Bersih, katanya. Bersih.
Dan aku menangis.
Seolah-olah ia memang tak pernah ada.
Memupus kebahagiaan yang sebentar itu.
Dia juga pergi.
Mereka berdua, meninggalkan aku sendiri.
...........................
Dear fajar kecil,
Dua hari itu, saat menunggu kepastian. Rasanya lebih perih dari tubuhku sendiri.
Di dalam kamar yang gelap dan asing. Di tempat yang terpencil, yang tidak kukenal. Dan wajah-wajah mengintip di jendela. Anak-anak.
Mereka tersenyum padaku. Senyum yang membuatku ingat lagi padamu.
Senyummu pasti lebih manis dari senyum mereka, pikirku. Tubuhmu akan tumbuh lebih kuat, lebih tinggi, Gerakmu lebih lincah dan lasak. Matamu akan lebih berbinar dan tawamu gemerincing seperti lonceng angin di beranda rumahku.
Kau akan serupa dengan dia, yang mewariskan matanya. Senyummu, Nak, juga sangat mirip dia. Aku tentu senang kau serupa dia. Itu sama seperti harta yang berlipat dua.
Beberapa hari ini, setelah semua berlalu, aku menemukan diriku tak bisa beranjak dari kenangan. Aku selalu menatap lemari yang kubelikan untukmu dengan nanar. Ada baju-bajumu di sana. Ada mainan bebek yang sudah kuberi nama Becker di atas lipatan selimutmu. Ada hanger kecil warna warni.
"Sayang,ini namanya Becker. Bunyinya wek wek wek."
Kamu terkekeh senang. Tangan-tangan kecilmu menggapai-gapai si bebek.
Lemari itu seperti prasasti kenanganku tentangmu. Saat aku merasa bahagia karena kau ada. Saat aku mengira hidupku akan menjadi lebih sempurna. Sayangku, sekarang pun aku masih merasa beruntung pernah memilikimu. Meski tetap saja pedih. Meski masih saja terasa perihnya kehilangan.
Hari ini mau pakai baju yang mana, Sayang? Yang biru? Yang hitam? Yang gambarnya Shawn the Sheep? Atau yang Spiderman? Oh, kamu mau baju yang hitam, ya. Ini warna kesukaan Ayah.
Teman-temanku mengagumiku karena mengira aku sedemikian cepat pulih. Aku tersenyum, tertawa, bergurau dan bermain lempar kata lagi dengan mereka. Kau kuat, kata mereka. Sementara yang lain perlu waktu lama untuk pulih.
Sungguh mereka tak tahu, Nak, betapa hancurnya diriku. Aku adalah pantai setelah badai. Carut marut. Luluh lantak. Namun, aku harus berpura-pura dan melanjutkan hidup. Karena jika tidak, mereka akan menghakimi dan menyalahkanku. Aku tak takut itu. Karena aku memang bersalah. Aku hanya tidak ingin mereka mengenangmu sebagai kesalahanku.
Bagiku, kau adalah burung kecil yang turun dari surga, hinggap sebentar untuk memberitahuku bahwa harapan itu selalu ada.
Fajar kecil,
Aku merindukanmu setiap hari. Aku menangisimu setiap malam sampai mataku bengkak dan menolak terpejam. Kau pergi membawa separuh nyawaku.
Bahkan ketika menulis ini, air mataku seperti hujan yang berderai. Tetapi akan selalu kutulis tentang dirimu, Nak. Karena itulah satu-satunya cara yang kutahu untuk mengenangmu tetap ada. Itu satu-satunya cara untuk mengobati rindu kepadamu yang bertalu-talu.
Waktu akan memulihkan aku, Sayang. Jangan khawatir. Meskipun itu entah kapan.
Yang mencintaimu,
Ibu.