Enno: So, please tell me about you, Irina. If you don't mind. I'm your friend.
.............
Saya diberitahu seorang tetangga yang datang menengok, ia dan seorang tetangga kami lainnya melepaskan anak perempuan mereka yang masih remaja, baru lulus SMP, untuk bekerja di Bandung.
"Baru berangkat dua hari yang lalu, Neng. Buat kerja di perusahaan katering di sana."
"Mereka udah ngasih kabar?"
"Belum."
Saya tiba-tiba merasa cemas. "Siapa yang ngasih kerjaan?"
"Kenalan mereka, orang Bandung juga."
"Kenal di mana?"
"Dari telepon salah sambung ke hape anak Bibi..."
"Kenalannya udah lama? Namanya siapa? Bibi tau alamatnya di Bandung?"
"Namanya Joni, alamatnya ada. Dia ngasih kartu nama kok."
"Bibi udah cek alamatnya?" Saya mulai berdebar-debar. "Dia orang Sunda? Asli? Kalau iya, nama Joni itu pasti cuma nama alias. Bukan nama beneran, Bi. Orang Sunda, apalagi muslim, nggak akan ngasih nama anaknya Joni."
Tetangga saya mulai gelisah. Pasti dia tidak pernah berpikir seteliti itu.
"Terus Bibi harus gimana, Neng?"
"Bibi suruh siapa kek, saudara atau kerabat laki-laki cari alamat si Joni itu di Bandung. Kalau nggak ketemu, langsung lapor polisi. Saya bukan bermaksud nakut-nakutin, Bi. Tapi sekarang ini banyak banget orang yang sengaja ke kampung-kampung cari perempuan buat dijual."
Mukanya langsung pucat. Saya menyesal sudah mengatakan hal itu. Tetapi kesadaran itu memang harus dibukakan di depan matanya. Sebagian besar orang di kampung saya belum menyadari fakta ini.
Sebulan lalu, saya bahkan bertemu dengan seseorang yang saya duga adalah makelar pencari perempuan. Saya sedang mengobrol sebentar dengan beberapa tetangga di depan mesjid sehabis mengantarkan sumbangan beras untuk membuat bubur Suro. Tiba-tiba seorang perempuan muda datang dan minta izin menumpang istirahat. Tak berapa ia pun ikut terlibat obrolan. Katanya, ia habis mengunjungi seorang kerabat di kampung sebelah kampung kami. Lalu bercerita tentang pekerjaannya sebagai agen penyalur tenaga kerja ke kota-kota. Pekerja rumah tangga, katanya. Gajinya besar, dapat cuti sering, bonus, jaminan kesehatan dan sistem kontrak. Semua yang dikatakannya sungguh semanis madu. Lalu ia bertanya apakah di antara ibu-ibu itu ada yang punya anak gadis belum menikah dan ingin bekerja. Ia akan membantu menyalurkan, gratis.
Naluri jurnalistik saya, berdasarkan bertahun-tahun pengalaman investigasi lapangan, langsung mengirimkan sinyal-sinyal waspada. Saya memberondongnya dengan pertanyaan. Siapa namanya, di mana ia tinggal, menyuruhnya menunjukkan KTP, apa nama perusahaannya, ke kota mana saja tenaga kerja disalurkan, tentang izin Depnaker, tentang bagaimana gadis-gadis itu ditampung dan disalurkan, tempat penampungannya, balai latihan kerjanya, dan segala hal teknis yang pernah saya pelajari saat menginvestigasi soal women trafficking beberapa tahun yang lalu. Alhasil ia gelagapan.
Perempuan ini sebenarnya pun hanya calo kelas teri, yang sengaja disusupkan ke kampung-kampung untuk menjerat mangsa. Tidak perlu secerdas Margareth Tatcher atau secantik Scarlett Johansson. ia hanya perlu kepandaian bersilat lidah secanggih yang dimungkinkan pendidikannya yang sebatas SMP, sehingga tak bisa mengalahkan argumen saya :D
Tiba-tiba saya teringat mentor saya ketika mengikuti workshop soal women trafficking empat tahun lalu. Namanya Irina. Biarkanlah nama belakangnya saya simpan sendiri. Bahasa Indonesianya lumayan baik, karena ia pernah tinggal di Bali selama setahun, sehingga kami bisa leluasa bertukar pikiran.
Sebelum menjadi periset women trafficking dari sebuah universitas terkenal di Inggris, Irina adalah gadis malang korban perdagangan perempuan lintas negara. Ia berasal dari sebuah desa miskin di pegunungan Bosnia-Herzegovina yang akibat didera perang saudara membuat penduduknya tak memiliki apa-apa lagi, namun tetap bersemangat untuk menata hidup.
"Keluarga saya adalah minoritas Kristen di antara tetangga-tetangga muslim. Tetapi sejak berabad-abad lalu hal itu tidak pernah menjadi masalah di desa kami. Ketika kami semua terpuruk, kami pun bangkit bersama dan saling mendukung. Dan waktu itu, Enno... keluarga saya adalah keluarga yang paling miskin. Kami harus berjuang dua kali lipat lebih berat dari yang lain. Ketika perang saudara berakhir, saya masih kecil. Dan ketika beranjak besar, saya mulai menyadari beratnya beban hidup kami. Saya lalu ingin membantu dengan bekerja. Tapi Mama bilang jangan, saya masih terlalu muda."
Suatu hari, ketika baru pulang dari gereja di desa sebelah, sebuah mobil berhenti di depan Irina. Seorang perempuan muda yang cantik turun. Ia berbahasa Inggris, menawari Irina ikut dengannya untuk bekerja sebagai babysitter. Irina yang naif langsung setuju, bahkan percaya saja ketika perempuan itu bilang mereka sudah memberitahu orangtuanya. Ia masuk ke mobil dan sejak itu perjalanannya sebagai komoditi seks dimulai.
"Umur kamu berapa waktu itu?" Tanya Robert, salah satu teman kami, yang ikut mendengarkan.
Irina tersenyum. "Lima belas, Rob."
"Astaga!" Robert memukul jidatnya. "Kamu dibawa kemana?"
"Dijual ke mucikari Rusia. Lalu harus menjajakan diri di Jalan Raya E-55."
Dari Irina, pertama kalinya kami mendengar tentang jalan raya itu. Jalan Raya E-55 adalah jalan di antara Dresden (Jerman) dan Praha (Chekoslovakia), di perbatasan kedua negara itu. Di sepanjang jalan itu di kedua ruasnya, berderet pelacur-pelacur perempuan dengan pakaian minim, melambai-lambaikan tangan pada para pengendara mobil, berseru-seru menawarkan diri.
Robert, dia jurnalis juga dan sudah pernah meliput sampai ke Jerman, ternganga. Dia bilang dia pernah mendengar tentang jalan itu selagi sedang berada di sana, dan menyesal kenapa tidak meliput ke sana.
"Kalian jurnalis, guys," kata Irina. "Perdagangan perempuan di seluruh dunia sudah menjadi komoditi bisnis terbesar ketiga saat ini. Bukalah mata dunia supaya tidak membiarkan hal ini terus-terusan terjadi. Kasihanilah gadis-gadis malang yang dijebak itu..." Matanya meredup.
Irina, teman kami yang baik itu, beruntung bisa meloloskan diri dari mucikarinya setelah ditolong seorang petugas dari PBB. Ia kemudian mendapat suaka di Inggris, diberi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan, dan kini berjuang untuk menghentikan women trafficking yang masih berlangsung di seluruh dunia.
Perdagangan manusia saat ini adalah perdagangan yang menghasilkan uang terbesar ketiga di dunia setelah perdagangan gelap senjata dan obat terlarang. Gelombang pertama perdagangan perempuan dimulai dengan 'komoditi' yang didatangkan dari Asia Tenggara pada tahun 1970-an, dan kini didominasi perempuan-perempuan dari negara-negara bekas Soviet dan Eropa Timur.
Perempuan-perempuan yang diperjualbelikan ini dikuasai kejahatan terorganisir. Mereka diperlakukan dengan kejam, tanpa perikemanusiaan. Disiksa, diperkosa, ditulari penyakit kelamin, HIV/AIDS, dipaksa agar kecanduan alkohol dan narkoba agar patuh, kurang gizi dan melahirkan anak-anak yang beberapa diantaranya juga tertular HIV/AIDS bahkan kecanduan alkohol sejak lahir.
Sementara itu women trafficking di Indonesia biasanya diawali dengan iming-iming bekerja di restoran, perkebunan, rumah tangga sebagai babysitter atau pembantu, atau sebagai duta seni di tempat pariwisata. Kenyataannya gadis-gadis itu dikumpulkan dalam sebuah rumah, berdesak-desakan, mengalami pelecehan seksual sebelum disalurkan sebagai pekerja seks.
Rata-rata penampungan berada di Batam. Selama di tempat penampungan itulah terjadi transaksi antara agen dengan pengusaha hiburan yang kebanyakan dari luar negeri. Kalau terjadi kesepakatan, maka gadis-gadis itu dibawa untuk disalurkan sebagai pekerja seks di rumah bordil, panti pijat, karaoke, klub malam, maupun lokalisasi. Negara tujuan meliputi Malaysia, Singapura, Brunei, Jepang, Taiwan, Hongkong dan Australia.
Ngomong-ngomong, yang saya bicarakan ini perdagangan perempuan yang terorganisir. Di sisi lain, banyak perdagangan perempuan dan anak-anak yang dilakukan sukarela secara individual oleh orangtua atau kerabat sendiri. Masih ingat kisah Renata kan?
By the way, sejak kedatangan perempuan calo itu, kampung saya mulai sedikit waspada. Tetapi ada saja orang yang masih belum mengerti. Saya harus terus mengulang-ulang peringatan yang sama jika ada seorang anak perempuan yang ingin merantau untuk bekerja.
Kalian, maukah kalian melakukan hal yang sama? Memberi pengetahuan kepada mereka yang tidak tahu, sedikit saja. Hanya sedikit. Agar mereka lebih waspada dan tidak terjebak. Itu sudah membuat kalian ikut membantu memerangi perdagangan perempuan, lho. Terima kasih ya :)
![]() |
pict from here |