Tuesday, May 6, 2008

Aku Melihat Dari Sudut Itu

Beberapa hari belakangan ini aku melihatnya duduk di dekatku, di depan televisi itu. Laki-laki berwajah serius yang gemar memakai jaket hitam, seakan menyembunyikan tubuhnya yang tegap dan atletis. Setengah jam kemudian, seorang perempuan akan datang menghampirinya. Mereka berbasa-basi sejenak, lalu langsung pergi. Tak pernah sempat berlama-lama di ruang duduk hotel ini. Padahal aku ingin sekali tahu siapa perempuan yang suka bercelana pendek itu.

Sudah sewajarnya aku ingin tahu. Akhir tahun lalu, di ruang duduk hotel ini, laki-laki itu menunggu perempuan yang lain. Seorang perempuan berwajah ceria dan selalu tertawa. Gema suaranya yang riang membangkitkan perasaan gembira di hati tamu-tamu hotel ini. Bahkan sanggup membuat para maniak acara sepakbola yang berkerumun di depan televisi menoleh sejenak memperhatikannya.

Laki-laki itu bahkan tidak tampak begitu serius. Matanya berbinar, bibirnya mengulum senyum. Malam hari, mereka akan duduk mengobrol di sofa rotan, di sudut ruangan yang lampunya lebih temaram. Lupa waktu sampai larut.
Dari tempatku, bisa kulihat mereka saling bertukar senyum. Lutut mereka bersentuhan. Ada aura keintiman yang sangat kentara. Aku tahu. Karena aku selalu ada di dekat mereka.

Aku masih ingat malam terakhir sebelum perempuan itu kembali ke kotanya yang jauh. Suara perempuan itu tercekat ketika bilang ia harus pulang. Dan laki-laki itu menatapnya seolah-olah tak ingin ditinggalkan.

“Kamu harus berangkat jam tujuh pagi ke stasiun supaya tidak ketinggalan kereta,” ujar si laki-laki.
“Sepagi itu sudah ada becak yang bisa mengantarku ke stasiun.”
”Becak sudah ada sejak subuh.”
Perempuan itu menunduk. “Syukurlah, aku bisa mencegatnya dari depan hotel kan?”
Laki-laki itu terdiam sejenak. Ayo, katakan saja! Batinku gemas. Katakan bahwa kamu akan mengantarnya. Ia ingin kamu temani sampai keretanya berangkat.
“Uhm… mau kuantar dengan motorku?”
Perempuan itu mendongak. “Tidak merepotkan?”
“Tentu saja tidak.”
“Baiklah kalau begitu.”
”Jam tujuh?”
“Oke.” Perempuan itu menatapnya dengan sorot mata sedih. “Terima kasih sudah menemaniku liburan di sini ya.”
“Datanglah lagi kapan-kapan. Aku menunggu.”
”Sungguh? Aku boleh minta ditemani lagi?”
“Anytime.” Laki-laki itu tersenyum.
Ah, adegan paling manis sepanjang sejarah hotel ini.

Sejak itu, aku menunggu perempuan itu kembali. Tetapi ia tak kunjung datang. Laki-laki itu masih sering kulihat jika ia mengunjungi temannya, si pemilik hotel. Dan kini sudah beberapa hari kulihat perempuan bercelana pendek itu bersama laki-laki itu. Perempuan yang hanya tersenyum seadanya, dan tak membuat laki-laki itu ikut tersenyum. Wajah laki-laki itu semakin serius agaknya. Tak seperti saat ia bersama si periang dulu.

Aku ingin sekali mengatakan kepada laki-laki itu, bahwa ia lebih cocok dengan si periang. Seharusnya ia pergi mencarinya dan membawanya kembali ke kota ini.
Ah, tapi apa dayaku… Peranku cuma sebagai saksi bisu. Aku ini cuma kursi tua yang nyaris terlupakan. Di sudut paling gelap ruang duduk hotel ini.


Image and video hosting by TinyPic

5 comments:

Anonymous said...

Huuu kereeen bgt postingan ini, ntar klo ak udah siap bikin film pendek lagi, ak pasti akan buat berdasarkan postingan ini. serius...

Enno said...

bener ya rei! ntar aku tagih lho... btw aku yg jadi salah satu pemainnya dong, wong ini cerita ttg aku (ketebak kan tokoh aku yg mana?) hahaha :))

Anonymous said...

mbaaaa.....ituu klo dikumpulin bisa jd novel deh lama...

then i'll be the first customer to buy it.. ;)

Ayu Ambarsari Hanafiah said...

bener banged tu kata nya andrei mbaa.

klo dia yang bikin film, mba enno jadi pemainnya.. saya penonton pertama yaaa! :D

Enno said...

theloebizz: oya? makasih support-nya ya fini :D

ayu ambarsari: yg dishoot jempol kakiku aja kok hahaha

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...