Saturday, February 9, 2008

Ketika Hujan Pagi Itu (part 2)

Hari belum hujan waktu kita tiba di bukit itu. Kita masih harus menuruni tebing satunya, menuju ke mulut gua. Tiba-tiba saja aku teringat, saat itu tidak hanya ada kita berdua. Kamu mengajak beberapa temanmu, entah dua atau tiga. Dan kita pergi ke pondok pemandu lokal untuk berganti pakaian sebelum menjelajahi gua itu. Apa nama berbagai peralatan itu? Aku hanya bisa berdiri mengamatimu merakitnya satu persatu.

“Firman, ini sudah benar?” Aku berputar seperti peragawati yang sedang memperagakan busana di depanmu, setelah mengganti tshirt dan jinsku dengan coverall dan sepatu boot karet.
Kamu menoleh dan bangkit. Tanpa berkata-kata kamu meraih sabuk di tanganku dan memakaikannya di pinggangku.
“Begini?” Ah, kenapa aku masih saja cerewet bertanya.
“Ya.” Kamu menoleh lagi sekejap dan kembali sibuk dengan segala helm speleo dan headlamp itu. Juga peralatan lainnya yang aku bahkan tak tahu kegunaannya.

Sebentar. Beri aku waktu untuk mengingat, Firman. Setelah itu apa? Setelah kita semua siap berangkat dan kamu mengedipkan mata padaku untuk memberi semangat? Oh, oh, ingatanku sama sekali tak berjejak di sini. Padahal bukankah semua itu baru terjadi beberapa bulan yang lalu?
Seperti kilasan film, kemudian aku ingat gelap gulita di sekeliling kita. Dan kaki yang basah karena kita berjalan di tengah aliran sungai bawah tanah. Hanya nyala obor, lampu karbit dan headlamp di atas kepala kita yang menyala samar. Dan punggungmu yang memandu di depan. Sesekali kamu menoleh, memastikan aku masih melangkah di belakangmu.

“Kamu lelah?”
“Tidak,” sahutku tegas. “Ayo terus jalan. Masih banyak yang ingin kulihat.”
Aku ingat stalaktit dan stalakmit putih dan coklat gemerlap dalam pantulan sinar. Kecipak air meningkahi langkah. Lalu bau menyengat yang membuat napasku sesak.
“Ini bau guano. Kotoran kelelawar. Coba lihat ke atas sana!” Kamu menyorotkan obormu ke langit-langit gua agar aku bisa melihat ribuan kelelawar bergelantungan dalam koloni yang menakjubkan.
“Oh, Tuhan!”
“Tidak apa-apa. Mereka tidak berbahaya. Ini rumah mereka, Tania.”

Tahukah kamu, aku ingin memelukmu saat itu. Bukan. Bukan karena takut. Aku hanya ingin berterima kasih kepadamu. Kamu telah memperlihatkan semua hal menakjubkan itu kepadaku. Semua keajaiban di perut bumi itu dan adrenalin yang berhasil melarutkan sedihku. Kamu telah begitu baik menyisihkan waktumu mengobati lukaku.

Tiga jam kemudian, kita sudah kembali ke permukaan bumi. Dan hujan yang deras itu menyambut kita. Tak ada jalan lain, bukan? Kita berlari menembus tirai hujan ke pondok itu untuk berganti pakaian lagi.

Berlari bersamamu. Seperti berlari menembus kepedihan yang sebelumnya membuatku mati rasa. Pernahkah kukatakan padamu, aku sembuh setelah ekspedisi ke gua itu? Atau aku belum sempat mengatakannya kepadamu hingga sekarang? Ah, maafkan aku kalau begitu. Sesungguhnya kamu berhak mendapatkan lebih dari ucapan terima kasih. Tetapi kamu tampaknya tak perlu itu.
“Kalau kamu bisa tersenyum lagi, itu lebih dari seribu ucapan terima kasih bagiku, Tania.”

(Penggalan cerpen yang kemarin. Mentok lagi deeeh... ugh!)

2 comments:

Deacy said...

Mba Enno tulisannya keren-keren....

Love to read it.....

Saya pasang link blog Mba di blog saya yaa.... ^_^

Gloria Putri said...

ini cerpen koq labelnya memori?
jangan2 terinspirasi dr seseorg di masa lalu yaaaa???

hehehehee

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...