Showing posts with label Pensieve. Show all posts
Showing posts with label Pensieve. Show all posts

Thursday, December 5, 2013

The Rain

"Aaaah! Hujaaan! Cepat berteduh!"
"Cuma gerimis kok!"
"Akan semakin besar. Mendungnya gelap! Cepat!"
Aku diseret memasuki sebuah kafe yang nyaris penuh. Masih ada sebuah meja dekat jendela yang tak diduduki siapa pun. Sepertinya baru saja ditinggalkan.
"Beruntungnya kita!" Ia tertawa. Membanting dirinya di bangku rotan dengan bantalan empuk bermotif pasley bunga-bunga biru.
Aku menatap ke sekelilingku. Kafe yang cantik. Desain interiornya bergaya sangat hommy. Kami seperti berada di sebuah ruang makan keluarga.

"Kafe favorit!" Ia mengedipkan sebelah mata kepadaku. Hari ini, kacamatanya ditanggalkan. Ia memakai lensa kontak abu-abu. Sudah lama aku tidak melihatnya memakai lensa kontak. Warna abu-abu selalu jadi favoritnya.
"Kenapa kamu memelototi aku kayak gitu?"
Aku hanya tersenyum. Lalu pelayan datang. Seorang perempuan muda berkemeja krem dan rok hitam, memakai rompi bunga-bunga.

Aku memesan spagetti carbonara. Ia memesan chicken salad. Aku meminta sparkling water dan ia meminta lemon tea.
"Oh, seandainya di sini mereka menyediakan teh tarik juga. Maka sempurnalah kafe ini bagiku." Ia mengeluh setelah pelayan itu berlalu.

Aku menoleh kepadanya, menemukan dirinya telah mematung menatap keluar jendela. Hujan makin menderas di luar sana. Hanya ada mobil-mobil yang melambat karena kemacetan yang biasa terjadi setiap kali hujan, dan sedikit pejalan kaki yang nekat menerobos gerimis dengan payung di tangan. Ia sedang melamun. Teh tarik adalah sebuah indikasi.

"Hei, mau dengar cerita lagi?" Ia menoleh tiba-tiba. Tangannya terulur mencolek tanganku. Kusadari satu hal. Tangan itu kecil dan rapuh. Sejak kapan ia menjadi kurus?
"Oh, aku kurusan ya?" Ia membaca pikiranku lagi. "Bagus kan?"
Tidak. Kamu kelihatan menyedihkan. Baru dua minggu yang lalu bundar, tiba-tiba sekarang menciut. Itu menyedihkan, karena pasti bukan karena dietmu berhasil.

Ia terkekeh. Kusadari kemudian. Ia pasti menertawai pikiranku barusan.

Sementara itu, di luar jendela, hujan masih saja turun. Kali ini bahkan lebih deras. Kulihat matanya mulai berkabut. Namun seperti kemarin-kemarin, ia tersenyum. Ah. Kau menahan perasaanmu lagi?

"Setiap kali ketemu dia dulu, selalu ada hujan di dalamnya. Hujan seperti mengikuti takdir kami."
Oh. Berhentilah bernostalgia. Itu akan menyakitimu.
"Diamlah," tukasnya menyela pikiran dalam benakku. "Mengenang atau tidak, sama menyakitkan, tahu. Aku lebih memilih mengenang dan menikmati sakitnya. Tahu kenapa? Karena dengan begitu, seolah-olah ia masih bersamaku di sini. Di benakku."

Baiklah. Terserah kau.
"Hujan," lanjutnya. "Hujan di balkon kecil, saat aku membuatkannya secangkir teh manis hangat. Ia juga ternyata tak melupakan malam itu. Hujan saat kami pergi menonton dan harus berteduh dulu di toko buku. Hujan di tengah-tengah kabut Bromo dini hari, ketika kami gagal melihat matahari terbit. Hujan di Batu, Malang, saat kami berada di alun-alun. Hujan, selalu hujan. Akhirnya, setiap kali hujan turun di kota masing-masing, kami saling merindukan."

Pesanan kami tiba. Pelayan yang tadi tersenyum pada kami sambil berkata, "Selamat menikmati."
"Terima kasih," jawabku. Terkesan dengan keramahannya.

"Saladnya enak." Ia menuding piringnya. "Kau mau coba?"
"Tidak. Terima kasih. Spagettiku lebih menggairahkan."
Ia tertawa. Gelak lantang seperti kanak-kanak. "Kadang-kadang, kau seperti dia. Lebih banyak diam dan larut dengan pikiran sendiri. Aku sering mengajak bertaruh diriku sendiri tentang apa yang ada dalam benaknya saat bersamaku."
Kau... tak bisa kah kita bicara hal yang lain saja? Napasku sesak setiap kali kau bercerita tentang lelaki itu. Kau membuatku seolah-olah mengenalnya. Apakah aku pernah bertemu dia? Pernah kah? Di mana? Kok rasanya seperti aku telah mengenalnya seumur hidupku...

"Mungkin kau mengenalnya." Ia menyeringai. "Mana kutahu. Kau yang lebih tahu. Coba ingat-ingat."
Aku tidak mungkin akan ingat. Akhir-akhir ini otakku seperti mesin tua karatan.
Ia mengangkat bahu, kembali menekuni isi piringnya.
"Dia suka semua masakan ayam. Kalau dia makan ini, pasti dia juga suka. Ini enak."
Kalau gitu, dia itu sejenis musang?
"Kau ini!" Ia tergelak lagi. "Masa aku mencintai seekor musang?"
Kau masih mencintainya, ya? Kurasa kalau dia berubah jadi seekor musang pun, kau tetap mencintainya.
"Bagaimana mungkin aku tidak mencintainya?"
Ada yang mengharuskanmu?
Ia terdiam.

Lalu terdengar suara guntur di luar sana. Hujan semakin menderas, kali ini dengan kilat yang sambar menyambar.
Oh, Tuhan. Kenapa jadi badai?

"Badai ini tidak seberapa, dibandingkan apa yang pernah kualami."
Apa yang pernah kau alami?
"Nasib buruk. Kebodohan. Kepedihan. Penyesalan."
Jangan memberiku puzzle yang aneh begitu.
"Aku tidak mau cerita sekarang. Hujan akan membuatku menangis panjang. Di sini terlalu banyak orang. Kau mau mereka menontonku?"

Ya sudah. Terserah kau. Aku melanjutkan makanku.
Perempuan itu juga. Kulihat matanya berkaca-kaca.

"Aku tak pernah bilang padanya, sebanyak apa ia sudah menyakiti hatiku. Aku tak pernah benar-benar berterus terang bahwa ia menyiksaku dengan simpanan kenangan, sementara ia terus melangkah pergi. Membiarkanku menatap punggungnya. Kenangan yang ia campakkan seperti tak pernah terjadi apa-apa. Mungkin, ia memang tidak pernah benar-benar mencintaiku."

Spagetti di piringku belum habis. Tanganku terulur meraih jemarinya yang dingin menggigil.
Kau. Kenapa tak pernah bisa lupa?


Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, November 27, 2013

The Sea

Ia  tersenyum.
Perempuan itu. Tersenyum dengan bibir terkatup. Matanya memandangi cakrawala nun jauh di tepi lautan. Ia duduk di atas pasir putih yang berkilauan disiram cahaya, sementara matahari bertahta tepat di atas kepala. Terik. Namun, ia bergeming. Setetes keringat bergulir jatuh dari pelipisnya ke bawah dagu. Ia mengusapnya dengan punggung tangan. Senyumnya belum hilang.

"Kau tahu tidak..." Akhirnya ia bersuara. Intonasi yang pelan dan tenang. Sementara matanya menerawang. "Kau tahu tidak, hari itu sebetulnya aku malu."
Aku memandanginya. Menunggu penjelasan dari kalimatnya yang tak berpangkal.
"Oh!" Ia terkekeh. "Maksudku, hari itu, ketika kami pertama kali bertemu."
Ah. Oke. Aku mengerti sekarang, topik apa yang ingin ia bicarakan hari ini. Bernostalgia? Baiklah. Mari kita lakukan. Ceritakan padaku semuanya.
"Aku menjemputnya di stasiun kereta api. Langsung berceloteh riang, sementara ia bahkan tak benar-benar menatapku. Ia hanya tersenyum. Menatap sekilas-sekilas kepadaku. Aku tahu, ia masih canggung. Itu pertama kalinya kami bertemu. Pertemuan yang pertama, setelah kami jatuh cinta duluan. Aneh, kan?"
Aku menggeleng. Tidak. Tidak aneh. Banyak yang seperti itu. Jatuh cinta sebelum benar-benar bertemu. Cara berkomunikasi sudah semakin canggih saat ini. Kita bahkan bisa saling memandang di layar gadget, bukan? Tidak. Tidak ada yang mengherankan lagi.

"Aku memberinya kue. Ia memandanginya sebentar. Lalu memakannya satu. Wajahnya agak merona sepanjang kami duduk di dalam mobil. Aku sudah jatuh sayang padanya sebelum itu. Tetapi hari itu... kurasa, hari itulah aku benar-benar jatuh cinta padanya."
Perempuan itu tertawa kecil. Ia menepis secuil cabikan pelepah kering yang entah melayang dari mana dan mendarat di lengannya.
"Tapi... sebenarnya aku juga malu."
Lagi-lagi, aku hanya bisa memandanginya. Menunggu ia melanjutkan ceritanya.
"Kau pasti tahu. Kalau aku mulai sangat bawel, itu artinya aku sedang menahan perasaan. Jadi hari itu, aku terus saja berceloteh ini-itu kepadanya. Sesekali ia mengacak rambutku dan mengatai aku bawel. Aku malu. Aku malu, karena aku merasa tak cukup baik untuknya."

Kenapa? Aku ingin melontarkan pertanyaan itu kepadanya. Kenapa kau merasa begitu? Kau tidak cacat fisik, tidak cacat mental. Kau tidak bodoh, tidak idiot. Kenapa?
Ia bisa membaca pikiranku tampaknya. Senyumnya mengembang. Manis sekali. Kubayangkan ia sering tersenyum seperti itu kepada si lelaki yang sedang ia ceritakan. Itu senyum yang sarat dengan kebahagiaan.

"Waktu pertama kali melihatnya, aku terpana. Ia tinggi. Jauh lebih tinggi dariku. Oh, tentu saja aku sudah tahu, ia memang tinggi. Ia sudah bilang padaku. Tapi ada sesuatu dalam dirinya..." Ia menghentikan kalimatnya. Wajahnya tiba-tiba melembut. "Ada sesuatu yang kulihat di matanya yang sipit. Di senyumnya yang tenang. Sesuatu yang mengalir melalui kulitnya ke kulitku saat kami bersentuhan. Ia.... baik. Dan ia benar-benar mencintai aku. Aku malu dicintai sebesar itu..."

Kau pantas dicintai sebesar itu. Aku menggeleng-geleng tak habis pikir. Perempuan ini terkadang terlalu menilai rendah dirinya sendiri.

"Dan aku mencintainya. Sama besarnya. Mungkin lebih. Aku melanggar nasehat ibuku. Ibu bilang, perempuan jangan mencintai lebih besar dari yang ia terima. Kita tidak pernah tahu isi hati lelaki."

Well, kurasa ibumu itu ada benarnya. Aku ingin mengatakannya. Namun, akhirnya kusimpan komentar itu di dalam hatiku saja.

"Ia memang baik." Kudengar napasnya dihembus pelan. Aku terpesona dengan intonasinya saat mulai hanyut dalam cerita. Suaranya, yang biasanya ceriwis, kini terdengar pelan dan lambat-lambat. Bukan lembut mendayu-dayu seperti jika kau membujuk seseorang. Ini seperti kekuatan yang ditahan erat-erat. Perasaan yang dikendalikan. Seperti kau ingin menangis, tetapi air matamu habis.

"Ia orang yang lebih banyak diam. Seorang pemikir. Penganalisa. Ia membiarkan aku yang menciptakan suasana dengan suaraku, tawaku, omelanku. Ia hanya akan memandangiku. Tertawa kecil, mengerutkan kening, mengulurkan tangannya untuk memelukku. Ia tidak banyak bicara, dan aku menyukai hal itu. Bukan karena aku takut kalah bicara kalau ia cerewet juga. Tetapi, karena aku tahu, dalam diamnya ia menjagaku. Dalam heningnya, ia mencintaiku. Ia memberiku kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Kau tahu, aku bahkan tak merasa perlu makan dengan rapi jika bersamanya. Jika sebagian cewek berusaha makan sambil menjaga imejnya di depan pria, aku makan seperti kuli kelaparan kalau mau. Atau tak menghabiskan makananku dan menyuruhnya menghabiskannya. Bersamanya, tak ada yang layak ditutupi."

Aku tak percaya. Seorang laki-laki seringkali menuntut beberapa hal dari kekasihnya. Terkadang banyak hal.

"Oh, tentu saja kadang-kadang ia menuntut sesuatu," sergahnya. Perempuan ini sepertinya memang ahli membaca pikiran, aku yakin. "Terkadang ia sedikit mengatur. Tetapi anehnya, aku suka diatur olehnya. Aku lelah mengatur segalanya sendirian selama ini. Memikirkan apa yang harus kulakukan, apa yang sebaiknya kukerjakan. Caranya menuntut tidak membuatku sesak. Itulah hebatnya. Lagipula, apa yang ia inginkan bukanlah hal-hal yang bertentangan dengan prinsipku. Ia cuma minta sedikit ini, sedikit itu. Dan seringkali itu adalah hal-hal yang sesungguhnya kusukai atau kulakukan sesekali. Jadi apa ruginya bagiku? Itu hanya hal-hal kecil, yang akan menggembirakan hatinya."

Aku memperhatikan perempuan itu selagi ia bicara tentang lelaki itu. Senyumnya masih sama. Namun matanya kini berkaca-kaca.

"Membicarakannya seperti ini membuatku rindu."
Astaga. Rindu, katanya. Kau tinggal menghubunginya, Perempuan. Ambil ponselmu, cari nomornya dan sambungkan.

"Ia sudah pergi."
Pergi? Kemana?
"Oh, kisah kami tidak semulus yang kau pikirkan." Ia menggeleng. "Kami harus memperjuangkan sesuatu. Yang bagi beberapa orang tidak masuk akal, tidak layak dipertahankan."
Berjuang? Kalian berjuang? Seperti merebut kemerdekaan saja.
"Kami memang mau merdeka. Merdeka untuk saling mencintai."
Lalu? Apa yang terjadi? Di mana ia sekarang-lelaki yang kau bilang baik itu? Ia meninggal? Atau pergi meninggalkanmu?
Senyumnya tampak sedih sekarang. "Sudah hampir senja," ujarnya seraya bangkit dan menepis pasir dari celana jinsnya. "Kata orang, melihat sunset terbaik harus dari atas karang yang di sana itu. Maukah kau menemaniku?"
Kenapa aku harus tidak mau?
"Ayolah." Ia berjalan mendahuluiku dengan langkah-langkahnya yang riang. "Kulanjutkan kapan-kapan ceritaku. Aku ingin memotret senja." Ia tertawa, mengacungkan tas yang sejak tadi terselempang di bahunya. Aku tahu, di dalam tas itu ia menyimpan kameranya.

"Cepat!" Ia berseru dari jauh. "Nanti senjanya keburu pergi. Aku tidak mau lagi ditinggalkan!"


--------------------------------

Sudah lama tidak menulis komprehensif di blog.
Halo semua! ^^


Image and video hosting by TinyPic
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...