Friday, August 21, 2009

(Bukan) Ramadhan Terakhir


Jauh-jauh hari selalu ia bilang, tahun ini barangkali Ramadhan terakhirnya. Aku marah padanya dan segudang nasehat kulemparkan ke mukanya. Tetapi ia masih saja berceloteh tentang itu. Ramadhan yang mungkin terakhir baginya.

"Gue benci tau gak kalo denger lu ngomong begitu!"
"Tapi itu nggak mustahil kan?"
"Tuhan yang ngatur, bukan lu!"
"Tapi seperti semua kitab suci bilang, Tuhan bisa mencabut nyawa kita sewaktu-waktu."
"Tapi bukan gitu cara memahaminya. Bukan dengan berpikir bahwa tahun ini atau tahun besok lu akan mati. Seolah-olah lu yang memastikan, bukan Dia."

Ia tersenyum seraya membelai tanganku dengan lembut.
"Tangan ini," katanya sambil menekan jari-jarinya di telapak tanganku. "Halus, terawat. Nggak seperti tangan gue yang kapalan dan pecah-pecah. Gue sudah melakukan banyak hal untuk keluarga gue. Untuk suami dan anak-anak gue. Dari pagi sampai malam melayani mereka dengan sabar. Kalau gue sudah nggak ada, siapa yang akan melakukannya untuk mereka? Cuma satu hal itu yang bikin gue resah."
"Lu nggak akan kemana-mana, Kak. Damned you! Gue males banget kalo lu mulai ngomong gitu lagi!"
"Ck ck ck." Ia tertawa kecil. "Dasar pemarah kecil. Bisa nggak sih dengerin aja omongan gue, nggak usah pake protes?"

Ia minta dipahami, tapi aku tak bisa mengerti apa yang ada di kepalanya. Aku cuma ingin ia berhenti bersikap pesimis dan memandang penyakitnya sebagai dewa maut. Aku ingin ia mensugesti dirinya untuk sembuh.

"Sebenernya lu kepingin sembuh kan?"
Ia tersenyum. Sial! Lama-lama aku bisa membenci senyumnya yang sok tenang itu!
"Bilang sama gue, lu kepingin sembuh kan? Kalo kepingin sembuh, lu harus bilang sama diri lu sendiri bahwa lu pasti sembuh."
"Ya, gue kepingin sembuh."
"Kalau gitu berhentilah ngomongin topik sialan favorit lu itu. Berhenti. Stop sampai disini. Case closed!"

Ia menghela napas. Sekilas kulihat kesedihan melintas di wajahnya. Aku ingin memeluknya. Haruskah kupeluk ia? Tapi aku kan tidak mau ikut-ikutan terhanyut melankolia yang ia ciptakan. Peluk, jangan, peluk, jangan....
Ia berbalik pergi, meninggalkan aku terpana di depan kamar.

....

Hari ini kupandangi diriku sendiri di dalam cermin. Bayangan buram. Wajah yang mirip wajahku membalas tatapanku dengan mata yang cemas. Sesuatu terjadi. Akhirnya pasti akan kusadari juga. Sesuatu yang sekian lama kubiarkan dan kuanggap tidak ada. Tapi nyatanya ada, berdetak seperti bom waktu.

Tik tok tik tok tik tok.

Kini aku tahu perasaan itu. Maut yang membayang-bayangi itu.

Aku berlari mencarinya. Kutemukan ia di dapur, memasak seperti biasa. Harum masakannya menguar di seluruh ruangan.

"Kak, lu tau nggak. Ada hal lucu yang terjadi sama gue hari ini."
"Hm?" Ia menoleh, tersenyum lebar. "Apa sih yang nggak lucu kalo soal lu? Semuanya dibikin lucu."
"Serius nih."
"Katanya lucu, sekarang kok jadi serius."
"Kak, tahun ini kayaknya Ramadhan terakhir gue."
Ia tertawa. "Ngeledek gue ya? Nyindir? Sana, sana, gue lagi sibuk. Nanti masakannya jadi aneh gara-gara lu gangguin!"
"Kak, sekarang gue ngerti perasaan lu."
Ia mendorong bahuku ke arah pintu. "Gangguin yang lain aja sana! Bye-bye!" Katanya.

Aku melangkah gontai menjauhi dapur. Kudengar senandungnya yang fals sayup-sayup diantara ketukan pisau di atas talenan, denting sendok beradu mangkok, desis minyak panas di penggorengan.

Sesuatu di dalam kepalaku berdenyut nyeri. Seperti ada yang meronta-ronta ingin keluar dari tempurungnya. Hantu yang menjadi nyata. Hantu yang meraja. Bodohnya aku yang berpura-pura semua kejanggalan itu tak ada.

"Tidak apa-apa. Bisa sembuh," kata dokter itu kemarin. "Bisa kita jadwalkan operasinya dari sekarang. Tolong jaga kondisi Anda supaya tetap fit."

Operasi? Oke. Akan kulakukan. Lalu setelah itu apa? Apakah aku akan tetap hidup? Bagaimana kalau operasinya gagal dan semuanya telah sangat terlambat?

Tuhan, aku masih ingin hidup. Aku punya banyak orang yang kucintai dan mencintaiku. Aku ingin hidup, agar bisa kubuktikan kepada kakakku yang pesimis itu bahwa ia juga bisa mengalahkan monster itu.

Suara langkah kaki di belakangku terdengar sayup-sayup.
"Adek, sedang apa disitu?"
Aku menoleh, menemukan dirinya bersidekap menatapku.
"Nangis? Ya ampun, lu nangis? Berantem lagi sama pacar lu ya?"
Aku menggeleng.
"Jangan cengeng ah. Nggak pantes tau! Makan yuk, udah mateng tuh. Habis itu lu boleh ceritain masalah lu sama gue, oke?"
"Kak?"
"Hm?"
"Lu harus janji, tahun ini bukan Ramadhan terakhir lu."
Ia tersenyum geli. "Jadi itu yang bikin lu nangis? Astaga, Adek!" Ia mengacak-acak rambutku. "Iya, iya, gue janji. Puas? Sekarang kita udah bisa makan?"
Aku mengangguk.

Ia menatapku, dan aku tahu, ia berpikir seperti yang aku pikirkan jika tengah menatapnya dengan sorot mata seperti itu.

Peluk, jangan, peluk, jangan.

"Peluk," ujarku padanya sambil merentangkan lengan.
Ia memelukku sambil tertawa.

Tuhan, ini bukan ramadhan terakhir kami, kan? Engkau harus janji.

....................

Marhaban ya Ramadhan.
Selamat menunaikan ibadah puasa ya, teman-teman. Maaf lahir batin.

Image and video hosting by TinyPic

14 comments:

Anonymous said...

nice....
mendadak melankolis endingnya.....
cerpen bukan sih, cin?

Sari said...

Enno sayang, met puasa ramadhan. Maafkan semua gangguan2-ku yang pernah mampir di komenmu hehehe

Tumben ceritamu panjang, kali ini...

Aku sedih bukan karena patah hati...
Cihhh...patah hati trus sedih itu cuma kerjaan ABG... :P

Tetap Semangat yak !!!

Apisindica said...

Ramadhan terakhir atau bukan tidak tergantung pada ada atau tidaknya penyakit yang menggerogoti tubuh kita. Semua kehendak Dia. Pemilik alam semesta.

Semua akan berharap kalau ramadhan ini bukan ramadhan terakhir, karena setiap tahun kita berharap lahir kembali menjadi kertas putih. Meskipun nantinya dinodai lagi.

Selamat puasa mba enno, maaf lahir batin ya!

Arman said...

no, ini cerita beneran atau fiksi?

kalo beneran, moga2 kakak lu bisa segera sembuh ya...

dan lu juga... beneran mesti operasi? duh, moga2 nothing's serious ya... moga2 cepet sembuh ya...

mohon maaf lahir batin juga... selamat berpuasa...

Galuh Riyadi said...

LOVE THIS!! AND I LOVE U MORE MBAK... =)
Selamat menunaikan ibadah puasa ya mbak...

Tisti Rabbani said...

Selamat menjalankan ibadah puasa...
Semoga Ramadhan kali ini bukanlah Ramadhan terakhir buatku....

boodee said...

waduh..
pagi2 di hari pertama puasa baca tulisan mellow..
hiks..

semoga enno dan kakakyna diberi kesehatan dan kekuatan supaya bisa melewati ramadhan tahun ini, dan bisa bertemu dengan ramadhan berikutnya.

hi enno,
how are u today?

nie said...

bukan kok., bukan yang terakhir..masih jauh dari terakhir :)

Enno said...

@all: teman-teman sayang, everything's fine kok. yg sakit kakakku. aku sih sejauh ini baik2 aja... makasih utk doa dan support-nya. jadi pengen nangis...

*eh, bikin batal puasa ga ya nangis guling2? heheh*

mr.snugglemars said...

lagu lagi mellow,
denger One Republik- Say(all i need) aje...

*lho, malah iklan*

hahaha,
fighting dong,,
macam aku.. :P

Enno said...

fighting macam kau?
maksudnya ngejotos preman2 yg kemaren itu?

fighting bkn namanya ya? hehehe

Elsa said...

aku ingin yakin... ini bukan ramadhan kita yang terakhir.

semoga...

Enno said...

@elsa: amin :)

Gogo Caroselle said...

Amiin....
Kakaknya mba Enno bertahan yah....
Aminn....
:)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...