Wednesday, June 27, 2012

Menjenguk Nenek Moyang

Sangiran, hari keempat

Judulnya kecele. Ketika kami berdua lupa bahwa hari Senin, museum tutup. Dan kami sudah terlanjur berangkat dari terminal Tirtonadi dengan bus tujuan Purwodadi yang melewati kota Sragen, dimana situs Sangiran berada. Wuri lupa kalau hari Senin, museum tutup. Saya justru lupa kalau hari itu hari Senin (padahal tahu kalau setiap Senin, museum di seluruh dunia tutup).

Kesadaran saya datang tiba-tiba saat bus mulai melaju.
"Wuri, sekarang hari apa?"
"Senin, Mbak."
"Hah! Aduh, museumnya tutup!"
"Masa sih, Mbak?" Lalu dia membuka notesnya dan terpekik. "Ya ampun kita berdua ini gimana? Iya ini udah kucatat padahal!"

Saya browsing dari hape, dan memang benar museumnya tutup setiap Senin. Tapi kami memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan. Sudah tanggung. Lagipula, siapa tau, museumnya dibuka karena masih liburan sekolah.

Bus jurusan Purwodadi itu melewati pertigaan yang menuju Sangiran. Kami berhenti tepat di seberang jalan dengan gapura Selamat Datang. Tapi menuju ke sana masih jauh. Kami harus naik ojek lagi. Pangkalan ojeknya tak jauh dari mulut jalan. Namun tukang ojeknya belum ada, karena kami datang kepagian. Akhirnya karena dari rumah belum sempat sarapan, kami makan dulu di salah satu warung yang berderet di sebelah kanan gapura.

Selesai makan, tukang ojek sudah ada. Ongkos menuju Sangiran yang masih 7 kilometer lagi dari sana adalah 15 ribu rupiah. Setelah sepakat, kami pun melaju dengan dua ojek.

Dan museumnya memang tutup, sodara-sodara! :))

Setelah janjian dan minta no ponsel si bapak tukang ojek supaya bisa menjemput, kami cuma bisa berkeliaran di halamannya dan berfoto di depan tulisan Museum Sangiran dekat lobby. Lalu melihat-lihat deretan kios suvenir di belakang museum, yang sama sekali tidak menarik. Saya mencoba mencari patung atau asbak yang katanya diukir dari tulang fosil atau pohon purba atau apalah. Tapi sepertinya benda-benda yang mereka klaim purba itu nggak asli. Eh, tapi nggak tau juga ya kalau memang ada yang asli. Saya kan bukan arkeolog :p

Setelah potret-potret narsis di beberapa spot, kami menelpon bapak tukang ojek untuk menjemput kami. Perlu diingat ya, sebaiknya memang bikin perjanjian jemputan dengan tukang ojek yang mengantar kamu (kalau nggak bawa kendaraan sendiri). Karena, di depan museum nggak ada pangkalan ojek. Parah banget kalau sampai terpaksa jalan kaki ke luar dari Desa Sangiran. Jalannya naik turun lho. Fyuh!

Waktu masih duduk-duduk mengobrol, beberapa bus wisata yang membawa anak-anak sekolah (yang kecele seperti kami) menawari kami ikut sampai ke jalan raya sana lho. Baiknyaaa... :D
Tapi karena kami masih ingin mengobrol (tempatnya teduh banget, enak buat nyantai) dan sudah janjian dengan tukang ojek, kami menolak dengan sopan dan bilang terima kasih.

Ongkos ojek pp ke museum Sangiran 30 ribu per ojek. Saran saya, kalau mau janjian antar jemput, harus lebih dulu ditawar harga sepaketnya supaya bisa dapat diskon. Kami sih kemarin enggak, jadi nggak dapat diskon :D

Candi Cetho, kaki gunung Lawu

Karena masih banyak waktu gara-gara di Sangiran cuma sebentar, Wuri mengajak ke Candi Cetho. Tadinya tujuan yang itu cuma jadi alternatif aja. Tapi karena belum terlalu siang, kami akhirnya sepakat jalan ke Karang Anyar di mana si candi berada.

Candi Cetho. Menuju ke sana tak ada kendaraan umum. Kami lagi-lagi menyewa ojek. Belajar dari pengalaman, kami menawar satu paket pp, dan mendapat harga 25 ribu per ojek.

Dan percayalah bahwa itu harga yang murah ketika ojek mulai melaju semakin naik ke atas. Jalanannya lebih berulir, lebih tajam, lebih curam daripada jalanan di Gunungkidul. Rupanya kami menanjak ke lereng Gunung Lawu.

Pemandangannya indah sekali. Perkebunan teh di kiri dan kanan terhampar. Semakin ke atas, saya melihat rumpun Edelweiss di antara tanaman sayur. Tadinya saya ragu itu Edelweiss. Maklum, sudah lama nggak naik gunung jadi lupa wujudnya. Si bapak tukang ojek saya malah bilang itu bunga wortel. Yaelah hahaha...
Saya baru bisa konfirmasi bahwa itu memang Edelweiss dari seorang cowok yang sedang melihat-lihat candi dengan pacarnya. Cowok itu orang lokal asli.

"Mas, itu Edelweiss bukan? Sepertinya kok iya." Saya menunjuk sepetak tanah yang dipenuhi Edelweiss putih, di luar pagar candi. Indah sekali.
"Iya Mbak, itu Edelweiss. Ini kan sudah lereng gunung. Ke sana itu jalur menuju puncak Lawu." Ia menunjuk sebuah jalan setapak. Mendadak, saya jadi kepingin naik ke puncak Lawu saat itu juga. Saya sudah lama nggak naik gunuuung! :))

Candi Cetho terletak 1.400 meter dari permukaan laut. Berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kec Jenawi, Kab Karanganyar Jawa Tengah, sekitar 3 jam perjalanan dari Kota Solo. Menuju ke candi ini,  melewati perkebunan Teh Jenawi.

Candi Hindu ini tempat pemujaan Dewa Siwa, karena itu dihiasi arca phallus. Lalu ada dua patung, yang belakangan saya baru tau itu arca Prabu Brawijaya V dengan penasehatnya. Lalu ada juga arca lingga dan yoni.

Aura spiritual di candi ini kental banget. Agak-agak mistis malah. Setiap orang yang datang ke sini selalu berharap seandainya langit sedang cerah. Tapi menurut feeling saya sih, di tempat ini memang nggak akan pernah secerah di candi Borobudur, misalnya. Bukan karena agamanya beda-saya nggak lagi bandingin agama ya. Tapi, karena auranya memang beda aja, dan daerahnya memang berkabut.

Candi ini masih dipakai buat ibadah umat Hindu, mengingat juga di sekitar candi ini banyak padepokan-padepokan agama Hindu. Di candi juga ada sesajen dan dupa yang kelihatannya memang untuk ibadah. Kata bapak tukang ojek saya, sebagian penduduk lokal sekitar candi beragama Hindu, sebagian lagi muslim. Mereka membaur dengan damai.

Cetho, dalam bahasa Jawa itu artinya jelas atau jernih. Tapi beneran lho, saya merasa meskipun suasananya berkabut dan mistis, saya merasa damai sekali di sini. Gimana ya menjelaskannya? Pokoknya hati saya terasa ringan dan jernih. Padahal cuma jalan-jalan keliling candi aja. Saya memang berdoa sih, tapi berdoa secara muslim, dalam hati. Ketika saya mengelilingi candi, saya zikir. Lebih karena saya mengagumi tempat itu, dan kebesaran Allah yang menganugerahi orang-orang zaman dulu dengan kebudayaan yang indah dan agung, yang bisa kita nikmati sampai sekarang :)

Saya kan suka binatang. Di Cetho, ada arca-arca binatang. Wow langsung deh difoto! Ada arca gajah dan penyu. Arca penyu itu menjadi salah satu undakan di bawah tangga. Bentuknya ceper dengan kepala dan kaki dalam posisi sedang berenang. Arca gajahnya sudah rompal, tapi masih menyisakan bentuk gajah. Eh, bener nggak sih itu gajah? Jangan-jangan salah pula saya :P

Wuri pasti heran, waktu saya baru datang, saya ngajak ngomong salah satu patung di situ dan saya menyebutnya 'Mbah.' Waktu mau pulang juga saya pamit. 'Pamit rumiyin nggih Mbah.'
Saya nggak bilang sama Wuri, kalau di situ ada 'sesuatu'nya. Pas kami makan siang berdua, dengan bekal yang kami bawa dari Jogja di depan patung itu, sesuatu itu ngeliatin kita lho, Wur. Hehehe...

Kami pulang dengan ojek-ojek yang sama. Bapak tukang ojek saya sepanjang jalan cerita. Ramah banget orangnya. Dia bilang anaknya lulusan Teknik UGM, sekarang kerja di Astra. Hebat ya. Padahal sang bapak ini kelihatan sekali orang yang bersahaja, tapi dia bisa menjadikan anaknya sukses :)

Kali ini perjalanan kami turun, bukan menanjak. Curam sih. Tapi saya malah teriak "Asyiiiik!" atau "Wohooo!" ketika motor kami meluncur deras menuruni punggung lereng, sampai si bapak ojek ketawa.
"Mbak menikmati banget ya?"
"Lho, harus, Pak. Buat apa jalan-jalan, kalau nggak dinikmati."

Kami beruntung keburu naik kereta Prameks Solo-Jogja, yang jam setengah enam sore. Tiba di Jogja jelas sudah malam. Tapi masih ada dua tempat yang harus saya kunjungi di malam terakhir saya di Jogja.

Pria Hujan.

Saya bertemu lagi dengan dia, setelah sekian lama. Dari stasiun Jogja, kami naik motor (Wuri menitipkan motornya di stasiun) ke Mirota Batik karena saya butuh kebaya jadi untuk kawinan sepupu beberapa hari lagi, lalu setelah itu Wuri mengantar saya ke rumahnya. Rumah Pria Hujan.

Iya. Pria ini yang saya beri label Hujan di blog ini. Wuri akhirnya bertemu dengan sang legenda. Hahaha. Dia sudah menunggu dengan pintu rumah terbuka, dan dia tampak sedang duduk di ruang tamu. Agak termenung. Wuri masih memarkir motornya ketika saya berdiri di depan pintu itu dan mengucapkan salam.

Dia tertegun. Menjawab salam dan menatap saya sebagai orang yang tak dikenal. Lalu saya tertawa. "Hai, Mas! Lupa sama aku ya?"
Mendengar suara cempreng saya, baru deh dia ingat siapa saya. Hahaha. Tau nggak, kenapa dia pangling? Karena saya pakai jilbab. Dia kan dulu mengenal saya sebagai si cewek tomboy berambut pendek dan jins belel. Dia nggak tau saya berjilbab sekarang.

Hari sudah terlalu malam. Saya hanya mengobrol sedikit, minta kesediaan dia membantu saya kalau butuh data untuk novel saya yang berkaitan dengan bidang pekerjaannya dia. Seperti biasa, dia oke-oke saja. Diganggu via telepon boleh, via email ya monggo.

Dan sejujurnya saya lega. Pertemanan kami pulih dengan sendirinya setelah peristiwa pengkhianatan seorang teman yang membuat saya dan si Pria Hujan akhirnya berjarak. Iya, iya. Saya memang yang ngambil jarak. Saya kan sudah mengikhlaskan dia dengan si mantan teman saya itu. Yang tadinya saya pikir akan sampai ke pernikahan, tapi ternyata enggak. Yang saya dengar-dengar, si mantan teman memang nggak siap untuk menikah. Jadi apa gunanya dirimu memacarinya, bu? Ternyata perasaan saya lebih serius daripada kamu.

Okay, enough. Itu masa lalu. Toh perasaan saya pada si Pria Hujan sudah biasa lagi. Lebih merasa sebagai adiknya, sekarang :)

Malam itu, saya pulang ke rumah Wuri dengan perasaan puas. Perjalanan saya akhirnya usai. Saya punya cukup amunisi untuk novel kedua dan ketiga, bahkan keempat. Banyak inspirasi yang tiba-tiba muncul selama jalan-jalan. Banjir banget benak saya dengan bermacam-macam ide.

Big thanks to Wuri and her family. Thanks to Mbak Utik di Gunungkidul yang menampung kami semalam di rumahnya yang bagus. Thanks untuk kebaikannya menampung si traveler galau ini hahaha...

Thanks ya Wuri. Sampai ketemu beberapa bulan lagi pas kita turun ke gua Jomblang! Yipiiii!!! Petualangan lagiii!!!!

Gerbang ke Desa Sangiran. Pict by me.


Arca Gajah di Cetho

Jalanan seperti ini yang kami lalui menuju candi Cetho. Keren kan?
Foto dari sini

Image and video hosting by TinyPic

7 comments:

nuhireview said...

Wah mbak eno beruntung banget malah udah traveler ke daerah dket rumahku. oh ya mbak di wonogiri ada museum yang kayak gua gitu lohh-->saran.

Ms Mushroom said...

Ini tujuan honeymoon pertama saya sebelum dufan, hahahaha ... secara rumah pasangan saya cuma 2 km dari sangiran, kok fotonya dikit sih, no ? mana mana mana foto dirimu di depan candi ? :D

Wuri SweetY said...

Itu....Itu...iket rambutku keliatan :)
Mari kita explore GunKid!!!

Gloria Putri said...

wihhhh....candi cetho tuhh jd keinget papa alm...hrs nyetir mobil ditengah kabut yg gelap minta ampun....

SoleildeLamer said...

seandainya aku tinggal satu kota ma mbak enno, pasti seru... T^T
kemana2 bisa kantil di belakang

SoleildeLamer said...

aku pernah ke sangiran. lumayan seru itu banyak teman2 saya :3

Enno said...

@annesya: temen2 yg mana, nes? yg udah jd fosil semua itu ya? :))

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...