Friday, June 8, 2012

Journey to Batavia #3

Sejujurnya, bukan karena saya sedang maraton menonton serial The Walking Dead, yang bikin saya tak kunjung melanjutkan catatan perjalanan saya ke Jakarta, tempo hari.
Sebenarnya, ada satu hal yang membuat saya jadi enggan menuliskannya. Saya kecewa. Benar-benar kecewa dan sebal.

........................

Pada hari ketiga saya di Jakarta, saya nggak perlu ceritakan bagian pertemuan saya yang berkaitan dengan pekerjaan, ya. Tidak menarik dan bakal bikin bosan.
Hari itu, setelah pertemuan 'bisnis', seharusnya saya reuni dengan beberapa kolega di kantor lama. Namun, malam sebelumnya sudah saya batalkan.

Apa pasal? (heh? ini gaya bahasa mantan Pemimpin Umum saya yang orang Medan).

Saya kecewa pada senior-senior saya. Kolega yang umurnya nyaris sebaya dengan ayah saya, yang saya hormati dan saya anggap pengganti orangtua di perantauan. Mereka melakukan hal yang menurut saya tidak pantas. Mengajak bergurau dengan cara yang membuat saya merasa dianggap gampangan.

Mereka seperti itu, sejak tidak sekantor lagi dengan saya. Apa yang ada dalam pikiran mereka?
Bahwa Enno bukan lagi teman sekantor, jadi boleh dirayu? Yang benar saja!

Salah satu di antara mereka, misalnya. Ketika mengajak saya berangkat bersama-sama keluar kota, ketika dia punya urusan bisnis di sana, begitu juga saya punya urusan bisnis sendiri. Dia bilang: "Di hotel, kita sekamar ya?" Saya langsung membatalkan keberangkatan saya, meskipun kemudian dia bilang itu hanya bercanda.

Bercanda macam apa itu? Selama ini, dia saya anggap orangtua saya. Usianya sebaya dengan ibu saya. Saya tersinggung dengan gurauannya itu. Dan saya anggap itu bukan sekedar gurauan. Itu spekulasi. Seandainya saya bilang ya, apa mungkin dia akan bilang 'oh, tapi saya bercanda'? No, that's a dead bullshit!

Lalu malam itu, seorang lainnya mengirim pesan pendek dengan gaya bahasa dan cara menulis alay. Aku menjadi 'aq', lalu bahasa yang bernada merayu. "Aq manggil kmu sayang, ya?"
Saya jawab dengan lugas. "Bapak harusnya memanggil saya 'nak.'"

Lalu saya batalkan reuni itu. Meskipun sebenarnya saya bisa saja tetap bertemu dengan para kolega yang sebaya, yang bebas dari wabah puber entah ke-35 atau ke-100. Tapi saya keburu ilfil dan bad mood to the max. Sampai sekarang pun, kalau ingat hal itu, saya masih jengkel. Plus sedih, karena saya jadi kehilangan dua teman, dua orangtua, dua senior yang seharusnya masih bisa membimbing saya. Apa boleh buat. Saya harus menjauh.

Gara-gara itu, akhirnya saya melarikan diri ke Pasar Senen.

Kenapa Pasar Senen? Pertama, karena saya sedang menulis artikel tentang pasar barang bekas yang bisa ditemukan, salah satunya di Senen. Kedua, karena saya ingin melacak kenangan saya dengan seseorang.

Hari itu, ia mengajak saya ke Senen untuk memotret arus mudik. Kami pergi ke stasiun, dan saya duduk di bangku kayu, sementara ia mulai berburu gambar ke sana kemari. Setelahnya ia duduk di samping saya, lutut kami saling bersentuhan dan ia tersenyum.
"Kamu capek ya?"
"Enggak."
Lalu kami berdiskusi tentang seseorang yang kami kenal. Bukan dengan cara menjelek-jelekkan, tetapi mencari inti persoalan. Dan ia berkata, "Sudah, jangan pamer argumen lagi. Kamu itu pintar, aku sudah tahu. Jangan sampai aku jatuh cinta sama kamu lagi."
Saya tersenyum. Saya tahu, menurutnya cewek pintar itu sexy. Saat itu saya ingin bilang: Hei, aku masih cinta kamu, tahukah kamu itu? Tetapi, aku membenamkannya dalam-dalam dan menghadapinya sebagai hantu masa lalu. It's time to face the truth, I will never be with you.'

Jadi saya ke Senen, menjelajahi pasarnya. Menghadapi hantu masa lalu itu sekali lagi.


pict from here


Image and video hosting by TinyPic

11 comments:

Arman said...

ya ampun kok begitu ya senior2 lu...
yang tentang ngajak sekamar di hotel itu rasanya dulu lu pernah cerita juga ya no... atau ini beda lagi orangnya?

Enno said...

@arman: iya, orgnya sama, dan cerita yg sama... dan nambah lg satu org tengilnya... pdhl gw anggap mrk itu 'geng gue' bersama bbrp temen gw sebaya. kami ada berenam, bertujuh sih tp satu meninggal thn lalu...

rabest said...

"Aq manggil kmu sayang, ya?"
Saya jawab dengan lugas. "Bapak harusnya memanggil saya 'nak.'"

telak banget mbak, hehehe
jempoollll.. :)

secangkir teh dan sekerat roti said...

si bapak sedang genit atau memang perangainya tuh..?

dea said...

hah ???? sekamar ??? yang bener aja :D

dea said...

hah ???? sekamar ??? yang bener aja :D

Dannesya said...

bapak harusnya manggil saya 'nak

hahahah sori mbak aku ngguyu pas mbaca iku :DD

TS Frima said...

orang yang seperti itu memang lebih baik dijauhi mbak :)

Enno said...

@rabest: sebenernya pengen lbh sarkas dr itu sih, tp kan org tua :)

@secangkir teh: entahlah, lg msh sekantor sih engga gtu :(

@dea: emang rese becandanya ya :|

@annesya: lha malah ngguyu dhewe ki bocah :D

@rian: iya bener rian :)

Meida said...

iih.. itu babe-babe ganjen bener yaak!
harusnya bilang mbak, kalau situ panggil saya sayang, saya panggil situ engkong, boleh ya?! hahahaha...

Enno said...

@meida: wakakakak... iya juga ya? :))

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...