Showing posts with label Mad. Show all posts
Showing posts with label Mad. Show all posts

Tuesday, June 7, 2011

Maling!

SAYA MALAS BASA BASI, JADI LANGSUNG AJA YA...

saya minta tolong spy kamu nggak NGEJIPLAK dan COPAS lagi ISI BLOG SAYA seperti sblm2nya. saya tau kamu sdh menghapus blog2 kmu yg isinya jiplakan dr blog saya. tp bkn brarti saya tinggal diam. SEBAB KAMU MASIH PUNYA BANYAK AKUN DI INTERNET.
berhubung kamu tampaknya senang pindah2 blog, tdk menutup kemungkinan kmu bikin baru lagi DAN KEMBALI MENJIPLAK.

SAYA MINTA jgn sekali2 copas lg blog saya. pasti akan ketahuan cpt atau lambat. sebab sy pny byk teman IT, dan klo perlu teman IT sy di S'pore akan sy minta ikut tracking jg.

DAN KALAU ADA SITUS2 PRIBADI KAMU LAINNYA YANG MASIH MEMUAT KARYA SAYA, MOHON DIHAPUS.

tolong HARGAI KARYA ORG LAIN dong mbak... semua posting itu sgt BERHARGA buat sy krn sy tulis utk org2 tercinta dan pakai hati. sy sgt SEDIH dan TERSINGGUNG melihat kamu copas dan ngaku2 sbg hasil karyamu dgn mengubahnya sedikit.
coba bayangkan klo kamu sendiri yg ngalamin... punya perasaan gak sih?

kamu kan web desainer (klo emang identitasmu itu ga jiplak jg), seharusnya lbh tau soal copyright di dunia maya dan blog. KOK SEPERTI BUKAN ORG YG TERPELAJAR SIH?

sekali lagi, utk terakhir kalinya sy mau MINTA SAMA KAMU. jgn pernah lagi coba2 menjiplak tulisan, yg manapun, di situs pribadi sy yg manapun, dlm keadaan apapun. kecuali kamu sertakan link saya.

BE YOURSELF.
salam.
…………………………

Teguran keras di atas itu saya alamatkan ke inbox fesbuk Dee Farista. Seseorang yang menulis identitasnya di dunia maya sebagai web designer. Semalam saya menjumpai bukti bahwa selama beberapa waktu ini dia sudah menjiplak sangat banyak posting saya di blog ini untuk blognya sendiri. Memberinya catatan di kaki tulisan untuk ayahnyalah, ibunyalah, atau siapa lagi entah. Mengklaim seolah-olah itu tulisan yang dibikinnya sendiri.

Blognya banyaaaaak sekali. Dia jenis blogger yang suka berganti-ganti blog dan akun. Ari membantu saya tracking dengan kecanggihannya sebagai direktur perusahaan IT, dan jejaknya memang banyak sekali. Semua blog yang berjudul Heii Astalarista atau berbagai variannya itu memuat banyak karya saya dan karya yang saya yakini adalah karya orang lain. Tapi secara prosentase, 95 persennya adalah tulisan saya semua.

Saya tersinggung sekali. Tulisan-tulisan saya untuk Mas B yang dulu saya sukai dia copas. Saya meradang melihat tulisan-tulisan saya buat Kenzo yang saya tulis dengan segenap cinta saya, segenap rindu saya, segenap perasaan saya padanya dia copas. Dan saya kepingin mencakar mukanya melihat dia juga mengambil tulisan saya tentang Ibu yang kini sudah meninggal.

Bukan cuma itu, deskripsi blognya nyaris sama dengan judul blog saya: ‘Life, Love & High Heels’. Label blognya juga nyaris sama dengan label-label yang ada di blog saya. Ada ‘daily’, ‘confession’, ‘family’ dan ‘ocehan’ yang dia inggriskan jadi ‘blabbering.’ Beberapa gambar saya juga diambil, dan parahnya dia tidak mencantumkan link sumber!

Semua isi blog itu bertahun 2010-2011 dan pada cache google yang berhasil saya tracking, postingan terakhir baru-baru ini. Sekitar April dan Mei. Namun tulisan-tulisan saya yang dia copas dia sengaja pilih yang sudah lama, yang sudah dilupakan para pembaca atau blogger yang kebetulan pernah singgah ke blog saya.

Tadi pagi saya menemukan balasan pesan saya dari si pencuri ini.

“Udah enggak kok mbak. Udah males juga. Dan oh ya maap.”

Can you guys believe it?

Enteng sekali bukan? Seolah-olah dia menganggap semua yang dia lakukan, semua pencurian itu adalah perbuatan iseng! Dan dia menghapus blog jiplakan itu bukan karena dia menyadari kesalahannya, melainkan karena dia sudah bosan!

Buat yang mengetahui situs pribadinya yang masih aktif, mohon informasinya karena saya mau mencek tulisan saya di sana. Dan bagi yang pernah berteman dengan dia, semua tulisannya palsu. Hampir semuanya adalah tulisan saya. Silakan cek di blog ini.

Saya dan orang-orang yang kamu jiplak tulisannya menulis dengan perasaan, dengan sepenuh hati. Tulisan-tulisan itu sangat berarti secara pribadi bagi kami. Saya terutama, menulisnya bersama air mata, tawa, kesedihan atau kebahagiaan di hati, untuk orang-orang yang saya cintai. Untuk Kenzo, untuk ibu saya, untuk teman-teman saya. Kamu bahkan tidak mengerti sepatah katapun maksud dari semua tulisan-tulisan saya itu, tapi semuanya kamu comot dan kamu klaim. Kamu menjadikan curahan hati orang lain seperti barang murahan yang kamu pungut lalu kamu buang kalau sudah bosan!

Melihat begitu banyaknya blog yang pernah kamu buat, begitu seringnya kamu berpindah-pindah di dunia maya. Melihat bahwa begitu sering dan banyaknya tulisan saya dan orang lain kamu ambil setiap kali kamu membuka blog baru. Membaca jawaban kamu atas teguran saya yang tampak begitu enteng dan tidak mencerminkan rasa bersalah dan penyesalan, saya memutuskan membuat teguran terbuka (lagi).

Karena bagi saya kamu itu penjahat kambuhan. Maafkan bahasa saya, tapi memang itulah kamu. Saya tidak percaya kamu benar-benar berhenti menjadi copycat. Dan untuk melindungi tulisan-tulisan saya dan teman-teman yang lain, maka saya mengumumkan kejahatan kamu.

So guys, hati-hati dengan orang ini. Dia selalu memakai nickname Astalarista dengan berbagai variasi. Blog-blog yang sudah dihapusnya antara lain: astalarista-blogs, astalarista-diaries, atau astalarista.co.cc, ada juga astalariistaaa dan warnawarni hitam putih. Akunnya di berbagai jejaring sosial dan penyedia layanan blog bertebaran (tumblr dengan nickname yang sama pun ada tuh). Atau silakan tracking saja namanya: Dee Farista atau Astalarista.

Hari ini saya menemukan lagi satu blognya di posterous.com. Yang meski isinya baru dua tulisan, tetapi salah satunya ada di blog seorang blogger bernama Maryanie. Lihat screenshoot di bawah ini.

Blog di astalarista.posterous.com milik si pelaku.

Tapi astaga! Ternyata penulis aslinya adalah DIA INI!

Saya yakin nona ini penulis aslinya, karena gaya tulisan dalam blognya konsisten, dan tanggal postingan lebih awal.

Well, buat Dee siapapun kamu (karena saya tidak yakin itu nama aslimu) dan rekan-rekan 'seprofesimu', menghapus blog kamu tidak serta merta mencuci dosa kamu. Karena selama beberapa waktu itu kamu menggunakan karya saya untuk kepentingan kamu sendiri. Saya lihat beberapa blogger mencantumkan link kamu di blog mereka. Kamu sudah menggunakan tulisan saya untuk berteman dengan mereka.

Kamu bisa kok mengganti nama di semua akun yang kamu punya, kamu bisa menyembunyikan IP address kamu kalau mau. Tapi seperti saya bilang di message saya semalam, bau bangkai yang kamu sembunyikan pasti tercium juga akhirnya. Jangan sekali-kali mencuri tulisan saya lagi. Saya punya teman-teman IT yang bisa melacak kamu cepat atau lambat.

Saya benci para plagiator!
Meminjam ucapan Ari tadi pagi: “para plagiator itu kepingin nulis tapi otaknya cetek, jadi cari jalan pintas.” Dan saya mengambil kesimpulan, mungkin ini adalah jenis penyakit jiwa baru. Para pencuri tulisan yang tidak merasa bersalah sedikitpun dengan perbuatannya.

"Kalau merasa bego dan nggak bisa nulis, lebih baik diem aja daripada jadi maling." Itu kata seorang sepupu saya yang merasa tidak bisa menulis.

SEKIAN.


…………………………………

PS: Buat siapa pun juga yang merasa selama ini pernah atau sering menjiplak tulisan saya tanpa izin dan link, tolong segera dihapus! Saya tidak main-main.


Ini salah satu cache dari salah satu blog pelaku yang sudah didelete.

INI JUGA CACHE dari blog yang sama. Perhatikan arsip yang sudah saya buka di sidebar. Hampir 95% adalah tulisan saya yang dia ubah judulnya sedikit. Damn!



Image and video hosting by TinyPic

Saturday, May 21, 2011

Black Saturday

Saya sudah tak punya ibu, bukan berarti kalian bisa memarahi dan menudingkan telunjuk kalian ke muka saya seenaknya. Bukan berarti saya tidak bisa marah.

Saya tak lagi punya tempat mengadu, bukan berarti kalian bebas mencerca dan mencari-cari kesalahan yang tidak saya perbuat. Saya tak lagi punya ibu, bukan berarti saya terima diperlakukan begitu.

……………………………..

Gara-gara Usi. Ini gara-gara mulut embernya yang seenaknya bercerita dengan gaya hiperbola. Sehingga perempuan itu tiba-tiba menudingkan telunjuknya kepada saya dan membentak dengan nada sengit.

“Kamu nggak boleh gitu dong! Itu kan keponakan Abah. Kalo sama keponakan kamu sendiri, kamu boleh bersikap begitu. Sama keponakan Abah nggak boleh gitu!”

FYI, Abah ada panggilan untuk mendiang kakek, ayah dari ibu saya.

Saya mengerutkan kening. Bersikap seperti apa? Memangnya apa yang sudah saya lakukan? Mengusir sepupu Anda yang merepotkan itu? Yang hampir setiap hari Minggu suka datang ke rumah membawa rombongan keluarganya dan menghabiskan nasi dan lauk pauk yang saya masak untuk ayah saya? Yang pulangnya selalu minta ongkos dan kalau jumlahnya tidak sebesar keinginannya ia tidak akan beranjak dari kursinya?

Saya tidak pernah dan tidak AKAN pernah mengusirnya, meskipun saya menganggapnya pengacau hari minggu saya yang tenang. Karena tentu saja saya menyadari bahwa ia, sepupu Anda itu, juga adalah saudara saya. Saya bukan orang kasar dan tak tahu sopan santun, sekalipun saya mungkin agak pemarah. Saya tidak akan pernah membuat orang menuduh mendiang Ibu tidak mengajari saya kebaikan dan ketulusan.

Hari itu saya hanya bertanya padanya, “Lho, Paman kok kesini? Uang sumbangan kami untuk pernikahan anak Paman sudah Paman terima kan?” Apa itu artinya saya tidak memperbolehkan dia masuk ke rumah saya? Saya hanya khawatir uang itu tidak sampai ke tangannya ketika saya menitipkannya pada seorang kerabat.

Gara-gara Usi. Bercerita dengan hiperbola seolah-olah saya berbuat kasar. Saya melirik tajam padanya. Usi buru-buru menunduk.

Perempuan itu masih menudingkan telunjuknya ke muka saya. Di depan saudara-saudara yang lain, seolah-olah saya ini seorang pesakitan. Hati saya perih. Nelangsa. Setelah ini saya pasti hanya bisa menyimpan sakitnya sendirian. Tak ada Ibu tempat biasa saya mengadu. Tak ada lagi tempat saya berlindung.

“Itu masih paman jauh kamu lho!” Yang lain akhirnya ikutan menuduh.

Iya. Itu masih paman jauh saya. Lalu kenapa? Saya ingin teriak. Kalian tidak perlu mendengung-dengungkannya di kuping saya! Tak perlu membawa-bawa nama Abah!

Memangnya kalau dia keponakan kakek saya ada pengaruhnya buat saya? Memangnya saya lalu akan bersujud menghormatinya demi seorang kakek yang pernah menudingkan telunjuknya di muka saya dan mengatai saya anak penyakitan tukang bikin repot orangtua? Hah! Yang benar saja. Sejak ia berkata begitu pada Enno kecil berumur 10 tahun, saya sudah kehilangan rasa sayang saya padanya. Jadi tidak usah menjual namanya demi keponakannya itu!

Kalau sedang menahan marah biasanya badan saya gemetaran. Usi melihat tanda-tandanya. Ia buru-buru memperbaiki ceritanya. Tapi kerusakan sudah terlanjur terjadi.

“Itu keponakan Abah. Kalau keponakan kamu sendiri sih nggak apa-apa kamu mau kayak gimana juga.”

Saya tak tahan untuk tersenyum sinis mendengarnya. Memangnya apa selalu Anda berikan buat sepupu Anda itu? Anda memberinya uang? Memberinya makan dan oleh-oleh setiap minggu?

TIDAK.

Apa yang pernah Anda berikan padanya? Anda tidak pernah dan tidak AKAN pernah memberinya apa-apa, sekalipun bertemu dengannya setiap hari. Sayalah yang mengurus semua itu. SAYA. Bukannya saya sedang berhitung untung rugi. Bukannya saya tidak tulus memberi.

Ini bukan tentang keponakan Abah yang kedatangannya toh sudah saya anggap sebagai kesempatan beramal pada orang lain. Saya cuma ingin mengingatkan Anda untuk bercermin sebelum bicara. Bukan Anda yang didatanginya setiap minggu. Bukan Anda yang dimintai uang entah untuk membeli apa. Bukan Anda yang makanannya diserbu sampai tandas. Bukan Anda yang kebingungan memikirkan oleh-oleh untuk dia bawa pulang.

Terkadang saya bosan. Terkadang kesal. Tapi saya tak sekalipun mengabaikan, tak sekalipun membuang muka, tak sekalipun melarangnya datang. Saya selalu peduli padanya sekeluarga. Kenapa saya masih saja dianggap memperlakukannya tidak baik?

Padahal Andalah yang selalu memperlakukan orang tidak baik. Menuduh saya mengasari keponakan seseorang. Tapi apa yang Anda lakukan pada keponakan Anda sendiri? 


Ngomong-ngomong, masih ingat Enno kecil yang menangis karena dilarang berlari-lari di dalam rumah dan Anda katai ‘dasar Jawa’? Well, itu ‘hinaan’ yang tidak akan pernah saya lupakan.

………………………………………

Beberapa teman saya sering mengingatkan untuk tidak menulis kalau sedang marah. Karena kata mereka, kata-kata dalam tulisan saya jadi 'mengerikan.'

Tapi saya menulis untuk menenangkan diri. Buat saya menulis adalah terapi. Apalagi sejak kepergian Ibu, rasanya terlalu berat hanya menyimpannya dalam hati.

Saya bukan orang yang suka menjaga imej di depan orang lain, hanya supaya dianggap manis dan imut. Saya bukan orang yang suka memakai topeng dan wajah palsu. Saya suka menjadi diri saya sendiri. Kalau orang lain jadi menjauh karena itu, berarti mereka memang tidak cukup berharga untuk menjadi teman saya. Berarti mereka tidak cukup baik untuk menilai mana orang yang jujur, mana yang berhati palsu.

Sekian.

pict from here



Image and video hosting by TinyPic

Tuesday, March 22, 2011

Nggak Ada Judul

Cewek yang cemburu bisa lebih ganas dari singa lapar. Bertahun-tahun yang lalu teman saya, Claude, berkata dalam bahasa Indonesia yang masih menyisakan logat sengau Perancis-Kanadanya. Ia sedang menyindir saya, ketika siang itu saya cemberut karena sedang marah pada pacar saya.

"Ne pas intervenir, Claude!" Sahut saya sambil melemparnya dengan sepotong gorengan yang sedang saya makan. Jangan ikut campur, Claude. Ia tertawa. Entah menertawakan kesewotan saya, entah menertawakan logat Perancis saya yang kacau. Sisa-sisa mata pelajaran bahasa Perancis di SMA dulu.

Tapi ternyata Claude lebih mengenal diri saya dibandingkan saya sendiri. Selama ini saya tidak pernah merasa bahwa saya ini cewek yang cemburuan, seperti kata dia dulu. Setidaknya sampai kemarin. Ya. Kemarin.

Dan masalahnya menjadi ganjil, karena yang saya cemburui bahkan sudah bukan pacar saya lagi.

Saya menyesal masuk ke fesbuknya hari itu. Jaring sosial sialan! Seharusnya saya hapus saja akun saya disana. Sudah pernah akan saya lakukan, tapi kemudian saya ingat teman-teman saya disana. Semua teman SD sampai teman kuliah, para kolega, para sahabat, semua sepupu dan orang-orang yang sudah saya anggap seperti saudara. Saya tidak mau kehilangan tempat bertegur sapa dengan mereka dari kejauhan.

Seharusnya hari itu, setidaknya saya tidak masuk ke fesbuk dia. Tidak kepingin menuliskan sesuatu di 'dinding' untuk mengisenginya. Sehingga saya tidak perlu membaca reply-nya untuk komentar perempuan itu. Bahasa yang lembut plus ikon senyum.

Damn! Dia bahkan tidak pernah memberi saya ikon senyum! Dia selalu membalas keisengan saya dengan kata-kata konyol lagi. Haha-hehe tidak jelas. Tidak pernah lemah lembut. Tidak pernah manis. Brengsek! Memangnya dia pikir saya tidak pantas diperlakukan lembut?

Kenapa saya marah? Jangan tanya. Saya juga tidak tahu kenapa saya marah dan merasa terganggu. Saya tidak tahu kenapa saya iri dan cemburu. Saya tidak tahu kenapa ingin rasanya mencekik perempuan itu. Claude benar. Cewek yang sedang cemburu bisa lebih ganas dari singa lapar.

Hey! Seberarti itukah dia untuk kamu? Perempuan yang membuat aku terpaksa mundur dari hidupmu. Perempuan yang tidak pernah bisa kamu hindari. Betapa bodohnya aku yang masih saja berputar-putar di sekitarmu, padahal kau sendiri berputar-putar di sekitarnya.

Bukan berarti saya masih mencintainya. Benarkah? Kemarin seorang sahabat saya bilang justru penyangkalan saya berarti saya masih mencintainya.

I don't know! Teriak saya padanya. Jengkel. How would I know who I love right now! Orang yang mengabaikan aku di Inggris sana itu! Atau orang yang masih beramah tamah dengan perempuan jalang menyebalkan di negara ini! Hatiku kosong. Hampa. Kau bisa berteriak di sana sekencang-kencangnya dan mendengarkan gemanya berulang-ulang. Apa artinya itu? Hampa kan? Kosong kan? Bahkan mungkin tak ada oksigen untuk bernapas.

Selami hatimu. Selami.

Baiklah. Sudah aku selami. Kau mau tahu jawabannya, teman? Aku tidak mencintai siapa-siapa. Setidaknya saat ini. Saat ini aku tidak mencintai siapa-siapa. Aku terlalu bingung dan marah.

Mulai hari ini saya berjanji tidak akan masuk ke sana lagi. Ke akunnya yang penuh dengan cewek-cewek, yang selalu dibalasinya dengan lembut, terutama pada si jalang itu.

Kau, laki-laki brengsek sok macho! Keputusanku meninggalkanmu ternyata memang tepat. Aku baru menyadarinya sekarang.

Oke. Selesai. Calm down now.

foto dari sini




Image and video hosting by TinyPic

Thursday, December 2, 2010

Damn!

Saya belum pernah sekeras itu menahan amarah. Sesungguhnya saya murka. Saya menghampiri perempuan yang berdiri di depan pintu itu. Ia, Wak Hana teman Ibu, sedang bicara dengan kakak saya. Usi bertanya padanya, siapa gerangan perempuan yang ditawarkannya pada Ayah, yang menurut Wak Hana berminat menggantikan Ibu.

"Siapa perempuan itu, Wak?" Sela saya, masih dengan nada biasa. "Siapa yang kata Uwak ingin menjadi isteri Ayah yang berikutnya?"

Wak Hana agak sedikit gugup. Pasti ia tahu saya menahan marah.

"Memangnya ada perempuan di kampung ini yang selevel dengan Ayah, Wak? Yang berpendidikan? Yang cantik dan baik seperti ibu saya? Adakah Wak?" Nada suara saya mulai meninggi. "Atau jangan-jangan yang Uwak sodorkan itu cuma janda kampung yang mengincar pensiun Ayah? Yang sehari-hari kerja di sawah orang lain dan tergiur tinggal di rumah besar yang nyaman ini?

Usi menyenggol saya.

"Jangan senggol-senggol aku, Kak." Sergah saya. Kali ini nadanya sudah tinggi. "Uwak tahu tidak, ibu saya yang katanya teman Uwak itu, baru saja meninggal dua minggu yang lalu. Uwak sama sekali nggak punya kesetiaan pada teman ya. Menawar-nawarkan ayah saya pada orang di kampung Uwak. Memangnya Uwak yakin ayah saya mau menikah lagi? Saya, anaknya, yang lebih tahu Wak!"

Usi mencubit saya.

"Ini sudah nggak lucu lagi, Kak," sergah saya. "Perempuan tolol mana yang sok pede menawarkan diri pada Ayah? Sok pede bakal diterima di rumah ini. Sok pede bahwa aku akan bersikap baik padanya. Memangnya Kakak mau punya ibu tiri? Orang lain di rumah ini, yang sok tahu mengurus semuanya, dan sebenarnya cuma mau menumpang hidup enak sama kita?"

Kali ini giliran adik saya mengedip-ngedip dari jauh.

"Kamu juga!" Seru saya. "Mau punya ibu tiri, yang belum tentu becus mengurus Ayah? Kenapa aku dilarang marah. Boleh kan aku menegur Wak Hana ini supaya tidak sok tahu. Wak, saya tersinggung. Dan saya merasa sedih karena ternyata Wak Hana nggak setia kawan sama Ibu."

"Maafkan Uwak, Neng. Tadinya Uwak cuma mau membantu."

"Bukan begitu caranya membantu, Wak. Kalau begini caranya Uwak justru merobek luka yang sudah berdarah. Kami masih berdukacita, Wak. Ayah saja masih meneteskan airmata kalau ingat mendiang Ibu. Uwak malah menawar-nawarkan perempuan. Mungkin kalau lelaki di kampung ini begitu isterinya meninggal langsung mencari isteri baru. Tapi kalau Ayah tidak, Wak. Ayah sudah bilang pada kami, nggak ada perempuan lain baginya selain Ibu. Lagian Ayah punya kami untuk menemani hari-harinya. Ada saya dan Kak Usi yang mengurusnya. Kami nggak butuh orang lain!"

Wak Hana yang menyebalkan itu menunduk.

"Bilang sama perempuan yang kepedean itu. Saya tahu dia mengincar uang pensiun Ayah dan kehidupan nyaman di rumah ini. Bilang sama dia, kalau dia mau pensiun Ayah, dia juga harus mau saya gebukin mukanya sampai bonyok. Bilang kata anak Ayah yang nomor dua, gitu! Biar dia tahu harus berhadapan dengan siapa kalau mau masuk ke rumah ini!"

Saya berbalik masuk ke dalam. Air mata saya menetes deras. Tubuh saya gemetaran, hati saya sakit tak terkira.

Bu, maaf ya. Retno tidak bisa menahan marah pada teman Ibu yang tidak tahu diri itu. Tapi wajar kan Retno marah? Karena tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan Ibu. Selamanya tidak akan ada.

Awas saja Wak Hana itu!



foto dari sini


Image and video hosting by TinyPic

Tuesday, November 2, 2010

Odile

Ia itu seperti bahaya laten. Tahu kan? Dari bahasa Inggris 'latent', yang artinya eksis tapi belum aktif. Seperti faham komunis yang tiarap tapi menyebar diam-diam. Ada pertemuan-pertemuan rahasia, propaganda dan kampanye terselubung. Ada pamflet-pamflet dan berbagai tulisan berbau ideologis yang disebarkan, atau ditempelkan di tempat-tempat yang bisa dibaca orang.

Ia seperti bara yang sembunyi dalam sekam. Menjalar perlahan di antara serabut. Jari-jari apinya merayap sedikit demi sedikit. Merasuk ke dalam hati, menguasai kehendak jiwa. Akhirnya akan berkobar juga. Membakar dengan garang.

Ia itu seperti arsenik. Tak berasa, tak beraroma. Hanya dosis kecil, mungkin dalam kopimu lalu tertelan ke lambung. Disana ia menjalar perlahan, berenang dengan santai di pembuluh darah. Kau masih bisa tertawa dan berdansa sebelum akhirnya ia tiba di jantung dan membungkamnya.

Sekali waktu ia berubah seperti gula. Manis. Legit. Membumbungkan eforia dan bahagia. Naif, inosens. Tapi ia mengendapkan diri dalam tubuhmu. Lalu membuatmu kena diabet.

Ia bukan angsa putih. Ia hanya angsa hitam yang mengecat bulunya menjadi putih.

Hmmm.. tapi tampaknya ia lebih mirip bahaya laten, kan? Tiarap. Sembunyi-sembunyi. Menyusup di belakangmu. Sok baik. Sok manis. Tapi dengan pisau di punggungnya dan senyum munafik yang cantik.


Suatu hari saat kau mulai terlena, ia menusukkan pisaunya dan kau mati.

*Lalu ketika orang-orang bertanya kenapa ia melakukannya, ia hanya angkat bahu dan menjawab dengan enteng: 'Sori, kami sudah tidak cocok lagi'*



foto dari sini




Image and video hosting by TinyPic

Sunday, October 17, 2010

Bravo!

Bagus sekali. Bravo. Sudah membuatku dicaci dan dimaki. Pernahkah kau diperlakukan seperti itu oleh orang lain? Seperti sampah, seperti sesuatu yang tidak berguna? Belum? Kalau begitu selamat. Congratulation. Karena aku bersumpah tidak akan pernah melakukan sesuatu yang membuatmu mendapatkan itu.

Pantas saja selama ini selalu kucari sosok kakak dari orang lain. Dari teman-temanku yang lebih tua. Karena hati kecilku tahu kau memang tak layak jadi kakak.

Sebesar apa sih penderitaanmu saat ini? Seberat apa kerepotan yang kau tanggung? Memangnya kau dilahirkan dari mana? Dari batu? Apa kau pernah mendengar perempuan yang terbaring sakit itu mengeluh ketika kau malah kawin dengan si tua bangka itu, bukannya mendaftar ke universitas? Apa kau pernah mendengar ia mengeluh melihat kau mendidik anak-anakmu jadi manusia-manusia yang manja dan tidak mandiri? Apa kau pernah mendengar ia mengeluh ketika kau melolong-lolong dari seberang pulau sana tidak bisa membeli beras karena suamimu bangkrut?

Bravo. Kau memang tukang mengeluh. Kau mengeluh terus pada orang-orang di belakang sana itu. Kau memang penjilat. Kau puas kan? Kau puas sekarang?

Say: I seek refuge with the Lord and Cherisher of Mankind,
The King (or Ruler) of Mankind,
The Allah (for judge) of Mankind,-
From the mischief of the Whisperer (of Evil), who withdraws (after his whisper),-
(The same) who whispers into the hearts of Mankind,-
Among jinns and among men.

-Holy Quran, An Naas verse 1-6-
_________________

Tidak, teman-teman, jangan khawatir. Saya tidak akan bertengkar dengannya. Saya bukan orang yang suka beradu mulut, saling teriak dengan orang lain, apalagi sesama saudara. Saya tidak akan mengatakan apa-apa. Life goes on. Biarkan saja dia begitu.
Hey, tak ada waktu untuk menyisir rambut. Apalagi untuk bertengkar! ;)


foto dari sini



Image and video hosting by TinyPic

Saturday, October 16, 2010

Caci Maki Itu

: Anda, yang mencaci maki saya kemarin pagi

Terima kasih sudah melontarkan cacian itu pada saya melalui telepon. Membentak-bentak keras, mengatakan saya ini anak yang tidak punya tanggung jawab. Sungguh, itu gelar yang hebat sekali. Yang disematkan pada tubuh yang lelah ini, yang tulang-tulangnya nyaris patah karena harus mengurus segalanya sendirian selama Ibu sakit.

Jangan khawatir. Saya tidak marah. Sakit hati sedikit mungkin. Tapi saya mengerti, Anda dan yang lainnya di belakang sana selalu begitu. Menghakimi orang tanpa mencari tahu duduk persoalannya. Itu sudah mengalir dalam darah keluarga, ya? Untungnya tidak dalam darah saya.

Marahi saja saya sepuas hati Anda. Karena saya belum sempat menjaga Ibu sejak pulang dari rumah sakit dan tinggal bersama Usi. Karena seharusnya saya tinggalkan saja ayah saya yang asam uratnya sedang kambuh dan tidak bisa berjalan itu. Benar, seharusnya saya tinggalkan saja adik ipar saya yang terbaring kena gejala tipus dan anemia itu, biar ia merangkak mengurus dirinya sendiri. Dan tak perlu saya urus adik saya yang demam dan membelikan obat untuk radang tenggorokannya. Saya sendiri yang juga sedang demam seharusnya memaksakan diri naik angkutan umum ke rumah Usi, meskipun harus pingsan di jalan.

Kami berempat di sini sakit. Tahukah Anda hal itu? Tentu tidak. Yang Anda tahu adalah segera memutar nomor telepon saya begitu mendengar laporan Usi bahwa belum satu pun dari kami yang datang sejak Ibu di rumahnya.

Tolong tanyakan pada kakak saya yang berhati mulia, sabar, tabah dan bijaksana itu. Apakah ia sudah membaca pesan pendek yang saya kirimkan malam sebelumnya? Saya memberitahunya bahwa kami semua sakit di sini. Saya minta maaf belum bisa ke sana dan harap ia bersabar sampai dua hari ke depan. Kalau ia tidak menerima pesan itu, suruh ia membakar saja ponselnya yang tak berguna. Atau kalau ia tidak mengerti isi berita saya, tolong tanyakan harus dalam bahasa apa saya mengirim pesan untuknya.

Tak ada yang memaksanya menempatkan Ibu di rumahnya. Kalau tak sanggup, katakan saja sejak awal. Mohon bawa Ibu kembali ke rumah ini saja. Akan saya urus Ayah dan Ibu sendirian, tanpa harus merepotkan kalian. Meski harus mati kelelahan pun saya ikhlas.

Tadinya saya kira kami akan menjadi tim dalam menghadapi ini semua sampai Ibu sembuh. Ternyata saya salah. Ada yang tidak tabah, tidak sekuat yang saya kira. Yang akhirnya berkeluh kesah sehingga Anda meradang dan mencaci kami di sini.

Anyway, terima kasih untuk caci makinya. Itu adalah pertama kalinya seseorang mencaci maki saya seumur hidup. Selamat ya, Anda sudah memecahkan rekor.

Besok saya akan ke sana. Membawa pulang Ibu ke rumah kami lagi. Supaya Usi kakak saya tercinta bisa istirahat dan mengurus lagi keluarganya dengan tenang. Supaya tak ada lagi hal-hal seperti ini, karena bahkan saya tak punya waktu dan terlalu lelah untuk bertengkar.



foto dari sini



Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, July 28, 2010

Selingkuh Memang Indah!

: kau



Warning!

The feelings of betrayal and hurt
may take many years to heal.

...........

Kau tahu kan rasanya kalau cintamu dikhianati?
Seperti aku. Aku sudah pernah dikhianati. Oh, tidak, bukan pernah. Apa namanya kalau itu terjadi lebih dari tiga kali? Sering? Ya sering. Apakah ada yang tahu rasanya? Bagaimana dikhianati cinta itu? Ketika kamu mencintai seseorang, mengira ia juga mencintai sebanyak (atau lebih) dari yang kita beri, tapi kemudian ternyata itu hanya sebanding dengan angka nol besar?

Kau sudah pernah merasakan hal yang sama kan? Cintamu juga pernah dikhianati dan kau bilang rasanya pedih seperti luka disiram cuka. Kau sembuh setelah tahun-tahun penuh trauma dan krisis tak percaya diri. Persis. Aku juga. Dulu aku selalu mencari-cari kekurangan diri. Aku bahkan takut melihat ke dalam cermin.

Entahlah kalau kau.
Tapi sakit dan pedih itu membentuk diriku yang baru. Yang kini lebih menghargai perasaan orang lain. Yang lebih menghargai harapan seseorang yang ditanamkan kepadaku. Menghargai kepercayaan seseorang yang mencintaiku.

Aku benci pengkhianat. Lebih dari pembunuh. Karena pengkhianatan atas cinta tidak hanya mengambil jiwa dan kehidupan. Ia mengambil segala harapan dan semangat. Segala kebahagiaan dan cita-cita yang tumbuh bersamanya. Menghanguskan mimpi dan angan-angan. Mengambil segenap kepercayaan kita kepada dunia.

Aku tak bisa terima apapun pembenaran untuk pengkhianatan atas cinta. Tentu. Tentu kau mau bilang kau dulu salah pilih orang. Kau dulu berpikir kekasihmu yang sekarang adalah orang yang kau inginkan? Basi.

Memangnya kau Siti Nurbaya yang langsung harus menerima pinangan Datuk Maringgih yang tak kau kenal sebelumnya? Memangnya kau memungut pacarmu itu di jalanan dalam kondisi amnesia dan lupa siapa dirinya? Memangnya kau begitu bodohnya sampai tak bisa mempertimbangkan seseorang untuk dirimu sendiri?

Kau PASTI mengenal dia sebelumnya. Kau berteman dengannya. Kau mengobrol dengannya. Kau akrab dengannya.

Oh well. Sekarang aku tahu, hari-hari indahmu dengannya itu cuma omong kosong seorang pembohong. Kau merangkai drama romantis baginya dan bagi kami. Kami berseru kagum dan bertepuk tangan, juga iri pada kebahagiaanmu dan ternyata itu palsu.

Begini saja. Singkatnya, kau tak bisa beralasan kau menemukan seseorang yang lebih ideal, yang selama ini kau impikan, sehingga sah-sah saja bagimu mengabaikan orang yang mencintaimu itu. Tak ada satupun hal di dunia ini yang membenarkan tingkahmu bermain hati dengan yang lain, sementara di sisimu seseorang mencintaimu dan mempercayai kejujuranmu.

Hey kau tahu, kau tak bermoral!

Entahlah kalau kau. Tapi pernah dikhianati membuatku lebih peka terhadap perasaan orang lain. Dan apapun alasannya, aku tak akan pernah mempermainkan orang yang mencintaiku dengan tulus.

Lalu mungkin, kuduga, kau akan sampai pada keputusan untuk pergi dari pacarmu? Pergi perlahan-lahan, menghitung dalam hati, untuk menghilang darinya? Pernahkah kau kembali barang sejenak pada kenangan kelammu dan rasa sakit yang menyiksa itu? Apakah kau pikir ada orang yang kebal dengan perasaan itu, bahkan kekasihmu yang sedang kau khianati itu?

Kau ini memang tak punya hati.

Sudahlah, tak usah banyak cingcong. Mungkin dulu kau mencomot dia menjadi pacarmu cuma untuk menambal luka. Dan itu memperjelas siapa dirimu, si tukang mempermainkan orang.
Kau pikir aku percaya pada apapun perasaan yang kau gambarkan tentang 'korbanmu' yang baru?

Umbar saja. Puja puji saja. Setiap hari kalau mau. Bagiku itu bullshit.

Oh, dan apakah orang yang baru itu benar-benar sesuai impianmu? Jangan-jangan cuma menambal kebutuhan yang tak kau dapat dari pacarmu yang sekarang.
Apakah kau yakin hatinya tak terikat pada siapapun selain kamu?
Apakah kau yakin ia sedang tidak mencintai orang lain?
Apakah kau yakin ia tidak dalam pelarian seperti kau dulu waktu memilih pacarmu?
Dan apakah kau yakin kau tidak akan berkhianat lagi jika ternyata ia juga tak sesuai kebutuhanmu.
Kau kan sepertinya menganggap mereka barang yang bisa dibuang kalau kau bosan.
Cuma sebesar itu kan arti cinta bagimu?

Manusia punya hati. Punya perasaan. Kau punya tidak?


Yeah, aku memang sinis dan sarkastis. Kau kan sudah tahu aku.
Lalu memangnya kenapa?
Yang jelas aku tidak bertingkah bagai remaja labil seperti dirimu. Kalau kau pikir aku bakal bertepuk tangan bahagia untukmu, kau SALAH BESAR!
Aku ini tumbuh dari luka. Aku mengerti rasa pedihnya.



_____________

iyalah tau, selingkuh itu memang indah! tak pedulilah kalau harus menyakiti orang. yang penting dapet cowok keren. Iya kan?


Image and video hosting by TinyPic

Thursday, July 22, 2010

Muak

Sepertinya mustahil ya menyuruh kamu membiarkan saya sendiri. Pergi jauh-jauh, begitu? Tidak? Tidak bisa? Kenapa sih kamu hobi sekali menempel pada saya? Memangnya saya ini artis? Selebriti? Nabi? Guide? Atau apa?

Kan saya sudah bilang, saya tidak suka dibuntuti. Biarkan saya menjelajahi semua tempat sendirian. Tidak. Pokoknya saya tidak mau ada kamu di mana saya berada. Saya tidak suka setiap lirikan mata saya, meski hanya sekilas saja, menampakkan dirimu yang sedang mengamati saya. Lagipula memangnya kamu tidak punya pekerjaan lain selain mengendusi jejak saya? Seperti anjing pelacak saja!

Dan coba lihat itu! Kamu menjejak tepat di jalan setapak saya. Kamu tidak mencari jalan setapak sendiri. Kan bisa mengayunkan cangkul, arit, golok, pisau dapur, atau pakai tanganmu sendiri menebas semak-semak yang menghalangi jalan.

Buatlah jalan setapakmu sendiri. Jalan yang ini sudah saya klaim. Milik pribadi. Mungkin harus saya pagari dan saya tempeli papan bertulisan 'Jalan Pribadi.'
Dan jangan dirikan pondokmu dekat pondok saya, hanya supaya kamu bisa mengintip saya dan ikut melakukan apa yang saya lakukan.

Sungguh menyebalkan sekali. Tak pernah tak ada dirimu dimana-mana. Di sekitar saya, di sekeliling saya. Sebelum saya menghela napas pun, baumu sudah tercium tajam. Bahkan sebelum saya memutuskan berjalan pun, indera keenam saya sudah meramalkan kamu akan mengekor. Dan betul kan? Ramalan saya terbukti. Selalu terbukti.

Lama-lama keberadaanmu mengganggu hidup saya. Menjadikannya tidak tenang, tidak nyaman dan tidak bahagia. Membuat saya kesal, jengkel dan sebal.

Menyingkir dong dari belakang saya.
Berbelok sana.
Ke kiri kek, ke kanan kek.
Putar arah kalau bisa. Maafkan saya, tapi saya sudah muak.



foto dari sini

Grmbl grmbl

Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, June 16, 2010

Achtung!

Suatu hari akan ada serombongan kutu rambut yang transit di sisirmu. Tanpa kau sadari mereka lalu menjadi penghuni rambutmu dan kau akan merasakan gatal-gatal setiap hari. Kau menggaruk kulit kepalamu lagi dan lagi sampai terluka. Lalu luka itu menjadi borok yang tak bisa lagi diobati hanya dengan peditox, obat kutu terpercaya.

Kau harus pergi ke dokter kulit, bodoh!

Suatu hari kamu akan berkunjung ke rumah kami. Tentu saja kau tertawa-tawa riang tanpa dosa. Kau mungkin akan membawa oleh-oleh yang tak berarti. Kau menebar senyum ramah sok menjilat yang sudah pernah kau peragakan ketika kau masih belum menjadi keluargaku.

"Apa kabar?" Kau akan bersalaman dengan gaya sok pamer, karena kau mengaku pejabat di sebuah instansi. Kau mengabaikan tatapan curigaku, yang keheranan karena seorang pejabat tak mungkin tak punya mobil, tak mungkin berpakaian lusuh dan murahan, tak mungkin hanya bersepatu sandal yang sudah rombeng. Bagaimanapun juga seorang pejabat harus menjaga kredibilitas penampilannya. Aku tidak akan pernah tertipu, tapi kau menganggapku anak kemarin sore yang tak tahu apa-apa.

Kau duduk di sofa kami, bersandar pada bantal-bantal empuk besar itu. Menepuk-nepuk bahu isterimu. Mencoba menceritakan apa saja yang menurutmu menarik kepada ayah dan ibuku. Padahal sebenarnya mereka tak suka padamu.

Aku akan datang dengan sebuah nampan berisi minuman panas.
"Kopi?" Tanyaku padamu. "Silakan diminum." Kusodorkan cangkir yang isinya mengepul-ngepul itu. Tapi ups! Aku tersandung dan isi cangkir itu tumpah ke pahamu. Kau terlonjak kaget dan kepanasan. Menepis-nepis celanamu yang basah dan beruap.
"Maaf, maaf!" Aku menatap tak berdosa.

Kali berikutnya kau akan datang lagi. Aku berhati-hati tidak tersandung lagi. Kali ini kusuguhkan teh dan menaruhnya hati-hati di atas meja. Kau meminumnya dengan senang hati dan ingin menyemburkannya seketika. Ah! Rupanya gulanya tertukar dengan garam. Maaf ya....

Kita mungkin akan bertemu lagi. Di rumah salah satu saudara, saat ada arisan atau syukuran. Dan kurasa kau mesti berhati-hati saat akan pulang. Siapa tahu kau tersandung atau ada paku menancap di sepatumu, melukai telapak kakimu. Hati-hati kena tetanus. Kesialan bisa terjadi dimana saja kan?

Setiap Lebaran aku janji tidak akan mencium tanganmu, meski secara hirarki kau ini orang tua dan memang jauh lebih tua. Oh, jangan harap aku akan bicara atau mengobrol denganmu meski kau sudah masuk ke dalam keluargaku. Aku hanya akan berpaling dan berdiri sejauh mungkin darimu.

Dan tidak perlu mengajakku tersenyum. Aku muak!

Kau kira aku tidak tahu siapa kamu? Aku sudah menyelidikimu menggunakan link-link-ku. Kau pikir kau bisa seenaknya berbohong bahwa kau ini mengepalai suatu instansi dan lolos begitu saja? Kau pikir, mentang-mentang ini di kampung lalu semua orang akan percaya begitu saja?

Kau ini bukan kepala instansi apapun. Kau pegawai biasa dan sama sekali tidak istimewa. Hah! Sudah kuduga! Kau tidak perlu melotot kaget begitu. Kau lupa ya? Bagaimanapun aku ini pernah jadi wartawan yang terlatih menginvestigasi. Apalagi cuma kasusmu yang payah. Dengan beberapa kali telepon saja, aku sudah bisa membuka kedokmu.

Kau pikir kau akan sukses masuk ke dalam keluargaku? Coba saja. Aku akan menjadi duri dalam dagingmu, karena kau telah merebut seseorang dari suami dan anak-anaknya. Dasar kambing payah tukang merusak rumah tangga orang! Aku tidak sudi kau masuk ke keluarga ini!


Gambar dari sini


Kalau kau pikir, kau bisa merayu perempuan naif itu, teruskan saja. Dan ucapkan selamat datang pada hari-hari penuh kesialan.


*devilish smile*

Image and video hosting by TinyPic

Thursday, April 8, 2010

Pergi Sana!

Sudah kubaca emailmu yang panjang dan membosankan itu. Katamu, kau menyesal telah menyakiti aku bertahun-tahun yang lalu. Kau pergi begitu saja dan hidup dengan yang lain. Kau membuat harapanku berantakan. Tapi dalam suratmu, kau bilang masih mencintai aku.

Ya, aku. Yang dulu kau cerca kelewat kekanak-kanakan. Yang menyukai Harry Potter, yang bahkan sekarang sedang keranjingan main game portable. Aku yang sering kau bilang egois karena kadang-kadang ingin punya waktu sendiri. Aku yang saat itu mencintaimu, lalu kau bikin muak dengan sikapmu sendiri.

Apa kabar dunia? Kenapa tiba-tiba kau ingin kembali padaku setelah bertahun-tahun berlalu? Apakah kau sudah tak laku dan begitu putus asanya memilih kembali pada perempuan yang dulu kau rendahkan?

Teman-temanku benar waktu mereka bilang kita tak sepadan. Mereka menyuruhku menendangmu ke jalan, tapi aku bertahan. Dulu aku mencintaimu karena banyak hal, karena aku melihatmu dari sisi yang baik, karena aku mengira kau mencintaiku sebanyak yang kuberikan padamu.

Ternyata aku salah. Kau tak setulus itu padaku. Kau cuma pengkhianat. Kau cuma bajingan.

Tidak perlu kau kirim surat itu. Aku tak butuh kamu, bahkan seharusnya sejak dulu sebelum kita bertemu. Aku sudah melupakan kau pernah singgah dan mengganggu kedamaian hidupku.

Pergi sana ke neraka! Aku tak pernah menyesal telah menamparmu kali terakhir itu.


Image and video hosting by TinyPic

Thursday, March 18, 2010

Selling the Drama, Playing Victim


: seorang teman


some people do act : playing victim.. *sigh
-Ucup, statusnya di fesbuk-

.............

Aku menulis ini untukmu, karena sampai detik ini kamu masih saja bertingkah seperti orang yang teraniaya. Aku bosan. Dan adikku menulis status itu di fesbuknya sebab kamu merengek-rengek padanya, bahkan tentang aku.

Aku tahu kamu cemburu padaku, meski kamu tidak sudi mengaku. Kamu tidak suka aku berteman dengan temanmu. Sayangnya kamu tidak mengatakannya terus terang padaku, tapi malah bercerita pada orang lain. Mempersoalkan aku yang lebih akrab dengan temanmu itu dibandingkan dengan dirimu, karena aku yang lebih suka curhat padanya dibandingkan pada dirimu. Kamu bertingkah seolah-olah aku wajib curhat padamu.

Ya
, kamu cemburu. Karena kamu mencintai temanmu itu dan ingin dia hanya untukmu.

Memangnya kamu belum mengerti juga ya? Sudah pernah kubilang kan dengan lugas dan jelas: dia. tidak. mencintaimu.
Aku membantumu mengetahui perasaannya, dan ia mengatakannya padaku. Aku menyampaikannya padamu agar kamu tidak membuang waktu dan menunggu. Aku peduli padamu, aku tidak ingin kamu melewatkan kesempatanmu untuk bahagia dengan seseorang yang lebih layak untukmu.

Tapi kamu malah menuduhku suka padanya dan menikammu dari belakang. Kasak kusuk nggak jelas, bahkan pada adikku sendiri.

Menikam apa? Memangnya aku harus minta izinmu untuk berteman dengan orang lain, termasuk dengan temanmu sendiri? Memangnya aku harus minta izinmu jika kami ingin mengobrol satu sama lain? Memangnya kamu akan mengizinkan kami dengan setulus hatimu? Aku tidak yakin tuh.

Kamu pernah berkata padaku, "Enno, kamu pacaran sama dia juga nggak apa-apa. Kawin sama dia juga nggak apa-apa."
Kata-katamu itu malah lebih mempertegas kesewotanmu, tahu.

Tahu tidak, teman perempuan sepertimu ini yang membuatku lebih suka berteman dengan laki-laki. Aku malas dengan segala intrik, persaingan, iri hati, kecemburuan, kasak-kusuk nggak penting. Fyuh! Sungguh tidak bermutu.

Adikku benar waktu dia menegurmu ketika kamu merengek-rengek soal ini padanya. Adikku bilang padamu, kamu terlalu berlebihan meributkan pertemananku dengan temanmu. Harusnya kamu tahu, aku memang lebih cocok berteman dengan lelaki. Karena aku bukan jenis perempuan yang suka tetek bengek politik perempuan macam ini.

Itu sebabnya aku lebih mudah akrab dengan temanmu itu. Karena dia laki-laki. Tapi lebih dari itu karena dia tidak seruwet kamu. Dan mengingat apa yang sudah kamu lakukan padanya selama ini, jangan salahkan aku jika aku simpati dan menjadi pendukungnya nomor satu.

Ia jadi menjauhimu, itu bukan karena aku. Itu karena apa yang sudah kamu lakukan padanya selamanya ini. Aku terkejut kamu bisa sejahat itu. Menjegal setiap hubungan yang akan dijalinnya dengan perempuan yang disukainya. Mencintai seseorang itu boleh saja, dear. Tapi bermainlah yang jujur. Bersainglah yang sehat. Dan jangan berdalih kamu lebih tahu siapa yang cocok atau tidak cocok dengannya. Jangan beralasan kamu sudah kenal dia luar dalam. Memangnya kamu ibunya? Atau Tuhan?

Menurutmu perempuan seperti apa sih yang cocok untuknya? Yang seperti kamu?

Anyway... aku jadi ingin bertanya: siapa yang sebenarnya teraniaya? Siapa yang sebenarnya suka menikam dari belakang?

Sejujurnya aku mulai terganggu dengan kasak kusukmu pada teman-temanmu. Terganggu dengan stigma yang kau tempelkan padaku. Aku menikam dari belakang katamu. Aku suka padanya katamu. Dan kamu mengatakannya semua itu di belakangku, sementara di depanku kamu bersikap baik-baik saja.

Munafik. Dan pengecut.

Memangnya aku dan dia pacaran? Memangnya kami saling jatuh cinta? Memangnya kamu Tuhan yang bisa setahu itu perasaan orang lain?

Kamu buta dan tuli ya? Kamu selalu membaca tulisanku dari waktu ke waktu. Kamu suka mengobrol denganku. Apakah kamu terlalu bebal sehingga tidak paham juga bahwa aku mencintai seseorang yang lain. Sejak dulu. Dan akan selalu begitu.
Apakah harus pula kusebutkan namanya agar kamu sembuh dari amnesia?

Kenzo. Aku mencintai Kenzo. Bukan yang lain.

Dear, jadilah diri sendiri. Berhentilah bermain drama dan berperan sebagai korban. Hargailah orang lain dan jangan hanya memikirkan diri sendiri. Aku tahu sebenarnya dalam hatimu kamu tahu yang kukatakan ini benar.

Kamu merasa teman-temanmu menjauhimu, padahal kamulah yang menjauhi mereka. Dengan sikapmu itu, yang selalu penuh kritik kalau mereka sedang bahagia. Kamu langsung membangun dinding yang tinggi, mengasihani diri sendiri dan meminta belas kasihan orang lain.

Dear, kamu tidak punya pacar, tapi bukan berarti kamu tidak bisa bahagia. Kamu belum menikah, bukan berarti kamu tidak bisa menikmati hidup. Dan kamu tidak bisa berharap kami selalu sama denganmu. Kami punya kehidupan sendiri, yang boleh-boleh saja tidak melibatkanmu.

Berhentilah membuatku jengkel. Berhenti membuat KAMI jengkel. Tak ada seorangpun yang mengasihanimu, karena disini kamulah antagonisnya.
Berhenti kasak kusuk dan melabeliku seenaknya. Sebab kamu sendiri tahu yang kamu katakan itu tidak benar.

Jangan berharap aku akan menghentikan persahabatanku dengan temanmu. Kamu tak punya hak untuk merasa keberatan.

Oh satu lagi. Berhentilah mengganggu adikku dengan rengekan-rengekanmu, seolah ia akan peduli. Jangan mengiriminya SMS tidak penting di jam kerja atau mencoba meneleponnya pagi-pagi saat dia masih tidur. Dia harus berkonsentrasi dengan pekerjaan barunya.

Kamu tahu kan apa yang bisa dilakukan seorang kakak yang protektif jika adiknya terganggu? Aku. Bisa. Marah.

Dear, apa yang terjadi padamu baru-baru ini ketika seseorang mengganggu propertimu, seharusnya menjadi bahan introspeksimu, bukannya terus merengek dan meminta simpati orang lain.
Meski aku beranggapan apa yang menimpamu itu keterlaluan, tapi aku juga tak bisa menyalahkan jika di luar sana ada seseorang yang tak tahan lagi dengan sikapmu yang egois itu dan memberimu pelajaran.



Peace,

Image and video hosting by TinyPic

Saturday, November 28, 2009

Yudas


Aku pernah percaya padanya.
Seperti aku percaya pada matahari yang tak pernah absen terbit dari timur.

Lalu seperti Yudas, ia berkhianat.

......

Aku masih ingat caramu memiringkan kepala ketika mendengarkan ia mengoceh tak jelas tentang sesuatu yang absurd. Ia sedang berkata, "Kita harus mulai berpikir out of the box. Kalau orang-orang sudah biasa mengambil langkah A, kita bisa mencoba langkah B." Dan kau mengangguk sambil menatapnya dengan terpesona, tak menyadari bahwa aku memperhatikanmu sejak tadi.

Kau masih saja memujanya ya? Atau itu rasa penasaran karena kau dulu ingin memacarinya tapi tak bisa? Tak bisa karena kau terlalu minder dan menganggap dirinya terlalu baik untukmu.

"Nggak nyangka ya, pemikirannya makin dewasa," katamu padaku setelah itu.

Aku menatapmu setengah jengkel setengah geli. Hanya sebatas itukah ukuran kedewasaan bagimu? Kau menyebutnya dewasa karena ia mengutip sebuah konsep yang dibacanya entah dimana dan diucapkannya berulang-ulang pada setiap orang yang mau mendengarkan. Hey, buatku, apa yang diucapkannya itu basi.

"Ya," gumamku. "Dan aku bodoh seperti biasanya."
Kau tak bisa memungkiri fakta, bahwa disadari atau tidak, kau selalu membanding-bandingkan kami.

Pintar, pintar, pintar. Kamu selalu memujinya begitu. Lalu bagaimana aku? Bodoh? Kekanak-kanakan? Hanya karena aku lebih suka membicarakan foto, gunung, kucing-kucing dan buku-buku bagus. Hanya karena aku lebih suka memilih topik sederhana dan kelihatan tak punya konsep keren?

Aku kan memang tidak pernah cerita soal berdebat dengan panglima armada TNI AL tentang pengamanan pulau-pulau perbatasan. Aku tidak pernah cerita soal berdiskusi dengan Menteri Lingkungan Hidup tentang illegal logging. Oh, aku juga tidak pernah cerita sering hadir di acara kajian politik yang diadakan kepemudaan sebuah partai.

Yang seperti aku, kau menyebutnya apa?

Kau mungkin akan bilang bahwa aku cemburu. Katakan itu di depanku dan aku akan terbahak-bahak sampai mati. Aku tidak cemburu. Aku cuma mau memberitahumu, bahwa selama ini aku lebih mempercayainya daripada orang lain. Aku menceritakan segalanya karena kupikir ia akan mengerti dibandingkan yang lain. Kau bahkan tak tahu, aku menyayanginya lebih dari Ussy, kakakku sendiri.

Kupikir ia berbeda. Kupikir ia akan membelaku seperti aku membelanya selalu. Ternyata aku salah. Ia sama saja dengan mereka. Tukang gosip, tukang usil. Dan ia menertawakan aku di balik punggungku setiap aku bercerita tentang kisah cintaku.

Ia juga menganggapku gila.

Tetapi mungkin kau tidak peduli ya. Aku bilang padamu bahwa ia menertawakanku. Kau dengan ringan berkata, "Tak usah kau pusingkan hal itu. Dunia kalian kan berbeda."

Dunia kami berbeda? Bahwa ia ikan bandeng di tambak dan aku ikan badut di laut? Bahwa ia burung yang terbang di langit dan aku keong yang melata di tanah? Bahwa ia mahluk bumi dan aku alien? Bahwa ia manusia dan aku jin?
Dunia yang berbeda katamu? Padahal kau tahu kami selalu bersama-sama seperti laut dan ombak, awan dan hujan, lebah dan madu.
Aku yakin kamu akan mengatakan hal yang sama, sekalipun aku datang padamu sambil menangis karena kecewa pada si pintar itu.

Oh ya. Jelas. Akhirnya kuakui kalau ia memang pintar. Pintar membuatku kelihatan buruk. Belum cukup menertawakanku di belakang, ia mengatakan hal-hal yang tidak benar pada orang-orang yang sudah sepatutnya ia tahu akan menyebarkannya lagi pada yang lain.

Gara-gara itu, mereka lebih menghinaku lagi. Lebih menyudutkanku lagi. Mengatai aku tak tahu diuntung dan sebagainya. Gara-gara itu aku bertengkar dengan ibuku. Gara-gara itu hidupku jadi 'lebih indah dan penuh warna'.

Well, thanks to her!

Apa? Aku marah? Tidak. Aku tidak marah. Biarkan saja ia begitu. Anggap saja apa yang dilakukannya untuk membayar jasanya padaku atas segala bantuannya di masa lalu. Meskipun tetap saja ia tidak berhak berbuat begitu. Dan kau tahu apa yang paling menyakitkan setelah semua yang dilakukannya? Sulit sekali untuk membencinya.

Kau tetap akan memujanya sepanjang masa ya? Kalau begitu jangan selalu menanyakan kabarnya padaku di setiap kesempatan, aku bukan baby sitternya. Dekati saja sendiri.

Ambil, bungkus, bawa pulang!


Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, October 7, 2009

Nightmare

Kegelapan itu menelanku.
Membuatku buta dan sesak napas.
Aku menggapai-gapai dalam kekosongan.
Tak ada apapun yang kuraih.
Kegelapan itu perlahan-lahan membekukanku.

..........

Hentikan. Jangan lagi bertanya padaku bagaimana rasanya berada di daerah bencana. Aku terpaksa harus mengulang mimpi buruk itu. Mimpi-mimpi gelap yang membuatku terbangun dengan tubuh gemetaran. Kalian menganggap semua itu hebat. Berada di sana, mengamati setiap detail, bertanya tentang perasaan para korban yang menderita demi bisa menuliskannya dalam lembaran kertas yang kalian baca esok pagi lalu terlupakan sorenya.

Aku menulis kata demi kata sambil banjir air mata........

Kalian tak pernah mencium bau busuk ratusan mayat yang menguar di udara bukan? Kalian tak pernah menyaksikan wajah-wajah berduka saat kehidupan luluh lantak di depan mata. Kalian tak pernah harus susah payah meredakan histeria seseorang yang mencari anggota keluarganya yang hilang.

Aku mewawancarai para korban sambil menahan isak...

Ketika kalian menonton semua itu di televisi, membacanya di koran-koran dan majalah, kalian hanya bisa merutuki kenapa pertolongan datang terlambat. Kenapa evakuasi begitu lamban. Kenapa bantuan makanan tak sampai ke pelosok. Datanglah kesana dan saksikan sendiri. Teori selalu lebih mudah dari prakteknya.

Sudah kubilang, hentikan bertanya-tanya padaku. Kalian tak akan pernah mau melihat mayat-mayat mengambang di sungai-sungai kotor sesudah tsunami. Mayat-mayat terjepit di sela reruntuhan bangunan setelah gempa. Anak-anak termangu tanpa orangtua di bekas rumah yang rata dengan tanah. Atau kalian memang mau melihatnya sendiri? Datanglah dan saksikan sendiri. Kenyataan tak selalu seindah khayalan.

Sudah. Hentikan pertanyaan kalian! Aku tak mau mimpi buruk itu datang lagi nanti malam.

--------------

Banyak teman, saudara, handai taulan yang bertanya bagaimana rasanya berada di tengah-tengah lokasi bencana. Dan hampir semuanya memiliki antusiasme yang tak masuk akal karena menganggap keberadaan saya untuk meliput di sana keren, hebat dan pengalaman yang tak terlupakan.

Sebenarnya saya tidak
akan pernah terbiasa dengan liputan semacam itu. Seandainya saja kalian tahu...


Image and video hosting by TinyPic

Tuesday, August 25, 2009

Sampah

Melihat wajahnya, seperti melihat sampah yang berantakan dari tongnya. Butuh disapu, dibersihkan, dibakar dan dilenyapkan segera.
Terima kasih untuk fesbuk yang tiba-tiba memunculkan kembali kenangan pahit bertahun-tahun yang lalu. Terima kasih banyak, karena kini aku menyadari betapa beruntungnya diriku saat ini.

........

Flop! Tiba-tiba saja fotonya ada di layar komputerku. Mencemari keheninganku yang suci, malam-malam setelah shalat tarawih.
Sial! Tak salah lagi. Namanya sama, wajahnya pun sama. Menatap angkuh tanpa rasa bersalah.

Kata siapa tak bersalah? Tentu saja ia bersalah! Setidaknya padaku! Suatu masa bertahun-tahun yang lalu. Dan aku sungguh tak mau mengingatnya lagi. Kasusnya sudah ditutup.

1 friend request

Melihat wajahnya saja seperti melihat bangkai tikus, yang harus segera dikubur. Sebab kalau tidak bau busuknya membuat perut bergolak dan muntah-muntah.
Melihat wajahnya bisa membuat puasaku batal.

Masih mengirim pesan pendek, masih bertanya tentang aku pada teman-temanku. Dan sekarang mencariku di fesbuk? Kenapa sih kau tidak menghilang saja ke negeri antah berantah, menjadi debu lalu tertiup angin ke gurun Gobi, atau berubah menjadi keong yang dihanyutkan ombak ke tengah laut?

..........

Terima kasih untuk percintaan gagal yang pernah kau persembahkan. Terima kasih, karena aku jadi lebih hati-hati mengenal pria. Dan terima kasih karena pengkhianatanmu membuatku terhindar dari nasib buruk hidup dengan seonggok sampah.


Image and video hosting by TinyPic

Saturday, August 15, 2009

I'm (Not) Doing Fine

Pagi ini bangun dengan kepala migren. Kemarin saya menghabiskan hari dengan mondar-mandir ke toilet gara-gara dua butir pencahar.

Ussy mengetuk pintu toilet berkali-kali ketika saya tidak segera keluar.
"Retno! Retno!" Serunya cemas.
"Tenang! Gue masih hidup! Nggak bakal bunuh diri!"

Saya nggak akan bunuh diri. Apalagi di dalam toilet. Nggak elit amat. Kalaupun saya mau bunuh diri, saya akan mendaki gunung di malam berbadai sampai kena hipothermia. Atau masuk ke gua vertikal berair dan menunggu ular boa penghuninya melahap saya bulat-bulat. Itu baru 'gue banget.'

Lagi pula kenapa sih mengira saya mau bunuh diri segala?

..........

You've got a way about you
From the moment you walk into the room
Every time, I have to watch myself so you won't see
That looking at you smiling at me makes it hard to breathe

I've never been so open, but sitting here with you
It's just so easy
Listening to your laugh, it's so breezy
I want to make these moments last forever...

Because with you, I don't have to try
With you, I know the reason why
I can be whoever I want to be
It's a beautiful feeling, to finally start believing
That I can be me, that you can see me
When I'm with you

You never know when love comes along
But listen, don't you hear it playing our song?
What would you do if I asked you to dance?
What's so bad about just letting things happen?

I've never been so open, but sitting here with you
It's just so easy
Listening to your laugh, it's so breezy
I want to make these moments last forever...

Because with you, I don't have to try
With you, I know the reason why
I can be whoever I want to be
It's a beautiful feeling, to finally start believing
That I can be me, that you can see me
When I'm with you

If I told you how I felt, would that change a thing?
Because the more of you I know, the more I want to tell you everything

I've never been so open, but sitting here with you
It's just so easy
Listening to your laugh, it's so breezy
I want to make these moments last forever...

Because with you, I don't have to try
With you, I know the reason why
I can be whoever I want to be
It's a beautiful feeling, to finally start believing
That I can be me, that you can see me
When I'm with you

Because with you, I don't have to try
With you, I know the reason why
I can be whoever I want to be
It's a beautiful feeling, to finally start believing
That I can be me, that you can see me
When I'm with you

....

Bukan. Bukan. Puisi di atas bukan untuk pacar saya. Dia sudah terlalu banyak saya beri tulisan yang indah-indah. Dan ngomong-ngomong, saya masih bete. Lagi malas cinta-cintaan.

Itu buat kalian saja, yang sedang jatuh cinta pada seseorang. Saya menemukan tulisan itu di blog Melissa Blake. Blog yang semakin menyadarkan saya untuk tidak menghakimi seseorang karena penampilan luarnya. Bahwa keindahan fisik dan keindahan jiwa tidak selalu seiring sama.

Penasaran? Kunjungi sendiri Miss Blake di blognya yang indah.

Sudah dulu ya. Selamat tinggal. Saya mau pergi.
Bukan. Bukan mau bunuh diri. Saya mau ke supermarket. Tiba-tiba kepingin makan Pringles.


Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, August 12, 2009

Benci

"Pernah nggak sih lo ngerasa ada di mana lo bener-bener sendiri, dan nggak ada satu orang pun yang bisa lo harapkan..."

-Kutipan dari tulisan Achied

..........

Hari ini, mohon maaf, saya ingin marah.
Saya bertengkar dengan Ibu mengenai topik yang sama, yang selalu diulang-ulang sejak umur saya 25. Adik saya Ajay bertanya kenapa saya begitu menyebalkan (di matanya tentu saja), karena selalu membuat Ibu marah (lagi-lagi menurut opininya, meskipun faktanya selalu Ibu yang memulai lebih dulu).
Belum cukup tampaknya semua itu, seorang kakak ibu saya datang pagi ini dan ucapan pertamanya begitu melihat muka saya adalah, "Kalau tidak dapat di Jakarta, cari saja di sini."
"Maksudnya?" Tanya saya.
"Calon suami."

Saya benci sekali karena hanya memilih diam, kehabisan kata-kata. Padahal ingin sekali rasanya saya mendamprat mereka. Tahu apa mereka tentang hidup saya!

Hidup saya berbeda dengan adik saya.
Sepanjang hidup saya, selalu di bawah tuntutan dan tekanan. Dan saya diwajibkan setegar karang.
Sementara sejak kecil dia anak kesayangan Ibu. Sayalah yang selalu disalahkan dan dimarahi kalau dia jatuh, sakit, bermain terlalu jauh, atau pulang terlalu sore. Sayalah yang dibebani kewajiban untuk menjadi anak yang pandai, mendapat nilai bagus di sekolah, membantu tugas-tugas rumah tangga, dan diceramahi soal keuangan keluarga yang selalu pas-pasan sampai saya tidak pernah berani minta dibelikan sesuatu jika itu tak teramat perlu.

Surat Tamat Belajar sayalah yang diremas-remas Ibu, karena saya tidak mau masuk sekolah menengah kejuruan. Sementara Surat Tamat Belajarnya terpajang rapi dan ia boleh masuk ke sekolah mana saja yang ia mau. Saya dilarang masuk fakultas sastra, sementara ia boleh-boleh saja tak punya cita-cita dan sekedar mengikuti jejak saya di fakultas hukum.

Dan sampai sekarang tuntutan-tuntutan seperti itu masih selalu ada. Saya harus sukses. Saya harus mandiri. Saya harus bisa mencukupi kebutuhan saya sendiri. Oke, yang itu saya tidak keberatan. Tetapi yang paling digaris bawahi dan ditulis besar-besar dengan huruf berwarna merah: saya harus segera menikah! Segera. SOS. Darurat. Kasus A1 (istilah intelijen untuk kasus utama). Mungkin seandainya bisa dilangsungkan dalam minggu ini juga, mereka akan menari-nari kegirangan.

Sementara dia, si anak kesayangan, apapun yang dia perlukan selalu diberi. Ibu menghibahkannya rumah kecil di sebelah rumah induk untuknya. Memindahkan ranjang favorit saya ke kamar yang bakal ditempati dia dan isterinya nanti tanpa izin saya. Bahkan pada calon isterinya, Ibu mempersilahkan memakai semua koleksi alat-alat dapur kesayangannya. Gelas-gelas Perancis itu, mangkuk-mangkuk Cina kuno itu, piring-piring antik dan sendok-sendok perak yang bahkan dipakai setahun sekalipun tidak.

Tidakkah terpikir oleh Ibu, bahwa saya, anak perempuannya, juga ingin mewarisi sebagian dari semua itu? Meskipun saya bisa membeli sendiri, tetapi saya juga ingin punya barang kenangan jika Ibu sudah tidak ada kelak.

Kalau hubungan saya dengan seorang lelaki gagal, saya disalahkan. Mereka menuduh saya yang bikin gara-gara. Ketika si anak kesayangan itu diputuskan pacarnya karena lelaki lain, Ibu menangis dan menganggap nasibnya malang. Bahkan saya ditugasi membujuk dan menghiburnya. Saya juga yang maju ke depan sendirian, menghadang adik saya, menahan badannya yang tinggi besar ketika dalam kemarahannya ia ingin mencari lelaki itu dan menghajarnya. Saya sampai sakit badan seminggu!

Saya benci sekali jadi perhitungan begini. Malu pada diri sendiri karena mendadak iri pada adik sendiri.

Tapi saya benci selalu dijadikan kambing hitam. Dianggap anak nakal sepanjang zaman. Saya ingin pergi entah kemana, tetapi tak bisa melepaskan diri. Ibu akan jatuh sakit, Ayah akan kebingungan, dan si anak emas itu lagi-lagi akan menyalahkan saya. Saya juga tidak bisa mengandalkan Ussy, karena ia sudah punya keluarga sendiri.

Saya tak bisa berbuat apa-apa ketika orang-orang menertawakan saya, mengatai saya pemimpi yang menunggu hal yang tidak pasti, dan saya tak bisa mengelak ketika mereka dengan sok perhatian mengenalkan saya dengan banyak pria.

Tak seorangpun membantu saya. Saya benci karena merasa tak dipercayai. Merasa sendirian. Merasa ditinggalkan. Merasa dibiarkan. Saya benci dan muak karena selalu saja diuji, diuji dan diuji.

Saya benci!

.............

Masih belum puas menguji reaksi saya dalam tekanan, darling?


Image and video hosting by TinyPic

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...