Showing posts with label Dawn. Show all posts
Showing posts with label Dawn. Show all posts

Friday, March 13, 2015

Mengenangmu Sebentar


Sore ini hujan. Listrik padam. Aku duduk di sini, dalam temaram kamar yang hampa cahaya.
Apa kabar, Sayang?

Akhir-akhir ini, hidupku seperti roda. Menggelinding tanpa henti. Sepanjang waktu, selama jalan membentang sampai ke kejauhan.
Aku pergi ke mana saja aku bisa. Aku bahkan naik gunung lagi. Kau percaya itu? Aku sudah berhenti melakukannya sejak lulus kuliah, lama berselang. Fisikku tidak sekuat tekadku sejak aku masih kecil. Aku mungkin senang main bola dan memanjat pohon seperti anak lelaki, tetapi bukan berarti aku tidak pernah jatuh. Sering.

Aku sedang mencoba menguatkan diriku, Sayang. Mengembalikan diriku lagi seperti dulu, sebelum kau ada.
Kepergianmu mengoyak diriku menjadi jutaan serpihan, yang kukira tak bisa lagi direkat menjadi utuh.
Serpihan-serpihan itu akan menjadi bubuk yang berhamburan terbang tertiup angin, jika aku tak segera memungutinya satu per satu, meskipun itu mustahil.

Maka, kuputuskan untuk berjalan, menyusuri tepian dunia. Mencari setiap serpihan yang tercecer itu, memungutnya, memeluknya dalam dekapan agar terlindung dari badai kenangan, yang selalu mengincar berputar-putar di sekelilingku. Tentu saja kau tahu aku. Aku tidak mudah menyerah hanya karena badai picisan. Dan di sinilah aku sekarang, Sayang. Masih di tengah perjalanan, tetapi kuputuskan untuk berhenti sejenak.

Aku ingin mengenangmu sebentar. Merindukanmu sungguh menyakitkan.
Seluruh diriku yang telah hampa terisi lagi penuh oleh emosi. Datang begitu deras, seolah hendak menghanyutkan diriku dalam sungai berair gelap.

Apakah kau senang bermain di sana? Aku membayangkan kau sedang duduk memandangiku dari tepi awan-awan senja di luar jendela. Lihat, aku melambaikan tanganku. Kau lihat? Apakah saat ini kau tengah tersenyum lebar dengan mata berbinar?
Maafkan aku tak bisa memelukmu saat ini. Aku ingin sekali, tetapi belum saatnya bagi kita untuk itu. Aku memelukmu dengan doa, Sayang. Dan doakanlah juga aku.

Aku akan melanjutkan perjalananku lagi. Di jalan yang membentang sampai entah di mana.
Di ujungnya kita akan bertemu.
Ambillah rumah yang bagus di sana. Dan berikan satu kamar saja untukku. Kecil pun tak mengapa, tetapi letakkan di sebelah kamarmu. Agar aku bisa masuk diam-diam, dan memandangimu saat terlelap.
Sesuatu yang sangat ingin kulakukan sekarang, tetapi tak bisa.

Langit sudah gelap. Aku harus berjalan lagi, Sayang. Masih banyak serpihan yang harus kucari di luar sana.
Bermainlah dengan gembira. Dan jangan nakal, ya.


A thousand words won't bring you back
I know because I've tried
Neither will a thousand tears
I know because I've cried

-Kily Dunbar


pic from here


Image and video hosting by TinyPic

Sunday, May 25, 2014

The Letters

Adakah sebuah tempat di mana seseorang bisa menjual perasaannya yang tidak diinginkannya lagi?
Adakah sebuah tempat di mana seseorang bisa membuang seluruh rasa sakitnya yang mendera dari hari ke hari?
Adakah sebuah tempat di mana seseorang bisa menukar ingatannya dengan yang lebih baru, kosong tak bercela?
Ada? Di mana? Beritahu aku.

..................................


E-mail from Perth:

Berjanjilah untuk terus hidup. Nggak peduli hati lo hancur-hancuran kayak gimana. Terus hidup. Untuk gue. Untuk orang-orang yang sayang lo. Yang percaya lo bisa.


..........................


E-mail from her:

Setiap hari, setiap bangun tidur, setiap kali denger ayam berkokok, yang gue ingat adalah suatu pagi yang lain. Di sebuah rumah yang lain. Kamar yang asing. Dengan kokok ayam jantan yang nyaris sama dan udara pagi yang aromanya nyaris sama. Waktu itu, gue masih punya dia, dan berpikir gue akan terus punya dia sampai gue mati duluan dan dia yang nguburin dan doain gue.
Waktu itu, mereka memastikan. Dia ada. Untuk gue. Untuk seseorang juga. Meskipun gue nggak tau ke depannya bakal gimana, tapi gue bahagia dan berusaha setengah mati menyiapkan diri.
Tapi dia pergi. Seperti seseorang itu juga.
Apa salah gue? Segitu nggak layaknya kah gue untuk mereka?

Setiap hari, setiap bangun tidur, setiap kali gue ucapkan doa di pagi buta, yang gue minta cuma mereka.
Iya, itu bodoh. Yang mati nggak akan hidup lagi. Yang pergi sudah jelas nggak akan kembali.

Gue hancur kata lo?
No. I'm dead. Definitely dead.

.............................

E-mail from Perth:

Oh come on. 
Lo tetap menulis. Ketawa-ketawa. Jalan-jalan. Berteman. Lo hidup. Dan itu cukup. Jangan tenggelam lagi, please. Gue akan mati bersalah di sini karena nggak bisa jaga lo. 
Lo masih anggap gue sahabat, kan? Masih anggap gue kayak sodara? Kalo gitu, lakukan demi gue. Lo paling jago melakukan sesuatu demi orang lain. Jadi, lupakan keegoisan diri lo sendiri. Kepentingan gue adalah melihat lo baik-baik aja.

.............................

E-mail from her:

Lo tau kenapa gue suka film Walking Deads?
Karena zombie-zombie itu mengingatkan gue pada diri sendiri. Gue memang hidup. Tapi gue zombie. Bedanya, gue nggak makan daging manusia, itu aja.

................................





Image and video hosting by TinyPic

Thursday, December 5, 2013

The Rain

"Aaaah! Hujaaan! Cepat berteduh!"
"Cuma gerimis kok!"
"Akan semakin besar. Mendungnya gelap! Cepat!"
Aku diseret memasuki sebuah kafe yang nyaris penuh. Masih ada sebuah meja dekat jendela yang tak diduduki siapa pun. Sepertinya baru saja ditinggalkan.
"Beruntungnya kita!" Ia tertawa. Membanting dirinya di bangku rotan dengan bantalan empuk bermotif pasley bunga-bunga biru.
Aku menatap ke sekelilingku. Kafe yang cantik. Desain interiornya bergaya sangat hommy. Kami seperti berada di sebuah ruang makan keluarga.

"Kafe favorit!" Ia mengedipkan sebelah mata kepadaku. Hari ini, kacamatanya ditanggalkan. Ia memakai lensa kontak abu-abu. Sudah lama aku tidak melihatnya memakai lensa kontak. Warna abu-abu selalu jadi favoritnya.
"Kenapa kamu memelototi aku kayak gitu?"
Aku hanya tersenyum. Lalu pelayan datang. Seorang perempuan muda berkemeja krem dan rok hitam, memakai rompi bunga-bunga.

Aku memesan spagetti carbonara. Ia memesan chicken salad. Aku meminta sparkling water dan ia meminta lemon tea.
"Oh, seandainya di sini mereka menyediakan teh tarik juga. Maka sempurnalah kafe ini bagiku." Ia mengeluh setelah pelayan itu berlalu.

Aku menoleh kepadanya, menemukan dirinya telah mematung menatap keluar jendela. Hujan makin menderas di luar sana. Hanya ada mobil-mobil yang melambat karena kemacetan yang biasa terjadi setiap kali hujan, dan sedikit pejalan kaki yang nekat menerobos gerimis dengan payung di tangan. Ia sedang melamun. Teh tarik adalah sebuah indikasi.

"Hei, mau dengar cerita lagi?" Ia menoleh tiba-tiba. Tangannya terulur mencolek tanganku. Kusadari satu hal. Tangan itu kecil dan rapuh. Sejak kapan ia menjadi kurus?
"Oh, aku kurusan ya?" Ia membaca pikiranku lagi. "Bagus kan?"
Tidak. Kamu kelihatan menyedihkan. Baru dua minggu yang lalu bundar, tiba-tiba sekarang menciut. Itu menyedihkan, karena pasti bukan karena dietmu berhasil.

Ia terkekeh. Kusadari kemudian. Ia pasti menertawai pikiranku barusan.

Sementara itu, di luar jendela, hujan masih saja turun. Kali ini bahkan lebih deras. Kulihat matanya mulai berkabut. Namun seperti kemarin-kemarin, ia tersenyum. Ah. Kau menahan perasaanmu lagi?

"Setiap kali ketemu dia dulu, selalu ada hujan di dalamnya. Hujan seperti mengikuti takdir kami."
Oh. Berhentilah bernostalgia. Itu akan menyakitimu.
"Diamlah," tukasnya menyela pikiran dalam benakku. "Mengenang atau tidak, sama menyakitkan, tahu. Aku lebih memilih mengenang dan menikmati sakitnya. Tahu kenapa? Karena dengan begitu, seolah-olah ia masih bersamaku di sini. Di benakku."

Baiklah. Terserah kau.
"Hujan," lanjutnya. "Hujan di balkon kecil, saat aku membuatkannya secangkir teh manis hangat. Ia juga ternyata tak melupakan malam itu. Hujan saat kami pergi menonton dan harus berteduh dulu di toko buku. Hujan di tengah-tengah kabut Bromo dini hari, ketika kami gagal melihat matahari terbit. Hujan di Batu, Malang, saat kami berada di alun-alun. Hujan, selalu hujan. Akhirnya, setiap kali hujan turun di kota masing-masing, kami saling merindukan."

Pesanan kami tiba. Pelayan yang tadi tersenyum pada kami sambil berkata, "Selamat menikmati."
"Terima kasih," jawabku. Terkesan dengan keramahannya.

"Saladnya enak." Ia menuding piringnya. "Kau mau coba?"
"Tidak. Terima kasih. Spagettiku lebih menggairahkan."
Ia tertawa. Gelak lantang seperti kanak-kanak. "Kadang-kadang, kau seperti dia. Lebih banyak diam dan larut dengan pikiran sendiri. Aku sering mengajak bertaruh diriku sendiri tentang apa yang ada dalam benaknya saat bersamaku."
Kau... tak bisa kah kita bicara hal yang lain saja? Napasku sesak setiap kali kau bercerita tentang lelaki itu. Kau membuatku seolah-olah mengenalnya. Apakah aku pernah bertemu dia? Pernah kah? Di mana? Kok rasanya seperti aku telah mengenalnya seumur hidupku...

"Mungkin kau mengenalnya." Ia menyeringai. "Mana kutahu. Kau yang lebih tahu. Coba ingat-ingat."
Aku tidak mungkin akan ingat. Akhir-akhir ini otakku seperti mesin tua karatan.
Ia mengangkat bahu, kembali menekuni isi piringnya.
"Dia suka semua masakan ayam. Kalau dia makan ini, pasti dia juga suka. Ini enak."
Kalau gitu, dia itu sejenis musang?
"Kau ini!" Ia tergelak lagi. "Masa aku mencintai seekor musang?"
Kau masih mencintainya, ya? Kurasa kalau dia berubah jadi seekor musang pun, kau tetap mencintainya.
"Bagaimana mungkin aku tidak mencintainya?"
Ada yang mengharuskanmu?
Ia terdiam.

Lalu terdengar suara guntur di luar sana. Hujan semakin menderas, kali ini dengan kilat yang sambar menyambar.
Oh, Tuhan. Kenapa jadi badai?

"Badai ini tidak seberapa, dibandingkan apa yang pernah kualami."
Apa yang pernah kau alami?
"Nasib buruk. Kebodohan. Kepedihan. Penyesalan."
Jangan memberiku puzzle yang aneh begitu.
"Aku tidak mau cerita sekarang. Hujan akan membuatku menangis panjang. Di sini terlalu banyak orang. Kau mau mereka menontonku?"

Ya sudah. Terserah kau. Aku melanjutkan makanku.
Perempuan itu juga. Kulihat matanya berkaca-kaca.

"Aku tak pernah bilang padanya, sebanyak apa ia sudah menyakiti hatiku. Aku tak pernah benar-benar berterus terang bahwa ia menyiksaku dengan simpanan kenangan, sementara ia terus melangkah pergi. Membiarkanku menatap punggungnya. Kenangan yang ia campakkan seperti tak pernah terjadi apa-apa. Mungkin, ia memang tidak pernah benar-benar mencintaiku."

Spagetti di piringku belum habis. Tanganku terulur meraih jemarinya yang dingin menggigil.
Kau. Kenapa tak pernah bisa lupa?


Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, November 27, 2013

The Sea

Ia  tersenyum.
Perempuan itu. Tersenyum dengan bibir terkatup. Matanya memandangi cakrawala nun jauh di tepi lautan. Ia duduk di atas pasir putih yang berkilauan disiram cahaya, sementara matahari bertahta tepat di atas kepala. Terik. Namun, ia bergeming. Setetes keringat bergulir jatuh dari pelipisnya ke bawah dagu. Ia mengusapnya dengan punggung tangan. Senyumnya belum hilang.

"Kau tahu tidak..." Akhirnya ia bersuara. Intonasi yang pelan dan tenang. Sementara matanya menerawang. "Kau tahu tidak, hari itu sebetulnya aku malu."
Aku memandanginya. Menunggu penjelasan dari kalimatnya yang tak berpangkal.
"Oh!" Ia terkekeh. "Maksudku, hari itu, ketika kami pertama kali bertemu."
Ah. Oke. Aku mengerti sekarang, topik apa yang ingin ia bicarakan hari ini. Bernostalgia? Baiklah. Mari kita lakukan. Ceritakan padaku semuanya.
"Aku menjemputnya di stasiun kereta api. Langsung berceloteh riang, sementara ia bahkan tak benar-benar menatapku. Ia hanya tersenyum. Menatap sekilas-sekilas kepadaku. Aku tahu, ia masih canggung. Itu pertama kalinya kami bertemu. Pertemuan yang pertama, setelah kami jatuh cinta duluan. Aneh, kan?"
Aku menggeleng. Tidak. Tidak aneh. Banyak yang seperti itu. Jatuh cinta sebelum benar-benar bertemu. Cara berkomunikasi sudah semakin canggih saat ini. Kita bahkan bisa saling memandang di layar gadget, bukan? Tidak. Tidak ada yang mengherankan lagi.

"Aku memberinya kue. Ia memandanginya sebentar. Lalu memakannya satu. Wajahnya agak merona sepanjang kami duduk di dalam mobil. Aku sudah jatuh sayang padanya sebelum itu. Tetapi hari itu... kurasa, hari itulah aku benar-benar jatuh cinta padanya."
Perempuan itu tertawa kecil. Ia menepis secuil cabikan pelepah kering yang entah melayang dari mana dan mendarat di lengannya.
"Tapi... sebenarnya aku juga malu."
Lagi-lagi, aku hanya bisa memandanginya. Menunggu ia melanjutkan ceritanya.
"Kau pasti tahu. Kalau aku mulai sangat bawel, itu artinya aku sedang menahan perasaan. Jadi hari itu, aku terus saja berceloteh ini-itu kepadanya. Sesekali ia mengacak rambutku dan mengatai aku bawel. Aku malu. Aku malu, karena aku merasa tak cukup baik untuknya."

Kenapa? Aku ingin melontarkan pertanyaan itu kepadanya. Kenapa kau merasa begitu? Kau tidak cacat fisik, tidak cacat mental. Kau tidak bodoh, tidak idiot. Kenapa?
Ia bisa membaca pikiranku tampaknya. Senyumnya mengembang. Manis sekali. Kubayangkan ia sering tersenyum seperti itu kepada si lelaki yang sedang ia ceritakan. Itu senyum yang sarat dengan kebahagiaan.

"Waktu pertama kali melihatnya, aku terpana. Ia tinggi. Jauh lebih tinggi dariku. Oh, tentu saja aku sudah tahu, ia memang tinggi. Ia sudah bilang padaku. Tapi ada sesuatu dalam dirinya..." Ia menghentikan kalimatnya. Wajahnya tiba-tiba melembut. "Ada sesuatu yang kulihat di matanya yang sipit. Di senyumnya yang tenang. Sesuatu yang mengalir melalui kulitnya ke kulitku saat kami bersentuhan. Ia.... baik. Dan ia benar-benar mencintai aku. Aku malu dicintai sebesar itu..."

Kau pantas dicintai sebesar itu. Aku menggeleng-geleng tak habis pikir. Perempuan ini terkadang terlalu menilai rendah dirinya sendiri.

"Dan aku mencintainya. Sama besarnya. Mungkin lebih. Aku melanggar nasehat ibuku. Ibu bilang, perempuan jangan mencintai lebih besar dari yang ia terima. Kita tidak pernah tahu isi hati lelaki."

Well, kurasa ibumu itu ada benarnya. Aku ingin mengatakannya. Namun, akhirnya kusimpan komentar itu di dalam hatiku saja.

"Ia memang baik." Kudengar napasnya dihembus pelan. Aku terpesona dengan intonasinya saat mulai hanyut dalam cerita. Suaranya, yang biasanya ceriwis, kini terdengar pelan dan lambat-lambat. Bukan lembut mendayu-dayu seperti jika kau membujuk seseorang. Ini seperti kekuatan yang ditahan erat-erat. Perasaan yang dikendalikan. Seperti kau ingin menangis, tetapi air matamu habis.

"Ia orang yang lebih banyak diam. Seorang pemikir. Penganalisa. Ia membiarkan aku yang menciptakan suasana dengan suaraku, tawaku, omelanku. Ia hanya akan memandangiku. Tertawa kecil, mengerutkan kening, mengulurkan tangannya untuk memelukku. Ia tidak banyak bicara, dan aku menyukai hal itu. Bukan karena aku takut kalah bicara kalau ia cerewet juga. Tetapi, karena aku tahu, dalam diamnya ia menjagaku. Dalam heningnya, ia mencintaiku. Ia memberiku kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Kau tahu, aku bahkan tak merasa perlu makan dengan rapi jika bersamanya. Jika sebagian cewek berusaha makan sambil menjaga imejnya di depan pria, aku makan seperti kuli kelaparan kalau mau. Atau tak menghabiskan makananku dan menyuruhnya menghabiskannya. Bersamanya, tak ada yang layak ditutupi."

Aku tak percaya. Seorang laki-laki seringkali menuntut beberapa hal dari kekasihnya. Terkadang banyak hal.

"Oh, tentu saja kadang-kadang ia menuntut sesuatu," sergahnya. Perempuan ini sepertinya memang ahli membaca pikiran, aku yakin. "Terkadang ia sedikit mengatur. Tetapi anehnya, aku suka diatur olehnya. Aku lelah mengatur segalanya sendirian selama ini. Memikirkan apa yang harus kulakukan, apa yang sebaiknya kukerjakan. Caranya menuntut tidak membuatku sesak. Itulah hebatnya. Lagipula, apa yang ia inginkan bukanlah hal-hal yang bertentangan dengan prinsipku. Ia cuma minta sedikit ini, sedikit itu. Dan seringkali itu adalah hal-hal yang sesungguhnya kusukai atau kulakukan sesekali. Jadi apa ruginya bagiku? Itu hanya hal-hal kecil, yang akan menggembirakan hatinya."

Aku memperhatikan perempuan itu selagi ia bicara tentang lelaki itu. Senyumnya masih sama. Namun matanya kini berkaca-kaca.

"Membicarakannya seperti ini membuatku rindu."
Astaga. Rindu, katanya. Kau tinggal menghubunginya, Perempuan. Ambil ponselmu, cari nomornya dan sambungkan.

"Ia sudah pergi."
Pergi? Kemana?
"Oh, kisah kami tidak semulus yang kau pikirkan." Ia menggeleng. "Kami harus memperjuangkan sesuatu. Yang bagi beberapa orang tidak masuk akal, tidak layak dipertahankan."
Berjuang? Kalian berjuang? Seperti merebut kemerdekaan saja.
"Kami memang mau merdeka. Merdeka untuk saling mencintai."
Lalu? Apa yang terjadi? Di mana ia sekarang-lelaki yang kau bilang baik itu? Ia meninggal? Atau pergi meninggalkanmu?
Senyumnya tampak sedih sekarang. "Sudah hampir senja," ujarnya seraya bangkit dan menepis pasir dari celana jinsnya. "Kata orang, melihat sunset terbaik harus dari atas karang yang di sana itu. Maukah kau menemaniku?"
Kenapa aku harus tidak mau?
"Ayolah." Ia berjalan mendahuluiku dengan langkah-langkahnya yang riang. "Kulanjutkan kapan-kapan ceritaku. Aku ingin memotret senja." Ia tertawa, mengacungkan tas yang sejak tadi terselempang di bahunya. Aku tahu, di dalam tas itu ia menyimpan kameranya.

"Cepat!" Ia berseru dari jauh. "Nanti senjanya keburu pergi. Aku tidak mau lagi ditinggalkan!"


--------------------------------

Sudah lama tidak menulis komprehensif di blog.
Halo semua! ^^


Image and video hosting by TinyPic

Tuesday, October 1, 2013

Hujan Semalam

Halo Nak,

Semalam akhirnya hujan.
Kebun di balik jendela kamarku, menguarkan wangi tanah basah. Hujan mengetuk-ngetuk kaca dengan irama konstan yang menentramkan. Aku terbangun, seperti biasa setiap tengah malam, dari tidurku yang sekejap.

Semalam hujan, dan aku tak bisa lagi melanjutkan mimpi anehku tentang angsa-angsa emas yang terbang ke langit, menjemputmu.
Kutinggalkan ranjangku untuk berwudhu dan sholat malam.
Kamu, Nak, selalu ada dalam pertemuanku denganNya.
Kamu dan dia, kalian berdua. Tak pernah lupa kutempatkan dalam kedua tanganku, yang menadah kepadaNya sepanjang doa-doa.

Hujan menyuruh awan menghalangi fajar yang kutunggu setiap pagi.
Tadi, tak ada semburat merah dan emas di balik bukit sana itu, Nak.
Aku mencintai fajar karenamu. Mengabadikanmu dalam setiap larik emas yang dipantulkan lereng-lereng berpohon pinus di atas sana. Mengenangmu dalam setiap hembus angin yang membelai embun. Mengingatmu dalam dekapan hangat matahari yang beranjak dari timur.

Semalam akhirnya hujan. Namun mendung menghalangi semburat fajarku.
Aku merindukanmu dan dia. Seperti pedih yang tak habis-habisnya.

- Ibu

I owe this pict from here


Image and video hosting by TinyPic

Saturday, September 7, 2013

Sleep No More

Nak,

Aku kini nokturnal.
Selalu baru terlelap nyaris tengah malam dan terbangun satu jam kemudian.
Benakku tidak pernah bisa diam. Memutar sekian juta adegan, yang saling mendesak ingin dikenang.

Meski tak ingin, meski kucegah, ada imaji yang setia menjajah hati tentang kita bertiga.
Kau, aku dan dia.
Seolah-olah itu nyata, menjelma di kepala.
Dua orang yang kucintai, si besar dan si kecil, berlari-lari sambil tertawa. Dan aku ada di sana, merasa bahagia.

Aku kini nokturnal, Nak.
Berusaha melupa dengan sia-sia.
Terjaga dengan mata nyalang yang enggan meredup sejenak.
merindukan kalian sampai nyeri.

- Ibu

from here


Image and video hosting by TinyPic

Monday, August 19, 2013

Rahasia

Sayangku,

Siang ini. kutulis surat untuk Yah.
Ia akan menerimanya beberapa hari lagi, bersama benda-benda biru-hitam yang kuperlihatkan padanya, seminggu lalu.
Kamu tahu, waktu itu ia sungkan. Lalu kuberitahu bahwa itu bukan dari aku. Kamu yang memberinya hadiah. Sejak aku melihatmu menangis, menarik-narik tanganku, sambil bercucuran air mata, Nak. Sejak itu, aku tahu kamu juga merindukannya.

Ia tak pernah bilang padaku, seperti apa ia menggambar dirimu dalam benaknya.
Terkadang ia bertanya padaku, seperti apa kamu. Selalu kubilang, "Matanya mirip kamu. Sipit dan hilang kalau tertawa. Senyumnya seperti caramu tersenyum. Lebar, tetapi terkadang seperti ditahan-tahan."

Ia akan membaca surat yang hari ini kutulis, dan berpikir aku menulisnya sambil tertawa, karena isinya yang ceria.
Maukah kamu menyimpan satu rahasiaku, Sayang?
Aku menulisnya, lalu menangis tersedu-sedu setelah itu.
Ia tidak tahu. Jangan diberitahu.

Tetapi Nak, ada satu yang bukan rahasia.
Aku mencintai kalian berdua.

- Ibu

I love you. So simple. So true. So painful.


From weheartit.com
Image and video hosting by TinyPic

Thursday, August 1, 2013

Takut

Ia yang pernah mencintai terlalu dalam. Dan masih.
Ia yang pernah mendekap fajar yang sekejap menghilang.
Ia yang tersiksa kenangan manis dan pahit.
Takut untuk berdiri lagi.

Di sini. Meringkuk saja. Memeluk rindu.
Kepada pagi dan matahari.

It doesn't matter how tough we are. 
Trauma always leaves a scar.



Image and video hosting by TinyPic

Wednesday, July 31, 2013

Tak Apa

Dear baby,

Ia tidak mau berputar-putar di situ terus, katanya.
Seolah-olah baginya kesedihan hanya membebani saja.
Sekedar menemaniku sampai sembuh pun ia tak mau.
Ia benar-benar ingin pergi dari hidupku. Mengurai ikatan itu.
Ia ingin menjalani hidupnya sendiri dan menemukan hati yang lain lagi.

Tak apa ya, Nak.
Jangan benci dia. Aku akan baik-baik saja tanpa dirinya.
Kamu pun masih punya aku untuk mengenangmu.

Sekarang, kita bilang selamat tinggal pada Ayah, Sayang.
Kalian akan bertemu di surga.
Kelak beri ia pelukan erat.
Dan bilang I love you. Ya?

- Ibu.


Good bye, Ayah...


Image and video hosting by TinyPic

Saturday, July 27, 2013

Dear You

Bersih, katanya. Bersih.
Dan aku menangis.
Seolah-olah ia memang tak pernah ada.
Memupus kebahagiaan yang sebentar itu.

Dia juga pergi.
Mereka berdua, meninggalkan aku sendiri.

...........................

Dear fajar kecil,

Dua hari itu, saat menunggu kepastian. Rasanya lebih perih dari tubuhku sendiri. Di dalam kamar yang gelap dan asing. Di tempat yang terpencil, yang tidak kukenal. Dan wajah-wajah mengintip di jendela. Anak-anak. Mereka tersenyum padaku. Senyum yang membuatku ingat lagi padamu.

Senyummu pasti lebih manis dari senyum mereka, pikirku. Tubuhmu akan tumbuh lebih kuat, lebih tinggi, Gerakmu lebih lincah dan lasak. Matamu akan lebih berbinar dan tawamu gemerincing seperti lonceng angin di beranda rumahku.

Kau akan serupa dengan dia, yang mewariskan matanya. Senyummu, Nak, juga sangat mirip dia. Aku tentu senang kau serupa dia. Itu sama seperti harta yang berlipat dua.

Beberapa hari ini, setelah semua berlalu, aku menemukan diriku tak bisa beranjak dari kenangan. Aku selalu menatap lemari yang kubelikan untukmu dengan nanar. Ada baju-bajumu di sana. Ada mainan bebek yang sudah kuberi nama Becker di atas lipatan selimutmu. Ada hanger kecil warna warni.

"Sayang,ini namanya Becker. Bunyinya wek wek wek."
Kamu terkekeh senang. Tangan-tangan kecilmu menggapai-gapai si bebek.

Lemari itu seperti prasasti kenanganku tentangmu. Saat aku merasa bahagia karena kau ada. Saat aku mengira hidupku akan menjadi lebih sempurna. Sayangku, sekarang pun aku masih merasa beruntung pernah memilikimu. Meski tetap saja pedih. Meski masih saja terasa perihnya kehilangan.

Hari ini mau pakai baju yang mana, Sayang? Yang biru? Yang hitam? Yang gambarnya Shawn the Sheep? Atau yang Spiderman? Oh, kamu mau baju yang hitam, ya. Ini warna kesukaan Ayah.

Teman-temanku mengagumiku karena mengira aku sedemikian cepat pulih. Aku tersenyum, tertawa, bergurau dan bermain lempar kata lagi dengan mereka. Kau kuat, kata mereka. Sementara yang lain perlu waktu lama untuk pulih.

Sungguh mereka tak tahu, Nak, betapa hancurnya diriku. Aku adalah pantai setelah badai. Carut marut. Luluh lantak. Namun, aku harus berpura-pura dan melanjutkan hidup. Karena jika tidak, mereka akan menghakimi dan menyalahkanku. Aku tak takut itu. Karena aku memang bersalah. Aku hanya tidak ingin mereka mengenangmu sebagai kesalahanku.

Bagiku, kau adalah burung kecil yang turun dari surga, hinggap sebentar untuk memberitahuku bahwa harapan itu selalu ada.

Fajar kecil,
Aku merindukanmu setiap hari. Aku menangisimu setiap malam sampai mataku bengkak dan menolak terpejam. Kau pergi membawa separuh nyawaku.
Bahkan ketika menulis ini, air mataku seperti hujan yang berderai. Tetapi akan selalu kutulis tentang dirimu, Nak. Karena itulah satu-satunya cara yang kutahu untuk mengenangmu tetap ada. Itu satu-satunya cara untuk mengobati rindu kepadamu yang bertalu-talu.

Waktu akan memulihkan aku, Sayang. Jangan khawatir. Meskipun itu entah kapan.

Yang mencintaimu,
Ibu.





Image and video hosting by TinyPic

Sunday, July 21, 2013

Ode to Dawn

Where are you, my beloved? 
Are you in that little paradise, 
watering the flowers who look upon you 
as infants look upon the breast of their mothers?

- Khalil Gibran, A Lover's Call XXVII -

....................


Baby,

Here I am.
Immersed in the memories and regrets.
A few days after you left me,
The wound is a gaping chasm, swallowing all the feelings.
I face the world with a heavy burden on my shoulders.
Sadness, regret and disappointment that can't be paid off.

The wound, too painful, let it be my wound, honey. I will bear it for both of us.
I told you that day, I was your big tree, whose leaves will hug you from the wind.
I'll be a fortress for you, from lightning and storms in our years.
Don't you believe I can turn into a giant wall,
hiding you from the dangers and all the threats out there?

Don't you know, that you are everything to me and it's final?
You're not the number one, number two, three, or all of them.
You, son, is not zero.
You are everything, before the numbers were created.

The sacrifice. I did it for him. This is between me and him. You don't have to know, honey. You don't have to do anything.
So, why did you go, left me without a trace?

Here I am, after you're gone, baby.
There's only pain is left of your presence.
In my body. In my heart. Where you dwell, a part of me.

How I loved those days with you.

I miss you.
I miss you.
I miss you, my son.

- Ibu.




Image and video hosting by TinyPic

Friday, July 19, 2013

Life After You

Sayangku,

Perempuan itu ingin menulis tentangmu hari ini. Dengan kata-kata terindah yang ia bisa.
Telah ditulisnya paragraf demi paragraf, yang selalu berakhir dengan tombol Del. Beberapa jam berlalu. Dengan mata basah, ia berusaha.
Dan sebatas inilah kemampuannya, Nak. Menulis tentangmu sebagai kenangan. Yang pergi diam-diam, bahkan sebelum ia mengucapkan selamat tinggal.

Kamu adalah hal paling indah yang pernah ia miliki. Kehadiranmu seperti kapas salju yang melayang ringan dalam nuansa malam. Seperti gemerincing lonceng angin di beranda musim semi yang wangi. Seperti tunas-tunas rumput yang mengintip sehabis hujan pagi. Kamu membawa harapan dalam kehidupannya yang sepi.

You are wonderfully made.

Pernah di malam-malam hening, ketika hanya berdua denganmu, ia membayangkan kaki-kaki kecil yang nanti akan tumbuh jangkung dan sigap. Senyum menggemaskan yang melembut saat bertambah usia. Dan mata yang berbinar saat tertawa. Tangan-tanganmu akan memeluknya dengan erat, mendaratkan kecupan manis ungkapan sayang. Akan ada yang menghapuskan air matanya. Bahkan, mungkin air mata itu tak akan pernah ada karena kamu matahari yang mengeringkannya.

Sedang apa kamu sekarang, Nak? Apakah kamu kedinginan?
Sejak kepergianmu, tak ada sedetik pun yang dilaluinya tanpa memikirkan dan mencemaskanmu. Siapa yang memelukmu? Siapa yang menyenandungkan nina bobo untukmu?
Maafkan ia yang tak bisa lagi memberimu perlindungan. Tak bisa lagi memberimu kehangatan.
Laparkah kamu, Sayang? Di lemari itu, masih ada berbungkus-bungkus cokelat yang ia belikan untukmu. Kalian selalu memakannya berdua setiap malam sebelum tidur.
"Kamu nakal." Ia berkata padamu. "Aku jadi gemuk dan tak karuan karena cokelatmu."
Ia membayangkan kamu terkekeh bandel mendengar itu. Kamu akan tergelak sambil berlari menjauh dengan kaki-kaki kecilmu. Meleletkan lidah dan menyipitkan mata.
Mata itu...
Ada seorang lelaki dengan mata yang sama dengan milikmu, Sayang. Kamu masih ingat kisah yang setiap malam diceritakannya kepadamu?

"Aku mencintainya," ujar perempuan itu padamu suatu malam sebelum kalian tidur. "Meski ia pergi. Meski ia tak kembali. Aku mencintainya dengan rasa yang tak habis-habis."
Kamu bisa merasakan itu dalam aliran darah dan degup jantungnya, Sayang. Kamu bisa mendengar hatinya memanggil-manggil nama lelaki itu. Perempuan itu mencintainya sama besarnya dengan mencintaimu.

Ia mencintai kalian dengan cara yang berbeda. Pada lelaki itu, ia memberinya kebebasan. Meski itu kehancuran baginya. Namun begitulah selalu caranya mencintai lelaki itu.

Kalau kamu bertanya padanya, bagaimana cara perempuan itu mencintaimu.
Maka lihatlah kedua tangannya. Tangan-tangan kecil yang rapuh, yang akan ia lapisi dengan baja demi menjagamu dari bahaya.
Lihatlah tubuhnya. Yang ringkih oleh luka, yang ia sembuhkan segera, agar bisa menjadi dinding yang melindungimu dari badai dan angkara.

Kamu harus tahu, Sayang. Ia bisa menjadi semesta. Menjadi segala yang kamu perlukan ada. Akan diselaminya samudera, meski tak bisa berenang. Diarunginya angkasa, meski takut terbang. Agar kamu selalu ada bersamanya. Tak ada apa pun lagi yang ia perlukan setelah itu. Ah, tidak. Mungkin hanya satu. Rindu. Untuk seseorang, yang matanya serupa matamu.

Perempuan itu mengajakmu pergi, Nak. Jika segalanya tak sama lagi. Kemana pun, yang terbaik untukmu. Mencari tempat yang paling indah, udara yang paling sejuk, suasana yang paling nyaman. Ia bahkan sudah membayangkan sebuah tempat, yang pasti akan kamu sukai.

Kita pergi berdua?
Bertiga, jika itu mungkin.
Bagaimana jika tidak mungkin?
Kenapa? Kamu takut? Bukankah selalu ada aku? Akan kulindungi kamu dari dunia yang kejam. Akan kulakukan apa pun demi membangun benteng agar kamu selalu aman.
Bukankah kamu itu rapuh?
Tidak, Sayang. Untukmu, aku menjadi apapun yang paling kuat.

Percakapan malam-malam kalian. Ia merindukannya sekarang. Merindukan hangatnya perasaan bahwa kamu ada. Ia tahu kamu mendengarkan setiap nada. Senandung lirih dari bibirnya. Setiap patah kata dari kisahnya tentang seorang perempuan dan lelaki yang dipisahkan keadaan.

Ia akan mencintaimu seperti aku.
Bagaimana kalau tidak?
Ia tidak sejahat itu, Sayang. Ia mencintaiku. Maka ia pun mencintaimu.
Ia meninggalkanmu. 
Sayang, biarlah itu menjadi lukaku, bukan lukamu. 

Malam itu, kamu datang dengan gelak riang. Kamu berjalan tertatih-tatih lalu terjatuh. Ia bergegas menghampiri dan memelukmu, dan kamu tertawa lagi.

Aku mau pergi, katamu. Kemana? Perempuan itu masih memelukmu. Main, sahutmu. Aku main.
Lalu kamu berlari meninggalkannya. Berhenti sebentar di ujung kabut. Menoleh dan tersenyum dengan cara yang sama dengan lelaki itu. Senyum yang menenggelamkan mata menjadi dua garis dan bibir melebar riang.
Lalu kamu menghilang...

Jangan pergi!

Bahkan perempuan itu belum sempat memberitahumu bahwa ia mencintaimu. Ia ingin kamu tetap di sini. Dalam perlindungan dan penjagaannya. Meski sakit, meski pedih. Meski badai, ia akan menjadi bentengmu.
Tidakkah kamu percaya padanya?

Setiap hari, betapa kekosongan itu menyiksa. Kamu meninggalkan perempuan itu mendekap rasa bersalah. Betapa ia telah melalaikanmu. Ia terlalu tenggelam dalam pedihnya sendiri. Mencari pegangan dalam kesendiriannya. Membuatmu menolongnya dengan memutuskan.
Tetapi Sayang, bukan itu yang ia mau. Bukan kepergianmu.

Lalu kamu datang lagi malam itu. Melangkah tertatih menghampiri perempuan itu, yang lalu berlutut memelukmu sambil menangis. Dan kamu menempelkan telapak tangan kecilmu yang hangat di pipinya.

Sayangku,

Jadi hanya sesingkat inikah kebahagiaan itu? Kamu datang seperti keajaiban, dan menghilang seperti uap hujan.
Tidurlah yang nyenyak, Sayang. Di antara sesal dan kepedihan, terselip segala doa untukmu. Tidurlah dan bermimpi indah. Sampai bertemu lagi, di suatu pagi.

Namamu seperti fajar, kau tahu, Nak. Seperti langit yang merona saat matahari kembali bertahta di singgasana. Kamu pangeran matahari. Milik kami.

Tidurlah....

Yang cinta padamu. Selalu.
IBU.

_____________________________________

Life after you is empty....


Image and video hosting by TinyPic
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...