Sunday, May 4, 2008

Calling Down An Angel

Malam sudah begitu larut. Ia melihat laki-laki itu masih duduk di teras rumahnya yang temaram. Bersandar di kursi kayu yang catnya mengelupas karena cuaca. Sesekali laki-laki itu menghela napas. Matanya menerawang, menatap bintang-bintang. Wajahnya penuh gurat letih. Tak ada apapun atau siapapun menemaninya melamun. Arak balinya sudah habis berminggu-minggu yang lalu. Tak ada rokok, karena ia sudah menghentikan kebiasaan buruk itu lama sekali.

Ia tahu. Laki-laki itu lelah dan kesepian. Setiap hari harus bangun pagi. Menyiapkan sarapan, memandikan anak-anaknya dan memakaikan mereka baju seragam. Ketika mereka sudah berangkat sekolah, laki-laki itu mulai membereskan rumah. Dan selalu saja tak pernah bisa serapi yang diharapkan.

Laki-laki itu tak akan pernah cocok dengan pekerjaan domestik. Kendati ia harus melakukannya sebagai orangtua tunggal. Sesungguhnya laki-laki itu lebih cocok berada di luar sana. Diantara pepohonan, gemericik sungai dan deru angin di perbukitan.

Ketika laki-laki itu mendesah keras, ia ingin sekali datang padanya. Menawarkan tangannya untuk digenggam, bahunya untuk bersandar, senyumnya untuk menghibur dan pelukannya untuk menghangatkan. Tetapi yang bisa dilakukannya hanya mengawasi. Tanpa mampu berbuat apa-apa.

Wajah laki-laki itu tampak begitu sedih. Matanya yang lembut berkabut. Bibirnya bergetar. Hembusan napasnya semakin berat.

Kumohon, jangan sedih! Ia berseru dalam bahasa telepati. Berharap laki-laki itu bisa mendengarnya. Kamu tak sendiri. Ada aku di sini. Panggilah aku, dan aku akan segera datang kepadamu. Aku selalu mengawasimu dari balik awan-awan, bintang gemintang yang kamu pandang dan butir-butir debu yang kamu sapu. Aku ada di setiap arah mata angin. Meski kamu tak pernah sadari, aku selalu bersamamu setiap waktu.

Tidakkah kamu sadari keberadaanku saat kamu rasakan belaian angin, hangat matahari dan gemercik air di sungai yang kamu susuri? Aku membaca bebanmu kala tengah mengukir batu, karena aku adalah waktu yang mengikisnya. Aku menanggung sedihmu kala tengah menggambar peta karena aku sembunyi di balik sayap-sayap kelelawar penghuni gua. Aku mendengar keluhmu kala mengukur debit sungai karena aku adalah arusnya. Aku ada di balik sayap kupu-kupu kuning yang mampir di rumpun kembang pagi sore yang kamu tanam di halaman.

Tak ada yang bisa mencegahku memperhatikanmu. Tak ada yang bisa menghentikanku berharap kamu akan menyadari keberadaanku.
Kamu harus tahu, kamu tak sendiri. Panggilah seorang bidadari turun. Dan aku akan datang padamu. Berbagi beban itu.

Laki-laki itu masih saja duduk di teras. Tak menyadari kedip sebuah bintang yang maha terang. Di langit malam yang semakin pekat.

4 comments:

Ayu Ambarsari Hanafiah said...

yeah.. mba pasti akan selalu menjadi bidadari buat pria itu :)
pasti.

i'm learning how to love somebody rite now, mba..
loving someone perfectly..
couse i know, i'm not a perfect one for him.

bisa tidak ya..

keep posting mba..
saya tunggu slalu disini :)

Enno said...

we always learn how to loving someone ayu...

thx ya, keep reading too :)

Anonymous said...

Hi Enno,
Mmm ..hard to believe ...
kamu bener2 mahluk ajaib ....
thank's utk banyak tulisan indahmu.

semoga cinta terindah
selalu menginspirasi semua orang

regards,
t621

Enno said...

halo t621... makasih ya atas apresiasinya.
keep reading my blog ok :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...