Monday, May 26, 2008

Tangga

Ia masih ingat wajah lelaki yang menunggunya di bawah tangga. Satu hari setelah pernikahan yang ingin dilupakannya seumur hidup. Wajah itu tengadah, menatap kepadanya yang berdiri di ujung tangga teratas. Mata yang dulu danau teduh itu kini segelap mendung. Kenapa? Bukankah seharusnya ia bahagia karena sudah menjadi suami?

"Terima kasih," ujar lelaki itu parau. "Kamu sudah menghadiri pernikahan kami."
"Lupakan saja." Perempuan itu menyahut dingin. "Aku tidak akan berada di sini kalau bukan karena permintaan ayahku."
"Aku sungguh-sungguh minta maaf."
"Semuanya sudah selesai." Ia menjinjing kopornya yang sejak tadi teronggok dekat kakinya. Berjalan menuruni tangga. "Aku pergi dari hidupmu. Dari rumah ini, dari tangga sialan yang menyembunyikan perselingkuhan kalian!"

Musim hujan bulan September. Seorang laki-laki yang lain. Menunggunya di bawah tangga, di sebuah bandara. Ia berlari kepadanya selepas turun dari taksi. Memeluknya dan tertawa gembira.

"Sudah dapat tiketnya? Maaf aku agak terlambat. Tadi ada satu liputan yang harus dikerjakan sebelum bisa kesini."
"Kamu tidak perlu memaksakan diri mengantarku pergi."
"Ah, aku tidak keberatan kok." Ia tersenyum. Menarik lelaki itu duduk bersamanya di undakan tangga. Lalu wajahnya berubah serius. "Ada satu pertanyaan untukmu. Ini pertanyaan yang terakhir."
"Tentang apa?"
"Apakah kita tetap tidak bisa....?"
"Maksudmu menuju masa depan itu?"
"Ya."
Lelaki itu menatapnya. Wajahnya meredup. "Maaf. Sudah berulangkali kita mendiskusikannya bukan. Kita tidak bisa, Sayang."
"Kalau begitu...," sahut perempuan itu dengan mata mulai berkabut. "Kalau begitu, ini menjadi pertemuan kita yang terakhir."

Di waktu dan tempat yang berbeda. Ada sebuah tangga juga. Menuju kamar penginapannya di lantai tiga. Di dekat situ ada sebuah balkon, tempat seorang lelaki berdiri di bawahnya pagi-pagi sekali. Melambai padanya menyuruh turun. Ia akan tertawa dan meleletkan lidah, memaksa lelaki itu naik menjumpainya.
"Kesini! Aku belum mandi, malas turun!"
Dan lelaki itu akan melangkah menaiki tangga. Gema langkah kakinya satu persatu terdengar semakin dekat, dan ia menyambutnya di puncak tangga. Tangga yang sama, ketika di hari terakhir liburannya lelaki itu muncul dari sana untuk membawakan ranselnya dan mengantarnya ke stasiun.

Tangga-tangga di masa lalu itu sudah ia palang. Jalan menuju ke sana bahkan sudah dilupakan.

6 comments:

Anonymous said...

memories nya keren euy. mengharu biru. mencabik-cabik perasaan. saya sempat tergetar mbak...

*salam kenal
blue

Enno said...

sofian, thx ya.... salam kenal :)

Ayu Ambarsari Hanafiah said...

mba, saya kek lagi baca script pilem :P baguuusss...

Enno said...

memang lagi ngumpulin bahan utk dikasih ke andrei... mau disuruh dibikin film pendek :)

Anonymous said...

Dirimu kok bagus banget sih menghubungkan 'tangga-tangga' itu jadi satu cerita? Duh.. ngiri sekaligus kagum deh akyu, hehehe..

Dasar jurnalis :P

Enno said...

ini utk andrei, utk film pendeknya han... duh kemana ya tu' anak? kangen... :(

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...