem-malem kayak gini aja. Ntar aku diomelin suster."
"Jangan-jangan kau sakit gara-gara kepikiran ditawarin kerja bos lama kita hahaha."
"Astagaaah! Jangan-jangan iya! Hehehe..."
"Mau kau kerja lagi di sana?"
"Macam mana aku bolakbalik kayak setrikaan di kantor itu. Nggak ah, trauma aku!"
"Bah! Bakal digaji besar kau katanya!"
"Gosip kali kau bang! Nggak mungkinlah ituuu..."
"Bakal berantam terus nanti kau sama putra mahkotanya itu ya."
"Nggak lah... dia itu yang takut sama aku pun. Kapan dia berani macam-macam sama aku dulu itu? Nggak pernah."
"Ah galakmu itu tak kuragukan, tapi sekarang kau udah lembek rupanya. Buktinya sekarang kau sakit."
"Abaaang, kau telpon aku cuma mau ngeledek ya? Tutup! Hayo tutup!"
"Hahahahaha..."


30 September 2011
Pesan pendek dari Mbak Venna, yang selalu saya anggap kakak.

"Enno sayang, cepat sembuh ya. Sudah dengar kabar terbaru dari Mama. Aku cuma bisa ketawa aja. Ternyata dia masih butuh orang yang katanya nggak bermutu ya. Kapan novelnya kelar? Mbak Venna pembeli pertama. Good luck ya dek!"

........

Itu adalah kantor kedua, bukan kantor terakhir. Kantor yang membangkitkan kenangan menyenangkan sekaligus menyebalkan. Menyenangkan karena saya mendapat teman-teman yang solid dan sepenanggungan yang bertahan sampai sekarang. Menyebalkan karena bos kami dan putra mahkotanya yang sombong dan sewenang-wenang.

Suatu hari si bos mengirimi saya pesan pendek menanyakan kabar. Entah kenapa sampai sekarang saya malas membalas pesan pendek itu, karena saya tahu ia ingin mengajak saya bekerja lagi dengannya. Saya putuskan untuk tidak membalas pesannya saja. Bukan bermaksud memusuhi, hanya saja saya takut tidak bisa menolak kalau ia pakai sistem 'minta tolong.'

Mungkin akan ada yang mengatai saya sombong dan sok pilih-pilih. Tapi cobalah menjadi kami dulu, yang dipekerjakan tanpa dihargai sekaligus dihina dan diremehkan. Tahan?

Sorry sir, I couldn't work with you anymore. It was more than enough for me and my friends.
#prinsip

pict from here


Image and video hosting by TinyPic

Tuesday, June 28, 2011

Balada Si Lilis

Saya sudah berusaha, sodara-sodara.
Setidaknya semampu saya. Berusaha membujuk dia agar tetap bersekolah. Melanjutkan pendidikannya yang tertunda hanya sampai bangku SMP saja.

Saya langsung bertindak ketika ayahnya, kerabat jauh saya, berkata pada saya bahwa ia ingin anak perempuannya menjadi orang yang berpendidikan. Ia bukan orang yang berkecukupan, juga tidak berpendidikan layak. Hanya sampai SMP. Mereka tinggal di desa yang jauh dari mana-mana.

"Mamang teh hayang pisan si Lilis sakola ngarah pinter siga alo...." Yang terjemahannya 'Paman ingin sekali si Lilis sekolah supaya pintar seperti 'keponakan'. Ia, seorang paman jauh saya, memanggil saya 'alo' atau 'keponakan', karena begitulah kebiasaan di desanya untuk menyapa keponakan.

Saya mengajak Lilis tinggal di rumah kami. Toh rumah kami besar, ada sisa kamar yang bisa dipakainya. Saya daftarkan ia ke SMA Negeri dekat kecamatan. Kepala sekolahnya adalah murid mendiang Abah, kakek saya yang juga seorang guru. Tanpa susah-susah, Lilis langsung diterima. Saya belikan ia seragam sekolah dari kepala sampai kaki, saya belikan tas, buku-buku dan stationery. Saya cadangkan dari pendapatan per bulan saya untuk uang saku, ongkos dan SPP-nya.

Saya tidak keberatan. Merasa itu kewajiban saya sebagai sebagai sesama manusia, terlebih sebagai saudara. Kewajiban saya juga untuk menyisihkan rezeki. Tak ada yang meminta atau menyuruh. Saya hanya berpikir, setiap orang berhak diberi kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak.

Satu-dua hari Lilis rajin berangkat ke sekolah. Seminggu-dua minggu ia menjadi murid SMA yang rajin. Berangkat pagi, pulang siang. Kadang-kadang ia pulang sore dan berkata bahwa ia main dulu ke rumah teman atau ke rumah guru.

Hey, saya bukan saudara yang otoriter. Ia boleh main ke rumah teman, asal jangan terlalu sering dan jangan pulang terlalu sore. Ia harus belajar, mengerjakan PR dan beristirahat untuk bersiap ke sekolah esok harinya. Saya tidak suka orang yang bangun siang, karena bangun kesiangan akan menyebabkan ia lupa sholat subuh dan terlambat ke sekolah. Saya rasa itu bukan permintaan yang cerewet.

Dua bulan kemudian, saya dipanggil wali kelasnya. Saya datang, dengan dandanan seadanya karena terburu-buru. Jins, kemeja flanel tangan panjang yang digulung sampai siku dan sepatu flat. Saya toh bukan ibu-ibu. Saya sepupu si Lilis, dan saya masih muda.

"Lilis sering bolos," kata sang wali kelas.
Saya melongo. "Bolos gimana, Bi?"
Saya memanggilnya 'bibi'. Sang wali kelas juga masih saudara jauh saya, tapi tidak bersaudara dengan si Lilis. Si Lilis dari pihak kakek, ibu wali kelas ini dari pihak nenek.
"Ya sering nggak masuk."
"Lho tapi dari rumah selalu berangkat pagi-pagi dan pakai seragam."
"Berarti dia pergi ke tempat lain. Nggak nyampe ke sekolah."
"Berapa kali bolosnya, Bi?"
"Terakhir ini lima hari berturut-turut nggak masuk."
"Hah?" Saya nyaris melompat dari kursi.

Lilis akhirnya mengaku, dia tidak ke sekolah melainkan pulang ke rumah orangtuanya. Dari sana, ia lalu kembali ke rumah saya menjelang sore, masih berseragam agar tidak ketahuan bolos.

"Kenapa pulang ke rumah emak kamu?"
"Sekolah teh geuning capek, Teh." Sekolah itu ternyata capek, katanya.
Saya menahan jengkel. "Memangna Lilis teh rek jadi naon mun teu sakola?" Memangnya Lilis mau jadi apa kalau tidak sekolah?
Anak itu malah angkat bahu.

Saya berusaha, oke?
Saya membujuk dia untuk terus bersekolah. Saya bahkan bilang, kalau dia pintar dan berprestasi saya akan membiayai dia sekolah bidan atau perawat. Saya sudah berunding dengan adik saya, dan kami sepakat akan patungan. Kebahagiaan besar buat saya kalau saya bisa memberi kesempatan seseorang untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya. Saya mungkin harus bekerja lebih keras agar bisa membiayai kuliahnya kelak. Saya mungkin harus menjadi seperti para orangtua yang menabung untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Apa saya merasa terbebani? Tidak. Saya malah sangat bersemangat membayangkan Lilis, saudara saya, kelak menjadi bidan atau perawat. Pasti saya akan ikut bangga.

Supaya ia tidak capek, saya bahkan berlangganan ojek untuk mengantar-jemput dia.

Ternyata semua itu tidak cukup penting buat si Lilis. Segala tentang sekolah, kuliah, menjadi bidan. Segala tentang ilmu, cita-cita, masa depan. Segala yang sudah saya lakukan dengan penuh semangat. Ternyata cuma saya saja yang bersemangat, ia tidak. Padahal kurang apa saya? Waktu saya bersekolah dulu, saya bahkan jarang jajan di sekolah karena uang saku harian hanya cukup untuk ongkos bus pulang pergi. Sementara Lilis tak pernah kekurangan uang saku dan diantar jemput ojek setiap hari.

Kenapa ia tidak bersyukur dan bersekolah sungguh-sungguh supaya pintar? Kenapa malah kabur pulang ke rumah orangtuanya di gunung sana dan tidak mau kembali?

"Abdi mah alim sakola, Teteh. Ti kapungkur oge abdi mah palay didamel. Bapak nu maksa abdi sakola." Saya nggak mau sekolah, Kak. Dari dulu juga saya ingin bekerja. Bapak yang memaksa saya sekolah.

Saya mau bilang apa? Saya tidak bisa memaksa kalau memang ia tidak menganggap sekolah itu penting.

Lilis kembali ke rumah orangtuanya di kaki gunung. Membantu mereka di ladang atau menjaga adik-adiknya. Lalu beberapa bulan kemudian ia pergi ke Jakarta untuk menjadi pembantu. Dan baru minggu kemarin saya mendapat sehelai kartu undangan pernikahannya dengan seorang lelaki yang dikenalnya selama di Jakarta.

Saya mau bilang apa?

Saya sudah berusaha, sodara-sodara. Jadi jangan kalian berbisik-bisik di belakang saya, mengatakan bahwa saya ingkar janji dan keberatan membiayai sekolah Lilis. Saya bukannya tidak mendengar semua gerundelan itu ya, tapi seperti biasa saya diam saja.

Masa bodohlah. Terserah orang lain bilang apa. Tanya saja si Lilis kenapa ia putus sekolah. Tanya sekalian apakah pekerjaan sebagai pembantu di Jakarta lebih mentereng daripada profesi bidan atau perawat.

Saya toh sudah pernah memberinya kesempatan.


pict from here

Image and video hosting by TinyPic

Friday, June 10, 2011

Patah Hati

Iya, betul. Saya sempat patah hati gara-gara menemukan banyak yang menjiplak tulisan saya. Sama seperti Gita, si Peri Musim, saya sempat sampai pada titik memutuskan tidak lagi menulis di sini.

Saya benci kalian, wahai para penjiplak! Kalian tidak tahu makna apa yang saya tulis, tapi tetap saja mengambilnya seenak perut untuk kepentingan kalian. Mengubahnya sedikit di sana-sini, atau membiarkannya utuh tapi memberinya label: untuk Bagaskara tercintalah, atau untuk siapapun monyet, kadal atau kecoa kalian yang saya tidak kenal. So sorry kalau kosakata saya masih 'ala terminal'. Tapi saya berhak marah.

Kalian tidak pernah tahu seperti apa proses saya ketika menulis semuanya itu. Dan betapa berartinya semua tulisan itu bagai anak-anak kandung saya sendiri. Setiap patah kata, setiap helai perasaan yang tersimbol di dalamnya, setiap tawa dan tangis yang menyertainya...

Kalau kalian pikir semua tulisan yang kalian curi itu hanya rangkaian kata-kata indah belaka, kalian salah. Salah besar. Tidak ada yang lebih indah daripada makna di dalamnya. Kata-kata dalam tulisan itu ibarat penunjuk arah menuju hati saya.

Ketika Gita bilang dia patah hati dan ingin berhenti menulis di blog, saya yang berteriak padanya untuk tidak melakukannya. Tapi ternyata saya merasakan hal yang sama sekarang. Beginilah rasanya dikhianati. Beginilah rasanya ketika orang-orang menculik anak-anak saya dan mengadopsinya tanpa izin.

Saya marah. Saya kecewa. Saya sedih dan nelangsa. Sementara tak ada satupun yang bisa saya lakukan selain berteriak-teriak di blog sendiri. Syukurlah masih ada orang-orang yang mau menyadari kesalahannya, tapi masih banyak yang tidak peduli dan tetap menjadi pencuri...

Sungguh. Saya patah hati. Patah hati yang lebih parah daripada putus hubungan dengan kekasih yang sangat dicintai. Semangat menulis saya anjlok sampai titik terendah. Fyuh!


PS: doakan saja semoga ini bukan tulisan terakhir saya di blog ini... :(


foto dari sini



Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, June 1, 2011

Menulis Itu Gampang #2

Buat kamu, maaf ya. Saya tidak bermaksud membesar-besarkan masalah. Saya senang dianggap memberi inspirasi untuk blogging dan menulis. Saya bersyukur karena apa yang saya lakukan sebagai hobi ternyata memberi masukan buat orang lain.

Tapi saya sedih kalau inspirasi itu diambil dengan cara yang salah. Berkali-kali saya bilang, menulis itu mudah. Jadi kenapa harus copy-paste tulisan orang lain, dan lalu mengubahnya sedikit di sana-sini dan diklaim sebagai milik sendiri?

Kamu menjiplak kalau kamu tidak memberi keterangan sumber dan referensi. Dan yang lebih menyedihkan lagi, kamu menghancurkan dirimu sendiri. Menghancurkan kesempatanmu untuk maju, menghancurkan kepercayaan orang lain padamu.

Kamu menyalin tulisan saya yang berjudul "Today is Birthday." Lalu mengubah dan menambahnya di sana-sini. Teman saya Maya menganggap kita hanya punya kesamaan ide. Menurut saya tidak. Plot dan alurnya sama, beberapa kalimat juga sama dan hanya diubahsuaikan dengan kondisi kamu sendiri. Yang lebih menyolok tentu saja judul yang memang sama.

Di post itu saya mengawali cerita terbangun karena merasa mendengar suara mendiang ibu saya memanggil. Kamu juga sama.

Saya melihat ponsel, dan menemukan SMS dari teman-teman. Kamu juga.

Kemudian saya menulis:

Ulangtahun tahun ini tanpa Ibu, tapi saya bersyukur mendapat begitu banyak perhatian. Ucapan selamat di fesbuk, di ponsel dan email. Beberapa teman dan sepupu menelepon, beberapa kado sampai di rumah meski tidak saya harapkan. Dan yang lebih berarti adalah doa dari mereka.

Kamu juga menulis:

Hari ini, banyak sekali kejutan yang mereka berikan, Ulang tahun ini tanpa mama, tapi saya bersyukur mendapat begitu banyak perhatian. Ucapan selamat di facebook, di ponsel dan email. Beberapa teman dan saudara menelepon, beberapa kado sampai di rumah. Dan yang lebih berarti adalah doa dari mereka.

Yang saya garis bawahi adalah yang kamu tambah dan ganti.

Lalu saya menulis ini:

Hari ini, saya tidak hanya memanjatkan doa syukur karena telah dipanjangkan umur dan diberi nikmat yang begitu besar oleh Tuhan. Saya juga berdoa bagi keselamatan kita semua. Berdoa untuk orang-orang yang saat ini sedang ditimpa bencana dan kesulitan. Saya percaya Tuhan selalu mendengar doa orang yang berulang tahun.

Dan kamu menulis ini:

Saya tidak hanya mengucap syukur karena telah dipanjangkan umur dan diberi berkat yang begitu besar oleh Tuhan. Tetapi saya juga mengucap syukur untuk sahabat-sahabat yang begitu mengerti saya. Marah, jengkel, tangis, tawa, kebahagiaan, kebersamaan, dan kesederhanaan itulah yang mereka berikan kepada saya.

Saya tidak mengenal kamu. Tapi saya merasa peduli. Sungguh, saya tidak marah. Saya cuma kecewa karena kamu menghapus komentar saya di bawah tulisanmu yang kamu jiplak dari tulisan saya. Padahal, saya sama sekali tidak menulis kata-kata yang kasar dan memojokkanmu, kan? Saya hanya bilang bahwa tulisanmu bagus, jadi sebenarnya kamu tidak perlu mengambil tulisan orang lain. Supaya kamu tidak menghancurkan potensimu dan lebih baik menjadi diri sendiri.

Padahal, kalau kamu tidak merasa salah, kamu punya hak jawab.

Maaf, kalau saya terpaksa menegur kamu secara terbuka. Demi menyelamatkan tulisan-tulisan saya dan tulisan-tulisan teman-teman yang lain dari kasus serupa, dan agar kamu belajar menulis dengan lebih jujur.

Saya harap teguran ini tidak mematahkan semangatmu untuk tetap menulis. Just keep writing and be yourself as I said in my comment that you delete.

Ini screenshoot post saya dan kamu:


Posting saya


posting kamu


PS: Klik gambar untuk tampilan lebih besar...


Image and video hosting by TinyPic

Friday, April 8, 2011

Are You Nuts?

Sebelum masuk ke dalam mobilnya, ia menoleh pada saya dan sepupu saya, Andara. "Hey, kalian gadis-gadis, cepat-cepat nikah dong! Nanti keduluan aku lho!" Lalu ia tertawa terkekeh-kekeh, merasa lucu dengan omongannya sendiri.

Saya dan Andara saling pandang. Andara mengulum senyum dan angkat bahu. Dia sih memang orang yang tidak pedulian. Sementara saya orang yang tidak pedulian dalam kadar yang lebih rendah. Jadi saya menyahut.
"Silakan aja duluan. Kami nggak masalah kok. Kami nggak bisalah saingan sama janda! Kami kan masih lajang!"
Andara menyenggol saya mendengar sindiran saya.

..................

Apa saya akan iri padamu? Tidaklah ya. Kenapa harus iri kalau kamu menikah duluan. Toh kamu akan menikah untuk kedua kali setelah menceraikan suamimu. Saya tidak akan iri, apalagi karena saya sudah tahu kedok pacar barumu itu.

Masih ingat waktu kamu membawa laki-laki itu ke rumahku, dan aku langsung berkhayal akan menyiramnya dengan kopi panas kalau sampai dia menjadi anggota keluarga kita? Itu karena aku sudah menyelidiki siapa dia dan jelas-jelas dia berbohong tentang pekerjaannya.

Dengan sekali angkat telpon saja saya langsung tahu dia berbohong. Kamu pikir buat apa bertahun-tahun saya menjadi wartawan, kalau untuk mengetahui kebohongan lelaki picisan seperti dia saja tidak bisa? Mengaku menjadi salah satu kepala instansi, ternyata cuma pegawai administrasi. Kebohongan yang parah, pembohong yang bodoh.

Saya sudah mencoba memberitahumu, tapi kamu menganggapku hanya iri. Hah! Iri? Itu adalah tuduhan paling tak masuk akal sepanjang sejarah hidupku. Iri karena kamu akan menikah dengan seorang pembohong yang kelihatannya hanya akan memoroti uangmu? Tidak, terima kasih. Saya hanya akan iri pada siapapun yang menjadi pacar Jang Geun-suk atau Yoo Ah-in. Itu konyol, tapi tidak sebego kamu.

Kamu, silakan menikah dengan lelaki mutu rendahan itu. Lelaki yang cengengesan di depanku, menganggapku anak ingusan yang bisa dibodohi seperti kamu. Dan seperti saya pernah ikrarkan dalam hati, alih-alih menganggapnya saudara, saya akan mencari cara untuk mengerjai dirinya.

Kamu itu, yang pendidikannya lebih tinggi dari saya, punya jabatan lebih bagus dari saya, ternyata orang yang bodoh ya? Memasukkan cacing tanah itu ke dalam keluarga kita lalu berbangga diri. Are you nuts?

gambar dari sini




Image and video hosting by TinyPic

Tuesday, March 22, 2011

Nggak Ada Judul

Cewek yang cemburu bisa lebih ganas dari singa lapar. Bertahun-tahun yang lalu teman saya, Claude, berkata dalam bahasa Indonesia yang masih menyisakan logat sengau Perancis-Kanadanya. Ia sedang menyindir saya, ketika siang itu saya cemberut karena sedang marah pada pacar saya.

"Ne pas intervenir, Claude!" Sahut saya sambil melemparnya dengan sepotong gorengan yang sedang saya makan. Jangan ikut campur, Claude. Ia tertawa. Entah menertawakan kesewotan saya, entah menertawakan logat Perancis saya yang kacau. Sisa-sisa mata pelajaran bahasa Perancis di SMA dulu.

Tapi ternyata Claude lebih mengenal diri saya dibandingkan saya sendiri. Selama ini saya tidak pernah merasa bahwa saya ini cewek yang cemburuan, seperti kata dia dulu. Setidaknya sampai kemarin. Ya. Kemarin.

Dan masalahnya menjadi ganjil, karena yang saya cemburui bahkan sudah bukan pacar saya lagi.

Saya menyesal masuk ke fesbuknya hari itu. Jaring sosial sialan! Seharusnya saya hapus saja akun saya disana. Sudah pernah akan saya lakukan, tapi kemudian saya ingat teman-teman saya disana. Semua teman SD sampai teman kuliah, para kolega, para sahabat, semua sepupu dan orang-orang yang sudah saya anggap seperti saudara. Saya tidak mau kehilangan tempat bertegur sapa dengan mereka dari kejauhan.

Seharusnya hari itu, setidaknya saya tidak masuk ke fesbuk dia. Tidak kepingin menuliskan sesuatu di 'dinding' untuk mengisenginya. Sehingga saya tidak perlu membaca reply-nya untuk komentar perempuan itu. Bahasa yang lembut plus ikon senyum.

Damn! Dia bahkan tidak pernah memberi saya ikon senyum! Dia selalu membalas keisengan saya dengan kata-kata konyol lagi. Haha-hehe tidak jelas. Tidak pernah lemah lembut. Tidak pernah manis. Brengsek! Memangnya dia pikir saya tidak pantas diperlakukan lembut?

Kenapa saya marah? Jangan tanya. Saya juga tidak tahu kenapa saya marah dan merasa terganggu. Saya tidak tahu kenapa saya iri dan cemburu. Saya tidak tahu kenapa ingin rasanya mencekik perempuan itu. Claude benar. Cewek yang sedang cemburu bisa lebih ganas dari singa lapar.

Hey! Seberarti itukah dia untuk kamu? Perempuan yang membuat aku terpaksa mundur dari hidupmu. Perempuan yang tidak pernah bisa kamu hindari. Betapa bodohnya aku yang masih saja berputar-putar di sekitarmu, padahal kau sendiri berputar-putar di sekitarnya.

Bukan berarti saya masih mencintainya. Benarkah? Kemarin seorang sahabat saya bilang justru penyangkalan saya berarti saya masih mencintainya.

I don't know! Teriak saya padanya. Jengkel. How would I know who I love right now! Orang yang mengabaikan aku di Inggris sana itu! Atau orang yang masih beramah tamah dengan perempuan jalang menyebalkan di negara ini! Hatiku kosong. Hampa. Kau bisa berteriak di sana sekencang-kencangnya dan mendengarkan gemanya berulang-ulang. Apa artinya itu? Hampa kan? Kosong kan? Bahkan mungkin tak ada oksigen untuk bernapas.

Selami hatimu. Selami.

Baiklah. Sudah aku selami. Kau mau tahu jawabannya, teman? Aku tidak mencintai siapa-siapa. Setidaknya saat ini. Saat ini aku tidak mencintai siapa-siapa. Aku terlalu bingung dan marah.

Mulai hari ini saya berjanji tidak akan masuk ke sana lagi. Ke akunnya yang penuh dengan cewek-cewek, yang selalu dibalasinya dengan lembut, terutama pada si jalang itu.

Kau, laki-laki brengsek sok macho! Keputusanku meninggalkanmu ternyata memang tepat. Aku baru menyadarinya sekarang.

Oke. Selesai. Calm down now.

foto dari sini




Image and video hosting by TinyPic

Sunday, March 13, 2011

Nepotisme dan Pejabat Alay

Dan mereka beraksi lagi! Yah, itu benar. Setelah mereka pikir saya sudah tidak berkabung lagi (siapa bilang?), mereka kembali dengan ide-ide yang mereka praktekkan sejak saya berumur 25 tahun. Apa lagi kalau bukan 'perjodohan.'

Sigh!

Sebagai latar belakang cerita, keluarga besar saya adalah keluarga yang sangat-sangat peduli terhadap satu sama lain. Terlalu peduli, sehingga kadang-kadang membuat orang penyendiri seperti saya terganggu. Terlalu peduli sehingga mereka mau repot mengurusi hal-hal yang seharusnya privasi. Saya tahu, maksud mereka baik. Keluarga besar saya terdiri dari orang-orang yang tulus dan penuh kasih sayang. Karena merekalah saya kuat setelah Ibu meninggal. Tapi untuk beberapa hal, seperti soal jodoh ini, benar-benar membuat pusing. Hahaha.

Mereka benar-benar tidak ingin membiarkan saya menjalani saja hidup saya dengan santai. Mereka ingin melihat saya bahagia, katanya. Yeah, well. Saya bisa bilang apa? Mereka kan orangtua-orangtua saya juga. Para paman dan bibi, yang ikut mengasuh dan menggendong saya waktu kecil. Fyuh!

Jadi, dimulailah cerita ini.

Seperti sejak dulu terjadi, saya selalu setuju berkenalan dengan siapapun yang mereka sodorkan. Kenalan saja. Gampang kan? Ujung-ujungnya kan saya punya seribu alasan untuk menjauh atau bikin gara-gara kalau laki-laki itu tidak menyenangkan. Atau kalau ternyata orangnya baik, saya dengan sopan akan mengajaknya berteman saja. Sejauh ini itu selalu berhasil. Hehehe.

Laki-laki ini, kata bibi saya, akan menelepon saya duluan. Baiklaaah, kata saya. Apa susahnya bicara di telepon. Lalu sorenya memang ada telepon masuk ke ponsel saya.

Anehnya, si penelepon mengaku sebagai atasan laki-laki itu di kantor mereka, sebuah instansi pemerintah tingkat provinsi. Saya terheran-heran. Lebih terheran-heran lagi ketika percakapan selanjutnya ia membicarakan tentang dirinya (yang mana juga masih lajang), bukan tentang anak buahnya tersebut.

Helloooow.... elu maksudnya mau nyomblangin atau mau narsis sendiri?

Saya masih melayani obrolannya itu, dengan perasaan yang semakin lama semakin heran dan muak. Soalnya dia membanggakan dirinya sudah bisa menjabat sebagai kepala instansi tingkat provinsi dalam usia semuda itu (usianya sama dengan saya).
"Oh, hebat dong," sahut saya datar. Dia pikir saya jenis perempuan yang gampang tertarik pada jabatan mentereng atau gaji yang besar. Dia pikir saya cewek rendahan yang matrialistis. Ya ampun! Penghinaan besar buat saya!
Tapi dia tidak merasakan nada saya yang dingin, malah terkekeh-kekeh ge-er. "Yah, begitulah."
"Ngomong-ngomong, kok yang mau kenalan sama saya nggak menelepon saya? Dia kerja di bagian apa ya?" Saya mencoba memancing pembicaraan ke arah subyek.
"Ah, dia sih bisa dibilang pembantu saya. Golongannya juga masih kecil."

Saya geleng-geleng kepala. Astaga! Dia menjelek-jelekkan anak buahnya sendiri, yang seharusnya berkenalan dengan saya. Ini jelas-jelas sabotase.

"Eh, kirim foto kamu dong," kata si atasan brengsek. "Sekarang juga."
"Maaf, saya nggak mau," jawab saya datar, menahan sumpah serapah di ujung lidah. "Seumur hidup saya nggak pernah ngasih foto ke orang lain. Nggak penting juga kan."
"Kok gitu sih?" Sepertinya dia agak tersinggung.
"Ya memang begitu."
"Kalau gitu punya fesbuk?"
"Saya nggak punya."
"Saya boleh ke rumah kamu?"
"Sama X, anak buah kamu itu?"
"Kalau nggak sama dia ya mungkin sendiri."

Ini jelas-jelas sabotase, dan saya tersinggung berat. Memangnya saya apa? Barang?

"Mudah-mudahan aja saya lagi di rumah. Soalnya sekarang saya sering ke luar kota. Sering banget malah." Saya tidak mungkin bilang tidak boleh. Kita tidak bisa melarang orang yang ingin bersilaturahmi kan?
"Jadi kamu nggak mau kasih foto nih?"
"Nggak."
"Saya nggak pernah melihat perempuan dari fisik, kok," ocehnya.
"Itu kan Anda. Kalau anak buah Anda itu gimana? Anda kan tidak berkepentingan dalam hal ini." Akhirnya keluar juga judes saya. "Jadi sebenarnya yang mau kenalan sama saya itu Anda atau anak buah Anda sih? Kok nggak jelas banget ya?"
Dia terdiam. Sepertinya pertanyaan saya menohoknya. Akhirnya dengan suara melemah ia beralasan ada tamu dan harus menyudahi percakapan.
Hah! Kena dia! Baru tahu rasa!

Lihatlah. Ini kedua kalinya saya bertemu dengan penyabot seperti dia. Masih ingat kisah cinta saya di masa awal saya kuliah kan? Tapi laki-laki ini lebih nista, karena dia menggunakan jabatannya yang lebih tinggi untuk berbuat culas.

Tidak berapa lama kemudian, ia mengirim pesan pendek. Sebuah ucapan terima kasih atas percakapan tadi, dan ditulis dalam bahasa alay.
Bahasa ALAY, saudara-saudara!

Bagaimana negara ini bisa maju, kalau pejabatnya ternyata alay? Nah, silakan pikir sendiri.

Belakangan ketika saya ceritakan ini pada bibi saya, saya akhirnya tahu si brengsek itu anak salah satu kepala daerah di Indonesia. Pantaslah semuda itu sudah jadi pejabat tingkat provinsi. Ternyata karena nepotisme.

Bergaya alay, nepotisme pula. Benar-benar bangsat birokrasi!
____________________

Kejadian ini saya ceritakan untuk menunjukkan moral sebagian pejabat kita. Mereka ternyata tidak cuma korupsi uang, tapi juga korupsi 'perjodohan' orang lain. Benar-benar memprihatinkan.


foto dari sini



Image and video hosting by TinyPic

Thursday, February 17, 2011

Sinetron Picisan

Ini buat kalian yang kompak ingin menimpuk saya. Kalian, cewek-cewek, yang sudah dewasa tentunya. Yang sudah mengalami periode menstruasi lebih dari seratus kali dan sudah bisa memproduksi bayi. Coba kalian baca dulu ini sebentar sebelum bergaya membela kebenaran.

............

Bahwa sejarah persahabatan saya dengan si Fulan terjadi jauuuuuh sebelum kalian beredar di depan muka saya. Kami dulu punya nasib yang sama, lalu saling meminjamkan bahu untuk menangis. Menyediakan telinga untuk mendengar dan menyisihkan waktu untuk saling menghibur.

Setelah luka kami terobati, kami jadi saling mengenal seperti orang serumah. Karena kami selalu mengobrol hampir setiap hari, dari pagi sampai sore. Membahas apa saja, bahkan hal-hal yang tidak penting. Tidak lagi menangis, melainkan tertawa terbahak-bahak. Menjadi badut untuk satu sama lain.

Saya sayang padanya dan berharap ia tidak terluka lagi. Ia orang yang rapuh, meski tampak luarnya seperti manusia super. Ia orang yang gampang sedih dan trauma, meski kelihatan jahil dan tertawa-tawa.

Saya selalu tahu kalau ada yang tidak beres. Saya selalu bisa menemukan hal-hal yang disembunyikannya, selalu bisa menebak dengan tepat setiap masalah, membuat dia kelabakan.

"Kok lu bisa tahu sih?"
"Ya tahu laaah. Masa lupa. Kagak ada yang bisa disembunyiin dari gue. Gue kan sakti."
"Oh iye ye. Hahahaha."

Bukan sekali dua kali saya menasehatinya. Bukan sekali dua kali saya memarahinya. Apa lantas dia jadi tidak suka saya? Tersinggung? Kesal? Murka? Tidak tuh. Dia menerimanya dengan senang hati. Karena dia tahu saya melakukannya karena sayang dan peduli. Karena saya tidak pernah bilang 'jangan.' Saya selalu bilang 'pikirkan.'

Lalu kalau dia saja terima, kenapa kalian tidak? Urusannya apa?

Setiap masalah yang terjadi padanya, setiap tragedi, saya selalu ada di sana menjadi saksi. Menjadi tempatnya bersandar. Menjadi tongkat yang menopangnya. Jadi kalau saya bilang 'tahu', itu karena saya tahu. Bukan karena saya Tuhan, tapi karena Tuhan memberitahu saya. Lewat pikiran, logika, analisa dan firasat. Karena pengalaman, juga karena indera keenam.

Apa kalian tahu seperti apa perasaannya terhadap saya?
Ia bilang menyayangi saya. Ia ceritakan pada saya rahasia-rahasianya yang bahkan keluarganya sendiri pun tak diberitahu. Ia tetap akan datang pada saya meski ia sedang sembunyi dari dunia. Ia akan minta pendapat saya kalau sedang jatuh cinta pada seseorang. Ia, yang kelihatannya tak peduli, tiba-tiba akan muncul dan bilang kangen pada saya. Akan ribut kalau saya sakit. Akan menyingsingkan lengan baju dan siap berkelahi kalau saya dilukai.

Saya tidak peduli ada apa diantara dia dan kalian. Tidak peduli seerat apa ikatan kalian dengannya. Sedalam apa perasaan kalian padanya. Sebesar apa kebanggaan kalian yang 'beruntung' dekat dengannya. Yeah yeah. Tentu saja dia memang baik, supel, perhatian, dan selebriti, bukan?
Jangan salah paham. Saya senang dia banyak teman. Ia jadi tidak kesepian. Terlindung oleh kasih sayang dan perhatian.

Masalahnya, kalian tidak akan pernah memahami ikatan di antara kami. Di balik pembelaan atas sesuatu, di balik dukungan atas seseorang, kalian itu sebenarnya tidak tahu urusan kami. Kalian tidak akan bisa mengerti. Tidak akan pernah bisa menyelinap ke dalam lingkaran kami yang dibuat jauuuuh sebelum kalian beredar di depan muka saya.

Jadi, tidak perlu repot-repot membenci saya dan menyempatkan diri mengkritik saya dengan sinisme yang tidak pada tempatnya. Saya tidak anti kritik, tapi jangan seperti anak-anak cewek sekolah dasar. Kalian kan sudah dewasa. Sudah bisa bikin anak. Dan ini bukan sinetron.

Wah, ribet banget ya kalian, gals. Yang seperti ini nih yang membuat saya merasa lebih nyaman berteman dengan cowok.



Foto dari sini




Pis!

Image and video hosting by TinyPic

Saturday, January 8, 2011

Orang Brengsek & Turis Gembel

Hey, saya mau backpacking ke Jogja! Keputusan mendadak yang saya buat setelah mengamuk pada seseorang.
Maaf ya Ucup botak, 'mengurangi kegalakan' tidak termasuk resolusi saya tahun ini. Lagipula siapa suruh orang itu cari gara-gara. Dia pikir, 'kejahatannya' akan saya biarkan berlalu begitu saja? Jangan harap.

Tadinya saya mau berangkat dengan seorang teman lama. Mantan atasan di zaman dahulu kala ketika saya masih wartawan ingusan. Saya menghormatinya sebagai senior dan selama ini kadang-kadang kami masih saling kontak untuk bertukar berita tentang pekerjaan. Jadi ketika ia mengajak saya bareng pergi ke Jogja, saya bilang oke. Tidak ada salahnya punya teman di jalan. Kami bisa bertukar cerita setelah beberapa waktu tidak bertemu.

Lalu dimulailah kebrengsekannya.
Beberapa hari yang lalu ia mengirim saya pesan pendek, bertanya apakah saya jadi berangkat bareng dia. Saya bilang jadi. Lalu pesan pendek berikutnya begini.

"Nanti kita berangkat dari stasiun Bandung. Saya tunggu di Bandung. Kereta sore."
"Oke, Pak. Saya ke Bandung pagi-pagi. Menunggu dulu di rumah tante saya. Ketemu di stasiun setengah jam sebelum kereta berangkat."
"Hmm... bagaimana kalau istirahat dulu di hotel?"

Jujur, saya agak kaget membaca tulisan itu. Saya pikir salah baca. Tapi memang itu yang ia tulis.

"Pak, saya akan menunggu di RUMAH TANTE SAYA. Ketemu di stasiun setengah jam sebelum berangkat."
"Ya sudah. Tapi nanti di Jogja kan menginap. Kita satu kamar. Terserah kamu mau atau tidak."

Apa? What the hell! Hampir saya banting ponsel saya saking kagetnya. Saya baca berulang-ulang pesan pendeknya, isinya tidak berubah. Brengsek! Kura-kura buduk! Kambing bandot!

Saya langsung naik darah.

"Saya batal pergi dengan Anda. Silakan Anda berangkat sendiri!"
"Lho, Enno. Saya bercanda kok. Kita tidak akan sekamar kok. Masing-masing saja. Bagaimana, terserah kamu saja."

Bercanda katanya? Itu bukan topik yang bisa dipakai bercanda dua orang dewasa lain jenis! Saya bukan perempuan bodoh. Saya tahu ia sedang berspekulasi. Kalau saya jawab 'oke', apakah ia akan bilang bahwa itu tadi cuma bercanda? Iris sebelah kuping saya kalau ia bilang itu bercanda. Tapi tentu saja tidak. Ia tidak akan bilang begitu. Ia akan senang hati sekamar dengan saya.

Saya marah. Langsung memutar nomor ponselnya. Mengoceh tanpa lebih dulu mengucapkan salam atau halo.

"Sepertinya saya harus meluruskan satu hal nih, Pak. Kalau saya berencana berangkat ke Jogja bareng Anda bukan berarti saya berharap dibayari ongkos dan akomodasi. Bukan berarti kalau Anda berniat membayari saya, Anda bisa mengajukan klausul yang tidak-tidak pada saya.
Saya cuma menghargai ajakan teman lama. Selama ini saya menghormati Anda sebagai senior dan mantan atasan, tapi ternyata Anda menganggap saya perempuan murahan dan bermain spekulasi yang melecehkan saya. Apa karena saya seorang perempuan dewasa yang belum menikah, lalu Anda pikir saya begitu gampangan? Apa begini cara Anda memperlakukan teman lama? Anda tidak malu sama saya? Padahal saya ini kenal baik isteri Anda , anak-anak Anda dan cucu Anda. Anda itu sudah tua, Pak. Sudah bau tanah. Sebaiknya segera bertobat!"

Klik. Saya tutup sambungan dan sekalian mematikan ponsel. Saya tidak mau dengar dia memberikan pembelaan diri atau permintaan maaf. Saya tersinggung berat.

Gara-gara mood saya rusak, saya pikir sebaiknya saya bikin sendiri saja acara perjalanan yang seru. Lalu saya putuskan tidak akan pergi ke stasiun besar dan naik kereta api yang nyaman. Saya akan jadi turis gembel. Backpacker sejati, yeah!

Ada stasiun kecil di dekat rumah. Dengar-dengar ada kereta ekonomi jurusan Jawa Timur yang lewat sana. Juga beberapa kereta barang jurusan Jawa Tengah. Akan saya temui kepala stasiunnya besok untuk minta informasi.

Dan mau tahu? Berbeda dengan mendiang Ibu yang selalu khawatir, Ayah saya tidak keberatan saya backpacking. Ayah malah bilang, "Nanti Ayah tambahin ongkosnya."
Hahaha.... Yay! He is the best dad in the world!

Hey kamu.
Bhumi Sambhara Buddhara.
Yang berdiri tegak di atas bukit bak pusat semesta.

Beratus tahun menantang zaman dan peradaban.

Tunggu aku.
Akan kubelai tubuhmu yang perkasa dengan penuh cinta.




foto dari sini



Image and video hosting by TinyPic

Tuesday, November 2, 2010

Odile

Ia itu seperti bahaya laten. Tahu kan? Dari bahasa Inggris 'latent', yang artinya eksis tapi belum aktif. Seperti faham komunis yang tiarap tapi menyebar diam-diam. Ada pertemuan-pertemuan rahasia, propaganda dan kampanye terselubung. Ada pamflet-pamflet dan berbagai tulisan berbau ideologis yang disebarkan, atau ditempelkan di tempat-tempat yang bisa dibaca orang.

Ia seperti bara yang sembunyi dalam sekam. Menjalar perlahan di antara serabut. Jari-jari apinya merayap sedikit demi sedikit. Merasuk ke dalam hati, menguasai kehendak jiwa. Akhirnya akan berkobar juga. Membakar dengan garang.

Ia itu seperti arsenik. Tak berasa, tak beraroma. Hanya dosis kecil, mungkin dalam kopimu lalu tertelan ke lambung. Disana ia menjalar perlahan, berenang dengan santai di pembuluh darah. Kau masih bisa tertawa dan berdansa sebelum akhirnya ia tiba di jantung dan membungkamnya.

Sekali waktu ia berubah seperti gula. Manis. Legit. Membumbungkan eforia dan bahagia. Naif, inosens. Tapi ia mengendapkan diri dalam tubuhmu. Lalu membuatmu kena diabet.

Ia bukan angsa putih. Ia hanya angsa hitam yang mengecat bulunya menjadi putih.

Hmmm.. tapi tampaknya ia lebih mirip bahaya laten, kan? Tiarap. Sembunyi-sembunyi. Menyusup di belakangmu. Sok baik. Sok manis. Tapi dengan pisau di punggungnya dan senyum munafik yang cantik.


Suatu hari saat kau mulai terlena, ia menusukkan pisaunya dan kau mati.

*Lalu ketika orang-orang bertanya kenapa ia melakukannya, ia hanya angkat bahu dan menjawab dengan enteng: 'Sori, kami sudah tidak cocok lagi'*



foto dari sini




Image and video hosting by TinyPic

Sunday, August 8, 2010

The Trigger

: Zel


Iya, dia memang selalu emosional kalau topiknya menyangkut 'pengkhianatan.' Dan kamu masih tanya kenapa dia begitu galak? Ah, bercanda kamu!

Kalau kamu pernah dikhianati pacar empat tahun-mu, atau pacarmu berselingkuh dengan kolegamu, dan itu hanya dua dari sekian kisahnya, kamu akan mengerti kenapa dia selalu emosi pada soal yang satu itu.

Dia pernah begitu trauma sampai melihat cermin pun tak sanggup. Tapi semua peristiwa sialan itu pada akhirnya membuatnya kuat dan tak pernah lagi menangisi lelaki. Tapi tetap saja. Tetap saja dia tak bisa menahan dirinya untuk bereaksi keras.

Sungguh, biasanya dia tidak selalu sekeras itu. Tapi ada yang tak bisa diubah dari dirinya: keteguhan memegang prinsip.

Dia benci tukang selingkuh, benci orang yang suka bermain hati, benci kekasih yang pembohong. Itu sudah prinsip, dan dia tak segan mengatakan pendapatnya kepada dunia. Hal itu, Zel, selalu menjadi trigger emosinya.

Jadi tidak usah bertanya kenapa dia mendadak bad mood dan jadi begitu galak. Kenapa semalaman dia menangis dan tak bisa tidur.
Karena Zel, apapun pengkhianatan yang dia ketahui, akan membangunkan lagi mimpi-mimpi buruknya yang dahulu.

Tidak usah kasihan padanya Zel, toh semua kemalangan itu bukan salahnya. Bukan. Semua temannya bilang, dia cuma salah pilih orang. Setiap orang toh punya jalan hidup masing-masing. Jalan hidupnya mungkin harus berliku dulu. Kebahagiaan masih menunggu.

Tidak Zel, dia ceritakan ini bukan untuk dipahami atau dibenarkan. Kan kamu yang tanya kemarin, jadi dia menceritakannya padamu.

Apa? Lebih baik dia sama kamu saja?
Ah, bercanda kamu!




yang lagi malas bercanda,

Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, July 28, 2010

Selingkuh Memang Indah!

: kau



Warning!

The feelings of betrayal and hurt
may take many years to heal.

...........

Kau tahu kan rasanya kalau cintamu dikhianati?
Seperti aku. Aku sudah pernah dikhianati. Oh, tidak, bukan pernah. Apa namanya kalau itu terjadi lebih dari tiga kali? Sering? Ya sering. Apakah ada yang tahu rasanya? Bagaimana dikhianati cinta itu? Ketika kamu mencintai seseorang, mengira ia juga mencintai sebanyak (atau lebih) dari yang kita beri, tapi kemudian ternyata itu hanya sebanding dengan angka nol besar?

Kau sudah pernah merasakan hal yang sama kan? Cintamu juga pernah dikhianati dan kau bilang rasanya pedih seperti luka disiram cuka. Kau sembuh setelah tahun-tahun penuh trauma dan krisis tak percaya diri. Persis. Aku juga. Dulu aku selalu mencari-cari kekurangan diri. Aku bahkan takut melihat ke dalam cermin.

Entahlah kalau kau.
Tapi sakit dan pedih itu membentuk diriku yang baru. Yang kini lebih menghargai perasaan orang lain. Yang lebih menghargai harapan seseorang yang ditanamkan kepadaku. Menghargai kepercayaan seseorang yang mencintaiku.

Aku benci pengkhianat. Lebih dari pembunuh. Karena pengkhianatan atas cinta tidak hanya mengambil jiwa dan kehidupan. Ia mengambil segala harapan dan semangat. Segala kebahagiaan dan cita-cita yang tumbuh bersamanya. Menghanguskan mimpi dan angan-angan. Mengambil segenap kepercayaan kita kepada dunia.

Aku tak bisa terima apapun pembenaran untuk pengkhianatan atas cinta. Tentu. Tentu kau mau bilang kau dulu salah pilih orang. Kau dulu berpikir kekasihmu yang sekarang adalah orang yang kau inginkan? Basi.

Memangnya kau Siti Nurbaya yang langsung harus menerima pinangan Datuk Maringgih yang tak kau kenal sebelumnya? Memangnya kau memungut pacarmu itu di jalanan dalam kondisi amnesia dan lupa siapa dirinya? Memangnya kau begitu bodohnya sampai tak bisa mempertimbangkan seseorang untuk dirimu sendiri?

Kau PASTI mengenal dia sebelumnya. Kau berteman dengannya. Kau mengobrol dengannya. Kau akrab dengannya.

Oh well. Sekarang aku tahu, hari-hari indahmu dengannya itu cuma omong kosong seorang pembohong. Kau merangkai drama romantis baginya dan bagi kami. Kami berseru kagum dan bertepuk tangan, juga iri pada kebahagiaanmu dan ternyata itu palsu.

Begini saja. Singkatnya, kau tak bisa beralasan kau menemukan seseorang yang lebih ideal, yang selama ini kau impikan, sehingga sah-sah saja bagimu mengabaikan orang yang mencintaimu itu. Tak ada satupun hal di dunia ini yang membenarkan tingkahmu bermain hati dengan yang lain, sementara di sisimu seseorang mencintaimu dan mempercayai kejujuranmu.

Hey kau tahu, kau tak bermoral!

Entahlah kalau kau. Tapi pernah dikhianati membuatku lebih peka terhadap perasaan orang lain. Dan apapun alasannya, aku tak akan pernah mempermainkan orang yang mencintaiku dengan tulus.

Lalu mungkin, kuduga, kau akan sampai pada keputusan untuk pergi dari pacarmu? Pergi perlahan-lahan, menghitung dalam hati, untuk menghilang darinya? Pernahkah kau kembali barang sejenak pada kenangan kelammu dan rasa sakit yang menyiksa itu? Apakah kau pikir ada orang yang kebal dengan perasaan itu, bahkan kekasihmu yang sedang kau khianati itu?

Kau ini memang tak punya hati.

Sudahlah, tak usah banyak cingcong. Mungkin dulu kau mencomot dia menjadi pacarmu cuma untuk menambal luka. Dan itu memperjelas siapa dirimu, si tukang mempermainkan orang.
Kau pikir aku percaya pada apapun perasaan yang kau gambarkan tentang 'korbanmu' yang baru?

Umbar saja. Puja puji saja. Setiap hari kalau mau. Bagiku itu bullshit.

Oh, dan apakah orang yang baru itu benar-benar sesuai impianmu? Jangan-jangan cuma menambal kebutuhan yang tak kau dapat dari pacarmu yang sekarang.
Apakah kau yakin hatinya tak terikat pada siapapun selain kamu?
Apakah kau yakin ia sedang tidak mencintai orang lain?
Apakah kau yakin ia tidak dalam pelarian seperti kau dulu waktu memilih pacarmu?
Dan apakah kau yakin kau tidak akan berkhianat lagi jika ternyata ia juga tak sesuai kebutuhanmu.
Kau kan sepertinya menganggap mereka barang yang bisa dibuang kalau kau bosan.
Cuma sebesar itu kan arti cinta bagimu?

Manusia punya hati. Punya perasaan. Kau punya tidak?


Yeah, aku memang sinis dan sarkastis. Kau kan sudah tahu aku.
Lalu memangnya kenapa?
Yang jelas aku tidak bertingkah bagai remaja labil seperti dirimu. Kalau kau pikir aku bakal bertepuk tangan bahagia untukmu, kau SALAH BESAR!
Aku ini tumbuh dari luka. Aku mengerti rasa pedihnya.



_____________

iyalah tau, selingkuh itu memang indah! tak pedulilah kalau harus menyakiti orang. yang penting dapet cowok keren. Iya kan?


Image and video hosting by TinyPic
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...