Showing posts with label Bandung. Show all posts
Showing posts with label Bandung. Show all posts

Sunday, November 23, 2014

Get Lost Journey -- Day 2

"Tulung, Neng. Tulung..." Sesosok tubuh seperti jatuh tersungkur ke dekat kaki saya, membentur dinding. "Tulung, bebaskeun abdi..."
Saya tertegun, lalu kembali melanjutkan langkah. Hati saya sedih sekali. Tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakannya.
Lalu sosok berbaju seragam militer tersorot ketika cahaya senter saya menerangi sebuah ceruk. Saya menahan kebencian saya dan berlalu. 
Oh, betapa tempat ini menguras emosi.

...................................


Hari kedua di Bandung dibuka dengan lokasi yang lagi hit bingit di socmed.
Berpose kekinian di Tebing Kraton.

Dan saya kecewa.
Cuma gitu-gitu aja? Nanjak ke sebuah kampung yang lokasinya di atas bukit, lalu ada sebidang tanah di ujung kampung dengan tebing menjorok ke jurang. Bebatuan yang bertonjolan di situ kemudian dipakai sebagai sandaran untuk berfoto dengan latar belakang jurang..
Really? Nggak ada obyek lain?
Bah! Bagusan Garut Selatan kemana-mana. Iya sih, buat orang yang nggak pernah mblusukan ke kampung alias turis koper, tebing ginian dibilang bagus.

Waktu baca-baca pengalaman yang sudah ke sana di internet, banyak yang menggambarkan jalan ke desa Ciburial di mana tebing itu berada seram banget.
Jalanannya rusak paraaaah, katanya. Sempit bangeeet, katanya. Licin, katanya. Hati-hati masuk jurang, katanya. Mending naik motor, katanya. Pokoknya bikin kesannya itu bahaya banget.
Saya sampai sempat wanti-wanti ke sopir mobil rentalan untuk beneran hati-hati.

Nggak taunya, jalanan nggak seseram yang digambarkan orang-orang. Iya rusak, sempit, berbatu-batu, dan ada satu tanjakan tajam mendekati lokasi.
Tapi itu mah biasa aja. Buat saya.
Masih lebih bahaya rute ke Garut Selatan keleus...
Mungkin kebanyakan yang mereview rute ke Tebing Kraton adalah orang kota atau yang tinggal di daerah-daerah dataran rendah. Jadi rute off road tak beraspal, geradakan penuh batu dan menanjak bukit itu dianggap hal yang luar biasa berbahaya. No offense lho...

Justru, tebingnya yang berbahaya.
Kebanyakan menulis bahwa tebingnya menampilkan view yang indah, seolah di dunia lain, romantis dan dramatis.
Well, iya sih.
Tapi berapa banyak yang bilang kalau batu yang menjorok ke jurang ratusan meter di bawah itu berbahaya?
Bebatuan itu hanya menempel di dinding tebing. Sebagian menjorok ke luar, sebagian tertanam di dinding tanah yang mudah longsor atau tercongkel (kalau beban di atasnya terlalu berat). Padahal kalau lihat foto-foto yang beredar di socmed, banyak yang berdiri ramai-ramai di situ untuk berpose groufie.

Mari kita tinggalkan tebing yang biasa-biasa aja itu.
Saya dan Morgan turun dari kawasan tebing dan menuju ke Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ir. H. Djuanda. Hutan lindung ini dan Tebing Kraton sama-sama di bawah pengawasan Perhutani. 
Nah, di Tahura ini banyak pohon pinus. Lumayan buat foto-foto ala adegan Bollywood.

Goa Jepang dan Goa Belanda

Dan inilah yang mau saya ceritakan. Di kawasan Tahura ada dua buah gua peninggalan Jepang dan Belanda. Dulunya digunakan ketika perang, untuk menimbun logistik dan perlindungan dari musuh.
Sudah lama banget saya kepengin ke dua gua ini, karena saya suka gua... dan tentu saja semua teman saya tahu, saya suka sejarah.

Kami jalan kaki menyusuri jalan setapak hutan. Mudah kok, karena ada papan penunjuk arahnya. Yang pertama dijangkau dari arah kami datang adalah Gua Jepang. Seorang pemuda yang bekerja sebagai guide menyambut kami. Saya--yang biasanya sotoy ogah pakai guide--kali itu merasa butuh. Soalnya, saya kan ingin diceritai sejarah gua sambil menyusuri lorongnya.

Guide kami masih muda. Saya dan Morgan (yang ragu-ragu hahaha) mengikutinya masuk ke dalam. Pintu masuk gua itu lebar dan kira-kira setinggi dua meter. Di dalam gelap. Saya menyalakan senter yang harus disewa seharga lima ribu, menyorotkannya ke depan lorong.

Dan si guide mulai menceritakan sejarah gua, sambil menyusuri lorong demi lorong dan menyinari ceruk demi ceruk.

"Guanya dingin ya, A..," komentar saya. 
"Iya, Teh," sahutnya. "Jepang bikin beberapa ventilasi, jadi banyak udara dan angin yang masuk."
"Tapi ini dingin sekali..."

Morgan berjalan di belakang saya. Diam saja sambil menyorotkan senternya lurus ke depan. Saya tahu, sebenarnya dia takut.

"Bade naon kadieu? (mau apa ke sini?)"
"Eh?" Saya menoleh ke Morgan. Tapi ia tampak bungkam. Siapa yang nanya tadi?
"Kade, ulah lami teuing di dieu. Seueur nu jail... (awas jangan terlalu lama di sini. Banyak yang usil)"
Suara itu terdengar dari sebelah saya. Kini lebih jelas, dan terdengar seperti suara seorang kakek.
Sementara itu, si Aa Guide masih berjalan di depan kami. Ia tidak tahu apa yang saya dengar. Kakek tak kasat mata itu lalu terdengar batuk-batuk. Saya ngerti, ia menunggu jawaban saya.
"Muhun (iya)," sahut saya dalam hati. "Moal lami (tidak lama)."

Kemudian, saya berusaha mengalihkan fokus saya dan bertanya-tanya tentang sejarah gua lagi kepada guide. Gua itu, kata guide kami, dulunya dibangun Jepang sebagai tambahan dari Gua Belanda, yang sudah ada sejak tahun 1800-an. Belanda membangun gua pertama sebagai tempat reservoir atau penyimpanan cadangan air dari mata air yang ada di pegunungan sekitar.
Goa Jepang dibangun sekitar tahun 1942, menjelang Perang Dunia Kedua, untuk dijadikan tempat logistik dan perlindungan dari tentara Sekutu.

Saya membayangkan berapa banyak orang yang diangkut ke tempat ini, dipaksa untuk membuat gua. Melubangi dinding batu cadas yang kerasnya minta ampun, membuat lorong dan ceruk-ceruk lebar. Sementara Sekutu sudah mulai mendarat di Indonesia.
Perlu ratusan orang yang bekerja siang malam, ngebut untuk mengejar deadline, agar Sekutu tidak keburu menyerbu.

"Tulungan abdi, Neng...(tolonglah saya, Neng)"
Lamat-lamat, saya mulai mendengar rintihan minta tolong dari segala penjuru. Shit! 

"Aa, ini teh lorongnya masih panjang?"
"Enggak, Teh. Ini belokan ke pintu keluar."
Ketika pintu keluar tampak, Morgan mendahului kami keluar. Hahaha. Meskipun belakangan dia ngakunya malas gelap, saya nggak bisa dibohongi dan tahu dia takut.
Di dalam gua Jepang, meski ventilasinya cukup bagus, namun udara pengap oleh bau amoniak dari guano (kotoran kelelawar). Gua itu memang menjadi sarang koloni kelelawar. Mereka bergantungan di langit-langit gua, di atas kepala kami sepanjang lorong.

Terbebas dari hantu-hantu para romusha di dalam gua dan menyengatnya amoniak dari guano, semangat saya muncul lagi. Saya ingin segera melihat Gua Belanda, yang letaknya satu kilometer dari Gua Jepang.
Ada orang-orang yang menyewakan motor. Namun, kami menolak dengan alasan ingin memotret sepanjang jalan, maka kami wajib jalan kaki.

Mengobrol dengan guide saya (sengaja namanya nggak disebut) menyenangkan. Ia dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan saya, yang nggak bisa lepas dari gaya wartawan lagi ngorek informasi hehehe. Tidak sampai lima belas menit, kami sudah sampai di depan sebuah tebing tinggi, dengan pintu gua terbuka seolah-olah mempersilakan kami masuk, namun kali ini Morgan tidak mau ikut. Ia memilih menunggu di luar.

Keadaan di dalam Gua Belanda tidak segelap di Gua Jepang. Lorongnya lebih lebar, dengan lantai berubin di beberapa bagian lorong depan. Dinding gua ditembok dan dikapur, dan tampak bahwa strukturnya lebih modern. Ceruk-ceruk di sepanjang lorong menyerupai kamar-kamar berdinding lengkung. Tampak beberapa rak semen di dinding dan ada rak-rak besi bekas menaruh mesin dan radio komunikasi.

Gua Belanda tidak terlalu dingin seperti Gua Jepang. Di bawah kaki kami, tertutup ubin tua, adalah saluran air yang dulu dibangun Belanda.

Menurut guide kami, Jepang menjadikan Gua Belanda sebagai markas tentara. Lengkap dengan sel tahanan, ruang interogasi dan kamar-kamar istirahat para perwira. Saya sih bisa ngerti. Soalnya gua Belanda lebih mirip benteng daripada gua. Mungkin karena ditembok dan lebih luas, ya...

Tetapi dulunya, pembangunan gua ini di masa penjajahan Belanda, juga menyisakan kisah pedih para pekerja rodi. 

"Ini dulunya sel tahanan dan tempat penyiksaan." Senter Aa Guide menyorot sebuah lubang yang hanya cukup dimasuki dengan berjongkok. Di baliknya ada sebuah ceruk berlantai tanah yang dindingnya tidak ditembok.
"Oh," sahut saya sedih. Karena berbagai gambaran seram mulai terbentuk di kepala, juga tampak di mata batin saya. Mereka yang disekap di sini, dibiarkan sekarat sampai mati. "Semoga yang meninggal di sini diterima amal ibadahnya," bisik saya.

"Aamiin." Ada sebuah suara menyahut lirih.

Selepas dari ceruk penyiksaan, lalu ceruk sel tahanan yang lebih beradab (besar dan tampak bekas engsel pintu dari besi), kami akhirnya sampai di pintu keluar. Oh iya, ada rel juga di dalam gua ini, bekas lori yang mengangkut logistik berat.

Kalau ditanya, apa yang saya lihat di kedua gua itu, oh banyak sekali. Dan beberapa merupakan bayangan kejadian menyeramkan dan memilukan. Seperti adegan yang biasa saya saksikan di film-film tentang perang kemerdekaan.

Orang-orang pribumi yang dipaksa bekerja, kurus kering dengan tulang iga bertonjolan. Wajah-wajah putus asa dan menahan lapar. Yang mereka kenakan hanya sepotong cawat kumal, tidak lebih.

Ngomong-ngomong, mungkin karena saya jadi terlalu emosional, pertahanan saya lemah. Beberapa mahluk dari gua itu ternyata ada yang mengikuti saya. Pantesan, setelah sampai di rumah, saya masih saja merinding. Tukang urut yang dipanggilkan adik saya ternyata bisa melihat hal-hal yang seperti itu. Ia memastikan bahwa saya 'ketempelan'.

Hadeeeh... 
Sungguh menyebalkan yang nempel bukan cowok keren, malah setan! Hahaha...
Saya lalu 'dibersihkan', dipijit di lipatan-lipatan badan. Karena katanya mereka suka sembunyi di situ. 
Rambut saya dijambak, kepala saya diguncang-guncang sambil dibacain ayat suci. Trus si mamah tukang pijitnya ngomong, "indit siah!" Pergi kamu!

Duh gile, sakit bingit! Itu si mamah, makin saya teriak sakit, makin kenceng mijitnya. Padahal yang teriak sakit kan saya, bukan setannya... zzzzz....

Eh tapi benar saja...badan saya jadi enteng dan tidak merinding lagi sehabis sesi exorcism wakakakak...

Oh iya... Saya masih punya Part 3 dari kisah Get Lost Journey ini.
Beberapa hari lagi, ya. Sekarang saya mau kembali ke draft.

See ya! ^^


Gua Belanda di Tahura Djuanda
Gua Jepang di Tahura Djuanda.


Wednesday, November 19, 2014

Get Lost Journey -- Day 1

Ketika saya ingin pergi, maka saya akan mengemasi tas dengan pakaian secukupnya, dan pergi.
Terkadang sendiri. Terkadang, mengajak seorang teman yang terpikir saat itu juga.
Hanya sekedar bertualang sejenak ketika jenuh mulai menggerogoti jiwa dan raga.
Saya memang impulsif.
Dan di sinilah saya sekarang. Menulis blog tengah malam di sebuah homestay di Bandung yang disiram gerimis setiap siang menjelang sore.
Di kamar sebelah, ada seorang teman yang saya culik tanpa pikir panjang. Dengan pertimbangan bahwa dia yang paling available waktunya kalau ajakannya mendadak begini.
Benarlah dia bisa. Dan bersedia traveling pakai cara saya. Get lost journey.
Ketika saya post beberapa foto trip Bandung saya di Instagram, hasil ekplorasi sepanjang siang, beberapa teman kirim chat japri untuk memprotes keras karena tak diajak. Beberapa malah sedikit lebay dan bilang ke saya, kalau saya perginya sok rahasia-rahasiaan.
Saya ketawa hambar.
Wajibkah saya lapor kalau mau pergi ke setiap orang yang saya kenal? Wajibkah saya menawari mereka semua ikut?
Wajibkah saya kasih pengumuman ke seluruh dunia kalau saya mau pergi?
Well, saya kasih tahu...
Hidup saya tidak terikat pada siapa-siapa. Pada seseorang, pada grup, pada perkumpulan, pada sebuah jaringan, bahkan sekelompok orang, bahkan pada organisasi.
Saya hanya terikat pada Tuhan. Pada keluarga dan pekerjaan. Lain tidak.
Kalau saya pergi tidak ajak-ajak, atau tidak pengumuman dulu, ya terimalah sebagai mana adanya.
Saya ini ya cuma mau pergi tanpa mikir, dan menyambar siapa pun yang teringat dan paling sempat waktunya.
Saya selalu bilang, saya ini aslinya manusia soliter. Kebutuhan saya untuk menyendiri lebih banyak dari orang lain. Sejak masih kecil dan selamanya, saya orang yang seperti itu.
Jadi...
Di sinilah saya. Tengah malam tergeletak di sebuah kamar homestay dan mengeluhkan kenapa orang-orang senang sekali bikin saya jengkel. Hehehe.
Sudahlah. Mungkin ini cuma saya yang lagi suka mengomel. Mood saya masih agak gloomy, meskipun sejak journey dimulai mulai terobati.
Hari ini awal journey dimulai dengan tersesatnya saya ke terminal Ledeng, yang asing dan kecil... di tengah hujan deras. Lalu setelah balik lagi dengan Damri rute yang sama akhirnya bisa juga ketemu teman saya di meeting point kami, di Paris van Java Mall.
Lalu sorenya ada petualangan menunggu bus city tour Bandung yang bernama Bandros itu, di depan Taman Lansia (diturunkan di sana sama sopir taksinya).
Bus dan antrian yang biasanya berjubel tak tampak, barangkali bus tidak beroperasi karena hujan yang kian menderas. Saya dan teman saya, Morgan, melipir ke sebuah kafe terdekat bernama Pasar Cisangkuy.
Lalu menyadari bahwa kafe itu interiornya keren dan ternyata makanan dan minuman yang kami pesan tidak mengecewakan rasanya.
Jelang magrib, kami jalan kaki tanpa arah mencari taksi, tahu-tahu lewat Gedung Sate dan Sabuga. Taksi ketemu, mengantar kami ke Cihampelas Walk karena masih terlalu dini pulang ke homestay.
Menemukan lagi kafe lucu bernama Tea House dan kami minum teh poci hangat dan Singkong Thailand. Pulangnya jalan kaki ke homestay yang (ternyata lumayan jauh) dipandu Google Map, melalui jalan-jalan perumahan yang basah dan gelap. Hahaha.
Get Lost Journey Mission 1 - accomplished!
See you on next mission tomorrow!
- Enno -
(Ditulis tengah malam tanggal 18 Nov 2014, diedit jam 04.39 tanggal 19 Nov 2014)

Wednesday, May 7, 2014

Singing-Dancing-Screaming

Throwback

Jangan tugasin si Enno ke konser lagi. Plis, jangan. Dia asik sendiri, bukannya liputan.
Lho, itu gue liputan, Nyuk! Harus menghayati dong supaya artikelnya baguuus!
Aduh No, tapi nggak perlu kan pake ikut jejeritan dan bilang I love you! I love you! Sambil ngangkat-ngangkat ketek! Jaim dikit dong sebagai reporter!
Hahaha. Apa sih lo! Gue kan pake jaket! Mana ada ketek gue tampak! Pokoknya, liputan konser adalah domain gue! Nggak boleh di-rolling. Titik.
Terserah lo deh. Paling entar gue pura-pura nggak semedia sama lo. Malu-maluin.
Hih! Punya kolega manis gini kok maluuuu! *sandal jepit melayang*

.................

Kemarin.
"Tebak coy, gue abis dari mana?"
"Dari WC?"
"Ih lo penting banget sih jawabannya!"
"Lo kan biasanya juga gitu, laporan dari WC."
"Gue abis nonton Kampoeng Jazz di almamater lo, Buluk!"
"Aaaah! Sial!" Giri teriak di seberang sana. Ribuan kilometer dari tempat saya tengkurap di atas tempat tidur. Jam berapa sih di Perth? Tengah malam? Ngapain dia teriak-teriak? Bisa dipanggilin polisi sama tetangga. Dasar si bulukan!

Saya tau kenapa dia teriak. Dia kan emang doyan jazz. Dia doyan segala macam musik sih. Dia bisa main gitar, dan untuk saya, yang sering dimainkannya adalah lagu-lagu kesukaan saya yang ngepop, ngerock dan ngepunk. Sementara, kalau lagi sendirian di kamar, dia suka memetik gitar dengan nada-nada jazzy. Katanya, latihan kepekaan batin. Gaya banget! :))

Jadi begitulah. Siang itu, tanggal 3 Mei, saya dan Niken naik angkot dari kosnya di Sekeloa menuju Kampus Universitas Pajajaran, tempat festival Kampoeng Jazz berada. Dasar si Niken, yang nggak pernah ngelayap kemana-mana (giling ya rugi bingit, kos di Bandung nggak pernah ngelayap-kata gue sih hehe), maka ketika naik angkot ke Unpad, masih harus tanya-tanya dulu. Padahal itu kampus sebenernya jalan kaki juga bisa sih dari daerah Sekeloa, kalau kepepet.

"Mang, ini teh lewat Unpad?" Saya dengan logat Sunda tentunya, berhubung Niken mah Jawa tulen.
"Iyah, Neng. Sok naek, Neng!"
Cus, kami naik. Nggak berapa lama, emang deket sih, Unpad yang pintu gerbangnya terlihat heboh pun tampak.
"Kiri, Mang!" Mobil melaju terus. "Ih si Mamang. Kiriii!"
"Sabar atuh Neng, kagok brenti di tengah jalan raya bisi macet."
Angkot pun akhirnya menepi. Saya celingukan. "Eh, ini teh udah boleh turun?"
"Ya terserah Eneng. Mau apa enggak," sahut si Mamang Angkot kalem.
Baru setelah kami berdua turun dari angkot, ironisme itu terasa dan tawa kami berdua meledak.
"Lha, kenapa tadi gue nanyanya bloon gitu ya?"
"Iyaaa. Makanya si mamang angkot tadi jawabnya terserah mau enggak."
Kami ngakak lagi di pinggir jalan sampai diliatin orang.

Di gerbang Unpad, antrian calon penontonnya banyak euy! Mengular. Dan kami berdua berada di tengah-tengah anak-anak mahasiswa-yang semuanya modis dan fesyenebel. Bandung gitu. Bikin daku merasa kumel jadinya.
Pemeriksaan sebelum masuk juga ketat. Kami diraba-raba #eh. Hahaha. Diperiksa apakah membawa senjata tajam atau tidak. Bawa minuman keras atau tidak. Tapi... masa bawa senjata tajam ke konser jazz ya? Mau bacok pemain saksofonnya kalo fals? :))

Dan masuklah kami berdua ke dalam area konser.
Ada dua panggung yang disediakan panitia. Lounge dan Main Stage. Waktu kami datang, Maliq & The Essentials yang diincar Niken sudah di refrain lagu terakhir. Yaaah... Tapi untunglah, di Main Stage, Maliq langsung disambung dengan penampilan RAN.
Aduuuh Rayiiiii! Hahahaha... Senyumnya manis banget dia! Saya langsung sikut kiri kanan biar bisa ke depan, nempel di pagar pembatas dan bisa mengabadikan senyum Rayi. Ya ampun! Emang manis yaaa...
Hahaha. Penampilan RAN oke banget seperti biasa. Saya belum jingkrak-jingkrak tuh. Baru datang, masih pemanasan. Tapi jerit-jerit juga. Dikiit.

Habis RAN, kami bergegas pindah ke Lounge di areal Fakultas Hukum. Niken ngincer Tulus!
Saya sebetulnya agak malas nonton Tulus hiks.. ada beberapa lagunya yang makjleb. Bener aja, sementara kami kegencet-gencet di tengah lautan mahasiswi yang histeris, pada sebuah lagu, Niken bisik-bisik ke saya. "Mbak, lagumu banget ni." Ish! Pedih... :))

Masih tentang Tulus. Suaranya kalo live gitu lebih gimana gitu ya. Nggak heran cewek-cewek jejeritan dan bawel request lagu. Saya sampai nggak bisa motret. Beneran kegencet-gencet, meskipun msh ada ruang sedikit untuk dance. Itu pun barengan sama para abege itu. Huhuhu. Diriku tak bisa berekspresi...
Masih pula ditambah Niken yang ikut jejeritan, pas di kuping saya. Yaoloh... ternyata dia alay juga ya. Wakakak...

Yang lucu itu, ketika Tulus selesai pentas, depan stage-nya langsung ditinggalin rame-rame oleh penonton. Semuanya berduyun-duyun berlalu meninggalkan tempat. Yang tadinya sesak napas, kini kosong melompong. Jadi rupanya semuanya cuma mau nonton Tulus ya? Hihihi.

Saya dan Niken tentunya bergegas lagi ke Main Stage. Kami mau nonton Krakatau. Lapangan di depan stage masih kosong. Saya bisa cari tempat agak lumayan, nggak terlalu pinggir seperti waktu nonton RAN. Saya pengen motret Krakatau soalnya. Dan Krakatau mentas dengan sukses. Lha mereka paling senior dan termasuk band jazz Indonesia yang legendaris. Lucunya, waktu pembawa acara bilang Krakatau mau main sebentar lagi, beberapa mahasiswi di belakang saya bertanya-tanya satu sama lain, "Yang mana sih ya?"
Tapi begitu, pembawa acaranya nyebutin nama Trie Utami, mereka langsung teriak. "Oh, Trie Utami! Mbak Iie!!!" Lalu jejeritan.

Rupanya mereka lebih mengenal Mbak Iie karena suka jadi juri Akademi Fantasi Indosiar, dan terkenal dengan komennya soal pitch control, hahaha....

Sesi terakhir yang manggung, pas jam 24.00 adalah Tompi featuring Monita. Saya dan Niken cuma nonton dua lagu lalu pulang. Anu... ada yang mau kencan besok paginya... hahaha....
Plus, saya juga harus pulang. Cuma bisa menginap semalam di kos Niken, karena banyak kerjaan di rumah.

Kemarin, ngecek hasil foto dan mindahin semua file dari kamera ke eksternal disk khusus foto. Ngedit-ngedit sedikit, cuma sekedar nostalgia zaman masih suka liputan di Jakarta. Dipajang di Instagram beberapa, sekedar curhat-bukan buat pamer.

Itu pun masih ada yang nyinyir bilang foto saya jelek. Hahahaha....
Lucu deh. Ya biar aja foto-foto konser gue jelek. Secara gue penulis, bukan fotografer. Fotografi cuma hobi iseng gue, bukan passion seperti menulis.
Gue motret untuk dinikmati sendiri. Dan untuk bahan riset tulisan. Kalau serius mau jadi fotografer, kamera yang gue punya pasti yang kelas pro. Beli lensa tele sekalian, lengkap dengan segala aksesoris dan tetek bengeknya. Trus gue beli buku-buku tentang fotografi dan ikut kursus sekalian.

Si Oly, kamera mirrorless saya, itu nggak pernah dianggap alat. Dia teman. Partner traveling. Dia membantu saya merekam jejak dan mengingat pesan.

Hehehe...
Secara garis besar, keren lah acara Kampoeng Jazz 6th. Salut buat Fakultas Hukum Unpad. Nggak cuma berkutat sama pasal-pasal dan yurisprudensi ya hidupnya hihihi...
Cuma kalau boleh saran, lain kali kalo ada panitia yang bodinya segede gajah, plis dong jangan biarkan dia berdiri di depan pagar pembatas penonton. Kalo dia juga mau motret sih nggak apa-apa. Lha ini cuma nonton doang. Ngeblok pemandangan, tau gak. Apalagi yang mau motret kayak saya. Sementara mau maju ke bawah panggung mana bisa. Itu khusus buat media. Hiks.

Padahal para fotografer di depan panggung aja, abis motret minggir dulu. Karena tahu, penonton juga ada yang mau motret dari balik pagar...
Lain kali perhatikan ya, adek-adek. Ngeblooook pisan! Sampe nggak terlalu bagus angle foto-foto RAN gue! Hih! :))

Sekian dan terima kasih :D

Trie Utami dan Krakatau Band

Image and video hosting by TinyPic
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...