Thursday, December 19, 2013

The Night Falls In The Thousand Doors

Memasuki gerbangnya malam itu, saya langsung merasa seolah-olah memasuki dunia lain, Langit yang menaungi Semarang malam itu pekat sekali rasanya. Oksigen yang saya hirup tiba-tiba menipis. Degup jantung saya bertalu-talu. Saya tidak takut. Hanya khawatir dengan apa yang akan saya lihat nanti.

Jadi, di sanalah saya berdiri. Tempat yang menjadi obsesi saya bertahun-tahun, yang ingin sekali saya kunjungi setelah melihat foto bangunannya di internet. Sebuah gedung kuno bergaya art deco yang dibangun tahun 1903, dan dulunya menjadi kantor perusahaan kereta api pemerintah kolonial Belanda, Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij.

Saya, si penggemar bangunan kuno, akhirnya berdiri di depan gedung Lawang Sewu.
Yang katanya punya seribu pintu.
Yang katanya seram itu.

Harga tiket masuk gedung ini 10 ribu rupiah per orang, plus 30 ribu rupiah untuk membayar jasa pemandu. Malam itu, pemandu saya seorang anak muda bertubuh kecil dan ramah. Ia mengajak saya berjalan melewati halaman remang-remang, yang di tengahnya ada pohon beringin raksasa. Pohon itu, katanya, ditanam saat gedung diresmikan tahun 1907.

Mas pemandu (ah, saya lupa namanya, padahal ia sudah memperkenalkan diri) minta maaf karena dari dua gedung induk yang ada, malam itu pengunjung hanya bisa menjelajahi satu saja. Gedung paling depan sedang direnovasi, sehingga sedang ditutup untuk umum. Sayang sekali, padahal gedung itulah yang ingin sekali saya lihat. Ada serangkaian jendela berkaca patri besar dengan mozaik indah di sana. Di setiap film tentang Lawang Sewu (dokumenter maupun horor), jendela-jendela itu menjadi fokus kamera.

Gedung yang satu lagi, adalah gedung di mana terdapat ruang bawah tanah penampung air, yang di masa penjajahan Jepang dijadikan penjara dan tempat hukuman.
Jadi, sepertinya penjelajahan saya malam itu ditakdirkan untuk full spooky. Wew. Baiklah. Let's explore.

Kami mulai memasuki gedung, yang sengaja digelapkan. Cahaya hanya berasal dari lampu-lampu di koridor depan. Ruangan demi ruangan yang kami masuki sangat remang, terkadang gelap gulita. Pemandu saya yang sudah mengenal setiap inchi ruangan-ruangan itu, memandu langkah-langkah saya dengan suaranya.

Ruangan pertama, tepat setelah melewati koridor. Hanya ada kekosongan dalam cahaya remang-remang. Merinding? Tidak tuh. Tetapi, tunggu. Saya melihat sekilas, tangan pemandu saya mengetuk pintu saat ia hendak masuk.

Kami pindah lagi ke ruangan lain. "Ini tadinya aula untuk pesta dansa, Mbak," kata pemandu saya. Itu memang ruangan yang lapang berbentuk segiempat. Gelap dan sunyi. Rupanya ini ballroom, pikir saya sambil membayangkan puluhan orang Belanda berdansa berputar-putar di ruangan ini, seratus tahun yang lalu.

Lagi-lagi, saya melihat tangan si mas mengetuk pintu saat mau masuk tadi. Kenapa?

Kami menyusuri lagi ruangan demi ruangan. Saya nyaris tidak mendengar keterangan pemandu saya. Asyik sendiri menikmati aura masa lalu dalam cahaya remang-remang. Membayangkan seperti apa dulu ruangan-ruangan ini. Mungkin penuh sofa dan kursi-kursi tempat duduk para meneer yang mengurusi perkeretaapian Hindia Belanda. Beberapa pribumi berlalu lalang menjadi jongos dan pegawai rendahan yang ditugasi ini itu. Menurut pemandu saya, ada beberapa ningrat pribumi yang beruntung punya jabatan cukup tinggi di jawatan itu. Namun, mereka memiliki ruangan kerja terpisah dari para penjajah itu. Diskriminasi dan rasialisme ternyata dipraktekkan juga di kantor ini. Cih!

Kami tiba di tengah gedung, yang ruangannya bersambung-sambung. Yang ambang pintunya berderet-deret itu. Saya mulai merinding. Tetapi tidak berhenti menjepretkan kamera.
Di tengah-tengah ruangan yang sambung menyambung seperti pantulan cermin, di ujung sana, saya mulai melihat sesuatu.

"Mbak, kita keluar saja," kata mas pemandu. Ia memberi isyarat pada saya untuk segera mengikutinya. Saya menurut. "Silakan memotret di sini. Deretan daun pintu ini bagus kalau difoto," katanya sambil menyingkir dari jarak pandang kamera saya. Wajahnya agak tegang.

Di balik salah satu daun pintu, di ujung sana, saya melihat sekelebatan bayangan perempuan. Oh, sekarang saya mengerti kenapa ia mengetuk pintu seperti semacam salam sebelum masuk ke setiap ruangan. Pemandu saya rupanya punya indera keenam. Saya lega.

Kenapa lega?
Begini lho. Di tempat spooky seperti ini, saya lebih memilih pemandu yang punya indera keenam. Soal keterangan sejarah, sebetulnya tidak perlu repot-repot, karena saya biasanya sudah meriset sebelum datang ke suatu tempat. Pemandu yang punya indera keenam akan menghindarkan kita dari hal-hal yang menyeramkan sebelum terjadi.

"Ayo Mas, kita ke tempat lain!" Saya mengajaknya. Malas kan ya, memotret sembari diamati perempuan di ujung sana itu.

Si mas pemandu mengajak saya ke lantai tiga. Kami menapaki anak-anak tangga dari semen, yang sudah rusak dan somplak dalam kegelapan. Si mas bawa senter sih. Tapi dia malah menerangi arah depan, bukan arah kaki. Jadilah saya, si mata lamur, naik sembari terantuk-antuk dan berpegangan erat pada pinggiran tangga. Masih belum cukup dengan anak tangga yang somplak dan rawan tergelincir, susunan tangga itu rupanya dibuat cenderung tegak lurus. Menyebalkan sekali orang-orang Belanda ini! Mentang-mentang jangkung-jangkung, jadi langkahnya panjang-panjang dan anti gamang! Huh!

Nyaris di puncak tangga, saya berhenti mengomeli para meneer itu. Langkah saya juga berhenti. Pemandu saya ada di depan, berdiri menunggu saya dengan senternya. Tetapi, bukan dia yang membuat saya mendadak tertegun.

Perasaan saya. Perasaan tidak enak yang tiba-tiba menyerbu. Membuat saya ingin mundur dan meninggalkan tempat itu. Seperti ada sesuatu yang memerintahkan saya untuk tidak usah melangkah ke ruangan atas itu. Seperti ada yang bilang 'Pergi! Pergi!'
Suasana kesedihan, kemarahan dan rasa sakit yang dalam melingkupi diri saya. Apa ini?

"Mbak?" Pemandu saya memanggil.
"Oke, oke." Dengan susah payah, saya menggerakkan tubuh saya yang kaku, menapaki anak tangga terakhir.
Di depan kami sebuah ruangan memanjang, sepanjang separuh gedung. Gelap gulita. Jendela-jendela di kiri kanannya terbuka menghadap pekarangan dan langit malam. Hanya sedikit cahaya yang berhasil menembus kegelapan di ruangan ini.

Saya menggigil. Betul-betul menggigil secara harfiah. Udara terasa berat dan sesak. Saya seperti merasakan sedang dipandangi banyak mata dari dalam kegelapan. Belum pernah saya merasa sangat ketakutan seperti itu. Ada hawa kemarahan di seluruh ruangan, bercampur hawa kepedihan. Lamat-lamat saya seperti mendengar bunyi derit dari berbagai sudut. Saya takut. Kalau tangga ke bawah tidak segelap, securam dan serusak itu, saya sudah meninggalkan tempat itu tanpa menunggu si pemandu.

"Mas, ruangan apa ini?" Tanya saya cemas.
Mas pemandu saya itu sedang mengarahkan senternya ke ujung ruangan nun jauh di sana, yang bahkan tak tertembus cahaya.
"Di lantai tiga ini dulunya tempat para tentara Jepang menyekap dan memperkosa perempuan-perempuan yang mereka culik. Pernah dengar jugun ianfu?"

Ya Allah, Gusti.
Tempat seluas ini? Selebar ini? Hanya untuk perbuatan biadab keparat sialan brengsek tak bermoral itu? Khusus banget ya, nyet!
Jugun ianfu adalah budak-budak perempuan yang khusus untuk melayani kebutuhan seksual para tentara Nippon itu. Mereka benar-benar diperbudak dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Kadang-kadang, mereka diperkosa beramai-ramai hanya demi kesenangan para penjajah brengsek itu.
Sewaktu masih menjadi jurnalis, saya pernah membuat tulisan tentang ini. Saya mewawancarai beberapa perempuan tua yang pernah menjadi jugun ianfu. Mereka hidup dalam trauma dan kenangan menyakitkan.

Tolong...
Eh? Saya celingukan.
Suara itu entah dari mana, seolah terbawa angin melewati telinga saya. Saya tambah ketakutan. Tidak mau. Saya tidak mau berkomunikasi dengan mahluk-mahluk di tempat ini. Semuanya begitu penuh kemarahan. Penuh kesakitan. Penuh dendam.

"Mbak, kita nggak usah jalan sampai ke sana ya?" Dalam cahaya senter yang membias, wajah mas pemandu saya tampak gelisah. "Euh... nggak apa-apa kan, Mbak? Anu... di sana terlalu banyak. Mbak, ngerti maksud saya, kan?" Ia menatap saya, sepertinya bingung mau menjelaskan.
Saya mengangguk. "Iya, saya ngerti. Yuk turun aja."
Wajah pemandu saya mendadak lega. Ia memandu saya menuruni anak tangga dengan cahaya senternya. Meninggalkan aula yang gelap itu.

Di lantai bawah, dalam perjalanan menuju ke tempat peminjaman senter dan sepatu boot untuk memasuki ruang bawah tanah, ia bertanya. "Rupanya Mbak ini indigo ya? Bisa lihat mereka?"
"Nggak, saya bukan indigo. Bisa lihat juga kadang-kadang. Tapi kalau peka, iya. Saya peka."
"Untung aja. Jadi Mbak mau ngerti. Kadang ada pengunjung yang nggak paham sama kode saya. Mereka suka ngotot dan sok berani. Kadang-kadang itu berbahaya."

Saya pernah membaca tentang beberapa pengunjung yang kesurupan di gedung ini. Mungkin itulah maksud pemandu saya. Hanya saja, ia tidak bisa mengatakannya dengan gamblang. Juga soal keseraman gedung ini. Selama memandu, yang ia ceritakan hanyalah tentang sejarah kegunaan ruangan-ruangan yang ada. Saya bisa mengerti. Karena, manajemen gedung ini yang kini dibawahi PT Kereta Api Indonesia, telah memberi instruksi pada para pemandu untuk memperkenalkan Lawang Sewu sebagai tempat bersejarah, bukan tempat seram untuk uji nyali.

Di lantai satu, saya menukar sepatu dengan boot plastik dan membekali diri dengan sebuah senter. Lalu mengikuti pemandu saya menuruni anak tangga ke bawah tanah.

Kesan pertama? Sesak napas. Oksigen sangat tipis di bawah sana. Lantainya tergenang air semata kaki. Bunyinya berkecipak, memecah keheningan di antara langkah-langkah kami.
"Lantainya sengaja digenangi air untuk menambah kadar oksigen, Mbak."
"Oh, gitu."

Kami berjalan terus dalam gelap yang lebih pekat, karena memang tak ada cahaya sama sekali selain senter kami. Dan saya mulai merasakan aura tempat itu.
Beberapa orang yang pernah ke bawah tanah ini bercerita bahwa mereka merasa seram. Saya? Seram sedikit. Karena gelap dan sesak napas. Tetapi yang saya rasakan justru hawa kesedihan. Berlawanan dengan hawa kemarahan di atas sana barusan. Kesedihan di tempat itu kental sekali.

Kesedihan.
Putus asa.
Rindu.
Kepasrahan.
Dan tekad untuk tidak menyerah sampai mati.

Lalu saya menyadari. Itu adalah perasaan-perasaan para pejuang dan pesakitan yang ditangkap dan disiksa penjajah Jepang di penjara bawah tanah itu. Perasaan-perasaan yang diserap dinding-dinding tua di sekitar kami dan dipantulkan lagi.

Pemandu saya menunjukkan satu demi satu bekas penjara dan sistem penyiksaan yang dilakukan Jepang kepada para tahanan. Saya mendengarkan dan berusaha menahan isak. Saya kepengin menangis. Bukan karena penjelasan mas pemandu, tetapi karena aura di tempat itu.

"Mbak, kenapa?" Pemandu saya memandangi saya.
"Nggak apa-apa, Mas. Saya kok merasa sedih ya di tempat ini?"
"Wah, yang lain-lain sih merasa seram biasanya."
"Iya seram. Tetapi lebih banyak sedihnya."

Ada sebuah bekas patahan meja dari beton di sebuah ceruk. Katanya, itu untuk memenggal kepala tahanan. Kepalanya dipakai untuk tumbal membangun jembatan-jembatan. Saya nggak menyangka kalau penjajah Jepang ternyata juga percaya tahayul.

Ceruk demi ceruk. Ruang demi ruang, kami jelajahi dalam kegelapan. Sampailah kami di ruangan yang paling terkenal karena ada penampakan di sana, dalam acara uji nyali Dunia Lain. Cuplikannya bisa ditemukan di Youtube. Ada pipa air besar di sana. Ruang bawah tanah itu di masa Belanda memang gunanya untuk menampung dan mengalirkan air ke sungai, jika kawasan itu tengah dilanda banjir.

Hihihihihi
Eh? Siapa yang tertawa itu. Suaranya terdengar jelas dan nyaring, berasal dari salah satu ceruk gelap yang tak terlihat.
Hihihihihi
Sial! Jangan ganggu gue!
"Mbak, lewat sini." Pemandu saya melangkah lebih cepat.
Masa si mas takut sih? Biasanya yang asli punya indera keenam nggak penakut gitu deh. Atau mungkin dia mengira saya takut dan bermaksud menyelamatkan saya? Aww, so sweet! *salah fokus*

Di lantai satu, sambil menukar sepatu boot dan mengembalikan senter, mas pemandu saya bertanya. "Tadi dengar suara ketawa?"
"Dengar banget. Kayaknya di sebelah saya deh, Mas."
"Makanya saya ngajak cepat-cepat."
"Tenang Mas. Insya Allah, saya nggak akan kenapa-napa. Saya zikir terus dalam hati kok sejak masuk dari gerbang depan."
"Syukurlah, Mbak." Ia ketawa lega.

Saya juga lega. Dan puas. Dan senang.
Ketika melewati pintu gerbang Lawang Sewu malam itu, berjalan keluar menuju jalan raya yang mulai agak sepi, saya tersenyum lebar.
Akhirnya, kesampaian juga uji nyali di tempat terseram kedua di Asia, versi sebuah acara televisi I Wouldn't Go In There yang ditayangkan National Geographic Channel. Haha.

Dan saya berhasil lolos dari usaha mahluk-mahluk itu untuk berkomunikasi. Mereka di sana terlalu penuh dengan emosi. Terlalu kuat. Terlalu dalam. Saya bisa ikut depresi menyerap energi negatif mereka.

Sampai ketemu lagi, The Thousand Doors. Saya akan datang lagi lain kali di siang hari. Untuk fotografi, bukan uji nyali.

--------------------------------

PS: Foto menyusul. Belum diedit ;)



Image and video hosting by TinyPic

7 comments:

R.S said...

Wach... saya kedahuluan mbak Enno...>_<
Saya tinggal di dekat kota Semarang. Hanya perlu 1 jam dari rumah, tapi belum pernah masuk ke sana. T_T
Padahal saya sudah pengen bgt ke sana, gara-gara nggak ada yang mau nemenin (pada takut) jadi nggak diijinin masuk ke sana. T_T

Hans Febrian said...

yay! akhirnya nyampe lawang sewu juga. aku udah lebih setahun lalu kesananya, tp belum sempat-sempat nulis. malasnya agak luar biasa sih, harap dimaklumi.
aku suka banget jendela yang di ruang dansa itu loh enn! asik banget. bukanya ke atas ga kebawah.

anyway, ini backsoundnya bisa bikin mewek sepanjang malam :'(

Dannesya said...

lawangnya yg sebenarnya 999 pintu kak...

ih pemandunya baik sangat sama kak enno, naksir kak eno kali *ikutanSalahFokus

aku pengen ke sana, ga kesampaian, ga ada yg mau nemenin :'(

tapi aku pernah masuk monumen kapal selam di surabaya. setannya lumayan banyak. kapan2 kalau kak enno ke sby, kuajak ke sana yuk :3

Gloria Putri said...

huwaaa...ga jadi ketemu ya kita :((

dede wk said...

jadi mau uji nyali kah ceritanya?? #apaini

Enno said...

@reinissa: ajak temen tur siang aja biar ga serem :)

@hans: jendelanya emang keren, klo disorot senter jadi bermotif batik lho! Btw maapkeun ttg backsoundnya hahaha

@annesya: masa sih nes di monkasel banyak hantu? Yuk temenin! :))

@glo: hehe tll byk agenda glo... nginep di semarang tp jlnnya smp ke magelang, jogja, ungaran...

@dede: pada akhirnya full uji nyali. Tdnya sembari mau motret kaca patri. Tp lg direnov :)

@

fika said...

Baca ini aku sambil meganging belakang leher mba, hehehe. merinding bingiitt..

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...