Wednesday, July 17, 2019

Algernon Project: Toko Buku Berpintu Mahoni

Liebe Marie,

Tahukah kau, betapa senangnya hatiku kemarin? Aku menemukan sebuah toko buku kecil yang menarik.

Itu toko buku yang dari depannya saja sudah terlihat unik. Berjendela besar dengan lis-lis hitam, tetapi pintunya terbuat kayu kokoh sewarna mahoni. Ia seperti memanggil-manggilku untuk masuk ke dalamnya. Nama tokonya juga membuatku bertanya-tanya. Das Wunder.

Aku masuk, tentu saja. Bunyi lonceng di atas pintu mengiringi langkahku, dan memunculkan satu sosok lelaki setengah baya berkumis tebal dari balik meja kasir besar.

“Selamat datang!” Senyumnya lebar dan tulus di balik kumisnya. “Silakan melihat-lihat. Mungkin ada satu dua buku yang berjodoh dengan Anda, fräulein.”

Lelaki yang periang dan ramah. Orang Jerman paling periang dan ramah yang pernah kutemui sejauh ini, selain kau tentu saja.

Keramahannya itu membawa kami dalam sebuah percakapan. Ia sangat senang ketika tahu aku berasal dari Indonesia.

“Ah, salah satu pelanggan saya juga seorang gadis Indonesia!” serunya. “Ia sedang berkuliah di sini. Mungkin Anda kenal.”

“Mungkin juga tidak,” sahutku, tertawa. Aku baru beberapa hari di kota ini, dan tentu saja tak mungkin aku pernah bertemu semua orang Indonesia yang tinggal di Würzburg,  maupun yang sedang berwisata. Hanya satu orang setanah air yang pernah kutemui. Gadis yang bertabrakan denganku di jembatan Alte Mainbrücke.

Namun, tak kusangka, si pemilik toko menyebut namanya. “Ah, gadis itu namanya Demitria. Ia perempuan muda yang sangat menyenangkan. Nona agak sedikit mirip dengannya, kukira. Apakah semua gadis Indonesia bermata coklat dan murah senyum?”

Ia bergurau tentu saja. Sedang mencoba memujiku dengan cara Jermannya yang sedikit kaku. Seperti kau, Marie. Aku selalu mengejek humormu garing dan kurang lucu.

“Gadis Indonesia bernama Demitria yang Anda maksud itu, yang senang membaca buku-buku sastra klasik?”

Mata lelaki tua itu melebar. “Ya, dia. Nona mengenalnya rupanya!”

“Kami bertemu tak sengaja beberapa hari lalu, lalu mengobrol sebentar. Anda benar, gadis itu sangat menyenangkan. Saya berharap bisa bertemu lagi dengannya kapan-kapan selagi masih berada di kota ini.”

“Ia bekerja sambilan di sebuah restoran tak jauh dari Alte Mainbrücke, nona. Kalau Anda pergi ke sana, mungkin bisa bertemu dengannya jika sedang gilirannya bekerja. Saya merekomendasikan restoran itu. Namanya Alte Stauss. Pemiliknya salah satu teman karib saya. Tetapi, percayalah. Bukan karena hubungan pertemanan kami, saya memuji masakan di sana. Bagaimana pun, nona harus mencoba beberapa makanan lokal Franconia terenak mereka.”

Makanan! Aku selalu tertarik pada makanan enak. Tolong catatkan untukku, Marie. Siapa tahu aku lupa nama restoran itu. Jika aku tak sempat berkunjung ke sana segera, mungkin kita bisa pergi ke sana setelah kau tiba di sini.

Setelah itu, sikapnya kepadaku semakin ramah. Aku memberitahu namaku, dan ia memintaku memanggilnya Jurgen. Lalu, menuntunku ke rak-rak buku yang menyimpan koleksi terbaiknya. “Orang-orang mengira, merekalah yang memilih buku yang hendak mereka baca. Mereka keliru, Fräulein Elinor. Bukulah yang memilih pembacanya. Ketika kau memegang sebuah buku, ia akan memberikan padamu halaman-halaman yang kau butuhkan atau tidak kau butuhkan. Ketika buku itu diletakkan kembali, buku itu yang menyuruhmu pergi.”

Aku tidak terlalu mengerti apa yang ia katakan, Marie. Aku tidak pandai berfilsafat. Namun begitu, lelaki ini sangat baik hati. Ia bertanya padaku jenis buku kesukaanku. Ketika ia tahu aku tidak terlalu lancar berbahasa Jerman, ia menumpuk buku-buku berbahasa Inggris yang sekiranya sesuai dengan minatku.

“Datanglah ke sini kalau ingin membaca buku, selama dirimu sedang berada di Würzburg, fräulein,” ujarnya sambil meletakkan novel Othello-nya Shakespeare di tumpukan paling atas.

“Oh!” Aku meraih buku itu dan tersenyum lebar. Seorang sepupuku menyukai buku-buku Shakespeare. Suatu hari, Othello miliknya hilang entah dipinjam siapa, dan ia menangis kesal di depanku. Buku ini mungkin akan menjadi oleh-oleh yang membahagiakan untuknya. “Saya ambil yang ini.”

“Pilihan yang bagus,” komentarnya senang. Ia membungkuskan buku itu dengan beberapa buku lain yang kupilih sebelumnya.

“Bolehkah saya bertanya tentang nama toko buku ini? Mengapa namanya Das Wunder? Apa yang begitu ajaib dari tempat ini?” tanyaku di depan meja kasir saat hendak membayar.

“Nona yang baik,” ia tersenyum. “Sebuah buku adalah keajaiban. Di dalamnya tersimpan petualangan-petualangan yang bisa mengubah hidupmu.”

“Wah, tentang itu saya setuju.” Kukatakan itu sembari menyodorkan beberapa lembar uang untuk membayar. “Terima kasih, Jurgen. Menyenangkan mengobrol denganmu. Saya akan datang lagi kapan-kapan.”

“Senang bertemu denganmu juga, Fräulein Elinor. Kedatanganmu kembali saya nantikan. Anda adalah gadis Indonesia kedua yang saya kenal, dan sama menyenangkannya.”

Aku tersenyum dan melambaikan tangan sebelum berbalik dan keluar dari toko buku itu. Di sisi luar pintunya, angin musim gugur yang dingin menerpaku. Aku sangat nyaman berada di dalam sana, dan ingin lebih lama mengobrol dengan lelaki tua itu, jika saja tak punya janji untuk bertemu narasumber.

Si pemilik toko buku itu hangat dan baik hati, tetapi tampak agak kesepian. Apakah ia punya keluarga? Ia seperti seorang ayah atau paman yang penyayang. Aku tak berani menanyakannya, karena ini bukan di negaraku sendiri yang terbiasa dengan keingintahuan pribadi.

Marie, lekaslah kemari. Kurasa, banyak sekali hal yang bisa kuceritakan dan kutuliskan dari kota kecil yang cantik ini. Tidak hanya tentang lanskapnya, bangunan-bangunan kunonya, tetapi juga tentang beberapa orang yang kukenal baru-baru ini.

Sepertinya aku akan makan di Alte Stauss nanti malam. Siapa tahu bertemu Demitria lagi. Aku berharap urusanmu di Berlin segera tuntas. Lekas tendang lelaki itu dari hidupmu, Marie. Aku tak sanggup lagi melihatmu menerima kekejamannya.
Salam sayang dari kota negeri dongeng bernama Würzburg. Akan kusurati kau lagi dengan cerita baru nanti.

PS: Aku belum mendengar kabar apa pun dari teman kuliahmu. Algernon Katz menghilang bagai ditelan bumi, meskipun bukan salahnya juga tak segera mengabari. Kami memang tidak menyepakati tanggal pertemuan berikutnya. Aku harus menunggu. Namun, selagi menantikan kabar darinya, insting jurnalistikku menumbuhkan rasa penasaranku terhadapnya.

Liebe Gruβe,
Elinor

----------

Disclaimer

Hai teman-teman Blogger!
Tahukah kalian bahwa novel terbaru saya "A DAY TO REMEMBER" akan segera terbit?
Yes! Algernon Project mewujud novel dan segera bisa dibaca.

Pre Order-nya sudah dimulai dari 12-26 Juli 2019. Ada special offer lho. Buku bertanda tangan dan tas serut cantik.

Pemesanan bisa melalui saya atau toko buku-toko buku online yang terdaftar. Untuk list toko buku online-nya silakan meluncur ke web, facebook dan Instagram Penerbit KataDepan, ya.

Untuk PO melalui saya, ada HADIAH TAMBAHAN, yaituuu.. jeng jeng!
Satu set (berisi 3 lembar) POST CARD yang didesain khusus oleh Algernon dan Demitria untuk para pembaca tersayang.
Yang ingin mendapatkannya, bisa mengisi form pemesanan di link:
http://bit.ly/PreOrderADTR
Jumlahnya terbatas.

Yuk buruan PO sebelum kehabisan!

Regards,
Enno

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...