Perempuan itu ingin menulis tentangmu hari ini. Dengan kata-kata terindah yang ia bisa.
Telah ditulisnya paragraf demi paragraf, yang selalu berakhir dengan tombol Del. Beberapa jam berlalu. Dengan mata basah, ia berusaha.
Dan sebatas inilah kemampuannya, Nak. Menulis tentangmu sebagai kenangan. Yang pergi diam-diam, bahkan sebelum ia mengucapkan selamat tinggal.
Kamu adalah hal paling indah yang pernah ia miliki. Kehadiranmu seperti kapas salju yang melayang ringan dalam nuansa malam. Seperti gemerincing lonceng angin di beranda musim semi yang wangi. Seperti tunas-tunas rumput yang mengintip sehabis hujan pagi. Kamu membawa harapan dalam kehidupannya yang sepi.
You are wonderfully made.
Pernah di malam-malam hening, ketika hanya berdua denganmu, ia membayangkan kaki-kaki kecil yang nanti akan tumbuh jangkung dan sigap. Senyum menggemaskan yang melembut saat bertambah usia. Dan mata yang berbinar saat tertawa. Tangan-tanganmu akan memeluknya dengan erat, mendaratkan kecupan manis ungkapan sayang. Akan ada yang menghapuskan air matanya. Bahkan, mungkin air mata itu tak akan pernah ada karena kamu matahari yang mengeringkannya.
Sedang apa kamu sekarang, Nak? Apakah kamu kedinginan?
Sejak kepergianmu, tak ada sedetik pun yang dilaluinya tanpa memikirkan dan mencemaskanmu. Siapa yang memelukmu? Siapa yang menyenandungkan nina bobo untukmu?
Maafkan ia yang tak bisa lagi memberimu perlindungan. Tak bisa lagi memberimu kehangatan.
Laparkah kamu, Sayang? Di lemari itu, masih ada berbungkus-bungkus cokelat yang ia belikan untukmu. Kalian selalu memakannya berdua setiap malam sebelum tidur.
"Kamu nakal." Ia berkata padamu. "Aku jadi gemuk dan tak karuan karena cokelatmu."
Ia membayangkan kamu terkekeh bandel mendengar itu. Kamu akan tergelak sambil berlari menjauh dengan kaki-kaki kecilmu. Meleletkan lidah dan menyipitkan mata.
Mata itu...
Ada seorang lelaki dengan mata yang sama dengan milikmu, Sayang. Kamu masih ingat kisah yang setiap malam diceritakannya kepadamu?
"Aku mencintainya," ujar perempuan itu padamu suatu malam sebelum kalian tidur. "Meski ia pergi. Meski ia tak kembali. Aku mencintainya dengan rasa yang tak habis-habis."
Kamu bisa merasakan itu dalam aliran darah dan degup jantungnya, Sayang. Kamu bisa mendengar hatinya memanggil-manggil nama lelaki itu. Perempuan itu mencintainya sama besarnya dengan mencintaimu.
Ia mencintai kalian dengan cara yang berbeda. Pada lelaki itu, ia memberinya kebebasan. Meski itu kehancuran baginya. Namun begitulah selalu caranya mencintai lelaki itu.
Kalau kamu bertanya padanya, bagaimana cara perempuan itu mencintaimu.
Maka lihatlah kedua tangannya. Tangan-tangan kecil yang rapuh, yang akan ia lapisi dengan baja demi menjagamu dari bahaya.
Lihatlah tubuhnya. Yang ringkih oleh luka, yang ia sembuhkan segera, agar bisa menjadi dinding yang melindungimu dari badai dan angkara.
Kamu harus tahu, Sayang. Ia bisa menjadi semesta. Menjadi segala yang kamu perlukan ada. Akan diselaminya samudera, meski tak bisa berenang. Diarunginya angkasa, meski takut terbang. Agar kamu selalu ada bersamanya. Tak ada apa pun lagi yang ia perlukan setelah itu. Ah, tidak. Mungkin hanya satu. Rindu. Untuk seseorang, yang matanya serupa matamu.
Perempuan itu mengajakmu pergi, Nak. Jika segalanya tak sama lagi. Kemana pun, yang terbaik untukmu. Mencari tempat yang paling indah, udara yang paling sejuk, suasana yang paling nyaman. Ia bahkan sudah membayangkan sebuah tempat, yang pasti akan kamu sukai.
Kita pergi berdua?
Bertiga, jika itu mungkin.
Bagaimana jika tidak mungkin?
Kenapa? Kamu takut? Bukankah selalu ada aku? Akan kulindungi kamu dari dunia yang kejam. Akan kulakukan apa pun demi membangun benteng agar kamu selalu aman.
Bukankah kamu itu rapuh?
Tidak, Sayang. Untukmu, aku menjadi apapun yang paling kuat.
Percakapan malam-malam kalian. Ia merindukannya sekarang. Merindukan hangatnya perasaan bahwa kamu ada. Ia tahu kamu mendengarkan setiap nada. Senandung lirih dari bibirnya. Setiap patah kata dari kisahnya tentang seorang perempuan dan lelaki yang dipisahkan keadaan.
Ia akan mencintaimu seperti aku.
Bagaimana kalau tidak?
Ia tidak sejahat itu, Sayang. Ia mencintaiku. Maka ia pun mencintaimu.
Ia meninggalkanmu.
Sayang, biarlah itu menjadi lukaku, bukan lukamu.
Malam itu, kamu datang dengan gelak riang. Kamu berjalan tertatih-tatih lalu terjatuh. Ia bergegas menghampiri dan memelukmu, dan kamu tertawa lagi.
Aku mau pergi, katamu. Kemana? Perempuan itu masih memelukmu. Main, sahutmu. Aku main.
Lalu kamu berlari meninggalkannya. Berhenti sebentar di ujung kabut. Menoleh dan tersenyum dengan cara yang sama dengan lelaki itu. Senyum yang menenggelamkan mata menjadi dua garis dan bibir melebar riang.
Lalu kamu menghilang...
Jangan pergi!
Bahkan perempuan itu belum sempat memberitahumu bahwa ia mencintaimu. Ia ingin kamu tetap di sini. Dalam perlindungan dan penjagaannya. Meski sakit, meski pedih. Meski badai, ia akan menjadi bentengmu.
Tidakkah kamu percaya padanya?
Setiap hari, betapa kekosongan itu menyiksa. Kamu meninggalkan perempuan itu mendekap rasa bersalah. Betapa ia telah melalaikanmu. Ia terlalu tenggelam dalam pedihnya sendiri. Mencari pegangan dalam kesendiriannya. Membuatmu menolongnya dengan memutuskan.
Tetapi Sayang, bukan itu yang ia mau. Bukan kepergianmu.
Lalu kamu datang lagi malam itu. Melangkah tertatih menghampiri perempuan itu, yang lalu berlutut memelukmu sambil menangis. Dan kamu menempelkan telapak tangan kecilmu yang hangat di pipinya.
Sayangku,
Jadi hanya sesingkat inikah kebahagiaan itu? Kamu datang seperti keajaiban, dan menghilang seperti uap hujan.
Tidurlah yang nyenyak, Sayang. Di antara sesal dan kepedihan, terselip segala doa untukmu. Tidurlah dan bermimpi indah. Sampai bertemu lagi, di suatu pagi.
Namamu seperti fajar, kau tahu, Nak. Seperti langit yang merona saat matahari kembali bertahta di singgasana. Kamu pangeran matahari. Milik kami.
Tidurlah....
Yang cinta padamu. Selalu.
IBU.
_____________________________________
Life after you is empty....