Showing posts with label Perempuan. Show all posts
Showing posts with label Perempuan. Show all posts

Thursday, December 29, 2011

You Know My Name, Not My Story

Irina: You know my name, Enno. Not my story...
Enno: So, please tell me about you, Irina. If you don't mind. I'm your friend.

.............

Saya diberitahu seorang tetangga yang datang menengok, ia dan seorang tetangga kami lainnya melepaskan anak perempuan mereka yang masih remaja, baru lulus SMP, untuk bekerja di Bandung.

"Baru berangkat dua hari yang lalu, Neng. Buat kerja di perusahaan katering di sana."
"Mereka udah ngasih kabar?"
"Belum."
Saya tiba-tiba merasa cemas. "Siapa yang ngasih kerjaan?"
"Kenalan mereka, orang Bandung juga."
"Kenal di mana?"
"Dari telepon salah sambung ke hape anak Bibi..."
"Kenalannya udah lama? Namanya siapa? Bibi tau alamatnya di Bandung?"
"Namanya Joni, alamatnya ada. Dia ngasih kartu nama kok."
"Bibi udah cek alamatnya?" Saya mulai berdebar-debar. "Dia orang Sunda? Asli? Kalau iya, nama Joni itu pasti cuma nama alias. Bukan nama beneran, Bi. Orang Sunda, apalagi muslim, nggak akan ngasih nama anaknya Joni."
Tetangga saya mulai gelisah. Pasti dia tidak pernah berpikir seteliti itu.
"Terus Bibi harus gimana, Neng?"
"Bibi suruh siapa kek, saudara atau kerabat laki-laki cari alamat si Joni itu di Bandung. Kalau nggak ketemu, langsung lapor polisi. Saya bukan bermaksud nakut-nakutin, Bi. Tapi sekarang ini banyak banget orang yang sengaja ke kampung-kampung cari perempuan buat dijual."

Mukanya langsung pucat. Saya menyesal sudah mengatakan hal itu. Tetapi kesadaran itu memang harus dibukakan di depan matanya. Sebagian besar orang di kampung saya belum menyadari fakta ini.

Sebulan lalu, saya bahkan bertemu dengan seseorang yang saya duga adalah makelar pencari perempuan. Saya sedang mengobrol sebentar dengan beberapa tetangga di depan mesjid sehabis mengantarkan sumbangan beras untuk membuat bubur Suro. Tiba-tiba seorang perempuan muda datang dan minta izin menumpang istirahat. Tak berapa ia pun ikut terlibat obrolan. Katanya, ia habis mengunjungi seorang kerabat di kampung sebelah kampung kami. Lalu bercerita tentang pekerjaannya sebagai agen penyalur tenaga kerja ke kota-kota. Pekerja rumah tangga, katanya. Gajinya besar, dapat cuti sering, bonus, jaminan kesehatan dan sistem kontrak. Semua yang dikatakannya sungguh semanis madu. Lalu ia bertanya apakah di antara ibu-ibu itu ada yang punya anak gadis belum menikah dan ingin bekerja. Ia akan membantu menyalurkan, gratis.

Naluri jurnalistik saya, berdasarkan bertahun-tahun pengalaman investigasi lapangan, langsung mengirimkan sinyal-sinyal waspada. Saya memberondongnya dengan pertanyaan. Siapa namanya, di mana ia tinggal, menyuruhnya menunjukkan KTP, apa nama perusahaannya, ke kota mana saja tenaga kerja disalurkan, tentang izin Depnaker, tentang bagaimana gadis-gadis itu ditampung dan disalurkan, tempat penampungannya, balai latihan kerjanya, dan segala hal teknis yang pernah saya pelajari saat menginvestigasi soal women trafficking beberapa tahun yang lalu. Alhasil ia gelagapan.

Perempuan ini sebenarnya pun hanya calo kelas teri, yang sengaja disusupkan ke kampung-kampung untuk menjerat mangsa. Tidak perlu secerdas Margareth Tatcher atau secantik Scarlett Johansson. ia hanya perlu kepandaian bersilat lidah secanggih yang dimungkinkan pendidikannya yang sebatas SMP, sehingga tak bisa mengalahkan argumen saya :D

Tiba-tiba saya teringat mentor saya ketika mengikuti workshop soal women trafficking empat tahun lalu. Namanya Irina. Biarkanlah nama belakangnya saya simpan sendiri. Bahasa Indonesianya lumayan baik, karena ia pernah tinggal di Bali selama setahun, sehingga kami bisa leluasa bertukar pikiran.

Sebelum menjadi periset women trafficking dari sebuah universitas terkenal di Inggris, Irina adalah gadis malang korban perdagangan perempuan lintas negara. Ia berasal dari sebuah desa miskin di pegunungan Bosnia-Herzegovina yang akibat didera perang saudara membuat penduduknya tak memiliki apa-apa lagi, namun tetap bersemangat untuk menata hidup.

"Keluarga saya adalah minoritas Kristen di antara tetangga-tetangga muslim. Tetapi sejak berabad-abad lalu hal itu tidak pernah menjadi masalah di desa kami. Ketika kami semua terpuruk, kami pun bangkit bersama dan saling mendukung. Dan waktu itu, Enno... keluarga saya adalah keluarga yang paling miskin. Kami harus berjuang dua kali lipat lebih berat dari yang lain. Ketika perang saudara berakhir, saya masih kecil. Dan ketika beranjak besar, saya mulai menyadari beratnya beban hidup kami. Saya lalu ingin membantu dengan bekerja. Tapi Mama bilang jangan, saya masih terlalu muda."

Suatu hari, ketika baru pulang dari gereja di desa sebelah, sebuah mobil berhenti di depan Irina. Seorang perempuan muda yang cantik turun. Ia berbahasa Inggris, menawari Irina ikut dengannya untuk bekerja sebagai babysitter. Irina yang naif langsung setuju, bahkan percaya saja ketika perempuan itu bilang mereka sudah memberitahu orangtuanya. Ia masuk ke mobil dan sejak itu perjalanannya sebagai komoditi seks dimulai.

"Umur kamu berapa waktu itu?" Tanya Robert, salah satu teman kami, yang ikut mendengarkan.
Irina tersenyum. "Lima belas, Rob."
"Astaga!" Robert memukul jidatnya. "Kamu dibawa kemana?"
"Dijual ke mucikari Rusia. Lalu harus menjajakan diri di Jalan Raya E-55."

Dari Irina, pertama kalinya kami mendengar tentang jalan raya itu. Jalan Raya E-55 adalah jalan di antara Dresden (Jerman) dan Praha (Chekoslovakia), di perbatasan kedua negara itu. Di sepanjang jalan itu di kedua ruasnya, berderet pelacur-pelacur perempuan dengan pakaian minim, melambai-lambaikan tangan pada para pengendara mobil, berseru-seru menawarkan diri.

Robert, dia jurnalis juga dan sudah pernah meliput sampai ke Jerman, ternganga. Dia bilang dia pernah mendengar tentang jalan itu selagi sedang berada di sana, dan menyesal kenapa tidak meliput ke sana.

"Kalian jurnalis, guys," kata Irina. "Perdagangan perempuan di seluruh dunia sudah menjadi komoditi bisnis terbesar ketiga saat ini. Bukalah mata dunia supaya tidak membiarkan hal ini terus-terusan terjadi. Kasihanilah gadis-gadis malang yang dijebak itu..." Matanya meredup.

Irina, teman kami yang baik itu, beruntung bisa meloloskan diri dari mucikarinya setelah ditolong seorang petugas dari PBB. Ia kemudian mendapat suaka di Inggris, diberi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan, dan kini berjuang untuk menghentikan women trafficking yang masih berlangsung di seluruh dunia.

Perdagangan manusia saat ini adalah perdagangan yang menghasilkan uang terbesar ketiga di dunia setelah perdagangan gelap senjata dan obat terlarang. Gelombang pertama perdagangan perempuan dimulai dengan 'komoditi' yang didatangkan dari Asia Tenggara pada tahun 1970-an, dan kini didominasi perempuan-perempuan dari negara-negara bekas Soviet dan Eropa Timur.


Perempuan-perempuan yang diperjualbelikan ini dikuasai kejahatan terorganisir. Mereka diperlakukan dengan kejam, tanpa perikemanusiaan. Disiksa, diperkosa, ditulari penyakit kelamin, HIV/AIDS, dipaksa agar kecanduan alkohol dan narkoba agar patuh, kurang gizi dan melahirkan anak-anak yang beberapa diantaranya juga tertular HIV/AIDS bahkan kecanduan alkohol sejak lahir.


Sementara itu women trafficking di Indonesia biasanya diawali dengan iming-iming bekerja di restoran, perkebunan, rumah tangga sebagai babysitter atau pembantu, atau sebagai duta seni di tempat pariwisata. Kenyataannya gadis-gadis itu dikumpulkan dalam sebuah rumah, berdesak-desakan, mengalami pelecehan seksual sebelum disalurkan sebagai pekerja seks.


Rata-rata penampungan berada di Batam. Selama di tempat penampungan itulah terjadi transaksi antara agen dengan pengusaha hiburan yang kebanyakan dari luar negeri. Kalau terjadi kesepakatan, maka gadis-gadis itu dibawa untuk disalurkan sebagai pekerja seks di rumah bordil, panti pijat, karaoke, klub malam, maupun lokalisasi. Negara tujuan meliputi Malaysia, Singapura, Brunei, Jepang, Taiwan, Hongkong dan Australia.

Ngomong-ngomong, yang saya bicarakan ini perdagangan perempuan yang terorganisir. Di sisi lain, banyak perdagangan perempuan dan anak-anak yang dilakukan sukarela secara individual oleh orangtua atau kerabat sendiri. Masih ingat kisah Renata kan?

By the way, sejak kedatangan perempuan calo itu, kampung saya mulai sedikit waspada. Tetapi ada saja orang yang masih belum mengerti. Saya harus terus mengulang-ulang peringatan yang sama jika ada seorang anak perempuan yang ingin merantau untuk bekerja.

Kalian, maukah kalian melakukan hal yang sama? Memberi pengetahuan kepada mereka yang tidak tahu, sedikit saja. Hanya sedikit. Agar mereka lebih waspada dan tidak terjebak. Itu sudah membuat kalian ikut membantu memerangi perdagangan perempuan, lho. Terima kasih ya :)


pict from here

Image and video hosting by TinyPic

Monday, July 4, 2011

Namanya Renata

"Saya Renata, Mbak," katanya pelan. Wajahnya menunduk, tak berani beradu pandang.
"Sudah lama kerja di sini?"
"Sudah tiga tahun, Mbak."
"Umur kamu berapa, Ren?"
"Bulan depan tujuh belas."
"Tujuh belas? Jadi kamu sudah bekerja di sini sejak umur 14?"
Ia mengangguk.

Kamar tempat kami duduk sempit dan pengap. Tak ada jendela, tak ada celah, tak ada sesuatu pun yang bisa membuat cahaya menerobos masuk. Hanya ada sebuah bola lampu 15 watt di sudut, tak cukup menerangi wajah kami.

Tanpa harus dijelaskan, saya tahu nama sebenarnya bukan Renata. Ia berasal dari sebuah kampung di sudut Karawang. Kampung miskin yang gersang dan tak subur, katanya. Penduduk kampungnya berpencaran pergi ke kota mencari penghasilan untuk dikirimkan pada keluarga dan orangtua. Tak ada harapan jika bertahan di sana.

Renata dan dua temannya tinggal berdesakan di kamar sempit itu. Ketika saya dan Inayah, teman dari sebuah LSM pemberdayaan wanita datang pagi itu, mereka sedang tidur berhimpitan di atas ranjang tua berkasur tipis. Wajah mereka masih tersaput make up yang luntur, dan pakaian mereka masih pakaian yang dipakai semalam. Tank top dan rok mini.

Saya menyodorkan bungkusan roti dan susu kotak agar mereka merasa lebih nyaman bercakap-cakap sambil sarapan.

Hanya Renata yang bersikap lebih terbuka. Ia duduk bersama kami di lantai. Cindy dan Meiska, pasti nama samaran juga, tetap berbaring-baring di ranjang sambil mengunyah roti.

"Saya dijual Bapak ke lokalisasi waktu umur 14." Renata mulai bercerita. "Bapak bilang saya harus bekerja untuk membiayai dua adik saya yang masih sekolah."

Renata dititipkan pada seorang perempuan, kerabat jauhnya, yang ternyata seorang germo. Keperawanannya dijual pada seorang laki-laki seusia ayahnya, yang merenggutnya kehormatannya di jok belakang sebuah mobil di Ancol.

"Badan saya rasanya remuk. Sakit sekali." Ia meringis, mengenang malam yang jahanam itu. "Tapi hati saya lebih sakit lagi. Tega-teganya Bapak menyuruh saya melakukan perbuatan yang menurut guru ngaji saya dosa besar."

Renata mencoba melarikan diri dari lokalisasi, tapi para bodyguard bibinya selalu saja bisa menangkapnya lagi sebelum pergi jauh. Akhirnya ia putus asa dan bertekad mengikuti nasib. Pasrah dan hanya bisa berdoa agar ia bisa pergi dari sana.

Doanya dikabulkan. Ia bertemu laki-laki yang kemudian menjadi suaminya sekarang. Laki-laki yang umurnya dua kali lipat dari umurnya yang saat itu baru 16 tahun. Bibinya mengizinkan ia pergi. Mungkin karena ia sudah mendapatkan lagi 'daging segar' yang baru, atau mungkin hati nuraninya akhirnya terketuk bahwa sebagai saudara, ia wajib mendukung kebahagiaan keponakan jauhnya.

Tapi apakah kamu bahagia?

Renata-memindahkan isi susu kotak ke gelas dan menyeruputnya dengan gaya kekanak-kanakan yang polos-menggeleng. Di atas bibirnya, susu itu membentuk garis setengah lingkaran seperti kumis. Meyakinkan saya akan kebenaran umurnya yang sangat muda.

Ia hanya pindah lokasi, bukan profesi. Suaminya berjualan minuman di kawasan sepanjang rel kereta di Jalan Latuharhari, Menteng. Ia sendiri, karena tuntutan ekonomi, menjajakan diri di salah satu warung remang-remang dari papan seadanya yang banyak terdapat di sana. Rel yang berada di pinggir anak sungai Ciliwung itu merekam kisah Renata dan teman-temannya sebagai penjaja seks jalanan, dan kembali dalam cengkraman germo. Di sepanjang tepian anak sungai itu banyak terdapat gubuk-gubuk kecil dari kardus yang disewakan untuk penjaja dan pembelinya.

Sekitar tahun 2005-2007 saat saya melakukan investigasi tentang pelacuran anak-anak, sepanjang jalan Latuharhari masih merupakan lokasi pelacuran jalanan dengan pelanggan dari kelas ekonomi bawah. Para pekerja seks menemani pelanggan makan dan minum di warung-warung yang ada dan mendorong mereka agar membeli minuman sebanyak-banyaknya karena pemilik warung akan memberi komisi untuk setiap botol minuman keras yang dibeli. 

Pelanggan biasanya memberi tip kepada pekerja seks sekitar 25 ribu sampai 100 ribu rupiah. Untuk pekerja seks anak-anak, tarif booking adalah antara 75 ribu hingga 200 ribu rupiah, dengan biaya sewa kamar ditanggung pelanggan. Anak-anak ini mendapat bagian  sekitar 75-80 persen dari tarif tersebut dan selebihnya diberikan kepada germo.

"Jadi kamu melacur lagi?"

"Saya bisa apa, Mbak? Suami saya penghasilannya nggak cukup buat makan dan ngontrak rumah."

"Lalu kenapa kamu malah ngontrak rumah sama dua temanmu ini?"

Ia tersenyum getir. "Karena lebih enak kayak gini, Mbak. Saya bisa pergi dan pulang kapan aja sehabis kencan dengan pelanggan. Nggak kelihatan sama suami. Pasti dia akan merasa nggak enak hati, saya juga begitu. Jadi kami ketemu beberapa hari sekali aja. Selebihnya lagi untuk kerja supaya kami bisa bikin rumah di kampung dan menyekolahkan adik-adik sampai selesai."

Saya tercenung. Terdengar helaan napas berat Inayah, seolah-olah saya juga bisa mendengar kepiluan dalam batinnya. Mata Renata justru berbinar-binar oleh cita-citanya barusan.

"Ah, sebenernya kamu nggak perlu ngerasa nggak enak gitu, Ren," celetuk Meiska. Ia turun dari ranjang dan ikut bergabung bersama kami. "Dari awal kan memang si Husni yang nyuruh kamu ngelonte lagi."

"Kalo nggak gitu, darimana uang untuk dikirim ke kampung?" Balas Renata. "Aku nggak punya cukup modal buat dagang. Lagian aku udah terlanjur kayak gini. Mau gimana lagi?"

"Kalian nggak mau berhenti?" Tanya Inayah. "Nggak mau kerja yang halal? Kalian bisa jadi pelayan toko atau pelayan rumah makan."

Di atas ranjangnya Cindy tertawa. "Nanti malah sekalian jualan badan juga, Mbak. Kami udah kebiasaan soalnya." Meiska ikut tertawa, tapi Renata tidak.

Saya tahu, tidak seperti dua temannya, Renata benar-benar ingin berhenti dari kehidupan malamnya. Berhenti menjajakan tubuhnya pada lelaki-lelaki hidung belang tak berduit yang hanya mampu menyewa pelacur murahan di pinggir rel kereta api. Renata ingin membiayai adik-adiknya dengan uang halal. Ia bahkan masih mengingat ajaran guru ngajinya bahwa perbuatan yang dilakukannya sekarang itu berdosa besar.

Tiba-tiba saya ingin menangis. Ingin memberitahunya bahwa apa yang diinginkannya bisa terkabul asal ia punya tekad yang cukup kuat.

"Begini," kata saya. "Mbak Inayah ini kerja di yayasan yang biasa membantu perempuan-perempuan seperti kalian. Kalian akan diberi keterampilan dan dipinjami modal. Akan diajari tentang kesehatan dan menjaga diri dari bahaya HIV/AIDS. Kalian akan dibimbing untuk kembali ke masyarakat, punya pekerjaan halal dan kehidupan yang normal. Kalian masih muda... punya banyak kesempatan untuk menjadi orang yang lebih baik."

Ketiga gadis muda itu diam tercenung. Tiba-tiba Renata terisak. Ia tampak malu dan buru-buru menghapus air matanya. Usaha yang sia-sia karena air mata itu terus saja mengalir di pipinya yang cekung.

"Betul, Mbak? Saya kepingin bisa menjahit atau masak, atau apapun, Mbak. Nggak ada yang ngajarin saya, nggak ada yang ngasih pinjam modalnya. Saya kepingin berhenti jadi pelacur..." Isaknya semakin keras.

"Kamu akan dibantu..." Hanya itu yang bisa diucapkan Inayah, dengan suara yang tercekat.

Matahari telah mulai memanggang Jakarta ketika kami beranjak dari kontrakan sempit di perkampungan kumuh itu. Di ambang pintu, Renata memeluk saya dan Inayah erat sekali. Di wajahnya ada harapan dan kegembiraan. Seolah-olah ia telah menemukan setitik cahaya di ujung lorong setelah begitu lama tersesat dalam kegelapan.

Setahun kemudian, dari Inayah saya tahu, Renata menjadi pembuat aksesoris sederhana untuk anak-anak, seperti bros, kalung, gelang dan jepit rambut. Suaminya yang menjualnya ke toko-toko.

Saya lega sekali. Rasanya saat itu ingin melompat-lompat gembira mendengar kabar itu, seandainya saja saya tidak menelepon dari meja sekretaris redaksi dan tidak ada seorang kontributor daerah sedang duduk menunggu pemimpin redaksi di dekat situ :)


pict from here


Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, April 20, 2011

Perempuan dari Jepara

Aku dijuluki ’kuda kore’ atau kuda liar karena jarang sekali berjalan tetapi pecicilan. Dan mereka memanggilku apa lagi ya? Aku sering tertawa keras-keras, hingga gigiku kelihatan.

- Kartini -

..................

Jepara, Jawa Tengah, 1903.

Perempuan berparas ayu itu mengajukan syarat kepada lelaki yang meminangnya. Tidak ada upacara berlutut dan menyembah kaki mempelai pria dan ia akan berbahasa Jawa ngoko dengan suaminya. Syarat yang terlampau radikal bagi kaum ningrat di masa itu.

Lelaki itu, Bupati Rembang Raden Mas Adipati Aryo Djojo Adhiningrat menyetujuinya. Maka, 11 November 1903, sang bupati menikahi perempuan itu sebagai isteri keempat. Setelah menikah, perempuan itu pindah ke Rembang mengikuti suaminya.

Perempuan ayu yang tak biasa itu bernama Raden Ajeng Kartini, dilahirkan pada 21 April 1879 di Mayong bagian Jepara, Jawa Tengah. Ia anak perempuan Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat,dan merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri.

Di masanya, kewajiban kaum perempuan hanya menjadi ibu rumah tangga serta mengasuh anak-anaknya. Gadis-gadis sejak dini dididik untuk berbakti kepada suaminya, mereka harus pasrah dan sabar menghadapi segala masalah di tangan kaum pria.

Sejak kecil, Kartini senang membaca buku, terutama buku-buku berbahasa asing. Ia menyerap semua pengetahuan kaum Eropa dan punya motto pribadi: "Aku mau." Wawasannya yang luas membuatnya ingin melanjutkan sekolah ke Belanda dan menjadi guru di Betawi. Namun ia tahu betapa sulitnya untuk mewujudkan hal itu. Jauh-jauh hari ia sudah membayangkan peristiwa yang akan terjadi pada dirinya sebagai perempuan yang tak berdaya.

Dalam salah satu suratnya pada sahabat penanya Nyonya Abendanon, ia menulis: "Pasti tiba saat di mana aku akan disandingkan dengan seorang suami yang belum kukenal. Di Jawa, cinta hanya sebuah khayalan. Orang Jawa yang sangat beradab bisa dihitung dengan jari, tapi budaya dan pendidikan belum diperhitungkan dalam hal immoralitas. Carilah dan mintalah sesuatu dari dunia aristokrasi laki-laki itu tapi bukan ini, moralitas, karena akan sia-sia. Aku benci. Aku memandang rendah mereka semua."

Kartini hanya bisa menunda pernikahannya sampai usia 24 tahun, lalu terpaksa mengalah pada adat. Usia yang di masa itu termasuk telat untuk menikah. Namun, niatnya untuk memajukan kaum perempuan Jawa melalui pendidikan tak pernah surut.



Ketika saya masih anak-anak, ketika kata ‘emansipasi’ belum ada bunyinya, belum berarti bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi di kala itu telah hidup di dalam hati sanubari saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.

- Surat Kartini kepada Estelle ‘Stella’ Zeehandelaar, 25 Mei 1899 - 


Kemoderatannya tercermin pula dalam pergaulannya dengan keluarga. Ia berusaha mengubah adat istiadat yang lama. Terhadap keluarganya yang lebih tua, Kartini masih menggunakan bahasa kromo inggil (bahasa halus) bila bercakap-cakap. Tetapi ia meminta adik-adiknya berbicara sesama mereka dengan bahasa Jawa ngoko (bahasa sejajar). Sikap setara itu dianggap lebih bersahabat dan akrab.

Kartini juga tidak terpengaruh pada kebangsawanannya. “Bagi saya ada dua macam bangsawan, yaitu bangsawan fikiran dan bangsawan budi. Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut pendapat saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya.” Demikian ia menulis kepada Stella, 18 Agustus 1899.

Pada sahabat penanya Estelle ‘Stella’ Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Ia juga mempertanyakan tentang agama (Islam) yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan tersedia untuk dimadu pula.

Tapi ia sangat yakin, suatu saat akan tiba zaman di mana pemahaman agama mempunyai perspektif keadilan pada perempuan, juga zaman baru yang memberikan kebebasan hak-hak dasar bagi perempuan dan keadilan bagi kaum pribumi. Menurut Kartini, Islam memberi ajaran yang baik, tetapi telah dinodai pemeluknya yang tidak tahu ajaran Islam yang suci dan menjadikan agama sebagai topeng perbuatannya.

Betapa hebatnya Kartini, puteri Bupati Jepara itu. Ia telah menyuarakan rekonstruksi terhadap ajaran agama yang menindas kaum perempuan pada zamannya, jauh sebelum gagasan-gagasan rekonstruksi ajaran agama yang berkeadilan pada perempuan disuarakan oleh para cendekiawan muslimah Aminah Wadud Hasim, Fatima Mernissi, Asghaar Eli Engineer, Rifaat Hasan, pada era 1980-an dan 1990-an.
 

Surat-surat Kartini kemudian hari dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul “Door Duisternis Tot Licht” oleh Mr. J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda, yang juga adalah sahabat Kartini. Pujangga Baru Armijn Pane kemudian menerjemahkan dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran.”

Buah pikiran Kartini tidak hanya mengundang kekaguman, tapi juga kritik. Ketika ia menyuarakan kesetaraan gender, ia dianggap mengkhianati perjuangannya dengan menerima poligami, sebagai isteri keempat suaminya.

Tetapi sebenarnya saat menjelang pernikahan, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu.

Dan terbukti bahwa suaminya, lelaki yang ia biarkan menikahinya, adalah orang yang memahami pemikiran dan cita-citanya. Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Pada 17 September 1904, Kartini meninggal di usia 25 tahun, empat hari setelah melahirkan putera pertamanya. Namun masa hidupnya yang singkat itu tidak serta merta menguburkan pemikiran-pemikirannya yang progresif untuk memajukan kaum perempuan bumiputera.

_____________________

Suatu kenangan yang tak akan hilang bagi sebagian besar kaum perempuan Indonesia saat mereka masih duduk di sekolah dasar:  mengenakan baju daerah (sebagian ada yang berkebaya ala Kartini lengkap dengan sanggul), berjalan perlahan-lahan dituntun ibunda menuju sekolah.

Entah kenapa, Hari Kartini yang jatuh pada 21 April selalu diperingati sekolah-sekolah dengan dengan lomba busana daerah atau lomba kebaya ‘mirip Ibu Kartini’, sementara alunan musik mengumandangkan lagu “Ibu Kita Kartini" yang semua orang hapal di luar kepala.

Tapi tahukah mereka apa yang sudah dilakukan Kartini? Tahukah pemikiran-pemikirannya yang progresif yang mendorong 'kaum pria' untuk memberikan kesempatan dan hak-hak setara bagi kaum perempuan?

Bagi saya, Hari Kartini lebih dari sekedar memperingati hari lahir sang puteri bupati Jepara. Hari Kartini adalah hari saya bersyukur karena telah mendapatkan kesempatan begitu besar menjadi perempuan yang merdeka.







Selamat Hari Kartini, gals!

Image and video hosting by TinyPic

Saturday, November 7, 2009

Nyai Dasima

pict from here


-Desa Kuripan, Bogor, Jawa Barat.

Gadis bernama Dasima itu adalah gadis yang terkenal karena kecantikan dan kemolekan tubuhnya. Ia menjadi kembang Desa Kuripan, yang letaknya di sebelah kanan Ciseeng, setelah menempuh perjalanan dari Parung sejauh 10 km.

Kabar akan kecantikannya itu terdengar oleh tuan Edward William, salah seorang kepercayaan Letnan Gubernur Sir Thomas Raffles. William yang jatuh cinta seketika pada Dasima kemudian menjadikannya sebagai perempuan simpanan kesayangannya. Ia diperlakukan dengan sangat baik. Dicintai dengan sepenuh hati dan lahirlah Nancy, puteri mereka semata wayang.

Dalam perjalanan hidupnya kemudian, Dasima berkenalan dengan Samiun, seorang kusir delman asal Kwitang. Keduanya saling jatuh cinta, dan Dasima memutuskan meninggalkan William dan menjadi isteri kedua Samiun, ketika diingatkan bahwa hidup bersama tanpa nikah dengan William itu berdosa.

Hayati, isteri pertama Samiun, cemburu dan membenci Dasima setengah mati karena dianggap telah merebut kasih sayang suaminya. Ia menyewa centeng (tukang pukul) bayaran paling terkenal di Kwitang, yakni Bang Puase, untuk membunuh Dasima.

Pembunuhan pun terjadi saat Dasima dan Samiun dalam perjalanan menuju Gang Ketapang (depan Sawah Besar sekitar Jl Gajah Mada, Jakarta Pusat) untuk menonton sandiwara. Mayatnya dilemparkan ke kali (kira-kira samping toko buku Gunung Agung) dan ditemukan di dekat kediaman tuan Edward William di Pejambon, di belakang kantor Ditjen Perhubungan Laut sekarang ini.

Peristiwa tragis ini terjadi di masa pemerintah kolonial Inggris (1811-1816).

.......

"
Ucuuuup! Ganti ah! Aku nggak mau dipanggil Nyai Dasima! Aku nggak mau dibunuh! "
"Hahahaha...."

_____________

Catatan:
Menurut sejarawan Betawi, Alwi Shahab, foto di atas adalah foto kampung Kwitang, Jakarta Pusat pada pertengahan 1876, karya Jacobus Anthonie Meessen.
Nyai Dasima dibunuh kira-kira di dekat rumah yang terlihat di foto itu.


Image and video hosting by TinyPic

Friday, October 30, 2009

Gifslangen

"Tungguin! Woy!"
Aku menoleh ke bawah. Amir si tambun bersandar di dinding besi pelat itu, terengah-engah kehabisan napas.
"Siapa yang tadi nantangin gue naik ke atas?" Aku tertawa dan melanjutkan langkah. Meniti tangga memutar yang sangat curam.

Baru separuh jalan. Napasku nyaris putus.


Perempuan itu cantik sekali. Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya putih bersih. Wajahnya yang bulat telur dihiasi hidung bangir, mata bak buah badam, bibir yang mungil dan sepasang lesung pipi yang muncul ketika ia bicara. Sang Sultan terkesima. Perempuan itu adalah mahluk paling cantik yang pernah dilihatnya.
"Siapa namamu?" Tanya sang Sultan.
"Fatimah, Tuanku."
Saat itu juga Sultan Zainul Arifin yang jatuh cinta memutuskan untuk menikahinya.



"Tungguiiiin!!!" Di bawah kudengar lagi teriakan Amir yang nyaris kehabisan napas.

Ada 270 anak tangga yang harus ditapaki dan 12 tingkat yang harus dilalui sampai akhirnya kami tiba di tingkat ke-13, dimana ruang lampu berada. Kami menatap lurus ke depan, pada pemandangan menakjubkan di luar sana. Lautan luas dan lepas. Amboy! Kami merasa begitu tinggi, begitu berkuasa dengan lampu besar menyala yang menunjukkan jalan bagi pelaut yang tersesat.

Mercusuar itu berada di Pulau Edam atau Damar Besar, salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu. Dibangun tahun 1879, setinggi 52 meter dari tanah, salah satu sisa kejayaan masa kolonial Belanda. Pulau ini juga pernah menjadi garis depan pertahanan tentara pendudukan Jepang. Aku dan teman-temanku sengaja datang ke sana untuk membuat sebuah tulisan feature tentang Kepulauan Seribu.

Aku kembali ke Kepulauan Seribu, kali ini tidak dengan kapal phinisi, melainkan perahu motor nelayan yang disewa untuk seharian. Kami hanya berempat. Aku, Amir, Ida dan Ludfi.


Armada laut kesultanan Banten yang terkenal kuat sejak zaman Sultan Ageng Tirtayasa membuat Belanda cemas. Sementara di suatu tempat di tengah Pulau Jawa ada kerajaan Mataram yang sama kuatnya. Utusan mereka telah berkali-kali datang ke Banten untuk menjalin kerja sama.

Di masa pemerintahan Sultan Zainul Arifin banyak terjadi pemberontakan rakyat, karena ketidakpuasan mereka terhadap kompeni yang memberlakukan kerja rodi, tanam paksa dan lainnya.

Belanda berpikir, apa jadinya jika Kesultanan Banten (dan armada lautnya yang kuat) bekerja sama dengan Kesultanan Mataram (dan pasukan daratnya yang tangguh) mengusir mereka dari tanah jajahan yang makmur ini?

Sebuah strategi harus diambil. Rencana mereka harus dipercepat.



Sebetulnya mercusuar itu bukan untuk umum. Selain karena kondisi tangga yang rapuh, di puncak menaranya ada instalasi pemancar pesawat terbang. Ada seorang penjaga yang ditempatkan di sana untuk menyalakan lampu besar setiap malam. Ia berjaga bergiliran dengan beberapa rekannya setiap enam bulan sekali.

"Enam bulan sekali?" Seru Ida. "Bapak berada di pulau ini selama 6 bulan tanpa siapa-siapa?"
Pak Nanang, penjaga yang kami temui tersenyum. "Kami sudah biasa, Neng."

Kami menemukan reruntuhan sebuah benteng mirip benteng yang ada di Pulau Kelor. Hanya saja benteng di Damar Besar kondisinya rusak parah. Bangunan inti berbentuk kerucut terpancung, berfungsi sebagai tanggul meriam. Temboknya sudah penuh dengan lumut dan tertutupi tanaman menjalar.

Bangunan inti sebagian padat dan sebagian berongga. Bagian yang berongga merupakan ruang bawah tanah atau bungker. Kondisinya sudah tertutup tanah dan akar pohon.

"Ada apa ya di dalam sana?" Amir berbisik padaku.
"Harta karun?" Aku balik bertanya.
"Senjata VOC kali ya? Lumayan tuh barang antik."
"Hm, mungkin tulang belulang serdadu kompeni?"
Amir bergidik. Dasar penakut!

"Kalian tidak mau melihat makam di sana?" Tanya Pak Nanang. Ia menunjuk ke tengah pepohonan. "Adanya di balik sana."
"Makam siapa Pak?"
"Ratu Banten dan pengikutnya."
"Kesana yuk!" Ida menggamitku. Kami meninggalkan mercusuar, berjalan menerobos hutan.

Tiba-tiba seekor ular melintas cepat di jalan setapak.
"Aaaaah!" Ida menjerit.
"Cuma numpang lewaaat." Ludfi nyengir.
"Yakin?"
"Yakiiiin..."

Ular itu simbol pengkhianatan kan?


Sebelum menikah dengan Sultan, perempuan keturunan Arab itu seorang janda. Mendiang suaminya yang pertama adalah seorang letnan VOC berdarah Melayu di Batavia. ia datang ke Banten dengan misi khusus.
"Laat de sultan verleid door u, Fatimah 1)," ujar Gubernur Jenderal Van Imhoff.
"Ja, meneer. Ik zaal kijken wat ik voor je kan doen." 2)


Makam itu tak seperti yang kami bayangkan. Bukan makam tua berlumut yang nisannya nyaris runtuh, melainkan dipagari tembok dan teralis besi. Ada lima makam, salah satunya paling besar, diberi atap dan berlantai keramik. Syarifah Fatimah, wali Sultan Banten, dikebumikan disini.

"Siapa sih dia?" Amir bertanya padaku, seolah-olah aku si segala tahu.


"Benarkah apa yang engkau katakan itu, Fatimah?" Sultan menatap permaisuri tercintanya dengan marah.
"Tuanku sudah mendengarkan saksi-saksi yang saya bawa ke hadapan Tuanku. Pangeran Gusti merencanakan perebutan kekuasaan terhadap Tuanku."

Sultan yang murka menyuruh putra mahkotanya, Pangeran Gusti, menyingkir dari istana dan pergi ke Batavia. Namun atas desakan Fatimah, Pangeran Gusti diserahkan pada Belanda dan kemudian diasingkan ke Srilanka. Sebagai ganti putra mahkota, diangkatlah Pangeran Syarif Abdullah, menantu Fatimah dari mendiang suaminya yang pertama.



"Orang-orang yang berziarah kesini dan minta berkah itu bodoh dan syirik. Udah menduakan Allah, salah paham pula. Ngapain minta berkah ke perempuan ini. Dia nggak suci. Pengkhianat, tau."


Perempuan itu telah mengkhianatinya mentah-mentah, demikian yang dipikirkan Sultan Zainul Arifin dalam selnya yang sempit dan kotor. Ia bukan lagi penguasa Banten. Fatimah memfitnahnya sehingga orang-orang mengira ia gila dan mengurungnya.
Singgasananya kini dikuasai menantu Fatimah, yang kini bergelar Sultan Syarifuddin Ratu Wakil. Namun siapapun tahu, ia hanya sultan boneka. Fatimahlah yang sebenarnya berkuasa. Sejak dulu, sejak ia masih bertahta. Ia membiarkannya karena ia begitu mencintai Fatimah, sehingga bersedia melakukan apa saja untuknya.


Jadi inilah makam mata-mata VOC itu. Kami berdiri mengelilingi cungkup makamnya. Tak satupun dari kami ingin duduk bersimpuh dan memanjatkan doa.
Amir mendengus. Balik badan dan menjauh.

Sultan Zainul Arifin, seperti yang pernah kubaca, dibuang Belanda ke Halmahera. Dan itu menimbulkan kemurkaan rakyat Banten. Tahun 1750, dibawah pimpinan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, rakyat menyerbu keraton. Pasukan VOC yang didatangkan untuk menghalau mereka bahkan berhasil dipukul mundur.

Fatimah meminta suaka pada VOC, yang kemudian mengungsikannya ke Pulau Damar Besar.


Pulau itu sunyi dan kosong sejak dijangkiti wabah malaria. Tempat peristirahatan yang dibangun Gubernur Jenderal Johannes Champhuis sudah lama ditinggalkan, menyisakan puing-puing. Ia merasa dirinya terasing dan terbuang.

Tapi bukankah itu memang benar? Ia sudah dibuang. Syarifah Fatimah, permaisuri yang pernah sangat berkuasa di kesultanan Banten kini menghabiskan hari-harinya bersama nyamuk-nyamuk, kawanan ular dan badai yang sesekali datang dari laut.

"Geen jorgen. Als er iets ergs gebeurt, we zullen helpen 3)." Demikian janji sang Gubernur Jenderal kepadanya di Batavia dulu.

Ia tahu itu bohong.


_____________

Terjemahan:

Gifslangen: ular berbisa

1) Biarkan sultan tergoda olehmu, Fatimah.
2) Ya Tuan, akan saya lihat apa yang bisa saya lakukan untuk Anda.
3) Jangan khawatir. Jika hal buruk terjadi, kami akan menolong.

Image and video hosting by TinyPic

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...