"Pernah nggak sih lo ngerasa ada di mana lo bener-bener sendiri, dan nggak ada satu orang pun yang bisa lo harapkan..."
-Kutipan dari tulisan Achied
..........
Hari ini, mohon maaf, saya ingin marah.
Saya bertengkar dengan Ibu mengenai topik yang sama, yang selalu diulang-ulang sejak umur saya 25. Adik saya Ajay bertanya kenapa saya begitu menyebalkan (di matanya tentu saja), karena selalu membuat Ibu marah (lagi-lagi menurut opininya, meskipun faktanya selalu Ibu yang memulai lebih dulu).
Belum cukup tampaknya semua itu, seorang kakak ibu saya datang pagi ini dan ucapan pertamanya begitu melihat muka saya adalah, "Kalau tidak dapat di Jakarta, cari saja di sini."
"Maksudnya?" Tanya saya.
"Calon suami."
Saya benci sekali karena hanya memilih diam, kehabisan kata-kata. Padahal ingin sekali rasanya saya mendamprat mereka. Tahu apa mereka tentang hidup saya!
Hidup saya berbeda dengan adik saya.
Sepanjang hidup saya, selalu di bawah tuntutan dan tekanan. Dan saya diwajibkan setegar karang.
Sementara sejak kecil dia anak kesayangan Ibu. Sayalah yang selalu disalahkan dan dimarahi kalau dia jatuh, sakit, bermain terlalu jauh, atau pulang terlalu sore. Sayalah yang dibebani kewajiban untuk menjadi anak yang pandai, mendapat nilai bagus di sekolah, membantu tugas-tugas rumah tangga, dan diceramahi soal keuangan keluarga yang selalu pas-pasan sampai saya tidak pernah berani minta dibelikan sesuatu jika itu tak teramat perlu.
Surat Tamat Belajar sayalah yang diremas-remas Ibu, karena saya tidak mau masuk sekolah menengah kejuruan. Sementara Surat Tamat Belajarnya terpajang rapi dan ia boleh masuk ke sekolah mana saja yang ia mau. Saya dilarang masuk fakultas sastra, sementara ia boleh-boleh saja tak punya cita-cita dan sekedar mengikuti jejak saya di fakultas hukum.
Dan sampai sekarang tuntutan-tuntutan seperti itu masih selalu ada. Saya harus sukses. Saya harus mandiri. Saya harus bisa mencukupi kebutuhan saya sendiri. Oke, yang itu saya tidak keberatan. Tetapi yang paling digaris bawahi dan ditulis besar-besar dengan huruf berwarna merah: saya harus segera menikah! Segera. SOS. Darurat. Kasus A1 (istilah intelijen untuk kasus utama). Mungkin seandainya bisa dilangsungkan dalam minggu ini juga, mereka akan menari-nari kegirangan.
Sementara dia, si anak kesayangan, apapun yang dia perlukan selalu diberi. Ibu menghibahkannya rumah kecil di sebelah rumah induk untuknya. Memindahkan ranjang favorit saya ke kamar yang bakal ditempati dia dan isterinya nanti tanpa izin saya. Bahkan pada calon isterinya, Ibu mempersilahkan memakai semua koleksi alat-alat dapur kesayangannya. Gelas-gelas Perancis itu, mangkuk-mangkuk Cina kuno itu, piring-piring antik dan sendok-sendok perak yang bahkan dipakai setahun sekalipun tidak.
Tidakkah terpikir oleh Ibu, bahwa saya, anak perempuannya, juga ingin mewarisi sebagian dari semua itu? Meskipun saya bisa membeli sendiri, tetapi saya juga ingin punya barang kenangan jika Ibu sudah tidak ada kelak.
Kalau hubungan saya dengan seorang lelaki gagal, saya disalahkan. Mereka menuduh saya yang bikin gara-gara. Ketika si anak kesayangan itu diputuskan pacarnya karena lelaki lain, Ibu menangis dan menganggap nasibnya malang. Bahkan saya ditugasi membujuk dan menghiburnya. Saya juga yang maju ke depan sendirian, menghadang adik saya, menahan badannya yang tinggi besar ketika dalam kemarahannya ia ingin mencari lelaki itu dan menghajarnya. Saya sampai sakit badan seminggu!
Saya benci sekali jadi perhitungan begini. Malu pada diri sendiri karena mendadak iri pada adik sendiri.
Tapi saya benci selalu dijadikan kambing hitam. Dianggap anak nakal sepanjang zaman. Saya ingin pergi entah kemana, tetapi tak bisa melepaskan diri. Ibu akan jatuh sakit, Ayah akan kebingungan, dan si anak emas itu lagi-lagi akan menyalahkan saya. Saya juga tidak bisa mengandalkan Ussy, karena ia sudah punya keluarga sendiri.
Saya tak bisa berbuat apa-apa ketika orang-orang menertawakan saya, mengatai saya pemimpi yang menunggu hal yang tidak pasti, dan saya tak bisa mengelak ketika mereka dengan sok perhatian mengenalkan saya dengan banyak pria.
Tak seorangpun membantu saya. Saya benci karena merasa tak dipercayai. Merasa sendirian. Merasa ditinggalkan. Merasa dibiarkan. Saya benci dan muak karena selalu saja diuji, diuji dan diuji.
Saya benci!
.............
Masih belum puas menguji reaksi saya dalam tekanan, darling?
-Kutipan dari tulisan Achied
..........
Hari ini, mohon maaf, saya ingin marah.
Saya bertengkar dengan Ibu mengenai topik yang sama, yang selalu diulang-ulang sejak umur saya 25. Adik saya Ajay bertanya kenapa saya begitu menyebalkan (di matanya tentu saja), karena selalu membuat Ibu marah (lagi-lagi menurut opininya, meskipun faktanya selalu Ibu yang memulai lebih dulu).
Belum cukup tampaknya semua itu, seorang kakak ibu saya datang pagi ini dan ucapan pertamanya begitu melihat muka saya adalah, "Kalau tidak dapat di Jakarta, cari saja di sini."
"Maksudnya?" Tanya saya.
"Calon suami."
Saya benci sekali karena hanya memilih diam, kehabisan kata-kata. Padahal ingin sekali rasanya saya mendamprat mereka. Tahu apa mereka tentang hidup saya!
Hidup saya berbeda dengan adik saya.
Sepanjang hidup saya, selalu di bawah tuntutan dan tekanan. Dan saya diwajibkan setegar karang.
Sementara sejak kecil dia anak kesayangan Ibu. Sayalah yang selalu disalahkan dan dimarahi kalau dia jatuh, sakit, bermain terlalu jauh, atau pulang terlalu sore. Sayalah yang dibebani kewajiban untuk menjadi anak yang pandai, mendapat nilai bagus di sekolah, membantu tugas-tugas rumah tangga, dan diceramahi soal keuangan keluarga yang selalu pas-pasan sampai saya tidak pernah berani minta dibelikan sesuatu jika itu tak teramat perlu.
Surat Tamat Belajar sayalah yang diremas-remas Ibu, karena saya tidak mau masuk sekolah menengah kejuruan. Sementara Surat Tamat Belajarnya terpajang rapi dan ia boleh masuk ke sekolah mana saja yang ia mau. Saya dilarang masuk fakultas sastra, sementara ia boleh-boleh saja tak punya cita-cita dan sekedar mengikuti jejak saya di fakultas hukum.
Dan sampai sekarang tuntutan-tuntutan seperti itu masih selalu ada. Saya harus sukses. Saya harus mandiri. Saya harus bisa mencukupi kebutuhan saya sendiri. Oke, yang itu saya tidak keberatan. Tetapi yang paling digaris bawahi dan ditulis besar-besar dengan huruf berwarna merah: saya harus segera menikah! Segera. SOS. Darurat. Kasus A1 (istilah intelijen untuk kasus utama). Mungkin seandainya bisa dilangsungkan dalam minggu ini juga, mereka akan menari-nari kegirangan.
Sementara dia, si anak kesayangan, apapun yang dia perlukan selalu diberi. Ibu menghibahkannya rumah kecil di sebelah rumah induk untuknya. Memindahkan ranjang favorit saya ke kamar yang bakal ditempati dia dan isterinya nanti tanpa izin saya. Bahkan pada calon isterinya, Ibu mempersilahkan memakai semua koleksi alat-alat dapur kesayangannya. Gelas-gelas Perancis itu, mangkuk-mangkuk Cina kuno itu, piring-piring antik dan sendok-sendok perak yang bahkan dipakai setahun sekalipun tidak.
Tidakkah terpikir oleh Ibu, bahwa saya, anak perempuannya, juga ingin mewarisi sebagian dari semua itu? Meskipun saya bisa membeli sendiri, tetapi saya juga ingin punya barang kenangan jika Ibu sudah tidak ada kelak.
Kalau hubungan saya dengan seorang lelaki gagal, saya disalahkan. Mereka menuduh saya yang bikin gara-gara. Ketika si anak kesayangan itu diputuskan pacarnya karena lelaki lain, Ibu menangis dan menganggap nasibnya malang. Bahkan saya ditugasi membujuk dan menghiburnya. Saya juga yang maju ke depan sendirian, menghadang adik saya, menahan badannya yang tinggi besar ketika dalam kemarahannya ia ingin mencari lelaki itu dan menghajarnya. Saya sampai sakit badan seminggu!
Saya benci sekali jadi perhitungan begini. Malu pada diri sendiri karena mendadak iri pada adik sendiri.
Tapi saya benci selalu dijadikan kambing hitam. Dianggap anak nakal sepanjang zaman. Saya ingin pergi entah kemana, tetapi tak bisa melepaskan diri. Ibu akan jatuh sakit, Ayah akan kebingungan, dan si anak emas itu lagi-lagi akan menyalahkan saya. Saya juga tidak bisa mengandalkan Ussy, karena ia sudah punya keluarga sendiri.
Saya tak bisa berbuat apa-apa ketika orang-orang menertawakan saya, mengatai saya pemimpi yang menunggu hal yang tidak pasti, dan saya tak bisa mengelak ketika mereka dengan sok perhatian mengenalkan saya dengan banyak pria.
Tak seorangpun membantu saya. Saya benci karena merasa tak dipercayai. Merasa sendirian. Merasa ditinggalkan. Merasa dibiarkan. Saya benci dan muak karena selalu saja diuji, diuji dan diuji.
Saya benci!
.............
Masih belum puas menguji reaksi saya dalam tekanan, darling?